MAKALAH TEOSOFI: PENGERTIAN DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

MAKALAH
TEOSOFI: PENGERTIAN DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas kelompok
 Mata Kuliah Teosofi Semester 3
Dosen Pengampu : Ruma Mubarak, M.Pd.I





Oleh Kelompok 5 :

Ali Hasan Assidiqi       (16110048)
Mochammad Ilyas      (16110078)
Nanda Fadhilah          (13130003)






KELAS B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN PELAJARAN 2017

BAB I
PENDNAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kepercayaan suatu agama merupakan pokok dasarnya. Islam sebagai agama yang mengingkari agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama berhala, merasa perlu menjelaskan pokok-pokok dasar ajaran agamanya dan segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya. Al- Qur’an dan hadist Nabi Muhmmad saw banyak membicarakan tentang wujud tuhan, keagungan, dan keesaanNya. Al- Qur’an terutama, menyebutkan untuk tuhan sifat-sifat yang banyak sekali, dimana sebagiannya bertalian dengan zat tuhan sendiri, dan sebagian lagi menyatakan dengan macamnya hubungan dengan makhluknya. Seperti mendengar, melihat, maha adil, menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, dan seterusnya.
            Akan tetapi gaya (uslub) bahasa ayat-ayat al- Qur’an dan hadis-hadis tersebut lebih mendekati pada gaya percakapan, memberi nasehat dan petunjuk, dari pada gaya penguraian secara ilmiah. Kita tidak dapat mengatakan al- Qur’an dan hadis Nabi berisi uraian yang teratur dan sistematis tentang kepercayaan dan meletakkan metode yang lengkap serta mencakup untuk Ilmu Tauhid (teologi islam) dan juga ilmu sufimisme (tasawuf). Dalam dua pembahasan tersebut, maka dijadikan satu ungkapan yaitu teosofi.
            Teologi sendiri sebagaimana yang kita diketahui yakni membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama secara keseluruhan[1]. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman. Sedangkan ilmu sufimisme atau tasawuf sendiri lebih mengarah terhadap ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin untuk memperoleh kebahagian yang abadi[2].

            Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam makalah ini penulis menjelasakn tentang pengertian teosofi yang merupakan gabungan dari teologi dan sufimisme serta tentang sejarah perkembangannya sebagai langkah awal dalam memahami dan mengetahui tentang ilmu teolofi dan sufimisme dalam mata kuliah teosofi.
B.        Rumusan Masalah
Dalam makalah ini yang merumuskan masalah tentang pengertian teosofi yang meliputi pengertian teologi (aliran agama) dan sufimisme (tasawuf) serta sejarah perkembangan dari teologi dan sufimisme zaman dahulu hingga sekarang.
C.      Tujuan Masalah
Dalam Makalah ini, yaitu bertujuan sebagai suatu pengantar Media atau perantara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memperluas Ilmu terutama tentang teosofi (teologi dan sufimisme) dan sejarah perkembangannya agar menjadi pondasi atau bekal terhadap memperluasakannya ilmu menjadi insan kamil di dunia dan akhirat.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Teosofi
Teosofi berasal dari kata inggris yaitu theosophy yang diambil dari kata theos (Allah) dan Sophia (kebijakan). Namun jika di lihat dari aspek keseluruhan menjelaskan bahwa Teosofi merupakan gabungan dari kata Theos atau yang biasa dikenal teologi. Sedangakan Sophia biasanya dikenal dengan sufimisme atau tasawuf. Dari kutipan penjelasan tersebut, maka disimpulkan bahwa teosofi adalah teologi dan sufimisme.
B.        Pengertian Teologi
Teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan, sehingga disimpulkan bahwa teologi merupakan ilmu pengetahuan tentang tuhan[3].
Sedangkan jika kita merujuk kepada beberapa ahli seperti menurut Maulana dkk mengemukakan bahawa teologi secara arfiah berarti teori atau study tuhan yang dalam aspek praketknya dipakai untuk mengetahui kumpulan doktrin-doktrin (ajaran-ajaran) dari kelompok keagamaan tertentu atau individu[4]. Bukan hanya itu, menurut buku catatan di dalam buku The New Oxford Ilustrated Dictionary (1978-1736) pengertian teologi dinyatakan sebagai: science of religion, study of god or gods and of attributes and relation with man etc yang berarti ilmu agama, study tentang tuhan yang Maha Esa atau para dewa tentang atributnya dan hubungannya dengan manusia dan sebagainya[5]. Dari semua pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tologi adalah ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan yang dalam prakteknya dipakai untuk mengetahui doktrin-doktrin atau aliran agama.
C.       Sejarah dan Perkembangannya Teologi
1.         Zaman Yunani Kuno
Periode Yunani merupakan periode terpenting dalam sejarah peradaban manusia. Hal ini disebabkan karena pada saat itu terjadi perubahan pola pikir mitosentris yaitu pola pikir yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam. Pada saat itu, gempa bumi bukanlah suatu fenomena biasa melainkan suatu fenomena di mana Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya.
Pada periode ini muncullah filosof pertama yang mengkaji tentang asal usul alam  yaitu Thales (624-546 SM). Pada masa itu, Ia mengatakan bahwa asal alam adalah air karena unsur terpenting bagi setiap makhluk hidup adalah air. Air dapat berubah menjadi gas seperti uap dan benda padat seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air. Sedangkan Heraklitos berpendapat bahwa segala yang ada selalu berubah dan sedang menjadi. Ia mempercayai bahwa arche (asas yang pertama dari alam semesta) adalah api. Api dianggapnya sebagai lambang perubahan dan kesatuan. Api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada dan mengubah sesuatu tersebut menjadi abu atau asap.
Zaman keemasan atau puncak dari Yunani Kuno atau Klasik, dicapai pada masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates adalah seorang guru. Setiap kali socrates mengajarkan pengetahuannya, Socrates tidak pernah memungut bayaran kepada murid-muridnya. Oleh karena itulah, kaum sofis menuduh dirinya memberikan ajaran baru yang merusak moral dan menentang kepercayaan negara kepada para pemuda. Kemudian ia ditangkap dan dihukum mati dengan minum racun pada umur 70 tahun yakni pada tahun 399 SM.
Plato lahir di Athena, dengan nama asli Aristocles. Ia belajar pemikiran dari Socrates, Pythagoras, Heracleitos, dan elia. Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan  lama yakni mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenidas). Pengetahuan yang diperoleh lewat indera disebutnya sebagai pengetahuan indera dan pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebutnya sebagai pengetahuan akal. Plato menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap dan dunia ide yang bersifat tetap. Dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas adalah dunia ide. Menurut Plato ada beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas jika manusia tidak mengetahuinya, masalah tersebut adalah[6]:
a.    Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai penciptanya.
b.   Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat manusia.
c.    Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara berifikir.
d.   Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.
1.         Zaman Islam
a.         Sejarah Timbulnya Teolgi Islam
Benih ilmu teologi islam berdasarkan realitas historis sebenarnya telah muncul sejak Nabi Muhammad masih hidup fakta adanya sahabat yang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang “Al-qadar”, sebuah tema yang pada masa selanjutnya menjadi topik pembicaraan teologi islam, setidaknya adalah argumen yang memperkuat pernyataan diatas. Hal ini kalau kita sepakat dengan apa yang dijelskan oleh Louis Gardet dan Anawati bahwa teologi islam dimulai dengan adanya kajian terhadap teks Al-Qur’an yang nantinya menjadi topik pembicaraan teologi. Namun demkian, teologi islam mulai mempunyai bentuk yang definitif sejak periode kebangunan semangat kritis masuknya filsafat yunani dengan tuntutan rasionalnya sangat berpengaruh besar di kalangan masyarakat muslim dan menimbulkan kehausan akan pengetahuan filosofis kegelisahan untuk menjelaskan hal-hal yang di imani, dan keinginan untuk mengkoordinasikan keseluruhan pengetahuan manusia. Walaupun suatu pernyataan yang tidak dapat kita nafikan bahwa  konflik politik dikalangan umat islam merupakan “ragi” yang mewarnai tumbuhnya teologi islam di masa awal.[7]
Ketika Nabi Muhammad wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatars pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh Semenanjung Aarabia. Negara islam diwaktu itu, seperti digambarkan oleh W.M. Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekkah sebagai intinya.
Islam sendiri, sebagai kata R. Strothmann, disamping merupakan sistem agama telah pula merupakan sistem politik dan Nabi Muhammad disamping Rosul telah pula menjadi seorang ahli negara.
Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti belian untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka timbullah soal khalifah,soal pengganti Nab Muhammad sebagai kepala negara.
b.         Sejarah Perkembangan Teolgi Islam Pada Zaman Khulafaurrasyidin
Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat islam di waktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka. Kemudian Abu Bakr digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab dan ‘Umar oleh ‘Usman Ibn ‘Affan.
‘Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalaman dagang merekamempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrsi daerah-daerah diluar Semenanjung Arabia yang berambah banyak masuk kebawah kekuasaan islam. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan islam. gubernur-gubernur yang diangkat oleh ‘Umar Ibn al-Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang yang kuat dan tak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh ‘Usman.[8]
Khalifah ‘Usman bin Affan tentu dengan tanpa mengingkari jasa dan keistimewaannya sebagai seorang sahabat tercatat sebagai khalifah yang kurang ideal, khususnya sejak dekade enam tahun terakhir dari masa kekhalifahannya. Pandangan semacam itu setidaknya didasarkan pada langkah dan kebijakan polotik khalifah Usman bin Affan, yang oleh banyak kalangan dianomalikan sebagai “nepotisme”, meskipun tidak bisa dipungkiri sebenarnya hal itu lebih merupakan dampak dari begitu kuatnya desakan kaerabat dekat Usman dari klan Bani Umayyah. Terlepas dari klaim-klaim politis yang telah ada, bahwa kebijakan politik tersebut oleh banyak tokoh dan pembesar ummat islam pada masa itu dipandangnya sebagi suatu tindakan yang kurang adil dan bijaksana.[9]
Tindakan politik yang dijalankan 'Usman ini bukan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat Nabi yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini, perasaan tidak senang muncul dari daerah-daerah. Mulailah timbul kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Anfal - 46, yang artinya:
وَأَطِيْعُواْ اللَهَ وَرَسُولَهُ, وَلَا تَنَزَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْ هَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إنَّ اللَهَ مَعَ الصَّبِرِيْنَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya  Allah beserta orang-orang yang sabar”.[10]
Dari Mesir, sebagai reaksi terhadap dijatuhkannya 'Umar Ibn Khattab al-'As kemudian digantikan oleh Abdullah Ibn-Sa'd Ibn Abi Sarh, Lima Ratus pemberontak berkumpul kemudian bergerak ke Madinah yang mana mereka akan membunuh khalifah 'Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Messir.
Setelah 'Usman wafat  'Ali sebagai khalifat yang ke empat. Tetapi ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah' terutama Thalhah dan Zubeir dari Makkah yang mendapat sokongan dari 'Aisyah. Tantangan dari 'Aisyah-Thalhah-Zubeir ini dipatahkan 'Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656. Thalhah dan Zubeir mati terbunuh dan 'Aisyah dikirim kembali ke Makkah.
Tantangan kedua datang dari Mu'awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat bagi 'Usman. Sebagaimana Thalhah dan Zubair tidak meu mengakui 'Ali sebagai khalifah. Ia menurut kepada 'Ali supaya menghukum pembunuh 'Usman, bahkan ia menuduh 'Ali turut campur dalam soal pembunuhan, salah seorang pemuka pemberontak Mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh 'Usman adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari 'Ali Ibn Abi Talib. Dan pula 'Ali tidak mengambil  tindakan keras terhadap pemberontak bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi gubernur Mesir.
Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, tentara 'Ali dapat mendesak tentara Mu'awiyah sehingga yang tersebut akhir ini bersiap untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu'awiyah 'Amr Ibn al-'As yang terkenal sebagai orang licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Qurraa' yang ada dipihak 'Ali mendesak 'Ali supaya 'Ali menerima tawaran itu dengan mengadakan arbitase. Sebagai pengantara di angkat dua orang: 'Amr Ibn al-As dari pihak Mu'awiyah dan Abu Musa al-Asy'ari dari pihak 'Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan 'Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Keduanya terdapat kemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, 'Ali dan Mu'awiyah. Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy'ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr Ibn al-'As, mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan 'Ali yang telah diumumkan al-Asy'ari tetapi menolak penjatuhan Mu'awiyah.
Peristiwa yang merugikan bagi 'Ali dan menguntungkan bagi Mu'awiyah. Sedangkan Mu'awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada 'Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi.Tidak diherankan kalau putusan ini ditolak 'Ali dan tak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh ditahun 661M.[11]
Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah muncul ketika berlangsungnnya peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Sebagai respon atas penamaan Ali terhadap arbitrase yang ditawar Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali-kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali kelak disebut Khawarij.[12]
Karena memandang ‘Ali bersalah dan berbuat dosa besar, mereka melawan ‘Ali. ‘Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Mu’awiyah dari satu pihak dan khawarij dari pihak lainnya. Karena selalu mendapat serangan dari pihak kedua ini, ‘Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan kaum khawarij, tetapi setelah mereka ini kalah, tentara ‘Ali telah terlalu capai untuk meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah ‘Ali bin Abi Thalib wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah ummat islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan diatas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbulah siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari islam dan siapa yang masih tetap dalam islam.
Khawarij memandang bahwa ‘Ali, Mu;awiyah, Amr ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ary dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena al-Quran mengatakan:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاؤُلَئِكَ هُمُ الْكَا فِرُوْنَ
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Dari ayat inilah merek mengambil semboyan La hukma illa lillah karena keempat pemuka islam diatas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali bin Abi Thalib yang berhasil dalam tugasnya.[13]
c.          Perkembangan Teologi Islam Pasca Khulafaurrasyidin
1)         Khawarij
Khawarij secara bahasa diambil dari bahasa Arab Khowaarij, secara harfiah berarti mereka yang keluar. Istilah Khawarij adalah istilah umum yang mencangkup sejumlah Aliran dalam Islam yang pada awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, berpusat didaerah yang kini terletak dibagian negara Irak Selatan dan merupakan bentuk yang berbeda dari Kaum Sunni.
Kebanyakan dari kaum Khawarij adalah Arab Dusun yang tinggal dikawasan pegunungan dan karena itu hidup dengan sangat sederhana. Mereka sangat keras hati tetapi amat taat menjalankan agama. Karena pemikirannya yang sederhana, Khawarij mengartikan Al-Qur’an benar-benar secara tekstual, tetapi betapapun beratnya mereka toh melaksanakannya.
Aliran Khawarij dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib R.A. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Muawaiyah yang dikomandani oleh Amr Ibn Ash dalam perang Siffin.[14]
Mereka mengangkat seorang kepala diantara mereka, yaitu Abdullah bin Wahab Ar-Rasyidi. Mereka menamakan dirinya dengan Kaum Khawarij, yang berarti orang-orang yang keluar pergi untuk berperang dalam rangka menegakkan kebenaran, sebagai mana disebutkan dalam Q.S. An-Nisa’ 100
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Paham Khawarij ini bertambah maju setelah melihat kegagalan Ali dalam perundingan “Tahkim”. Paham Khawarij ini dianggap benar oleh umum. Mereka terkenal keras dan berani berjuang mati-matian untuk menegakkan pahamnya.
2)         Murji’ah
Kata Murjiah berasal dari kata bahasa Arab arja’a yurji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriayah. Pendirinya tidak diketahui secara pasti, tetapi syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Galian ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murjiah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoallan konflik politik anatra Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikaitersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murjiah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan hukuman baginya
3)         Mu’tazilah
Mereka adalah pengikut dari Abul Husail bin ‘Atha’ yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri. Yang menebabkan mereka berpisah dari Hasan ialah masalah “murtakibil kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Orang yang melakukan dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya, orang itu bukan mukmin juga tidak kafir. Menurut kaum mu’tazilah sumber pengetahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Atas dasar inilah orang berpendapat bahwa timbulnya aliran mu’tazilah merupakan lahirnya aliran rasionalisme di dalam islam. Namun, rasionalitas Mu’tazilah dianggap kurang mematikan dalam melawan gerakan lainnya[15].
Penganut aliran mu’tazilah dijuluki “ahlul-tauhid wal-adli” sebab aliran ini lebih menonjolkan mengenai keesaan Tuhan dan keadilan Tuhan. Masalah-masalah yang menjadi pembahasan kaum Mu’tazilah terdiri dari lima pokok dan kelima prinsip tersebut yakni : Tauhid (Ke-Esaan Tuhan), al-‘adl (keadilan Tuhan), al wa’dul wal wa’id (janji dan ancaman), manzilat dua manzilat, dan amar ma’ruf nahi munkar dengan berpegang pada QS. Ali Imron 104:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أمَّةٌ يَدْعُوْنَ إلَى الْخَيْرِوَيَأْ مُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ ويَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”.[16]
4)         Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Hasan Basri adalah seorang ahli sunnah wal jama’ah. Namun ini tidak pernah menonjol sebelumnya sebagai satu golongan. Dapat diketahui bahwa islam adalah ajaran-ajaran yang diterima dari tangan manusia pertama Rasulullah yang oleh beliau dilanjutkan ke tangan para sahabat dan turun temurun disambut oleh manusia dari masa ke masa secara terus menerus tanpa terputus. Dalam perkembangannya, ahli sunnah wal jama'ah memiliki dua aliran: asyariyah dan al-maturidiyah.
a.          Aliran Asyariyah
Adalah suatu aliran yang muncul sebagai reaksi terhadap paham theologi islam yang telah mendahuluinya. Pada mulanya asyariyah adalah seorang pengikut aliran Mu'tazilah, tetapi kemudian mereka kembali meniti jalan salaf ash shalih. Dalam menentukan berbagai persoalan khilafiyah. Bahkan dengan terang-terangan mereka mengumandangkan bahwa mereka adalah pengikut Ahmad bin Hambal[17]. Banyak yang bertentangan dengan i'tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad SAW. Pandangan teologis asyari meliputi masalah Iman, Akal,  Wujud Tuhan, Zat dan Sifat Tuhan, Kalamulloh (Al-Qur'an), Arah dan Ru'yah, Kekuatan dan Keadilan, Serta Qadla dan Qadar Tuhan.
Al-Asyari berpendapat bahwa Al-Qur’an bersifat qadim, tidak diciptakan. Dasar dari pendapat ini dalam Surah An-Nahl : 40
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia.[18]
b.         Al-Maturidiyah   
Dalam aliran maturidiyah peranan akal atau rasio memiliki tempat yang penting didalam menyusun konsep teologinya. Akal atau rasio dapat membantu manusia untuk memahami adanya Allah, sifat dan zat Allah. dan juga dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an seperti tentang: perbuatan manusia, kedudukan dosa besar, fungsi akal bagi Al-Qur'an, mengenai hari kebangkitan dihari kiama, sifat Allah.Bagaimanapun, yang dimaksud dengan ahli sunnnah dan jamaah didalam lapangan teologi islam adalah kaum Asy'ariyah dal maturidi[19].
Al-Maturidiyah mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberikan dalam QS. Al-Qiyamah 22 dan 23:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
Dan wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri.
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Kepada Rabb-nyalah mereka melihat.[20]
5)         Jabariyah
Adapun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan Al-qasimi adalah jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya Aliran Qadariyah. Aliran ini menganggap bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh tuhan.
Dasar pemahaman aliran Jabariyah ini dijelaskan dalam Al-Qur’an QS. Al Shaffat 96 :
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu[21]
D.       Pengertian Sufimisme
Sufimisme atau yang lebih dikenal dengan tasawuf merupakan ilmu untuk mengetahui bagaimana cara mensucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta memperoleh kebahagian yang abadi[22]. Sedangakan jika ditinjau dari segi etimologi bahwa kata “Sufi” secara pandangan umum diambil dari kata suf yang merujuk pada jubah dari wol. Namun tidak semua sufi mengunkan jubah, sehingga ada yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari kata saf ketika dalam shalat. Sedangkan suatu teori etimologi yang lain menyatakan bhawa sufi berarti kemurnian yang lebih menekankan pada sufimisme.[23] Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sufimisme adalah tasawuf yang mempelajari ilmu kemurnian dalam mensucikan jiwa secara lahir dan batin dalam menggapai kebahagian yang abadi.

E.        Sejarah dan Perkembangannya Sufimisme
1.         Masa Pembentukan
Tasawuf berasal dari kehidupan Rasulullah. Berkatalah Syeh Abdul Baqy Surur, bahwa tahannus Rasulullah di Goa Hira, merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf atau itulah benih-benih pertama bagi kehidupan rohaniyahyang disebut dengan ilham hati atau renungan-renungan rohaniyah. Dalam hal ini, maka ahli-ahli tasawuf memandang pekerjaan Rasulullah sehari-hari merupakan dasar ilmu tasawuf. Oleh karena itu mereka memandang Rasulullah imam besar dan guru pertama dari tasawuf.    
Abad 1 H bagian kedua Hasan Basri dengan ajaran khouf tampilnya guru-guru yang lain yang dinamakan qori’ mengadakan gerakan yang memperbaharui hidup kerahanian dikalangan kaum muslimin. Telah dianjurkan mengurangi makan, menjauhkan diri dari karamain duniawi, mencela dunia. Anjuran tersebut menyimpulakan bibit tasawuf sudah ada sejak itu.
      Abad II H tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya. Persamaannya terdapat dalam corak kezuhudan, namun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini adalah adanya kenyataan pendangkalan ajaran agama dan formalisme dalam melaksanakan syariat agama.
      Abad I dan II Hijriyah disebut dengan fase zuhud (asketisme), sikap zuhud para sufi salafi merupakan awal kemunculan tasawuf, pada fase zuhud ini terdapat para sufi salafi yang lebih cenderung beribadah kepada Allah untuk mensucikan dirinya dari segala dosa dan kesalahan masa lalu. Mereka mengamalkan konsep zuhud dalam kehidupan yaitu tidak terlalu mementingkan makanan enak, pakaian mewah, harta benda melimpah, rumah megah, tahta, pangkat, jabatan dan wanita cantik, tetapi mereka lebih mementingkan beramal ibadah untuk kepentingan akhirat dengan rajin mendekatkan diri kepada Allah.
      Abu al-wafak menyimpulkan zuhud islam abad 1 dan 2 H mempunyai karakter yaitu[24]:
a)         Menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakal pada nas agama, yang dilator belakangi sosio-politik.
b)         Masih bersifat praktis.
c)         Motif zuhutnya adalah rasa takut.
d)        Menjelang akhir abad 2 H, sebagian zahid menandai analisis yang dipandang sebagai fase pendahuluan   tasawuf atau cikal bakal pendirita sawuf falsafi abad III dan IV H.
2.         Masa Pengembangan
Abad III dan IV H corak tasawuf sangat berbeda dengan abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf bercorak kefanaan, yang menjurus kebersatuan hamba dengan kholik. Abu yazid Al-Bustami adalah seorang sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fanak dan memasukkan ide wahdatul wujut. Beberapa pandangan Abu Yazid antara lain, artinya: “Aku keluar dari yang haq kepada yang haq sehingga dia berteriak hei zad kau adalah aku”.
Fanak merupakan persyaratan bagi seseorang untuk dapat mencapai hakikat ma’rifat. Sesudah Abu Yazid Al-Bustami lahirlah seorang sufi yaitu Al-Halaj dengan teorinya Al-Hulul. Menurutnya manusia mempunyai dua sifat yakni sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan dalam dirinya. Pencampuran antara ruh dengan tuhan diumpamakan oleh Al-Halaj bagaikan bercampurnya air dengan khomer.
Pada akhir abad III orang-orang berlomba menyatakan pemikirannya tentang kesatuan kesaksian,  kesatuan kejadian, kesatuan agama, dansebagainya. Yang semua itu tidak mungkin dicapai oleh para sufi kecuali dengan latihan yang teratur.
Pada abad III Dan IV H ini bisa dibilang bahwa perkembangannya telah mencapai kesempurnaan. Tokoh abad ke III, yaitu   :Abu Sulaiman Ad-Darani (W.215 H), Ahmad bin Al-Hawary Ad-Damasqiy (W.230 H), Dzun An-Nun Al-Misri (155 H-245 H), Abu Yazid Al-Bustami (W.261H), Junaid Al-Baghdadi (W.298 H), Al-Hallaj (lahir tahun 244 H)
Tokoh abad IV :Musa Al-Anshary (W.320 H), Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy (W.322 H), Abu Zaid Al-Adamy (W.314 H), Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab As-Saqafy  (W.328 H).
3.      Masa Konsolidasi
      Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya
Pada abad V H mengadakan konsolidasi dimasa ini ditandai kompotensi dan pertarungan antara suni dan semi falsafi yang di menangkan oleh tasawuf suni dan dapat berkembang. Kemenangan ini dikarenakan teologi ahlisunnah wal jama’ah  yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu yazid Al-Bustami dan Ahlaj. Al-qusyairi adalah seorang tokoh sufi pertama abad V H, dia berusaha mengembalikan tasawuf pada landasannya Al-Qur’an dan Hadis. Tokoh abad V H: Al-Qusyairi (W.465 H), Al-Harawi (lahir 396 H), Al-Ghazali (W.405 H)
4.      Masa Filsafi
      Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa ( dzauq ) dan rasio ( akal ), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman – pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayalan.
      Tasawuf falsafi muncul pada abad VI H, Ibn Kholdun menyimpulkan bahwa tasawuf filsafi mempunyai 4 obyek utama[25], yaitu:
a)      Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya.
b)      Illuminasi atau yang tersingkap dari alam ghaib.
c)      Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
d)     Pemakaian ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyat).
Tokoh abad VI: As-Suhrawardi Al-matul (W.587 H), Al-Ghasnawy (w.545 H)
5.      Masa Kemurnian
      Pengaruh dan praktik kian tersebar luas melalui tarekat para sultan. Tasawuf pada masa itu ditandai bid’ah, khurufat, mengabaikan syari’at dan hukum-hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, berbentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, denagn menampilkan amalan yang irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan.
      Tokoh abad VII    :Ibnul farid, Ibnu Sabi’in, Jalaluddin Ar-Rumy Pada abad ini ahli tasawuf bergerak dalam kegiatan yang dirahasiakan sehingga pemerintah sangat mengkhawatirkan hal itu. Untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat pemerintah menjalankan kewenangannya yang berakibat tertangkapnya para sufi dan beberapa diantaranya melarikan diri ke Negara lainsehingga negeri Arab dan Persia sunyi dari kegiatan ahli tasawuf.
Ibn Taimiyah membagi fanak menjadi 3 bagian, yaitu:
a)      Fanak Ibadah, yakni fanak dalam beribadah.
b)      Fanak Syuhud Al-Qolb, yakni fanak pandangan hati.
c)      Fanak Wujud Ma Siwa Allah, yakni fanak wujud selain Allah.
        Ibn taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah yakni menjelaskan dan menghayati ajaran islam, tanpa embel-embel lain, tanpa mengikuti aliran tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan social, sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan dimasa modern seperti sekarang.
Terlewatnya abad VII H dan memasuki abad VIII tidak terdengar perkembangan atau pemikiran baru dalam tasawuf. Pada abad ini ada seorang tokoh yang berusaha memurnikan ajaran tasawuf dari unsur-unsur falsafat yaitu Ibnu Tamiyah.
6.         Abad IX, X dan sesudahnya.
Dalam beberaa abad ini, ajaran tasawuf mulai memudar di dunia islam. Peneliti muslim menarik kesimpulan bahwa ada 2 faktor yang sangat menonjol penyebab runtuhnya pengaruh ajaran tasawuf di dunia islam[26]:
a)         Ahli tasawuf kehilangan kepercayaan dikalangan masyarakat islam karena beberapa diantara mereka terlalu menyimpang dari ajaran islam yang sebenarnya.
b)         Penjajah bangsa Eropa yang beragama Nasrani telah menguasai seluruh negeri islam.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Teosofi berasal dari kata inggris yaitu theosophy yang diambil dari kata theos (Allah) dan Sophia (kebijakan). Namun jika di lihat dari aspek keseluruhan menjelaskan bahwa Teosofi merupakan gabungan dari kata Theos atau yang biasa dikenal teologi. Sedangakan Sophia biasanya dikenal dengan sufimisme atau tasawuf. Dari kutipan penjelasan tersebut, maka disimpulkan bahwa teosofi adalah teologi dan sufimisme.
Teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan, sehingga disimpulkan bahwa teologi merupakan ilmu pengetahuan tentang tuhan[27]. Sedangkan sufimisme yang lebih dikenal dengan tasawuf merupakan ilmu untuk mengetahui bagaimana cara mensucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta memperoleh kebahagian yang abadi[28].
Sedangkan jika kita melihat sejarah dan perkembangannya maka untuk teologi terbagi menjadi dua yaitu zaman yunani kuno (sebelum Islam ada) dan zaman Islam (mulai dari zaman rasullulah sampai zaman setelahnya). Begitupula dengan perkembangan sufimisme yang terdapat enam masa sebagai bentuk perkembangan dan sejarahnya, seperti: masa pembentukan, pengembangan, konsolidasi, filasafi, kemurnian, dan Abad XI, X serta selanjutnya.
  
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 2002. Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Muhtar, Qashim. 2005. Sejarah Teologi dan Etika Agama Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Shatz, David. 2002. Philoshopy And Fath: A Philosophy Of Religion Reader.
Amerika Serikat: The MeGaw-Hill Companies.
Esha, Muhammad In’am. 2008. Teologi islam: Isu-isu Kontemporer. Malang:UIN-
Malang Press.
Muniron. 2015. Sejarah, Metode, Ajaran, dan Analisis Perbandingan. Jember:
STAIN Jember Press.
Moechtar, Hadlari. 2014. Pedoman Ilmu Kalam Program Studi Islam Jilid I
Bondowoso: MAN Bondowoso Press
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Anshoru, M. Subkhan. 2011. Filsafat Islam antara Ilmu dan Kepentingan. Kediri:
Pustaka Azhar.
Mustofa, Muhammad Asy Syak’ah. 1994. Islam tidak bermadzab. Jakarta: Gema
Insani Press.
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas. 2015. Sejarah Pemikiran Islam : Teologi –
Ilmu Kalam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Kabbani , Syekh Muhammad Hisham. 2004. The Naqsabandi Sufi Tradition
Guidebook of Daily Practices and Devotion. Jakarta.
Arsipide. 2016. Sejarah dan Perkembangan Tasawuf (online)
evendimuhtar. 2014. Sejarah perkembangan tasawuf (online)
Wikipedia. 2017. Sufimisme (online) https://id.m.wikipedia.org/wiki/sufisme.html
diakses pada 5 September 2017
Googleweblight. 2017. Pengertian teologi (online)
Mampermainsztre. 2014. Sejarah perkembangan ilmu pemikiran (online)




[1] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2002), hlm. ix
[4] Qashim Muhtar, Sejarah Teologi dan Etika Agama Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005), hlm. 147
[5] David  Shatz, Philoshopy And Fath: A Philosophy Of Religion Reader, (Amerika Serikat: The MeGaw-Hill Companies, 2002), hlm. xi
[7]Muhammad In’am Esha, Teologi islam: Isu-isu Kontemporer, (Malang:UIN-Malang Press, 2008), hlm. 1-2.
[8]Harun Nasution, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan  (Jakarta:  Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm. 5-6
[9]Muniron, Sejarah, Metode, Ajaran, dan Analisis Perbandingan (Jember: STAIN Jember Press, 2015), hlm.11.
[10]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam Program Studi Islam Jilid I (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014), hlm. 102.
[11] Harun Nasution, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:  Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm. 6-8
[12] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.28
[13]Harun Nasution, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:  Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm. 9
[14]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam Program Studi Islam Jilid I (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014),hlm. 109
[15]M. Subkhan  Anshoru, Filsafat Islam antara Ilmu dan Kepentingan (Kediri:PustakaAzhar, 2011), hlm. 9
[16]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam Program Studi Islam JilidI (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014),hlm. 150
[17]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam tidak bermadzab (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 385.
[18]M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam : Teologi – Ilmu Kalam (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2015), hlm. 105
[19]Harun Nasution,Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986),hlm. 65
[20]A. HadlariMoechtar,PedomanIlmuKalam Program Studi Islam JilidI (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014), hlm.164
[21]A. HadlariMoechtar,PedomanIlmuKalam Program Studi Islam Jilid I(Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014, hlm. 141
[23] Syekh Muhammad Hisham Kabbani. The Naqsabandi Sufi Tradition Guidebook of Daily Practices and Devotion. 2004, hlm. 83

Komentar

Posting Komentar