Sumber: Kompas.com
MEREFLEKSI
KEBERADAAN KEBUNBINATANG DI INDONESIA
Oleh: Diyah
Restiyati
(juara 1 menulis event menulis bersama oleh KSK
Pusat)
Beberapa hari ini
beredar informasi mengenai donasi untuk perawatan satwa di kebun binatang.
Donasi tersebut diperlukan terutama untuk pemenuhan makanan si satwa. Ya, di
masa pandemik covid 19 corona ini, tidak hanya manusia, satwa pun terkena
dampaknya. Adanya informasi tersebut membuatku ingin menyusuri mengenai
keberadaan kebun binatang di Indonesia.
kebun binatang (dulu
disebut dengan Bonbin, singkatan Kebon Binatang), sudah sejak lama menjadi
destinasi utama untuk wisata bagi keluarga, terutama ketika hari raya lebaran
atau liburan sekolah. Saya ingat betul betapa senangnya saya apabila diajak ke kebun
binatang oleh bapak saya dulu. Dan sampai sekarang saya juga masih senang
apabila mengunjungi kebun binatang. kebun binatang bagi saya merupakan tempat
interaksi antara manusia dengan satwa liar, terutama yang tidak pernah kita
temukan di tempat tinggal kita. Meskipun pada kenyataannya, satwa liar tersebut
dijadikan tontonan oleh manusia, namun saya menyadari, sebagai orang yang
dilahirkan di kota besar Jakarta, mengasah kepekaan dan kepedulian terhadap isu
kepunahan satwa liar, justru dimulai dari kegiatan kita mengunjungi kebun
binatang. Ketika kita mengunjungi kebun binatang dan melihat satwa liar yang
ada, kita pun jadi menanyakan kenapa satwa tersebut berada di kebun binatang,
bukannya di hutan atau tempat tinggalnya di alam? Dan rasa keingintahuan kita
semakin berkembang dengan ditemukannya jawaban mengenai satwa yang ada di kebun
binatang. Dari rasa ingin tahu, akhirnya saya pun mendalami mengenai satwa
liar, bahkan bergabung sebagai relawan dalam organisasi pelestarian satwa, dan
akhirnya muncul kesadaran, kepekaan, dan kepedulian terhadap pelestarian satwa.
Dalam sejarah
Indonesia, kebun binatang ada sejak 1864, dengan dibangunnya kebun binatang di
tanah seluas 10 hektar yang dihibahkan oleh pelukis terkenal Raden Saleh. Tanah
tersebut merupakan pekarangan rumahnya, dan sekarang menjadi Taman Ismail
Marzuki, dan Rumah Sakit PGI Cikini. kebun binatang ini dinamai Planten En
Dierentuin, dan dilengkapi dengan taman, fasilitas olahraga termasuk kolam
renang, serta bioskop, dan hall pertemuan. Setelah kemerdekaan Republik
Indonesia, di tahun 1945, kebun binatang ini diganti namanya menjadi kebun
binatang Cikini. Saat itu tercatat ada 100 satwa yang menjadi penghuni kebun
binatang tersebut, seperti banteng, kijang, beruang madu, dan lainnya. Namun
dikarenakan semakin banyak satwa penghuni yang akan ditempatkan di kebun
binatang, sedangkan wilayah kebun binatang tidak bisa diperluas, maka tepat
pada usia 100, kebun binatang dipindahkan ke kawasan Ragunan, dan diberi nama
Taman Margasatwa Jakarta, yang kemudian diganti lagi menjadi kebun binatang
Ragunan, sampai sekarang.
Pada tahun awal
berdirinya kebun binatang, satwa yang ada di kebun binatang dipastikan berasal
dari perburuan liar, atau penangkapan masal, tanpa memperhatikan jumlahnya di
habitatnya atau fungsi dan peran satwa tersebut dalam keseimbangan alam.
Seperti yang aku baca di buku perjalanannya Alfred Russel Wallace, biologist
yang sangat terkenal, dan menciptakan garis imajiner yang memisahkan flora
fauna di bagian barat dan timur Indonesia (disebut Garis Wallace), perburuan satwa
secara bebas di berbagai wilayah Indonesia masih dapat dilakukan sampai abad ke
20, asal mendapatkan ijin menjelajah atau menetap dari penguasa Belanda, dan
penguasa lokal yang berpengaruh seperti raja, atau kepala suku. Beberapa satwa
yang ada di kebun binatang Cikini seperti Banteng, Merak Hijau, dan Beruang
Madu merupakan satwa langka di Indonesia saat ini. Satwa jenis Banteng dan
Merak Hijau yang hidup bebas hanya dapat ditemukan di Taman Nasional atau Suaka
Margasatwa.
Satwa yang berada di kebun
binatang juga kerapkali mendapatkan perlakuan kejam, berupa penganiyaan, dan penyiksaan
seperti tidak memberi makan si satwa, atau merantai dan mengikat satwa secara
terus menerus sehingga satwa tidak bisa bergerak bebas. Kasus penyiksaan satwa
di kebun binatang telah menjadi perhatian khusus bagi masyarakat yang mulai
peduli dengan isu pelestarian satwa, terutama setelah tahun 1967, dengan
dikeluarkanlah Undang Undang Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada Pasal
22 mengenai Kesejahteraan Hewan disebutkan bahwa penangkapan, penanganan satwa
dari habitatnya, penempatan, pengandangan, pemeliharaan, pengamanan, perawatan,
pengayoman, penggunaan, pemanfaatan, pengangkutan, pemotongan, pembunuhan, dan
perlakuan hewan harus sesuai dengan #animal
welfare (kesejahteraan hewan). #Animal
welfare ini terdiri dari hak untuk bebas dari rasa lapar dan haus, rasa
sakit, penganiyaan, penyalahgunaan, rasa takut, dan tertekan. Adanya peraturan
ini diikuti dengan gerakan penuntutan hak satwa sesuai dengan #animal welfare di Indonesia, kemudian
mengurangi kasus penganiayaan dan penyiksaan terhadap satwa di kebun binatang.
Meskipun demikian pengelolaan kebun binatang masih mengarah pada pengelolaan
sebagai tempat wisata.
Berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor 53 Tahun 2006, kebun binatang merupakan salah satu
bentuk Lembaga Konservasi, yaitu lembaga yang bergerak di bidang konservasi
tumbuhan atau satwa liar di luar habitatnya (ex situ), yang berfungsi untuk
pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan atau satwa dengan tetap
menjaga kemurnian jenis guna menjamin kelestarian keberadaan dan
pemanfaatannya. Tentu saja, kebun binatang pertama yang dibangun pada masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda ditujukan bukan untuk perlindungan
tumbuhan dan satwa liar yaitu sebagai lembaga konservasi, melainkan lebih
mengarah pada hiburan, dan tempat wisata. Tempat hiburan dan wisata saat itu
perlu dibangun untuk orang Eropa dan Asia Timur, yang merupakan kalangan
menengah, dan penguasa di Jawa, dimana merasa jenuh dengan kehidupan di Batavia
yang jauh berbeda dengan kehidupan di Eropa. Di abad ke 21 lah baru kemudian kebun
binatang harus berfungsi sesuai dengan Permenhut No. 53/2006, yaitu melakukan
penyelamatan, rehabilitasi, edukasi, dan reintroduksi ke alam.
Sejak dibangunnya kebun
binatang di Jakarta dan mendapatkan antusias masyarakat untuk mengunjunginya,
maka di berbagai kota lainnya juga di bangun, seperti Bandung, Surabaya atau
Yogyakarta. Sampai saat ini menurut Perkumpulan kebun binatang Seluruh Indonesia
(PKBSI), ada sekitar 56
kebun binatang di Indonesia, dengan total satwa sekitar 76.000 jenis. Jumlah
yang sangat besar untuk negara kepulauan seperti Indonesia sebenarnya. Namun
apabila dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang sudah mencapai 300 juta,
maka jumlah kebun binatang yang ada tidak sebanding dengan pengunjung yang
datang. kebun binatang sebagai tempat wisata sudah berlangsung sejak berdiri
sampai sekarang, sehingga pandangan, dan konsep yang diterapkan dalam
pengelolaan kebun binatang adalah sebagai tempat wisata, yang mendatangkan
banyak pengunjung, memuaskan para pengunjung, dan tentunya banyak keuntungan.
Dari informasi yang dikumpulkan, pada Juni 2019 saja, kebun binatang Ragunan
mencatat ada 62.000 pengunjung, sedangkan kebun binatang beroperasi setiap hari
kecuali Hari Senin, dari pkl.08.00 sampai 18.00. Jadi bisa dibayangkan berapa
pengunjung yang bisa datang ke kebun binatang dan membayar tiket yang tentunya
tidak semurah naik transjakarta atau commuter
line.
Hal yang berbeda sudah diterapkan
pada kebun binatang di sejumlah negara. Misalnya saja di Australia, kebun
binatang memiliki peran dan fungsi utama sebagai lembaga konservasi. Kasus
kebakaran hutan di Australia tahun 2019 lalu telah menyebabkan banyak satwa
liar khas Australia menjadi korban dan harus dirawat di berbagai lembaga
konservasi serta rumah sakit hewan. Salah satu pusat penanganan satwa korban
yaitu kebun binatang. kebun binatang menyediakan tempat untuk penanganan
darurat satwa, rehabilitasi, dan kemudian reintroduksi ke habitatnya kembali
dengan pengawasan atau monitoring yang ketat. Fungsi edukasi dilakukan dengan
memperlihatkan pengunjung pada satwa yang tengah di rawat, di rehabilitasi,
proses akan reintroduksi dan satwa disable,
yang tidak memungkinkan untuk di reintroduksi.
Kembali kepada
informasi mengenai penggalangan donasi untuk pemenuhan makan satwa liar, Menurutku
ada beberapa hal yang harus dilakukan agar kebun binatang bisa memenuhi pangan
satwanya. Pertama, kebun binatang kembali menjalankan fungsinya sesuai dengan
Permenhut No. 53/2006 yaitu melakukan penyelamatan, rehabilitasi, edukasi, dan
reintroduksi ke alam satwa dilindungi, dan tidak dilindungi. kebun binatang
bukanlah berfungsi utama sebagai tempat wisata. Hampir semua kebun binatang di
Indonesia didapati tetap merawat satwanya selama bertahun-tahun, sampai
tua, sakit dan mati. Proses reintroduksi ke alam sebagian besar tidak
dijalankan dengan serius sehingga ada kebun binatang yang menampung satwa
melebihi kapasitasnya. Masih ingat dengan kasus buaya berenang dengan sampah,
kasuari memakan buah yang tidak segar, dan seekor monyet duduk diatas sampah di
salah satu kebun binatang di Indonesia tahun 2019 lalu? Ya, alasan pengelola
waktu itu, banyaknya pengunjung pada musim lebaran membuat pengelola tidak
cukup waktu, dan tenaga yang membersihkannya. Apabila satwa yang ditampung
sesuai dengan kemampuan tenaga, dan ketersediaan waktu pengelolaan, dan
perawatan serta adanya proses reintroduksi di kebun binatang tentunya alasan
seperti ini tidak akan terjadi.
Kedua, pengelolaan kebun
binatang harus dijalankan secara profesional, dan tidak korupsi. Karena adanya
ketidak professional dan pengelolaan kebun binatang yang korupsi, akan
memperparah keadaan satwa di kebun binatang. Tercatat pada tahun 2012 misalnya
ada sekitar 130 satwa yang mati di kebun binatang Surabaya dikarenakan
malnutrisi, stress, dan sakit. Kasus ini terjadi dikarenakan adanya
mismanajemen, kecerobohan pengelolaan kebun binatang, dan korupsi. Dan di tahun
2016 seekor Beruang Madu ditemukan kurus kering, dan sekor Gajah Sumatera
sekarat dikarenakan penyakit paru parunya tidak dirawat dengan serius oleh kebun
binatang.
Ketiga, anggota
masyarakat yang sudah menjadi donor tetap kebun binatang selama ini bisa
diarahkan pendanaannya pada penyelamatan, rehabilitasi, edukasi, dan
reintroduksi ke alam. Proses edukasi pada para pendonor sangatlah diperlukan
bahwa proses reintroduksi satwa khas Indonesia kembali ke alam habitatnya
sangat penting bagi keseimbangan ekosistem bumi. Misalnya saja kenapa Harimau
Sumatera harus tetap berada di alamnya? Karena Harimau Sumatera merupakan top
predator yang akan memangsa hewan lain seperti babi hutan. Dengan semakin
punahnya Harimau Sumatera maka populasi babi hutan semakin bertambah, dan
menganggu ladang atau pertanian warga di sekitar hutan. Jadi bukan pada
pemenuhan pangan satwa selama menjadi destinasi wisata di kebun binatang. Dari
informasi teman teman di NGO perlindungan satwa, setiap tahun kebun binatang
mengandalkan pemasukan dana dari kunjungan sebagai destinasi wisata untuk
pengelolaan kebun binatang. Apabila pengelolaan kebun binatang masih
berpandangan kebun binatang sebagai destinasi wisata, dan hal ini lah yang
selalu dipresentasikan ke para pendonor, dan pemerintah maka tidak heran apabila
pada masa pandemik covid 19 ini, pemenuhan pangan satwa menjadi hal yang
krusial.
Keempat, langkah yang
dilakukan kebun binatang di Berlin Jerman dapat dipertimbangkan dan disesuaikan
dengan kondisi lokal, yaitu dengan memberikan makan daging satwa yang sehat
namun sudah tua, dan populasinya berlebih kepada satwa yang lebih membutuhkan.
Pada tahap ini, sekaligus mengedukasi dan merehabilitasi satwa menjadi satwa
liar bukan ‘peliharaan’ di kebun binatang, sebagai proses menuju reintroduksi. Reintroduksi
yang dimonitoring dengan ketat harus menjadi target utama ‘pemeliharaan’ satwa
di kebun binatang. Untuk hal ini, kebun binatang dapat bekerjasama dengan
lembaga konservasi lainnya seperti Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam
(BBKSDA) atau Taman Nasional (TN) di seluruh Indonesia.
Kelima, aku pikir kebun
binatang juga bisa bekerjasama dengan pengusaha daging, pengusaha sayuran, dan
peternakan, untuk mendiskusikan bagaimana mereka bisa menyokong pangan satwa di
kebun binatang selama pandemik, karena produk mereka juga tidak bisa sepenuhnya
terjual, daripada produk mereka membusuk, atau tidak bisa dijual lebih baik
disumbangkan kepada kebun binatang.
Keenam, dengan adanya
pandemik covid 19 yang memaksa manusia untuk tetap berada di rumah, kebutuhan
untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan seperti berkunjung ke kebun binatang,
tadinya bisa dilakukan langsung sekarang harus dilakukan secara virtual, dan otomatis pengunjung pun
menurun. Apabila kebun binatang memang menjalankan fungsinya sebagai wadah
penyelamatan, rehabilitasi, edukasi, dan reintroduksi ke alam, maka kunjungan
langsung dan virtual tidak akan
menjadi perbedaan yang besar, kebun binatang dapat menjalankan virtual journey berbayar atau dengan sokongan
dana iklan selama kebun binatang tidak bisa didatangi langsung.
Apabila memang kegiatan
edukasi menjadi salah satu kegiatan utama kebun binatang, bukan sebagai
destinasi wisata, kebun binatang dapat tetap dibuka secara terbatas, hanya
untuk kegiatan sesuai dengan fungsinya kebun binatang, atau apabila protokol
keamanan covid 19 menyulitkan bagi pihak kebun binatang, maka dapat dilakukan
virtual education, dengan memanfaatkan berbagai media sosial atau aplikasi yang
ada. Jadi siapkah kebun binatang untuk melihat kembali keberadaannya di masa
pandemik covid 19 ini? (Didy).
BIOGRAFI PENULIS
Namaku
Diyah Restiyati atau dipanggil Didy. Aku suka menulis puisi dan cerpen sejak
SMP, karena aku suka menulis di buku harian. Hobi aku membaca terutama buku nya
J.K.Rowling, Dewi Lestari, dan Agatha Christie. Aku juga punya hobi jalan
jalan, terutama ke tempat tempat bersejarah, dan mencoba kuliner J
Komentar
Posting Komentar