Kumpulan cerpen - Satu Kisah Dari Masa Lalu

Masa Lalu dan Masa Depan Bertemu dalam Kenyataan Hari Ini Halaman ...

sumber: kompasiana.com

SATU KISAH DARI MASA LALU

Oleh: Diyah Restiyati

(Juara 2 cerpen lomba menulis karya bersama oleh KSK Pusat)

 

Jakarta, Januari 2005, Pkl.11.00 WIB, di Red Bean Leaf Café, Taman Anggrek

Cuaca agak mendung dan udara agak dingin. Namun tidak terlihat sedikitpun rintik hujan. Aku duduk di salah satu kursi di pojok kafe sambil mencoret-coret di buku gambarku. Ada kegelisahan yang aku rasakan, karena hari ini aku akan bertemu Hendri, mantan kekasihku. Setelah hampir tiga bulan, kami tidak saling berkomunikasi. Seperti apa dia ya? Apakah masih seperti dulu? Rapi dan pesolek? Aku bahkan masih mengingat bau parfumnya. Tadinya aku tidak menginginkan pertemuan ini. Aku merasa belum siap bertemu dia lagi, sementara aku masih mencoba menata hatiku yang berkeping-keping karena dia. Tapi ketika Hendri menelpon, aku tahu, inilah saatnya aku mengetahui sebesar apa kekuatanku dalam menghadapi dia. Sebelumnya, aku menyakinkan diriku bahwa aku memiliki kehidupan yang lebih baik tanpanya sekarang. Aku dapat berkonsentrasi dengan pekerjaan baruku. Dulu, ketika aku memutuskan berhenti menemui Hendri, aku pun memutuskan pindah pekerjaan. Karena pekerjaanku akan selalu mengingatkanku pada Hendri. Dia sebagai pengkritik pertama terhadap apa yang kukerjakan sehingga aku bisa melakukannya dengan lebih baik dan baik lagi. Meskipun seringkali kritikannya cenderung menjatuhkan atau menyakitkan, tapi justru itu yang membuatku semakin kuat dan percaya pada kemampuanku. Aku memeriksa hpku, tidak ada telpon dari dia untuk memastikan dia jadi datang atau tidak. Bodohnya aku, tentu saja dia tidak mungkin telpon karena dia tidak tahu nomer hp baruku. Waktu berjalan cepat, aku semakin gelisah, aku keluarkan rokokku yang tadinya tidak mau aku keluarkan. Aku sedang berusaha mengurangi kecanduanku lagi pada tembakau satu ini. Perlahan sambil merokok aku mencoret-coret lagi buku gambarku. Tidak lama, aku melihat seorang laki-laki berpakaian rapi memasuki kafe. Aku mematikan rokokku dan memasukkan bungkusan rokok sisanya ke tas, aku tidak mau Hendri tahu aku merokok. “Halo! Sudah lama?” tanya Hendri ramah begitu melihatku. Aku tersenyum dan berkata,”Tidak juga. Apa kabar?” “Baik”ucap Hendri sambil duduk. Kita pun duduk berhadapan lagi, seperti dulu. Aku diam membiarkan dia bicara terlebih dahulu. “Bagaimana kabar kamu? Masih kerja ditempat dulu?” Aku menggeleng dan berkata,”Tidak. Aku sudah pindah.” “Kenapa? Terus sekarang dimana?”Tanya Hendri lagi, masih dengan nada ramah, seperti biasa. “Hm, mau cari suasana baru saja. Aku kan sudah lama disana. Sekarang aku kerja di advertising.” “Di daerah mana sih?”tanya Hendri lagi. “Di daerah Bangka, Jakarta Selatan.” Ucapku cepat. “Oh begitu. Udah pesan sesuatu, makan atau minum?” tanya Hendri. Aku menggeleng,”Belum, menunggu kamu” ucapku lagi. Lalu Hendri memanggil pelayan dan memesan dua cangkir teh untuk kami. Aku memandang guratan-guratan di wajahnya, masih seperti dulu, dengan guratan tegas dan jelas yang aku suka. “Bagaimana? Kamu kelihatan kurus sekali, sakit?” tanyanya lagi. Aku tersenyum dan menjawab,”Aku memang sakit dari dulu, kamu kan tahu itu. Bagaimana pekerjaanmu, masih ditempat yang dulu?” aku balik bertanya untuk mengalihkan pembicaraan. “Ya, masih. Lumayan. Ada promosi dan aku diproyeksikan untuk posisi yang lebih tinggi.” Jawabnya. “Baguslah kalau begitu. Terus istri kamu bagaimana?” pembicaraan ini sebenarnya ingin aku hindari, tapi aku tidak kuasa menahan keingintahuanku. Hendri terdiam sebentar lalu berkata,”Baik. Dia lagi hamil satu bulan.” Aku tersenyum lalu terdiam. Hendri pun terdiam memandang aku. Aku pun mengalihkan pandanganku ke buku gambarku dan menutupnya lalu memasukkannya ke tas. “Kamu kurus sekali. Ada apa? Kamu sakit ya” tanya Hendri mendadak padaku dengan nada pelan. Aku menggeleng lagi dan berkata, “Tidak apa-apa. Bagaimana kehidupan baru kamu? Akhirnya kamu menikah juga.” Hendri mengiyakan tapi matanya tidak lepas memandangku membuat aku merasa tidak enak. Aku yakin Hendri tahu ada yang aku sembunyikan tapi aku tidak mau bercerita apapun padanya. Aku diselamatkan oleh pelayan yang mengantarkan teh. Hendri segera meminumnya sedangkan aku menunggu sebentar. Aku ganti memandang Hendri, merasakan rasa sayang yang dalam. Kemudian kami terdiam. Hendri memandangku lagi, tapi aku arahkan pandanganku ke luar jendela, aku tidak mau menatapnya, kalau aku menatapnya aku tidak akan bisa menahan diriku untuk bicara bahwa aku mencintainya.”Jadi, kamu sudah pindah kerja ya. Kenapa? Bukannya kamu senang bekerja disana?” “Ya seperti tadi aku bilang, aku mau cari suasana baru, sekaligus mengembangkan diri di bidang seni. Bagaimana dengan kamu? Kamu sudah menjadi pegawai tetap ya di kantor itu?” ucapku diakhiri dengan pertanyaan. “Ya, beberapa bulan yang lalu.” Hendri menjawab sambil mengeluarkan rokoknya. “Eh, tidak apa-apa kan aku merokok?” tanyanya lagi. Aku menggeleng dan berkata,”Aku juga merokok sekarang” sambil menunjukkan sisa rokokku di asbak. Hendri mengangkat alisnya dan berkata,”Heh? Kamu merokok sekarang? Aku pikir ini puntung rokok orang lain yang tertinggal disini, aku tidak sangka itu sisa rokok kamu. Kamu tidak pernah merokok kan?”“Dulu juga merokok, terus berhenti, sekarang mulai lagi.”jawabku santai, sambil mengeluarkan rokokku dan menyalakannya. Hendri terdiam melihat aku, aku tersenyum kaku dan bertanya,”Ada apa? Ada yang salah?” Hendri menjawab,”Aku lihat kamu berbeda. Ada apa?” sambil menatapku tajam. Aku tersenyum kaku dan berkata,”Tidak ada apa-apa, hanya kembali ke kebiasaan lama. Sudahlah, tidak usah terlalu perhatian seperti itu, kamu kemarin telpon aku katanya ada keperluan, boleh aku tahu apa?” Hendri terdiam sesaat dan berkata,”Ya aku mau mengembalikan barang-barangmu. Rasanya tidak enak kalau aku masih menyimpannya” sambil mengeluarkan bungkusan dari tasnya. “Maaf, kurang rapi membungkusnya.” Ujarnya lagi. Aku terdiam sesaat melihat ke bungkusan tersebut, aku tahu maksud Hendri, barang-barang dalam bungkusan itu merupakan barang pemberianku untuknya.”Wah, aku tidak bisa terima Ri. Aku sudah berikan ke kamu. Jadi sudah menjadi milik kamu. Aku tidak mau mengambil barang-barang ini lagi. Kalau kamu memang tidak bisa menyimpannya, berikan saja ke orang lain, jangan kembalikan ke aku”, ucapku pada Hendri. Hendri pun berkata,” Aku hanya tidak mau barang-barang ini menjadi beban bagiku. Atau kamu akan mengungkit-ungkit barang ini nantinya” ujarnya lagi. Aku tersenyum tipis dan berucap,”Tidak, aku tidak akan mengungkitnya. Itu milikmu, aku sudah berikan ke kamu. Selesai.”Hendri terdiam dan berkata,”Ya sudah kalau begitu. Aku akan simpan ini” Aku mengangguk lalu berkata,”Aku sepertinya harus pergi, Ri. Maaf sekali, aku ada janji dengan orang lain. Kamu tidak apa-apa kan? Kamu sudah selesai kan?”“Ya, tidak apa-apa. Terimakasih ya atas semuanya.” Ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk sambil balas tersenyum. “Kamu naik apa pulangnya?” tanya Hendri sambil berdiri dari duduknya setelah mematikan rokoknya. “Tidak tahu, mungkin taxi. Aku janji sama teman di daerah Kemang.” Ucapku sambil beranjak dari dudukku. “Sama-sama saja kedepannya. Aku boleh menumpang sampai dimana begitu?” tanyanya sambil menjejeri langkahku. Aku tidak mengiyakan hanya mengangguk pelan. Kami pun berjalan bersama setelah sebelumnya Hendri membayar teh kami.”Ada acara apa memang di Kemang?” tanya Hendri sambil berjalan. “Biasa, pertemuan rutin saja.” Jawabku singkat. Hendri mengangguk-angguk. Dari mulai kami berjalan sampai bersama didalam taxi, kami hanya diam. Dan aku mengutuk sekali hari ini karena aku masih mau bertemu dia. 

Mbak Rully memandangku. Dengan sabar ia menunggu apa yang mau aku katakan. Sementara aku mengusap-usap airmataku yang sudah tidak bisa terbendung lagi. Akhirnya dengan pelan aku berkata,”Aku masih mencintainya mbak. Sampai detik ini, bahkan pada waktu pertemuan kami tadi. Aku masih butuh waktu melupakannya.” Mbak Rully mengusap-usap tanganku dan punggungku sambil berkata,”Ra, kamu sendiri tahu kalau kamu tetap akan mengingatnya selama kamu masih bertemu dia. Lebih baik kamu memang sudah tidak bertemu dengannya lagi. Ra, apapun yang ingin kamu lakukan, kamu harus tahu, mbak mendukungmu. Kecuali kalau kamu masih menyakiti dirimu sendiri dengan menemuinya.” Aku mengangguk pelan dan berucap,”Aku tahu mbak, its really hurt me so much. Tapi at least, aku tidak mencoba mengakhiri hidupku seperti beberapa bulan yang lalu. Aku hanya perlu waktu untuk pergi dari sini sebentar. Karena semua tempat yang pernah kami lalui, seperti mengingatkan kembali akan kisah kami”. Mbak Rully bertanya lembut, “Kamu sudah tahu mau kemana? Dan bagaimana dengan mama kamu? Teman-teman, pekerjaan kamu? Kamu belum lama bekerja. Kamu tidak bisa begitu saja pergi kan?” Aku menggeleng dan berucap,”Aku tahu, aku tdak bisa pergi begitu saja. Aku ingin pergi sebentar dari semuanya, aku butuh waktu keluar dari kehidupanku yang sekarang. Hatiku sakit sekali mbak.” “Ya sudah, Ra. Kalau kamu memang butuh waktu untuk menyembuhkan hatimu. Pergilah ke suatu tempat. Tapi kamu tetap harus bilang ke mama kamu dan tempat bekerjamu. Supaya mereka tidak khawatir. Ra, sekali lagi, apapun keputusan kamu, mbak dukung. Jangan berpikir untuk bunuh diri lagi ya? Itu tindakan bodoh sekali dan mbak tahu seorang Rara bisa bertahan dari semuanya. Kamu itu lebih kuat dari dugaanmu sendiri, Ra. Kamu lebih berarti bagi orang lain apabila kamu hidup, dan itu yang kamu inginkan selama ini. Berarti bagi orang lain. Jadi, teruslah hidup, Ra. Untuk kamu sendiri dan untuk orang lain yang masih menyayangi kamu.” Ucap Mbak Rully bijak. Aku mengangguk dan tersenyum. Kamu benar mbak, hidupku lebih berati apabila aku hidup, aku belum mau mati, apalagi demi seorang Hendri, kata hatiku mengiyakan ucapan mbak Rully.

 

 

9 Agustus  2005, Pkl.19.00 Wib, di Apartemen Slipi, Jakarta Barat

“…Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday dear Rara…”. Aku berdiri didepan kue coklat cukup besar, dikelilingi para sahabatku. Hari ini ulangtahunku yang terlihat sempurna. Semua sahabat berkumpul disini, kecuali orang yang aku sayangi, Hendri. Ingin rasanya menangis tapi aku berusaha menahannya. “Selamat ya, Ra!” ucap sahabatku satu persatu sambil mencium pipiku. Aku tersenyum. Tiba-tiba hp-ku berdering, aku lihat sebuah nomer yang tidak aku kenal.“Halo” ucapku pelan, “Halo, bisa bicara dengan mbak Rara?”ucap suara di sebrang. “Ya, saya sendiri. Darimana ya?” tanyaku pada sipenelpon.“Saya, Intan, isteri Hendri. Maaf, saya mengganggu, bisa saya bicara sebentar?” jawab suara disebrang. Aku tertegun sesaat.”Intan? isterinya Hendri? Ada apa ini?”“Ya, ada apa ya?” jawabku kemudian.“Begini mbak, Hendri sekarang sedang dirawat di rumahsakit. Dia terjatuh di kamar mandi dan dia sekarang koma, mbak. Saya tahu seharusnya saya tidak menelpon mbak Rara tapi saya tidak tahu lagi berapa lama Hendri akan bertahan, dan kapan dia akan sadar. Saya berharap mbak bisa melihat dia dan memberi maaf kepadanya. Saya tahu mbak, Hendri sudah banyak melukai hati mbak Rara, walaupun Hendri tidak pernah cerita langsung ke saya. Karena itu saya terpaksa menelpon mbak Rara dan meminta mbak untuk membantu saya untuk membuat lega Hendri apabila dia memang ingin pergi.” “Kamu yakin kedatangan saya akan melegakan Hendri?”tanyaku setelah mendengar penjelasan Intan.“Saya tidak yakin, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba. Sebelum koma, Hendri pernah mengigau menyebut nama mbak dalam tidurnya sambil berteriak meminta maaf. Jadi saya pikir pemaafan dari mbak lah yang dibutuhkan oleh Hendri sekarang.” Ucap Intan yakin. Aku menghela nafas sebentar dan berucap,” Yang terjadi antara aku dan Hendri adalah masa lalu, aku sudah memaafkannya, sampaikan saja hal itu kepada Hendri. Aku menyesal atas apa yang terjadi pada Hendri, tapi aku tidak bisa menjenguknya, permintaanmu terlalu berat bagiku. Maaf.” Lalu akupun mematikan hp-ku tanpa memberi kesempatan pada Intan untuk bicara lagi. Rasa sedih pun menyergap dihatiku. 

 

11 Agustus 2005, Pkl.18.00 Wib, Rumah Sakit Pelni Petamburan, Jakarta Pusat

Hendri terlihat terbaring ditempat tidurnya dengan berbagai macam selang ditubuhnya. Tidak terlihat Intan berada didekatnya. Perlahan, aku duduk didekat tempat tidurnya. Aku menatap wajahnya dan tak terasa airmataku mengalir. Ada perasaan sedih dan sayang melihat Hendri terbaring tak berdaya. Aku menyentuh tangan Hendri lembut, menggenggamnya dan berkata pelan,”Halo Hendri. Lama ya, kita tidak bertemu. Akhirnya kita bertemu lagi, dalam keadaan seperti ini. Semoga kamu bisa mendengarku. Hen, masih ingatkah kamu dengan semua kenangan indah antara kita? Sayangnya, semua seperti tidak berbekas ketika hubungan kita memburuk. Tapi aku tetap mengingatnya terus. Kamu salah satu yang terbaik yang pernah ada dalam hidupku. Aku bahagia bersamamu dan aku menderita ketika kamu meninggalkanku. Hatiku sakit sekali karena kamu mengingkari janji untuk terus bersamaku. Tapi tetap perasaan tidak bisa diingkari. Kamu selalu ada dihatiku, Hen. Sampai kapanpun. Rasa sayangku melebihi kebencianku padamu. Karena itulah aku memaafkanmu. Hen, kalau memang pemaafanku yang kamu perlukan, bangun atau pergi, aku merelakanmu. Aku selalu mendoakanmu, sayang”. Lalu kulepaskan tangan Hendri dan pelan-pelan meninggalkan ruangan.  

 

20  April 2005, Pkl.10.00 Wib, Apartemen Menteng, Jakarta Pusat

Itulah terakhir kalinya aku menemui Hendri. Aku tidak tahu lagi kabarnya. Apakah dia sadar atau tidak, setelah kedatanganku, aku tidak pernah tahu. Intan pernah menelpon aku tapi aku biarkan. Karena aku tidak mau berhubungan lagi dengan siapapun yang terkait dengan Hendri. Dia adalah masa laluku, mimpi burukku sekaligus kenangan indahku, dan aku harus menempatkannya didalam kotak Pandora yang tidak boleh dibuka lagi.  

 

Selesai

 

BIOGRAFI PENULIS

Namaku Diyah Restiyati atau dipanggil Didy. Aku suka menulis puisi dan cerpen sejak SMP, karena aku suka menulis di buku harian. Hobi aku membaca terutama buku nya J.K.Rowling, Dewi Lestari, dan Agatha Christie. Aku juga punya hobi jalan jalan, terutama ke tempat tempat bersejarah, dan mencoba kuliner J

 


Komentar