sumber: krilianeh.com
REVIEW FILM “JANDA KEMBANG”
Oleh : Maulidiah Nur Hikmah
(Juara 1 Review Film Event Menulis Karya Bersama oleh KSK Pusat)
Judul : Janda Kembang
Jenis Film : Drama, Komedi
Produser : Chand Parwez Servia
Sutradara : Lakonde
Durasi Film : 98 menit
Perusahaan Film : Kharisma Starvision Film
Diputar : 7 Mei 2009
Pemeran film “Janda Kembang” :
Luna Maya, sebagai Selasih/Asih
Ringgo Agus Rahman, sebagai Dodi
Sarah Sechan, sebagai Yuli – istri Pak Dodi
Esa Sigit, sebagai Fadli
Rifat Sungkar, sebagai Radja
Joe P Project, sebagai Pak Dewa (De) calon kades no urut 1 Pulo Bantal
Edrick Tjandra, sebagai Iwit – saudara Selasih
Marisa Nasution dan Ramzi, sebagai ibu tiri dan ayah kandung Fadli
Epy Kusnandar, sebagai Pak RT
Joshua Pandelaki, sebagai Pak Beny – calon kades no urut 2 Pulo Bantal
Sita Nursanty, sebagai Ibu Ida – terprovokasi
Tike Priatnakusumah, sebagai Ibu RT
Adjie Massaid, Iskandardinoto – tersangka KPK dan suami Selasih
Laela Sari, sebagai Mak Odah – pembantu rumah tangga Pak De
Renny Umari dan Tommy, sebagai Pengantin
Didi Boleh, Ridwan Hidayat, Bramantyo, Sandi Tile, sebagai Timses Pak De
Ridwan, Kitut, Yasir, Saat, Sule, Oesman, sebagai pemain band Dodirama
Review:
Film didahului dengan perjalanan seorang wanita yang digambarkan dengan cantik. Ia menuju sebuah desa yang jauh dari kota. Hal ini terlihat jelas dari seting film yang dimainkan berupa pakaian (tokoh utama dan pelengkap/tambahan/figuran), suasana (suasana sosial di sekeliling tokoh, suasana benda di sekeliling tokoh), dan atribut yang dibawa (dompet, dsb). Saat itu, desa sedang dalam masa kampanye sehingga tenda-tenda pagelaran sering didirikan. Beberapa pengenalan mengenai karakter tokoh sangat jelas dan mudah dipahami penonton.
Melalui penampilan bawaan tokoh utama, Asih (Selasih), dapat diketahui bahwa Ia bukanlah seorang gadis. Ditambah dengan judul film “Janda Kembang” yang sedikit banyak bisa mewakili suasana dalam film, dan sebagai apa tokoh utama bermain. Ada pula sesi adegan yang menyatakan bahwa Asih adalah seorang janda. Melalui ekspresi dan beberapa adegan saat Asih bersama saudaranya, Iwit, hal ini jelas menunjukkan bahwa Asih adalah seorang janda. Namun, karena Ia tidak membawa seorang anak, maka banyak warga sekitar yang menyangka bahwa Ia adalah janda kembang. Alur ini sesuai dengan judul yang dibawakan.
Ada beberapa perbedaan pada aspek judul. Beberapa mengatakan bahwa film ini berjudul “Kembang Desa Pulo Bantal”, tetapi di sumber lain mengatakan film ini berjudul “Janda Kembang”. Pada review kali ini, penulis akan fokus pada pendapat yang mengatakan bahwa film ini berjudul “Janda Kembang”. Tokoh utama –Asih– digambarkan dengan sikap rendah hati, sangat mudah memaafkan, menjaga diri sebagai seorang perempuan, dan pekerja. Hal ini dapat dijadikan sebagai referensi sikap yang dapat kita teladani dalam dunia nyata. Selain itu, tata rias dan tata busana per karakter disajikan dengan sangat jelas. Pemilihannya menampilkan bagaimana karakter tokoh, dan hal tersebut sangat sejalur dengan penokohan yang dibawa masing-masing pemain. Tak luput pula dalam pemilihan lokasi. Suasana peralihan dari kota ke desa, suasana desa, dan suasana parlemen. Meski ada beberapa yang hanya disajikan secara singkat, tetapi seiring waktu penonton pasti akan bisa mengira sambung alur tepatnya.
Kendatipun demikian, sebagaimana satu koin dengan dua sisi yang berbeda, selain kelebihan, film ini juga memiliki beberapa kekurangan. Ada ketidaksinkronan alur di dalamnya. Pada saat Asih diketahui merupakan seorang janda (sesi saat Asih dan Iwit berada di rumah Dodirama), para lelaki yang mengejarnya satu per satu pulang dan mengomel sepanjang perjalanan pulangnya. Hal ini mewakili kekecewaan warga pada status Asih. Ditambah lagi seiring alur yang diceritakan, tidak ada pemfokusan alur bahwa Asih bukanlah seorang janda. Walaupun ada sepintas nukilan kisah yang mewakili jawaban siapa Asih di akhir cerita, hal ini tidak dijadikan begitu menonjol sehingga penonton dapat mengatakan bahwa cuplikan alur tersebut tidak memiliki sumbangsih arti pada cerita.
Asih membawakan karakter pendiam, pemurung, dan legowo menerima (baca: mudah menerima keadaan). Hal ini sangat menonjol pada setiap Ia keluar rumah. Saat segelintir perempuan melabraknya di sepanjang jalan, Ia hanya diam saja, bahkan saat Ia berada di kediamannya pun Ia menerima serangan warga, tanpa mengklarifikasi keadaan. Pada alur cerita ini, bau fiktif sangat tercium. Setidaknya pada menit lain, terdapat pula hal yang membuat penonton akan menyimpulkan ketidaklogisan cerita. Di samping para lelaki yang langsung hilang kesadaran saat Asih lewat, ada pula sesi peran para lelaki saat rumah Asih terbakar, ikut turunnya para ibu yang sedang beraktivitas sehari-hari yang tanpa pembicaraan tiba-tiba ikut aksi membakar rumah Asih, sikap kasih Asih pada Fadli dan Radja, dan lain sebagainya. Penonton tentu mudah menemukan kemustahilan lainnya di dalam film ini. Pada saat rumah Asih terbakar, tiba-tiba saja cerita langsung beralih alur lain tanpa penyelesaian. Disambung lagi dengan tiba-tiba Desa Pulo Bantal dengan damainya mengadakan perayaan kemenangan pemilihan kepala desa lalu dengan tiba-tiba pula Asih sudah bersama suaminya keluar dari dalam mobil.
Berdasar pada alur dan genre yang dibawakan dalam film, penulis sangat menghimbau kepada calon penonton yang masih di bawah umur (<18 tahun) dengan segenap kesadaran pribadi untuk tidak menonton film ini. Bagi calon penonton yang sudah memenuhi syarat minimal usia tonton, dihimbau agar tetap menjaga energi positif dalam diri. Ambil sisi positif yang disajikan dalam cerita, serta jadikan kekurangan di dalamnya sebagai pelajaran agar kelak bisa mencapai titik yang lebih sempurna. Penulis tak dapat memberikan rekomendasi khusus pada pembaca. Hanya saja, apabila ditilik dalam segi nilai persen dalam kebermanfaatannya bagi khalayak, penulis akan memberikan rentang nilai 60%. Kiranya masing-masing individu memiliki pandangan berbeda, maka hal ini dirasa wajar mengingat masing-masing dari kita adalah pemimpin setiap organ yang ada (dalam diri sendiri). Segala bentuk perdebatan dirasa tidak wajar diadakan mengingat dalam berseni, masing-masing kita memiliki ranah kreativitas dengan batas kemanusiaan.
Biodata Narasi
Panggil saja EMTIGA. Gema nama yang sering dibawakan oleh Maulidiah Nur Hikmah dalam setiap karyanya. Pegiat literasi fiksi yang pernah bekecimpung dalam ranah jurnalistik ini sejatinya mencintai segala genre, dan akan terus belajar memperdalam setiap jenis literasi. Salam M3.
Komentar
Posting Komentar