MAKALAH
TEOSOFI: PENGERTIAN DAN
SEJARAH PERKEMBANGANNYA
Makalah ini disusun
untuk menyelesaikan tugas kelompok
Mata Kuliah Teosofi Semester 3
Dosen Pengampu : Ruma
Mubarak, M.Pd.I
![](file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
Oleh Kelompok 5 :
Ali Hasan Assidiqi (16110048)
Mochammad Ilyas (16110078)
Nanda Fadhilah (13130003)
KELAS B
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UIN MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
TAHUN PELAJARAN 2017
BAB
I
PENDNAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kepercayaan suatu agama merupakan pokok dasarnya.
Islam sebagai agama yang mengingkari agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama
berhala, merasa perlu menjelaskan pokok-pokok dasar ajaran agamanya dan
segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya. Al- Qur’an dan hadist Nabi Muhmmad saw
banyak membicarakan tentang wujud tuhan, keagungan, dan keesaanNya. Al- Qur’an
terutama, menyebutkan untuk tuhan sifat-sifat yang banyak sekali, dimana sebagiannya
bertalian dengan zat tuhan sendiri, dan sebagian lagi menyatakan dengan
macamnya hubungan dengan makhluknya. Seperti mendengar, melihat, maha adil,
menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, dan seterusnya.
Akan tetapi gaya (uslub) bahasa ayat-ayat al- Qur’an dan
hadis-hadis tersebut lebih mendekati pada gaya percakapan, memberi nasehat dan
petunjuk, dari pada gaya penguraian secara ilmiah. Kita tidak dapat mengatakan
al- Qur’an dan hadis Nabi berisi uraian yang teratur dan sistematis tentang
kepercayaan dan meletakkan metode yang lengkap serta mencakup untuk Ilmu Tauhid
(teologi islam) dan juga ilmu sufimisme (tasawuf). Dalam dua pembahasan
tersebut, maka dijadikan satu ungkapan yaitu teosofi.
Teologi sendiri sebagaimana yang kita diketahui yakni membahas
ajaran-ajaran dasar dari suatu agama secara keseluruhan[1].
Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu
mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari
teologi akan memberi keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang
kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman. Sedangkan ilmu
sufimisme atau tasawuf sendiri lebih mengarah terhadap ilmu untuk mengetahui
bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin
untuk memperoleh kebahagian yang abadi[2].
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam makalah ini penulis
menjelasakn tentang pengertian teosofi yang merupakan gabungan dari teologi dan
sufimisme serta tentang sejarah perkembangannya sebagai langkah awal dalam
memahami dan mengetahui tentang ilmu teolofi dan sufimisme dalam mata kuliah
teosofi.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini yang merumuskan masalah tentang pengertian
teosofi yang meliputi pengertian teologi (aliran agama) dan sufimisme (tasawuf)
serta sejarah perkembangan dari teologi dan sufimisme zaman dahulu hingga
sekarang.
C. Tujuan Masalah
Dalam Makalah ini, yaitu
bertujuan sebagai suatu pengantar Media atau perantara kita untuk mendekatkan
diri kepada Allah dengan memperluas Ilmu terutama tentang teosofi (teologi dan
sufimisme) dan sejarah perkembangannya agar menjadi pondasi atau bekal terhadap
memperluasakannya ilmu menjadi insan kamil di dunia dan akhirat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teosofi
Teosofi berasal
dari kata inggris yaitu theosophy yang diambil dari kata theos (Allah) dan
Sophia (kebijakan). Namun jika di lihat dari aspek keseluruhan menjelaskan
bahwa Teosofi merupakan gabungan dari kata Theos atau yang biasa dikenal
teologi. Sedangakan Sophia biasanya dikenal dengan sufimisme atau tasawuf. Dari
kutipan penjelasan tersebut, maka disimpulkan bahwa teosofi adalah teologi dan
sufimisme.
B.
Pengertian Teologi
Teologi berasal
dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan,
sehingga disimpulkan bahwa teologi merupakan ilmu pengetahuan tentang tuhan[3].
Sedangkan jika
kita merujuk kepada beberapa ahli seperti menurut Maulana dkk mengemukakan
bahawa teologi secara arfiah berarti teori atau study tuhan yang dalam aspek
praketknya dipakai untuk mengetahui kumpulan doktrin-doktrin (ajaran-ajaran)
dari kelompok keagamaan tertentu atau individu[4].
Bukan hanya itu, menurut buku catatan di dalam buku The New Oxford Ilustrated
Dictionary (1978-1736) pengertian teologi dinyatakan sebagai: science of religion, study of god or gods
and of attributes and relation with man etc yang berarti ilmu agama, study
tentang tuhan yang Maha Esa atau para dewa tentang atributnya dan hubungannya
dengan manusia dan sebagainya[5].
Dari semua pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang ketuhanan yang dalam prakteknya dipakai untuk
mengetahui doktrin-doktrin atau aliran agama.
C.
Sejarah dan Perkembangannya Teologi
1.
Zaman Yunani Kuno
Periode Yunani
merupakan periode terpenting dalam sejarah peradaban manusia. Hal ini
disebabkan karena pada saat itu terjadi perubahan pola pikir mitosentris yaitu
pola pikir yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam. Pada
saat itu, gempa bumi bukanlah suatu fenomena biasa melainkan suatu fenomena di
mana Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya.
Pada periode ini
muncullah filosof pertama yang mengkaji tentang asal usul alam yaitu
Thales (624-546 SM). Pada masa itu, Ia mengatakan bahwa asal alam adalah air
karena unsur terpenting bagi setiap makhluk hidup adalah air. Air dapat berubah
menjadi gas seperti uap dan benda padat seperti es, dan bumi ini juga berada di
atas air. Sedangkan Heraklitos berpendapat bahwa segala yang ada selalu berubah
dan sedang menjadi. Ia mempercayai bahwa arche (asas yang pertama dari alam
semesta) adalah api. Api dianggapnya sebagai lambang perubahan dan kesatuan.
Api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada dan mengubah sesuatu tersebut
menjadi abu atau asap.
Zaman keemasan
atau puncak dari Yunani Kuno atau Klasik, dicapai pada masa Sokrates (± 470 –
400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates adalah
seorang guru. Setiap kali socrates mengajarkan pengetahuannya, Socrates tidak
pernah memungut bayaran kepada murid-muridnya. Oleh karena itulah, kaum sofis
menuduh dirinya memberikan ajaran baru yang merusak moral dan menentang
kepercayaan negara kepada para pemuda. Kemudian ia ditangkap dan dihukum mati
dengan minum racun pada umur 70 tahun yakni pada tahun 399 SM.
Plato lahir di
Athena, dengan nama asli Aristocles. Ia belajar pemikiran dari Socrates,
Pythagoras, Heracleitos, dan elia. Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya,
ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama yakni mana yang benar yang
berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenidas). Pengetahuan yang
diperoleh lewat indera disebutnya sebagai pengetahuan indera dan pengetahuan
yang diperoleh lewat akal disebutnya sebagai pengetahuan akal. Plato
menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia yaitu dunia
pengalaman yang bersifat tidak tetap dan dunia ide yang bersifat tetap. Dunia
yang sesungguhnya atau dunia realitas adalah dunia ide. Menurut Plato ada
beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas jika manusia tidak
mengetahuinya, masalah tersebut adalah[6]:
a. Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai
penciptanya.
b. Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang
diperbuat manusia.
c. Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara
berifikir.
d. Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari
tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.
1.
Zaman Islam
a.
Sejarah Timbulnya Teolgi Islam
Benih ilmu
teologi islam berdasarkan realitas historis sebenarnya telah muncul sejak Nabi
Muhammad masih hidup fakta adanya sahabat yang bertanya kepada Nabi Muhammad
tentang “Al-qadar”, sebuah tema yang pada masa selanjutnya menjadi topik
pembicaraan teologi islam, setidaknya adalah argumen yang memperkuat pernyataan
diatas. Hal ini kalau kita sepakat dengan apa yang dijelskan oleh Louis Gardet
dan Anawati bahwa teologi islam dimulai dengan adanya kajian terhadap teks
Al-Qur’an yang nantinya menjadi topik pembicaraan teologi. Namun demkian,
teologi islam mulai mempunyai bentuk yang definitif sejak periode kebangunan
semangat kritis masuknya filsafat yunani dengan tuntutan rasionalnya sangat
berpengaruh besar di kalangan masyarakat muslim dan menimbulkan kehausan akan
pengetahuan filosofis kegelisahan untuk menjelaskan hal-hal yang di imani, dan
keinginan untuk mengkoordinasikan keseluruhan pengetahuan manusia. Walaupun
suatu pernyataan yang tidak dapat kita nafikan bahwa konflik politik dikalangan umat islam
merupakan “ragi” yang mewarnai tumbuhnya teologi islam di masa awal.[7]
Ketika Nabi
Muhammad wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatars pada
kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh Semenanjung Aarabia.
Negara islam diwaktu itu, seperti digambarkan oleh W.M. Watt, telah merupakan
kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi
Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga
masyarakat Mekkah sebagai intinya.
Islam sendiri,
sebagai kata R. Strothmann, disamping merupakan sistem agama telah pula
merupakan sistem politik dan Nabi Muhammad disamping Rosul telah pula menjadi seorang
ahli negara.
Jadi tidak
mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk
memikirkan pengganti belian untuk mengepalai negara yang baru lahir itu,
sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka timbullah soal
khalifah,soal pengganti Nab Muhammad sebagai kepala negara.
b.
Sejarah Perkembangan Teolgi Islam Pada Zaman
Khulafaurrasyidin
Sejarah
meriwayatkan bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat islam di waktu
itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka.
Kemudian Abu Bakr digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab dan ‘Umar oleh ‘Usman
Ibn ‘Affan.
‘Usman termasuk
dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang
aristokrat Mekkah yang karena pengalaman dagang merekamempunyai pengetahuan
tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin
administrsi daerah-daerah diluar Semenanjung Arabia yang berambah banyak masuk
kebawah kekuasaan islam. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang
lemah dan tak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan
berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk
kepada kekuasaan islam. gubernur-gubernur yang diangkat oleh ‘Umar Ibn
al-Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang yang kuat dan tak memikirkan
kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh ‘Usman.[8]
Khalifah ‘Usman
bin Affan tentu dengan tanpa mengingkari jasa dan keistimewaannya sebagai
seorang sahabat tercatat sebagai khalifah yang kurang ideal, khususnya sejak
dekade enam tahun terakhir dari masa kekhalifahannya. Pandangan semacam itu
setidaknya didasarkan pada langkah dan kebijakan polotik khalifah Usman bin
Affan, yang oleh banyak kalangan dianomalikan sebagai “nepotisme”,
meskipun tidak bisa dipungkiri sebenarnya hal itu lebih merupakan dampak dari
begitu kuatnya desakan kaerabat dekat Usman dari klan Bani Umayyah. Terlepas
dari klaim-klaim politis yang telah ada, bahwa kebijakan politik tersebut oleh
banyak tokoh dan pembesar ummat islam pada masa itu dipandangnya sebagi suatu
tindakan yang kurang adil dan bijaksana.[9]
Tindakan politik
yang dijalankan 'Usman ini bukan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya.
Sahabat Nabi yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga
ini, perasaan tidak senang muncul dari daerah-daerah. Mulailah timbul kelemahan
dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah SWT berfirman dalam
QS. Al-Anfal - 46, yang artinya:
وَأَطِيْعُواْ اللَهَ وَرَسُولَهُ, وَلَا تَنَزَعُواْ
فَتَفْشَلُواْ وَتَذْ هَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إنَّ اللَهَ مَعَ
الصَّبِرِيْنَ
“Dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar”.[10]
Dari Mesir,
sebagai reaksi terhadap dijatuhkannya 'Umar Ibn Khattab al-'As kemudian
digantikan oleh Abdullah Ibn-Sa'd Ibn Abi Sarh, Lima Ratus pemberontak
berkumpul kemudian bergerak ke Madinah yang mana mereka akan membunuh khalifah
'Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Messir.
Setelah 'Usman
wafat 'Ali sebagai khalifat yang ke
empat. Tetapi ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah' terutama Thalhah dan Zubeir dari Makkah yang mendapat sokongan dari
'Aisyah. Tantangan dari 'Aisyah-Thalhah-Zubeir ini dipatahkan 'Ali dalam
pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656. Thalhah dan Zubeir mati terbunuh
dan 'Aisyah dikirim kembali ke Makkah.
Tantangan kedua
datang dari Mu'awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat bagi 'Usman.
Sebagaimana Thalhah dan Zubair tidak meu mengakui 'Ali sebagai khalifah. Ia
menurut kepada 'Ali supaya menghukum pembunuh 'Usman, bahkan ia menuduh 'Ali
turut campur dalam soal pembunuhan, salah seorang pemuka pemberontak Mesir yang
datang ke Madinah dan kemudian membunuh 'Usman adalah Muhammad Ibn Abi Bakr,
anak angkat dari 'Ali Ibn Abi Talib. Dan pula 'Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak bahkan
Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi gubernur Mesir.
Dalam
pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, tentara 'Ali
dapat mendesak tentara Mu'awiyah sehingga yang tersebut akhir ini bersiap untuk
lari. Tetapi tangan kanan Mu'awiyah 'Amr Ibn al-'As yang terkenal sebagai orang
licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Qurraa' yang ada
dipihak 'Ali mendesak 'Ali supaya 'Ali menerima tawaran itu dengan mengadakan
arbitase. Sebagai pengantara di angkat dua orang: 'Amr Ibn al-As dari pihak
Mu'awiyah dan Abu Musa al-Asy'ari dari pihak 'Ali. Dalam pertemuan mereka,
kelicikan 'Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Keduanya terdapat
kemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, 'Ali dan
Mu'awiyah. Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy'ari, sebagai yang tertua,
terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan
kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui,
Amr Ibn al-'As, mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan 'Ali yang telah
diumumkan al-Asy'ari tetapi menolak penjatuhan Mu'awiyah.
Peristiwa yang
merugikan bagi 'Ali dan menguntungkan bagi Mu'awiyah. Sedangkan Mu'awiyah
kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada 'Ali
sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi
khalifah yang tidak resmi.Tidak diherankan kalau putusan ini ditolak 'Ali dan
tak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh ditahun 661M.[11]
Di luar pasukan
yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka
inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah muncul ketika berlangsungnnya
peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Sebagai
respon atas penamaan Ali terhadap arbitrase yang ditawar Mu’awiyah, pasukan Ali
terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali-kelak disebut Syi’ah
dan kelompok lain menolak sikap Ali kelak disebut Khawarij.[12]
Karena memandang
‘Ali bersalah dan berbuat dosa besar, mereka melawan ‘Ali. ‘Ali sekarang
menghadapi dua musuh, yaitu Mu’awiyah dari satu pihak dan khawarij dari pihak
lainnya. Karena selalu mendapat serangan dari pihak kedua ini, ‘Ali terlebih
dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan kaum khawarij, tetapi setelah
mereka ini kalah, tentara ‘Ali telah terlalu capai untuk meneruskan pertempuran
dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah ‘Ali bin Abi
Thalib wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah ummat
islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan
yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan diatas inilah yang
akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbulah siapa
yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari
islam dan siapa yang masih tetap dalam islam.
Khawarij
memandang bahwa ‘Ali, Mu;awiyah, Amr ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ary dan
lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena al-Quran mengatakan:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاؤُلَئِكَ
هُمُ الْكَا فِرُوْنَ
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Dari ayat inilah merek mengambil
semboyan La hukma illa lillah karena keempat pemuka islam diatas telah
dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari islam, yaitu murtad
atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum khawarij mengambil
keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang
yang dibebani membunuh Ali bin Abi Thalib yang berhasil dalam tugasnya.[13]
c.
Perkembangan Teologi Islam Pasca Khulafaurrasyidin
1)
Khawarij
Khawarij secara
bahasa diambil dari bahasa Arab Khowaarij, secara harfiah berarti mereka yang
keluar. Istilah Khawarij adalah istilah umum yang mencangkup sejumlah Aliran
dalam Islam yang pada awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu
menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, berpusat didaerah
yang kini terletak dibagian negara Irak Selatan dan merupakan bentuk yang
berbeda dari Kaum Sunni.
Kebanyakan dari
kaum Khawarij adalah Arab Dusun yang tinggal dikawasan pegunungan dan karena
itu hidup dengan sangat sederhana. Mereka sangat keras hati tetapi amat taat
menjalankan agama. Karena pemikirannya yang sederhana, Khawarij mengartikan
Al-Qur’an benar-benar secara tekstual, tetapi betapapun beratnya mereka toh
melaksanakannya.
Aliran Khawarij
dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar
dari barisan Ali bin Abi Thalib R.A. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya
yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Muawaiyah yang
dikomandani oleh Amr Ibn Ash dalam perang Siffin.[14]
Mereka
mengangkat seorang kepala diantara mereka, yaitu Abdullah bin Wahab Ar-Rasyidi.
Mereka menamakan dirinya dengan Kaum Khawarij, yang berarti orang-orang yang
keluar pergi untuk berperang dalam rangka menegakkan kebenaran, sebagai mana
disebutkan dalam Q.S. An-Nisa’ 100
وَمَنْ
يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً
ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ
يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا
“Barangsiapa berhijrah
di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang
luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum
sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi
Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Paham Khawarij
ini bertambah maju setelah melihat kegagalan Ali dalam perundingan “Tahkim”.
Paham Khawarij ini dianggap benar oleh umum. Mereka terkenal keras dan berani
berjuang mati-matian untuk menegakkan pahamnya.
2)
Murji’ah
Kata Murjiah
berasal dari kata bahasa Arab arja’a yurji’u, yang berarti menunda atau
menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama
Hijriayah. Pendirinya tidak diketahui secara pasti, tetapi syahristani
menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (buku tentang perbandingan agama
serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa
paham Murji’ah adalah Galian ad-Dimasyqi.
Aliran ini
disebut Murjiah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoallan
konflik politik anatra Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij
ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin
mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir
diantara ketiga golongan yang tengah bertikaitersebut. Menurut pendapat lain,
mereka disebut Murjiah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa besar
tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Adapun dosa
besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di
akhirat baru ditentukan hukuman baginya
3)
Mu’tazilah
Mereka adalah
pengikut dari Abul Husail bin ‘Atha’ yang memisahkan diri dari gurunya yang
bernama Hasan Basri. Yang menebabkan mereka berpisah dari Hasan ialah masalah
“murtakibil kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa
besar. Orang yang melakukan dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang
berada diantara dua keadaan maksudnya, orang itu bukan mukmin juga tidak kafir.
Menurut kaum mu’tazilah sumber pengetahuan yang paling utama adalah akal,
sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Atas dasar inilah orang
berpendapat bahwa timbulnya aliran mu’tazilah merupakan lahirnya aliran
rasionalisme di dalam islam. Namun, rasionalitas Mu’tazilah dianggap kurang
mematikan dalam melawan gerakan lainnya[15].
Penganut aliran
mu’tazilah dijuluki “ahlul-tauhid wal-adli” sebab aliran ini lebih menonjolkan
mengenai keesaan Tuhan dan keadilan Tuhan. Masalah-masalah yang menjadi
pembahasan kaum Mu’tazilah terdiri dari lima pokok dan kelima prinsip tersebut
yakni : Tauhid (Ke-Esaan Tuhan), al-‘adl (keadilan Tuhan), al wa’dul wal wa’id
(janji dan ancaman), manzilat dua manzilat, dan amar ma’ruf nahi munkar dengan
berpegang pada QS. Ali Imron 104:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أمَّةٌ يَدْعُوْنَ إلَى الْخَيْرِوَيَأْ مُرُوْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ ويَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf,
dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”.[16]
4)
Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah
Hasan Basri
adalah seorang ahli sunnah wal jama’ah. Namun ini tidak pernah menonjol
sebelumnya sebagai satu golongan. Dapat diketahui bahwa islam adalah
ajaran-ajaran yang diterima dari tangan manusia pertama Rasulullah yang oleh
beliau dilanjutkan ke tangan para sahabat dan turun temurun disambut oleh
manusia dari masa ke masa secara terus menerus tanpa terputus. Dalam
perkembangannya, ahli sunnah wal jama'ah memiliki dua aliran: asyariyah dan
al-maturidiyah.
a.
Aliran
Asyariyah
Adalah suatu
aliran yang muncul sebagai reaksi terhadap paham theologi islam yang telah
mendahuluinya. Pada mulanya asyariyah adalah seorang pengikut aliran
Mu'tazilah, tetapi kemudian mereka kembali meniti jalan salaf ash shalih.
Dalam menentukan berbagai persoalan khilafiyah. Bahkan dengan terang-terangan
mereka mengumandangkan bahwa mereka adalah pengikut Ahmad bin Hambal[17].
Banyak yang bertentangan dengan i'tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad SAW.
Pandangan teologis asyari meliputi masalah Iman, Akal, Wujud Tuhan, Zat dan Sifat Tuhan, Kalamulloh
(Al-Qur'an), Arah dan Ru'yah, Kekuatan dan Keadilan, Serta Qadla dan Qadar
Tuhan.
Al-Asyari
berpendapat bahwa Al-Qur’an bersifat qadim, tidak diciptakan. Dasar dari
pendapat ini dalam Surah An-Nahl : 40
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ
أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan Kami
terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya:
"kun (jadilah)", maka jadilah ia.[18]
b.
Al-Maturidiyah
Dalam aliran
maturidiyah peranan akal atau rasio memiliki tempat yang penting didalam
menyusun konsep teologinya. Akal atau rasio dapat membantu manusia untuk
memahami adanya Allah, sifat dan zat Allah. dan juga dapat digunakan untuk
memahami ayat-ayat Al-Qur'an seperti tentang: perbuatan manusia, kedudukan dosa
besar, fungsi akal bagi Al-Qur'an, mengenai hari kebangkitan dihari kiama,
sifat Allah.Bagaimanapun, yang dimaksud dengan ahli sunnnah dan jamaah didalam
lapangan teologi islam adalah kaum Asy'ariyah dal maturidi[19].
Al-Maturidiyah
mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberikan dalam QS.
Al-Qiyamah 22 dan 23:
وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
Dan wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu
berseri-seri.
إِلَىٰ
رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
5)
Jabariyah
Adapun tokoh
yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan Al-qasimi adalah jahm bin
Safwan, yang bersamaan dengan munculnya Aliran Qadariyah. Aliran ini menganggap
bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak
manusia, tapi diciptakan oleh tuhan.
Dasar pemahaman
aliran Jabariyah ini dijelaskan dalam Al-Qur’an QS. Al Shaffat 96 :
وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu[21]
D.
Pengertian Sufimisme
Sufimisme atau
yang lebih dikenal dengan tasawuf merupakan ilmu untuk mengetahui bagaimana
cara mensucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta
memperoleh kebahagian yang abadi[22].
Sedangakan jika ditinjau dari segi etimologi bahwa kata “Sufi” secara pandangan
umum diambil dari kata suf yang merujuk pada jubah dari wol. Namun tidak semua
sufi mengunkan jubah, sehingga ada yang berpendapat bahwa kata sufi berasal
dari kata saf ketika dalam shalat. Sedangkan suatu teori etimologi yang lain
menyatakan bhawa sufi berarti kemurnian yang lebih menekankan pada sufimisme.[23]
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sufimisme adalah tasawuf yang
mempelajari ilmu kemurnian dalam mensucikan jiwa secara lahir dan batin dalam
menggapai kebahagian yang abadi.
E.
Sejarah dan Perkembangannya Sufimisme
1.
Masa
Pembentukan
Tasawuf berasal dari kehidupan Rasulullah. Berkatalah Syeh
Abdul Baqy Surur, bahwa tahannus Rasulullah di Goa Hira, merupakan
cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf atau itulah benih-benih
pertama bagi kehidupan rohaniyahyang disebut dengan ilham hati atau renungan-renungan
rohaniyah. Dalam hal ini, maka ahli-ahli tasawuf memandang pekerjaan Rasulullah
sehari-hari merupakan dasar ilmu tasawuf. Oleh karena itu mereka memandang
Rasulullah imam besar dan guru pertama dari tasawuf.
Abad 1 H bagian kedua Hasan Basri
dengan ajaran khouf tampilnya guru-guru yang lain yang dinamakan qori’
mengadakan gerakan yang memperbaharui hidup kerahanian dikalangan kaum
muslimin. Telah dianjurkan mengurangi makan, menjauhkan diri dari karamain
duniawi, mencela dunia. Anjuran tersebut menyimpulakan bibit tasawuf sudah ada
sejak itu.
Abad
II H tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya. Persamaannya terdapat
dalam corak kezuhudan, namun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini adalah
adanya kenyataan pendangkalan ajaran agama dan formalisme dalam melaksanakan
syariat agama.
Abad I dan II Hijriyah disebut dengan fase
zuhud (asketisme), sikap zuhud para sufi salafi merupakan awal kemunculan
tasawuf, pada fase zuhud ini terdapat para sufi salafi yang lebih cenderung beribadah
kepada Allah untuk mensucikan dirinya dari segala dosa dan kesalahan masa lalu.
Mereka mengamalkan konsep zuhud dalam kehidupan yaitu tidak terlalu
mementingkan makanan enak, pakaian mewah, harta benda melimpah, rumah megah,
tahta, pangkat, jabatan dan wanita cantik, tetapi mereka lebih mementingkan
beramal ibadah untuk kepentingan akhirat dengan rajin mendekatkan diri kepada
Allah.
Abu
al-wafak menyimpulkan zuhud islam abad 1 dan 2 H mempunyai karakter yaitu[24]:
a)
Menjauhkan diri dari dunia menuju
akhirat yang berakal pada nas agama, yang dilator belakangi sosio-politik.
b)
Masih bersifat praktis.
c)
Motif zuhutnya adalah rasa takut.
d)
Menjelang akhir abad 2 H, sebagian
zahid menandai analisis yang dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf
atau cikal bakal pendirita sawuf falsafi abad III dan IV H.
2.
Masa Pengembangan
Abad III dan IV H corak tasawuf
sangat berbeda dengan abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf bercorak kefanaan,
yang menjurus kebersatuan hamba dengan kholik. Abu yazid Al-Bustami adalah
seorang sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fanak dan
memasukkan ide wahdatul wujut. Beberapa pandangan Abu Yazid antara lain,
artinya: “Aku keluar dari yang haq kepada yang haq sehingga dia berteriak hei
zad kau adalah aku”.
Fanak merupakan persyaratan bagi
seseorang untuk dapat mencapai hakikat ma’rifat. Sesudah Abu Yazid Al-Bustami
lahirlah seorang sufi yaitu Al-Halaj dengan teorinya Al-Hulul. Menurutnya
manusia mempunyai dua sifat yakni sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan dalam
dirinya. Pencampuran antara ruh dengan tuhan diumpamakan oleh Al-Halaj bagaikan
bercampurnya air dengan khomer.
Pada akhir abad III orang-orang
berlomba menyatakan pemikirannya tentang kesatuan kesaksian, kesatuan
kejadian, kesatuan agama, dansebagainya. Yang semua itu tidak mungkin dicapai
oleh para sufi kecuali dengan latihan yang teratur.
Pada abad III Dan IV H ini bisa dibilang bahwa
perkembangannya telah mencapai kesempurnaan. Tokoh abad ke III,
yaitu :Abu Sulaiman Ad-Darani (W.215 H), Ahmad bin Al-Hawary Ad-Damasqiy
(W.230 H), Dzun An-Nun Al-Misri (155 H-245 H), Abu Yazid Al-Bustami (W.261H),
Junaid Al-Baghdadi (W.298 H), Al-Hallaj (lahir tahun 244 H)
Tokoh abad IV :Musa Al-Anshary (W.320 H), Abu Hamid bin
Muhammad Ar-Rubazy (W.322 H), Abu Zaid Al-Adamy (W.314 H), Abu Ali Muhammad bin
Abdul Wahhab As-Saqafy (W.328 H).
3. Masa
Konsolidasi
Fase
ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya
yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf
sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para
sahabatnya
Pada abad V H mengadakan konsolidasi
dimasa ini ditandai kompotensi dan pertarungan antara suni dan semi falsafi
yang di menangkan oleh tasawuf suni dan dapat berkembang. Kemenangan ini dikarenakan
teologi ahlisunnah wal jama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari,
yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu yazid Al-Bustami dan Ahlaj.
Al-qusyairi adalah seorang tokoh sufi pertama abad V H, dia berusaha
mengembalikan tasawuf pada landasannya Al-Qur’an dan Hadis. Tokoh abad V H: Al-Qusyairi
(W.465 H), Al-Harawi (lahir 396 H), Al-Ghazali (W.405 H)
4. Masa
Filsafi
Fase
ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan
antara rasa ( dzauq ) dan rasio ( akal ), tasawuf bercampur dengan filsafat
terutama filsafat Yunani. Pengalaman – pengalaman yang diklaim sebagai
persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran
seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah
sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan
khayalan.
Tasawuf
falsafi muncul pada abad VI H, Ibn Kholdun menyimpulkan bahwa tasawuf filsafi
mempunyai 4 obyek utama[25],
yaitu:
a) Latihan
rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya.
b) Illuminasi
atau yang tersingkap dari alam ghaib.
c) Peristiwa-peristiwa
dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau
keluarbiasaan.
d) Pemakaian
ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyat).
Tokoh abad VI: As-Suhrawardi Al-matul (W.587 H), Al-Ghasnawy
(w.545 H)
5. Masa
Kemurnian
Pengaruh
dan praktik kian tersebar luas melalui tarekat para sultan. Tasawuf pada masa
itu ditandai bid’ah, khurufat, mengabaikan syari’at dan hukum-hukum moral dan
penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, berbentengkan diri dari dukungan awam
untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, denagn menampilkan amalan yang
irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan.
Tokoh
abad VII :Ibnul farid, Ibnu Sabi’in, Jalaluddin Ar-Rumy Pada
abad ini ahli tasawuf bergerak dalam kegiatan yang dirahasiakan sehingga
pemerintah sangat mengkhawatirkan hal itu. Untuk menjamin keamanan dan
ketertiban masyarakat pemerintah menjalankan kewenangannya yang berakibat
tertangkapnya para sufi dan beberapa diantaranya melarikan diri ke Negara
lainsehingga negeri Arab dan Persia sunyi dari kegiatan ahli tasawuf.
Ibn Taimiyah membagi fanak menjadi 3
bagian, yaitu:
a) Fanak
Ibadah, yakni fanak dalam beribadah.
b) Fanak
Syuhud Al-Qolb, yakni fanak pandangan hati.
c) Fanak
Wujud Ma Siwa Allah, yakni fanak wujud selain Allah.
Ibn taimiyah
lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah yakni
menjelaskan dan menghayati ajaran islam, tanpa embel-embel lain, tanpa
mengikuti aliran tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan
social, sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk
dikembangkan dimasa modern seperti sekarang.
Terlewatnya
abad VII H dan memasuki abad VIII tidak terdengar perkembangan atau pemikiran
baru dalam tasawuf. Pada abad ini ada seorang tokoh yang berusaha memurnikan
ajaran tasawuf dari unsur-unsur falsafat yaitu Ibnu Tamiyah.
6.
Abad IX, X dan sesudahnya.
Dalam beberaa abad ini, ajaran tasawuf mulai memudar di
dunia islam. Peneliti muslim menarik kesimpulan bahwa ada 2 faktor yang sangat
menonjol penyebab runtuhnya pengaruh ajaran tasawuf di dunia islam[26]:
a)
Ahli tasawuf kehilangan kepercayaan
dikalangan masyarakat islam karena beberapa diantara mereka terlalu menyimpang
dari ajaran islam yang sebenarnya.
b)
Penjajah bangsa Eropa yang beragama
Nasrani telah menguasai seluruh negeri islam.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teosofi berasal
dari kata inggris yaitu theosophy yang diambil dari kata theos (Allah) dan
Sophia (kebijakan). Namun jika di lihat dari aspek keseluruhan menjelaskan
bahwa Teosofi merupakan gabungan dari kata Theos atau yang biasa dikenal
teologi. Sedangakan Sophia biasanya dikenal dengan sufimisme atau tasawuf. Dari
kutipan penjelasan tersebut, maka disimpulkan bahwa teosofi adalah teologi dan
sufimisme.
Teologi berasal
dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos yang artinya ilmu atau
pengetahuan, sehingga disimpulkan bahwa teologi merupakan ilmu pengetahuan
tentang tuhan[27].
Sedangkan sufimisme yang lebih dikenal dengan tasawuf merupakan ilmu untuk
mengetahui bagaimana cara mensucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun
dhahir dan batin serta memperoleh kebahagian yang abadi[28].
Sedangkan jika
kita melihat sejarah dan perkembangannya maka untuk teologi terbagi menjadi dua
yaitu zaman yunani kuno (sebelum Islam ada) dan zaman Islam (mulai dari zaman
rasullulah sampai zaman setelahnya). Begitupula dengan perkembangan sufimisme
yang terdapat enam masa sebagai bentuk perkembangan dan sejarahnya, seperti:
masa pembentukan, pengembangan, konsolidasi, filasafi, kemurnian, dan Abad XI,
X serta selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution,
Harun. 2002. Teologi Islam Aliran Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Muhtar, Qashim.
2005. Sejarah Teologi dan Etika Agama
Agama. Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
Shatz, David. 2002. Philoshopy And Fath: A Philosophy Of Religion Reader.
Amerika Serikat:
The MeGaw-Hill Companies.
Esha, Muhammad In’am. 2008. Teologi
islam: Isu-isu Kontemporer. Malang:UIN-
Malang Press.
Muniron. 2015. Sejarah, Metode,
Ajaran, dan Analisis Perbandingan. Jember:
STAIN Jember
Press.
Moechtar, Hadlari. 2014. Pedoman Ilmu
Kalam Program Studi Islam Jilid I
Bondowoso: MAN
Bondowoso Press
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak. 2007. Ilmu
Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Anshoru, M. Subkhan. 2011. Filsafat
Islam antara Ilmu dan Kepentingan. Kediri:
Pustaka Azhar.
Mustofa,
Muhammad Asy Syak’ah. 1994. Islam tidak bermadzab. Jakarta: Gema
Insani
Press.
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas.
2015. Sejarah Pemikiran Islam : Teologi –
Ilmu Kalam.
Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Kabbani , Syekh Muhammad Hisham. 2004. The Naqsabandi Sufi Tradition
Guidebook
of Daily Practices and Devotion. Jakarta.
Arsipide. 2016. Sejarah dan Perkembangan Tasawuf (online)
http://www.arsipide.com/2016/10/sejarah-dan-perkembangan-tasawuf.html
diakses pada 8 September 2017
evendimuhtar. 2014. Sejarah perkembangan tasawuf (online)
http://evendimuhtar.blogspot.co.id/2014/05/sejarah-perkembangan-tasawuf.html
diakses pada 8 September 2017
Wikipedia. 2017. Sufimisme (online) https://id.m.wikipedia.org/wiki/sufisme.html
diakses pada 5
September 2017
Googleweblight.
2017. Pengertian teologi (online)
https://googleweblight.com/lite_url=http://suryawanhidudarma.worpress.com/dokument/pengertian-teologi/bjag._5n6sog
diakses pada 8 September 2017
Mampermainsztre. 2014. Sejarah perkembangan ilmu pemikiran
(online)
http://mampemaisztre.blogspot.co.id/2014/01/sejarah-perkembangan-ilmu-pemikiran-dari.html
diakses pada 8 September 2017
[1] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 2002), hlm. ix
[4] Qashim Muhtar, Sejarah Teologi dan Etika Agama Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2005), hlm. 147
[5] David Shatz, Philoshopy And Fath: A Philosophy Of Religion Reader, (Amerika Serikat: The
MeGaw-Hill Companies, 2002), hlm. xi
[7]Muhammad In’am Esha, Teologi
islam: Isu-isu Kontemporer, (Malang:UIN-Malang Press, 2008), hlm. 1-2.
[8]Harun Nasution, Teologi
islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm. 5-6
[9]Muniron, Sejarah,
Metode, Ajaran, dan Analisis Perbandingan (Jember: STAIN Jember Press,
2015), hlm.11.
[10]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam
Program Studi Islam Jilid I (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014), hlm.
102.
[11] Harun Nasution, Teologi
islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm.
6-8
[12] Rosihon Anwar dan
Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.28
[13]Harun Nasution, Teologi
islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm.
9
[14]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam
Program Studi Islam Jilid I (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014),hlm. 109
[15]M. Subkhan Anshoru, Filsafat Islam antara Ilmu dan
Kepentingan (Kediri:PustakaAzhar, 2011), hlm. 9
[16]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam
Program Studi Islam JilidI (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014),hlm. 150
[17]Mustofa Muhammad Asy
Syak’ah, Islam tidak bermadzab (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm.
385.
[18]M. Amin Nurdin dan
Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam : Teologi – Ilmu Kalam
(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2015), hlm. 105
[19]Harun Nasution,Teologi
islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press), 1986),hlm. 65
[20]A. HadlariMoechtar,PedomanIlmuKalam
Program Studi Islam JilidI (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014), hlm.164
[21]A. HadlariMoechtar,PedomanIlmuKalam
Program Studi Islam Jilid I(Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014, hlm. 141
[23] Syekh Muhammad Hisham
Kabbani. The Naqsabandi Sufi Tradition Guidebook of Daily Practices and
Devotion. 2004, hlm. 83
v
BalasHapus