SEKOLAH PUNCAK

Berikan Motivasi Kepada Pelajar, TNI Kunjungi Sekolah di Puncak ...

sumber: beritalima.com

SEKOLAH PUNCAK

Oleh: Eddy Setiawan

(Juara 1 Menulis Artikel Event Menulis Karya Bersama oleh KSK Pusat)

 

            “Sekolah puncak”, begitulah aku dan para siswaku menyebutnya.Tempatku mengabdi sebagai tenaga guru honorer selama 13 tahun sebelum diangkat menjadi ASN pada tahun 2015. Letaknya yang berada dipuncak gunung Pangia menjadi alasan penyebutan nama tersebut. Pagi-pagi betul, aku harus mempersiapkan semuanya jika tidak ingin ketinggalan angkutan pedesaan yang akan mengantarkanku kesekolah. Maklumlah pada saat itu sebagai seorang guru honorer aku belum mampu untuk membeli kendaraan sendiri sedangkan jarak dari rumah kesekolah sekitar 20 Km sehingga aku harus bertarung menaklukkan waktu untuk bisa tiba disekolah tepat waktu.

            Kususuri jalan menuju puncak sambil menikmati pemandangan dari atas angkutan pedesaan yang membawaku. Tingkungan sempit menanjak jadi panorama tersendiri bahkan kadang sedikit memicu adrenalin tatkala mobil yang kutumpangi berpapasan dengan truk disalah satu tikungan. Jika kuumpakan bolehlah kusamakan dengan tikungan kelok Sembilan diruas jalan Payakumbuh, Sumatera barat.

            Perlahan mobil angkutan yang kutumpangi berhenti tepat didepan sekolah dengan luas tak seberapa dan fasilitas ruang belajar seadanya. Bahkan kami harus berbagi dimana satu ruangan kelas diisi oleh dua rombongan belajar yang hanya dibatasi oleh kain tirai penyekat namun mereka tetap semangat melahap ilmu yang diberikan oleh para guru.

            Jika pembaca pernah membaca atau bahkan menonton kisah “Laskar Pelangi”, yang mengisahkan semangat anak-anak Gantong, Belitung menikmati hari-hari mereka bersekolah di SD Muhammadiyah Gantong dengan kondisi memprihatinkan, tidak jauh berbeda dengan sekolahku. Secara fasilitas, sekolah kami juga jauh dari kata memadai namun beruntungnya bangunan sekolah kami masih lebih layak dibanding sekolah Ikal dan kawan-kawan dalam kisah tersebut.

            Keterbatasan di sekolahku tidak membuatku berkecil hati apalagi harus kujadikan kendala dalam mentransfer ilmu buat anak-anakku yang selalu menyambutku dengan senyum dan sapa polosnya dari balik gerbang sekolah yang terbuat dari tiga batang bambu, hanya sekedar penghalau hewan ternak yang biasanya tiap pagi selalu menghadiahkan kami kotoran hangatnya.

            Merekalah anak-anakku, alasanku untuk tetap bertahan mengabdi walau medan kadang tak bersahabat dikala hujan. Aku telah terlanjur jatuh hati dengan keunikan mereka, aku terlanjur terpesona tingkah lucu yang sering mereka tampilkan saat bermain bersama dengan bahasa lugu mereka.

            Ada sedikit hal yang patut aku banggakan dari mereka. Mungkin mereka terbatas dalam hal ekonomi bahkan sebagian besar dari mereka belajar dalam remang cahaya pelita. Apa mau dikata dusun kecil yang berpenghuni tidak lebih dari 40 kepala keluarga dengan pola domisili menyebar sehingga mengakibatkan tidak terjangkaunya akses listrik dan memaksa mereka menggunakan penerangan pelita yang dalam bahasa mereka disebut “Silumanjina”. Namun berbicara masalah prestasi, sekolah kami juga tak mau kalah.

Terbukti sederet piala kami pamerkan dalam ruangan kecil dekat gudang yang sewaktu-waktu dapat mereka pandangi sebagai buah perjuangan mereka dalam berkompetisi dengan segala keterbatasan dalam kesederhanaan. Dalam upacara bendera selalu aku dengungkan prestasi mereka agar bara motivasi tetap tersulut didada mereka.

   Satu hal yang paling berkesan adalah dalam kegiatan memperingati HUT RI ke- 72, dimana mereka merengek meminta untuk didaftarkan ikut pertandingan sepak bola mini tingkat kecamatan padahal selama ini, jenis perlombaan inilah yang belum pernah kami ikuti mengingat jumlah personel kami terbatas dan mayoritas perempuan sehingga mustahil kami untuk ikut dalam pertandingan.

Ditengah rengekan dan semangat yang terpancar dari wajah mereka. Kucoba sedikit melobi agar aturan dan ketentuan bisa memberikan pengecualian kepada kami. Lewat pembicaraan yang alot para panitia, kami pun mendapat lampu hijau untuk ikut dalam pertandingan. Kebahagian terpancar dari wajah polos murid-muridku laksana mendapat durian runtuh.

Ketika nama kami dipanggil untuk melangsungkan pertandingan, terdengar tepuk riuh para penonton bahkan tak sedikit dari mereka mencibir hingga mengolok-olok namun tak sedikitpun mampu menggoyahkan semangat bertanding murid-muridku. Bapak penyisihan kami lalui dengan mulus dan melenggang kebabak delapan besar. Semua terheran-heran bahkan banyak yang tidak percaya, sekawanan anak perempuan mampu mengalahkan tim anak lelaki.

Babak delapan besar sukses kami taklukkan dan semifinal menyambut kami dengan riuh penonton yang berbalik mendukung kami. Hal yang paling tidak masuk akal kami lakukan dengan lolos kebabak final. Walaupun kami harus mengaku kalah dibabak final, itu pun melalui tos-tosan adu pinalti namun melalui pencapaian itu nama kami didengung-dengungkan.

Prestasi puncak hampir diraih anak-anak dari sekolah puncak. Sekolah sederhana yang memang layak berada dipuncak. Puncak yang selalu mengajarkan kami untuk tinggi dalam prestasi namun tetap bersahaja dalam ilmu.

“ Salam dari  kami anak-anak Sekolah Puncak”

                                                                                                       

                                                              

 

BIOGRAFI PENULIS

 

Eddy Setiawan, lahir di Marauke 13 September 1984. Alamat: lingkungan Pakalu Kelurahan Kalabbirang Kec. Bantimurung Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan. Anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan Muh. Yunus dan Ummi Rafiatun. Suami dari Nurul Hukma serta ayah dari Kaffah Alnadif Setiawan. Menyelesaikan pendidikan terakhir pada jenjang Strata I di universitas Veteran Republik Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada tahun 2008. Bekerja Sebagai Seorang guru di SDN 244 Pangia Kec. Simbang Kab.Maros.


Komentar