PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syari’at
islam merupakan syariat penutup bagi syari’at agama-agama sebelumnya. Dimana
syari’at islam dikatakan sebagai syari’at yang paling lengkap dalam mengatur
kehidupan dibidang keagamaan dan kemasyarakatan melalui agama islam. Islam
sendiri diartikan sebagai agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang
terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Selain itu syari’at
juga disebut dengan syariah secara harfiah yaitu jalan ke sumber mata air yakni
jalan lurus yang diikuti oleh setiap orang islam. Didalam syari’at memuat
ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun
ajakan, yang mana semua itu meliputi seluruh aspek pada kehidupan manusia.[1]
Dari kacamata
ilmu hukum, syari’at diartikan sebagai norma hukum dasar yang ditetapkan oleh
Allah, yang wajib diikuti oleh orang islam berdasarkan iman yang berkaitan
dengan akhlaq, baik dalam hubungan dengn Allah, diri sendiri, sesamanya, dan
lingkungannya. Dimana norma ini di rinci oleh Rasul-Nya yaitu berupa Al-Qur’an dan Hadist.
Norma-norma yang ada dalam Al-Qur’an
dan Hadist masih banyak yang bersifat umum, untuk itu diperlukan perincian yang
lebih lanjut.[2]
Perumusan dan penggolongan norma-norma hukum dasar yang masih bersifat umum ke
dalam kaidah-kaidah yang lebih konkrit agar dapat dilaksanakan dalam praktik,
untuk itu seluruh orang islam di tuntut untuk dapat melakukan rekonstruksi terhadap
khazanah hukum islam secara inovatif melalui media ijtihad. Dimana fungsi
ijtihad tidak bisa dipisahkan dari produk-produk Fiqih karena fiqih senantiasa
fleksibel dan perkembangannya berbanding lurus dengan kehidupan dan kebutuhan
manusia.
Adanya fleksibelitas
dalam syari’at islam dan tuntutan bahwa hukum islam harus selalu diperbarui dan
dapat mereduksi perkembangan kehidupan umat. Dimana dalam hal ini tidak
bermaksud bahwa ajaran fiqih itu tidak konsisten melainkan bertujuan untuk
memberikan keterangan atau penjelasan yang sah kepadamanusia, baik politik,
ekonomi, social, hukum dan lain sebagainya dengan alasan tuntutan kemanusiaan.
Untuk itu disini penulis akan membahas tentang asa-asas hukum islam (Da’aimul Ahkam) secara mendasar.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud Da’aimul Ahkam?
2.
Apa saja Asas-asas hukum Islam (Da’aimul Ahkam) itu?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian Da’aimul Ahkam
2. Untuk
mengetahui macam-macam Da;aimul Ahkam
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Da’aimul Ahkam
Filsafat hukum
Islam pada dasarnya terdiri dari tiga suku kata filsafat, hukum, dan Islam.
Dimana filsafat menurut Bahasa berarti hikmah, yang dalam Bahasa Arab dipakai
kata filsafat dan filsof. Sedangkan hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa
dicapai manusia melalui alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode-metode
berpikirnya. [3]
Allah berfirman:
يُؤۡتِي
ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا
كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٦٩
“Allah menganugerahkan al hikmah
(kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).” (QS.
Al-Baqarah:269)
Menurut Azhar
Basyir, filsafat hukum islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis,dapat
dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum islam. Filsafat hukum islam
merupakan anak sulung dari filsafat islam. Dengan kata lain filsafat hukum
islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum islam baik
yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang
digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum islam, sehingga
sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi, yaitu untuk
kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini, hukum islam akan
benar-benar cocok sepanjang masa di semesta alam.[4]
Untuk itu
filsafat hukum
Islam berupaya untuk menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat. Dengan kata
lain filsafat hukum Islam bersikap kritis terhadap masalah-masalah. Dimana
jawaban-jawabannya tidak lepas dari kritik-kritik lebih lanjut, sehingga
samapai disebut sebagai ilmu kritik, dalam artian tidak pernah merasa puas dan
terus sebagaimana hukum yang lainnya, hukum Islam memiliki prinsip dan juga
asas-asas sebagai tiang pokok. Dimana kuat lemahnya, mudah sukarnya, ditolak
atau diterimanya oleh masyarakat tergantung kepada asas dan tiang pokoknya.[5]
Kata asas berasal dari Bahasa Arab yang
memiliki arti dasar, alas, dan fundamen.sedangkan yang dimaksud dengan Asas
Hukum Islam adalah suatu kebenaran yang menjadi pokokdasar atau tumpuan hukum
Islam. Dalam objek kajian filsafat hukum islam asas-asas atau tiang pokok
pembinaan hukum islam disebut dengan Da’aimut
Tasyri’.[6]
2.2 Macam-macam Da’aimut Tasyri’
Sejarah
menunjukkan bahwa Islam memiliki daya Tarik yang kuat, sehingga dalam waktu
yang singkat hukum islam dapat diterima oleh sebagian umat manusia atas dasar
keimanan bikan karena paksaan. Hal itu dikarenakan
hukum islam memiliki asas-asas dan prinsip yang mampu mendorong manusia untuk
menggunakan akalnya. Untuk itu dibawah ini akan diterangkan macam-macam
asas-asas hukum islam atau Da’aimutTasyri’.
1. Adamul Haraj (Meniadakan
Kesempitan dan Kesukaran)
Tabiat manusia tidak menyukai beban
yang membatasi kemerdekaannya dan
manusia senantiasa memperhatikan beban hukum dengan sangat hati- hati. Manusia
tidak akan mau melakukakn perintah kecuali kalau perintah itu dapat menarik
hatinya dan mempunyai daya dinamika jika tidak maka manusia akan menjalankannya
dengan penuh keterpaksaan. Syariat islam dapat menarik manusia dengan cepat dan
mereka dapat menerimannya dengan penuh penuh ketetapan hati. Hal ini karena
Islam menghadapkan pembicaraannya kepada akal, dan mendesak manusia bergerak
dan berusaha serta memenuhi kehendak fitrah yang sejahtera.[7]
Asas ini sesuai dengan firman
Allah dalam Al- Quran Surat Al- Haj Ayat 78:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ
فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya:
“…. dan Allah tidak
menjadikan untuk kamu dan agama suatu kesempitan.”
Dan
firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ
نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya:
“Allah tidak membebani
seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”[8]
Nabi
menerangkan dalam hadistnya:
لاضرر ولا ضرار
Artinya:
“Tidak boleh
memadharatkan orang dan tidak boleh dimadaratkan orang.” (HR. Thabrani)
الدين يسر
Artinya:
“Agama itu mudah. (HR.
Bukhori dan Nasai)
يسروا ولا تعسر
Artinya:
“Mudahkanlah dan jangan kamu
menyulitkan.[9]
Karena asas meniadakan
kesempitan atau kesukaran inilah islam memberikan dispensasi kepada umat islam
pada saat menghadapi suatu hal yang darurat atau hajat[10],
Misalnya:
a.
Orang yang berpergian, sakit,
hamil, atau menyusui, boleh tidak berpuasa berdasarkan firman Allah dalam surat
Al- Baqarah ayat 185:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya:
“Barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan(kemudian ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ia tinggalkan.”
- Orang
yang tidak kuat berdiri dalam melaksanakan sholat, boleh sholat dengan
duduk bahkan dengan terlentang, menyesuaiakan kondisi dan kesehatannya.
Seperti contoh pada hadist nabi yang diriwayatkan oleh Al- Bukhori dari
Imran bin Hushain sebagai berikut:
صل قاءما فإن لم تستطع فقا عد
Artinya:
“Shalatlah dengan
berdiri. Maka jika engkau tidak mampu berdiri, duduklah!”
c.
Orang yang boleh makan makanan
yang haram seperti daging babi, apabila dalam keadaan terpaksa, sesuai dengan
firman Allah surat Al- Baqarah ayat 173:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ
ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ
ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika
disembelih) tidak menyebut asma Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.”[11]
Diadakan hukum darurat
untuk dipergunakan diwaktu darurat. Mentakhfikan hukum adalah adakala dengan
menggugurkan sesuatu hukum, seperti hukum shalat bagi wanita yang sedang
menstruasi dan wanita musafa’(yang baru bersalin), adakala dengan mengurangi
yang diperlukan itu, seperti shalat bagi musafir, menangguhkan pelaksanaan ke
waktu lain, seperti puasa bagi orang yang musafir.[12]
2. Qillatul Taklif (Menyedikitkan
Beban)
Nabi melarang para sahabat
memperbanyak pertanyaantentang hukum yang belum ada yang nantinya akan
memberatkan mereka sendiri. Nabi SAW justru menganjurkan agar mereka memetic
dari kaidah-kaidah umum. Kita tahu bahwa ayat-ayat AL-Qur’an tentang hukum
hanya sedikit. Dimana dengan sedikitnya hukum tersebut justru memberikan
lapangan yang luas bagi manusia untuk berijtihad. Dengan demikian hukum islam
tidak kaku, keras, dan berat bagi umat manusia.[13]
Asas kedua ini
dimaksudkan agar kewajiban agama umat manusia ini tidak menyulitkan dan
menyusahkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat Al-Maidah ayat 101:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَسَۡٔلُواْ عَنۡ أَشۡيَآءَ إِن تُبۡدَ لَكُمۡ
تَسُؤۡكُمۡ وَإِن تَسَۡٔلُواْ عَنۡهَا حِينَ يُنَزَّلُ ٱلۡقُرۡءَانُ تُبۡدَ
لَكُمۡ عَفَا ٱللَّهُ عَنۡهَاۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٞ ١٠١
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Ayat ini
mengingatkan kepada mausia agar menahan diri, dalam arti tidak menanyakan
tentang masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya, misalnya pada waktu
peraturan perundang-undangan belum diketahui hukumnya, maka permasalahan yang
ada sebaiknya dibiarkan saja sementara waktu. Akan tetapi jika permasalahan itu
dapat diselesaikan melalui kaidah-kaidah umum maka tidak perlu menunggu
lahirnya hukum khusus tentang masalah tersebut. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi yang
artinya:
إن الله فرض فرائض فلا تضيعوها وحد حدودا فلا تعتدوها وحرم أشياء فلا
تنتهكوها وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kamu
sia-siakan dan telah membuat batas-batasnya dan is telah pula mengharamkan
beberapa hal, maka janganlah kamu melanggarnya. Dan
Allah mendiamkan beberapa hal karena rahmat untuk kamu, bukan karena lupa, maka
janganlah kamu membahasnya.”
Dan juga Hadist nabi :
أعظم المسلمين في المسلمين جرما من سأل عن شئ لم يحرم على المسلين فحرم
عليهم من أجل مسألته
“Seberat-berat
kesalahan orang islam terhadap umat islam, ialah seorang yang menanyakan
sesuatu yang tidak diharamkan kepada umat islam. Kemudian ia haramkan kepada
umat islam karena akibat dipersoalkannya.”[14]
Inilah sebabnya para
sahabat dan fuqoha Madinah tidak menyukai pertanyaan tentang masalah-masalah
yang belum terjadi. Dan hadis nabi diatas memberi pengertian:
ألأصل فى الأشياء الإباحة لاالحضر فلا يحرم الا ما ورد نصبتحرمه
“Pokok
hukum adalah segala perkara ialah boleh, bukan haram. Karenanya janganlah
diharamkan melainkan ada nash yang mengharamkannya.”[15]
Diterangkan oleh
Al-Qurtuby bahwasannya Umar Ra. Mengutuk orang-orang yang bertanya tentang
sesuatu hukum yang belum terjadi. Segala perintah dan larangan dalam Al-Qur’an
dapat dikerjakan manusia. Ibadat-ibadat yang diwajibkan oleh Al-Qur’an dapat
ditunaikan tanpa menderita kesukaran yang berat. Muamalat-muamalat selain dari
yang diharamkan diberikan kebebasan kepada kita untuk mengerjakannya asal
sesudah mendapat ridha dari pihak yang terkait.
Di waktu Al-Qur’an
menyebutkan hal-hal yang diharamkan, hal tersebut diperinci satu persatu.[16]
Sedangkan menyangkut yang diperbolehkan, tidaklah demikian keadaannya.[17]
Dan Allah tidak membenarkan kita mengharamkan sesuatu yang tidak dinashkan
keharamannya.[18]
3. Al-Tadrij Fit Tasyri’ (Ditetapkan
Secara Bertahap)
Tiap- tiap masyarakat
tentu mempunyai adat kebiasaan yang berbeda, baik tradisi tersebut merupakan
tradisi yang baik maupun tradisi yang membahayakan mereka sendiri. tradisi
tersebut ada yang bersifat mendarah daging dan ada yang bersifat dangkal.
Bangsa arab, ketika
islam datang, mempunyai tradisi dan kesenangan yang sukar dihilangkan dalam
sekejap mata saja. Apabila dihilangkan sekaligus, akan menimbulkan konflik,
kesulitan dan ketegangan batin[19]
Asas ini dapat kita
lihat dalam hal ditetapkannya hukum- hukum dalam ibadah. Misalnya kewajiban
semula hanya dua kali sehari, yakni pada pagi hari dua rakaat dan pada sore
hari juga dua rakaat. Kemudian, setelah shalat itu memasyarakat, barulah
diperintahkan lima waktu sholat dalam sehari semalam. Kewajiban puasa mulanya
tiga hari dalam sebulan dan ketika puasa ini sudah memasyarakat barulah ada
perintah bahwa puasa ramadhan dilaksanakan selama 1 bulan penuh. Firman Allah
Surat Al- Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ
أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ
وَٱلْفُرْقَانِ
Artinya:
“Bulan
Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan(permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan- penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
antara yang hak dan batil.”
Dan juga dengan hukum
dalam Muamalah juga bertahap, terutama mengenai tingkah laku manusia yang sudah
membudaya, seperti minum minuman keras dan berjudi. Minuman keras dilarang
melalui tiga tahap. Mula- mula minuman keras itu hanya dicela saja, bahwa dosa
dan bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, dengan firman Allah Surat Al-
Baqarah ayat 219:
يَسْـَٔلُونَكَ
عَنِ ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَٰفِعُ
لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
Artinya:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah pada keduanya terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
daripada manfaatnya.”
Ayat ini
tidak secara gamblang menerangkan keharaman khamr dan tidak mengharuskan umat
islam meninggalkannya, sekalipun secara tersembunyi mengandung pengertian
tersebut, karena sesuatu yang mengakibatkan dosa dan bahaya itu seyogyanya
ditinggalkan dan lagi halal/ haramnya sesuatu itu tergantung pada sedikit/
banyaknya maslahat dan mafsadahnya.
Tahap kedua, Allah
melarang orang melakukan shalat dalam keadaan mabuk dengan firman Allah dalam
Surat An-Nisa ayat 43:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ
تَعْلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ
“Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu
shalat dalam keadaan mabuk sehingga mereka mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Ayat ini belum
melarang minum khamr secara total, sebab larangan khamr ini baru dikaitkan
dengan shalat. Kemudian setelah umat islam siap mental menghadapi larangan
khamr secara total, maka turunlah firman yang tegas dan jelas mengharamkan
khamr dalam Surat Al- Maidah ayat 90:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ
وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang- orang yang beriman, sesungguhnya
minum khamr, berjudi, (berkorban untuk)berhala, mengundi nasib dengan panah
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Karena itu, jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Demikian pula
perbuatan zina semula hanya diolok- olok atau dimaki- maki dan dikenakan denda
tahanan rumah dengan firman-Nya dalam surat An-Nisa ayat 15-16:
وَٱلَّٰتِى
يَأْتِينَ ٱلْفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَٱسْتَشْهِدُوا۟ عَلَيْهِنَّ
أَرْبَعَةً مِّنكُمْ ۖ فَإِن شَهِدُوا۟ فَأَمْسِكُوهُنَّ فِى ٱلْبُيُوتِ حَتَّىٰ
يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا وَٱلَّذَانِ
يَأْتِيَٰنِهَا مِنكُمْ فَـَٔاذُوهُمَا ۖ فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا۟
عَنْهُمَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
“Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka
berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.”
Kemudian hukuman
terhadap pelaku zina itu diperberat dengan firman Allah dalam Surat an- nur
ayat 2:
ٱلزَّانِيَةُ
وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا
تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ
ٱلْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.” [20]
4. Mashalihun Lil ‘Ammah
(Memperhatikan Kemaslahatan Manusia)
Hubungan sesama
manusia merupakan manifestasi dari hubungan dengan pencipta. Jika baik hubungan
dengan manusia lain, maka baik pula hubungan dengan penciptanya. Karena itu
hukum islam sangat menekankan kemanusiaan.
Ayat-ayat yang
berhubungan dengan penetapan hukum tidak pernah meninggalkan masyarakat sebagai
bahan pertimbangan. Dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga sendi
pokok yaitu:
1.
Hukum-hukum ditetapkan sesudah
masyarakat membutuhkan hukum-hukum itu.
2.
Hukum-hukum ditetapkan oleh
sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan menundukkan masyarakat
kebawah ketetapannya.
3.
Hukum- hukum ditetapkan menurut
kadar kebutuhan masyarakat.
Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan:
الحكم يدور مع
علته وجودا وعدما
“Ada dan
tiadanya hukum itu bergantung kepada sebab(illatnya).”
لا ينكر تغير
الأحكام بتغير الأزمان
Beberapa contoh
tentang hukum yang berubah karena perubahan illat hukumnya:
a.
Khalifah Umar bin Al- Khattab
tidak memberi prajurit yang ikut berperang hak menerima empat perlima dari
harta rampasan perang, karena negara sangat membutuhkan tambahan sumber
pendapatan guna memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin meningkat.
b.
Khalifah Umar bin Al- Khattab
tidak memberi hak zakat bagi para muallaf(orang yang baru masuk islam), karena
islam sudah cukup dipandang kuat, sehingga tidak perlu orang-orang yang mau
masuk islam karena ingin mendapatkan subsidi negara berupa zakat.
c.
Umar bin Abdul Aziz, seorang
Khalifah dari dinasti umayyah selalu menolak hadiah dari alasan, bahwa hadiah
mengandung unsur/ motif suap, berbeda dengan hadiah pada zaman Rasul, hadiah ya
benar- benar hadiah.[22]
5. Tahkikul ‘Adalah (Mewujudkan Keadilan
yang Merata)
Menurut Syari’at
Islam, semua orang sama. Tidak ada kelebihan seorang manusia dari yang lain di
hadapan hukum. Penguasa tidak terlindungi oleh kekuasaan yang dimilikinya
ketika is berbuat dzalim. Orang kaya dan orang berpangkat tidak dilindungi oleh
harta dan pangkatnya ketika mereka berhadapan dengan pengadilan.[23]
Allah berfirman dalam
Al-Qur’an:
Al-maidah ayat 8:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا
يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ
أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا
تَعۡمَلُونَ ٨
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
An-Nisa’ ayat 135:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ بِٱلۡقِسۡطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوۡ
عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَوِ ٱلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَۚ إِن يَكُنۡ غَنِيًّا
أَوۡ فَقِيرٗا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِهِمَاۖ فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن
تَعۡدِلُواْۚ وَإِن تَلۡوُۥٓاْ أَوۡ تُعۡرِضُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا )١٣٥(
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. Jika
ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Pada zaman
Khalifah Umar bin Khattab, di Mesir terjadi pemukulan secara sewenang-wenang
yang dilakukan oleh anak gubernur terhadap seorang penduduk biasa yang berjalan
mendahului anak gubernur tersebut. Gubernur mesir pada saat itu adalah ‘Amr bin
al-‘Ash. Orang yang dipukul menghadap Umar di Madinah untuk melaporkan
peristiwa yang dialaminya. Umar lalu memanggil gubernur dan anaknya untuk
dimintai pertanggungjawabannya. Kemudian Umar menjatuhkan hukuman qisas
(hukuman yang setimpal dengan kejahatannya, yakni orang yang dipukul itu
diperintahkan untuk membalas pukulannya dengan cara yang sama terhadap anak
gubernur. Bahkan sesudah itu gubernur Mesir diperintahkan oleh umar untuk
memukul anaknya. Kemudian Umar berkata kepada gubernur tersebut:
متى استعبدتم الناس وقد ولدتهم أمها تهم أحرارا
“Sejak
kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu mereka dalam
keadaan merdeka.”
Menurut Islam siapa
saja dituntut untuk berbuat adil baik kepada dirinya sendiri , dengan cara
memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan. Sebagaimana Hadis Nabi:
عامل الناس بما تحب أن يعا ملوك
“Perlakukanlah
manusia dengan perlakuan yang engkau senang mereka memperlakukan kamu seperti
itu.”[24]
Dalam Islam terdapat
kaidah-kaidah umum yang harus diperhatikan dalam menerapkan hukum, yaitu:
a.
Mewujudkan keadilan
Kebanyakan
filosof menganggap bahwa keadilan merupakan tujuan tertinggi dari penerapan
hukum. Hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa
bertahan lama. System hukum yang tidak punya akar substansial pada keadilan dan
moralitas akhirnya akan terpental. Dimana keadilan hukum haruslah berlaku
seragam untuk seluruh warga negara tanpa adanya diskriminasi.
b.
Keadilan social, ialah memberi
kesempatan yang sama terhadap setiap orang untuk bekerja menurut kemampuan dan
keahliannya, dan bagi mereka yang belum mampu bekerja karena masih dibawah umur
atau bagimereka yang sudah tidak mampu bekerja karena sudah terlanjur lanjur
usianya atau cacat fisik dan mentalnya dll. Maka mereka harus diberi bantuan
untuk kebutuhan hidupnya.
c.
Mendatangkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat.
d.
Menetapkan hukum yang sesuai
dengan keadaan darurat. Dimana jika terjadi sesuatu yang tidak diperbolehkan
dalam keadaan normal, boleh dilakukan dalam keadaan darurat.
e.
Pembalasan harus sesuai dengan
dosa yang dilakukan.
f.
Setiap manusia memikul dosanya
masing-masing.[25]
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Kata asas berasal dari Bahasa Arab yang memiliki arti dasar, alas, dan
fundamen.sedangkan yang dimaksud dengan Asas Hukum Islam adalah suatu kebenaran
yang menjadi pokokdasar atau tumpuan hukum Islam. Dalam objek kajian filsafat
hukum islam asas-asas atau tiang pokok pembinaan hukum islam disebut dengan Da’aimut Tasyri’.
2.
Macam-macam
Da’aimut Tasyri’:
a.
Adamul
Haraj
Meniadakan kepicikan, artinya
hukum islam dibuat dan diciptakn itu berada dalam batas-batas kemampuan para
mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada
tantangan. Apabila muncul kesukaran yang digugurkan bukan hukum islam melainkan
melahirkan hukum rukhsah.
b.
Qillatul
Taklifi
Tidak membahayakan Taklifi,
artinya hukum islam itu tdak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
c.
Tadarruj
fit Tasyri’
Bertahap, artnya pembinaan
hukum islam berjalan setahap demi setahap sesuai dengan tahapan perkembangan
manusia.
d.
Mashalihun
lil ‘Ammah
Hukum islam seiring dengan
perkembangan dan kebutuhan di lingkungannya.
e.
Tahkikul
‘Adalah
Keadilan merata, artinya hukum
islam harus diterapkan dalam semua aspek kehidupan tanpa diskriminasi suku,
budaya, profesi, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Fathurrahman, Filsafat hukum
islam, Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1990.
Hasbi
As-Shiddieqy, Muhammad, Falsafah
Hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra, 2001.
Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN Malang Press, 2007.
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Hukum Islam, Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi, 1990.
S. Praja, Juhaya, Filsafat Hukum Islam, Bandung:
Pusat Penerbit Universitas LPPM, 1995.
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial,Jakarta:
PT Grafindo Persada, 1996.
[3]
Ahmad Hanafi, 1990, Pengantar Filsafat
Islam, Bulan Bintang: Jakarta.hlm.3.
[4] Ibid
[5]
Muhammad Hasbi As-Shiddieqy, 2001, Falsafah
Hukum Islam, PT, Pustaka Rizki Putra: Semarang.hlm.58.
[6]
Masjfuk Zuhdi,1990, Pengantar Hukum
Syariah, CV.Haji Masagung:Jakarta.hlm. 21.
[12]
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 2001, Falsafah
Hukum Islam, PT Pustaka Rizki Putra: Semarang.hlm.61
[14]
Masjfuk Zuhdi,op.cit.,hlm.23-24
[16] QS.
Al-maidah: 4; QS. An-Nisa’: 22.
[17]
QS.Al-Baqarah:29; QS. Al-Maidah:6.
[18] QS.
Al-An’am:119.
[24]
Masjfuk Zuhdi, op.chit ,.hlm.32
Komentar
Posting Komentar