sumber: pikiranrakyat
LIEVE
oleh: Maulidiah M3
(Juara 1
Cerpen Event Menulis Karya Bersama oleh KSK Pusat)
Masa-masa menengah pertama telah Lieve lalui dengan sangat
cermat. Setidaknya begitulah Ia
menilai semenjak berkolaborasi dengan dunia kerasnya di SMP. Kini, Lieve sudah
duduk di bangku SMA. Ada yang berbeda dari biasanya. Percakapan demi percakapan
Ia tangkap, dan Ia jadikan sebagai referensi penambah ilmu pengetahuan. Sekalipun
hal itu sudah Ia lakukan dulu, tapi kini
nuansanya berbeda. Sebab beberapa hal yang tak mampu dijabarkan dengan kata.
"Baiklah, waktu pengumpulan tanda tangan hanya sampai jam istirahat selesai. Setelah itu, silakan
kumpulkan buku tulis kalian di meja paling depan. Tidak ada toleransi keterlambatan
waktu", kata The
Master of Ceremony Masa Orientasi Siswa (MOS) tahun itu.
Menit berganti menit, dan Lieve tidak mendapat banyak tanda tangan. Sebagaimana SMA pada umumnya, selalu saja permainan ini
yang dilakukan saat MOS. Dalihnya, agar peserta didik baru bisa lebih mengenal siapa kakak kelas ekstrakurikuler (ekskul) yang nanti akan
diikutinya. Sampai akhirnya bel
3 kali berbunyi, tanda jam
istirahat telah usai.
Tidak ada hal istimewa yang terjadi hingga jam yang ditunggu
teman-teman Lieve tiba. Satu per satu ketua ekskul mulai bergantian mendemokan
kegiatannya. Ketua satu, ke ketua ekskul lainnya. Kelas
satu, ke kelas lainnya. Lieve
sangat menyukai dunia Jepang. Ia berharap di SMA yang mengedepankan intelektual
ini pun bisa Ia dapati ekskul berbau negeri tirai bambu itu.
Lepas dari khayalan Lieve, tiba-tiba Ia dikejutkan dengan sosok tinggi, putih, perawakannya asing dengan alis yang tebal. Namun, yang mengherankan Lieve
ialah dia berbahasa Jepang. Dari penglihatannya, Ia menduga bahwa orang itu hanya satu tingkat di atasnya.
"Dari tadi dia ngeliatnya ke kamu tuh Vi", kata Arin.
Sembari mendengarkan perkataan Arin, Lieve tertunduk menolak.
Malu katanya. Lagi pula, banyak perempuan yang ada di baris terdepan. Lebih
cantik darinya bahkan. Lantas mengapa harus Lieve yang Ia maksud?
"Mana mungkin", elaknya.
"Sedikiitt
aja, coba kamu lihat sana,
arah sana”, kata Arin sambil menggerakkan
dagu Lieve ke arah pembicara.
Beberapa detik kemudian, segera Ia
turunkan lagi pandangannya. Malu tiada
bukan saat Ia dapati kakak kelas itu
terfokus melihatnya saat Ia
pun menolehkan wajah padanya.
"Ndak, ndak, ndak mau lagi"
"Masih tetep loh dia
lihatin kamu itu", paksa Arin.
"Biar, biarin aja, diem"
"Arigatou gozaimasu, minna", kata kakak kelas
itu sambil membungkuk ala Jepang.
Derak kakinya melangkah sungguh mantap, tapi ketakutan Lieve
masih memenuhi pikirannya. Di tengah rundukan kepalanya, tiba-tiba secarik
kertas muncul tepat di depan mata. Diletakkan di atas meja beserta pulpen
berwarna purple.
"Boleh minta nomermu?" katanya
Sontak saja Lieve terkejut, hendak menolak tapi kata-katamya
terputus dengan segera.
"Kamu suka menggambar, aku bisa melihat itu"
Mendengar pernyataan kakak kelasnya, akhirnya Lieve terdiam.
Barulah Arin berulah, menuliskan nomer ponsel Lieve dari hp-nya. Lieve jelas tidak
mengetahui sebab masih sibuk berdebat dalam
hati, bagaimana bisa Ia
tahu?
"Terimakasih, nanti aku hubungi" kata laki-laki itu
Siapa, apa, kok bisa, kenapa, dari? Gumamnya dalam hati dengan cepat. "Aaaariiiiinnnnn",
dengan gemas kesal Ia mencubit teman sebangkunya itu. Betapa
usilnya dia. Segera Lieve bangun, hendak mengambil
secarik kertas itu, tapi saat Ia
menolehkan wajah ke kiri tempat pintu keluar kelas, yang Ia dapati ialah tatapan hangat dari seseorang berwajah Arab,
asli. Tidak setinggi kakak kelas yang tadi, hanya saja yang sekarang ada di
depannya tampak mengerti semua tentang dirinya.
"Heeyy, jangan ngelamun", dorong Arin
Lieve terkejut, begitu pun
Thana -kakak kelas berwajah Arab
itu-. Bersamaan dengan kagetnya, Thana segera
memalingkan wajah dan berlalu dengan gesit menerobos desakan penonton yang
melihat demo ekskul. Siapa
dia? Gumam Lieve dalam hati.
Saat di kos, dulu Lieve sendirian.
Lieve merasa ingin pulang ke rumahnya saja. Rasa bosan berdiam diri di kamar
kos tanpa ada lawan bicara seakan tak bisa Ia elak lagi saat
itu. Akan tetapi, semenjak kepindahan mbak kos di samping kamarnya,
Ia mulai merasa betah, dan
semakin hari semakin banyak pula kenalannya. Lieve pun sudah mulai menjadi guru
les anak-anak SD di sekitar kosnya. Komentar mereka, Lieve seperti seorang ibu
yang setiap menjelaskan maka anak-anak
bisa dengan mudah memahami.
"Nduk, kalau sudah selesai nanti langsung pulang ya,
jangan main! Lieve, suruh anak-anak
langsung pulang ya!"
kata tetangga kos yang baru pulang dari
pengajian rutin malam Sabtu. Ia menitipkan anaknya untuk
les pada Lieve. Sehari anak-anak selalu membayar Rp.
1.000,-. Sebenarnya uang itu sudah berkali-kali Lieve tolak. Namun, semakin
Lieve menolak, semakin pula anak-anak itu menampakkan wajah mewek yang tak tega
Lieve saksikan.
"Iya, Bu, ini sudah pulang kok"
sembari tersenyum. Anak-anak pun berpamitan pada Lieve dan
pada uti kos yang ada di sana.
Begitu pun pada mbak kos Lieve.
Mereka seolah seperti keluarga yang anak-anaknya baru akan berangkat sekolah.
"Asalamualaikum", serentak anak-anak
"Alaikum salam" Tak
selang berapa saat, ruang tamu mulai sepi. Para mbak kos dan uti kos satu per
satu pamit masuk ke dalam kamar. Begitu pun Lieve. Ceklek, pintu ditutup.
***
Keesokan paginya di sekolah -depan kelas-,
Lieve berdiri melihat ke lantai bawah. Bel sekolah telah berbunyi,
tak selang berapa lama,
"Minggu esok ada acara cosplay di Mall G, dresscode
merah hitam jangan lupa, nanti kamu bareng aku di karpet merah", sedetik
kemudian Ia pergi tanpa menerima
pertanyaan yang mendadak muncul di pikiran Lieve . Minggu?
Kan esok? Cosplay? Karpet merah? Bareng aku? Kenapa aku? Katanya dalam hati. "Ariin,,,"
"Maaf Vi,
aku sibuk. PR belum, sana tu” sambil
menunjuk seorang lelaki berperawakan gemuk. Arkaan namanya, Ia juga memilih ekskul Otaku. Dia gamers. Dan, terkenal sangat acuh.
"Yo, minggu ikut?", tanya Lieve
"Iya, kamu?" jawabnya
"Aku takut, kenapa harus aku yang sama dia?"
Tio mendadak tertawa dengan keras. Lieve heran melihatnya.
"Ini nomerku, kupastikan kamu ndak
kira kenapa-kenapa, jadi datang saja, di sana kamu cuma harus jalan, di karpet
merah, turun, sudah, gampang kan?" celotehnya sambil terus bermain gawai.
"Ya aku tauu, tapi kenapa harus aku"
"Kamu akan tau jawabannya setelah jam pulang nanti. Kumpul
kan? Oke", tanpa basa-basi Tio mengakhiri pembicaraan. Lieve diam, berusaha mengumpulkan paham
meski sedang dirundung kebingungan. Kala itu, kelas tidak kondusif. Guru-guru
rapat, dan memakan jam pelajaran sangat lama.
Terhitung 45 menit setelah percakapannya
bersama Arkaan, seorang guru masuk ke kelas, dan meminta semua siswa tanpa
terkecuali turun ke lantai bawah, lapangan upacara tepatnya. Kepala sekolah
akan mengenalkan satu per satu nama guru beserta pelajaran yang diampunya, dan
selepas perkenalan guru-guru selesai, anggota Otaku pun berkumpul di bawah pohon. Lieve
datang bersama Tio. Mau dengan siapa lagi? Di kelasnya hanya 2 orang itulah
yang tertarik mengikuti Otaku.
Selangkah dua langkah, tidak ada keraguan dalam jejak Lieve.
Mendekati pohon, Lieve tersadar bahwa di sana
hanya ada laki-laki.
"Loh, Yo?", kaget Lieve sambil menghentikan
langkahnya.
"Yap, you're right! Kamu adalah satu-satunya
perempuan setelah kakak kelas kita vakum karena hampir UN", jawab Tio.
Namun, sudah terlambat untuk kembali.
"Semua pakai dresscode
hitam merah. Kamu, dek, usahakan jilbab hitam. Bawahnya baru campuran hitam merah.
Yang laki, usahakan ada merahnya. Banyakkan hitam. Sepatu hitam. Kaus kaki pun
hitam kalau mau pakai. Dek, ingat, setengah 8 sudah harus di lokasi. Acara
dimulai jam 8 dan jam 8 kurang 10 menit kita bersiap di belakang panggung.
Lokasi lantai 3 seperti biasa. Tio bisa jadi penuntun. Kalau bingung, nanti
telpon kakak. Semua stand by di
lokasi tepat jam yang sudah kusebut tadi. Semangat!!!", serangkaian acara
penting yang nominalnya pun penting rupanya tanpa jeda dilontarkan kakak
kelasnya itu.
Dia bernama Aian, hanya saja lebih dikenal
sebagai Kirito. Tidak ada satu suku kata pun yang merujuk pada nama tersebut.
Mungkin karena Ia pernah membawakan aksi yang mirip Kirito, maka Ia dijuluki
sebagai Kirito. Dia kelas 12, artinya sudah merupakan tetua di Otaku
ini. Belum siap Ia lepas jabatan, sedang Ia sebentar lagi akan vakum karena
ujian, dan posisi tertinggi sementara akan dipegang oleh Thana, selaku
penasihat Otaku. Dalam kerjanya, Aian
sangat imbang dengan Thana. Yang satu begitu cepat, tangkap, terperinci dan
satu lagi lembut tapi sigap, tangkas tapi tidak ceroboh, mendetail, mendalam. Tidak pernah
ada pertengkaran di antara mereka. Sejauh ini persahabatan pribadi dan
kerjasama mereka dalam Otaku begitu lancar. Jaya.
Thana, penasihat Otaku. Dia duduk di bangku kelas 11,
setingkat di atas Lieve. Lembut perawakannya. Tentunya, dalam hati pun. Di kalangan sekolahnya, Ia seperti artis yang terkenal tidak pernah suka maupun jatuh
cinta pada perempuan. Entah tersebab apa, yang pasti dia bukanlah salah satu
orang yang mengidap kelainan. Menjelang
pulang sekolah, Lieve dan Tio segera kembali ke kelas untuk mengambil tas
mereka. Keduanya pulang berjalan kaki, tetapi berbeda arah.
Keesokan harinya, kesibukan perempuan menanti Lieve, dan saat ini harus
dibarengi dengan persiapan menuju Mal G. Masak, menyapu, dan mencuci baju sudah dilakukan. Sisa persiapan bersolek,,, aaaa hal ini yang tidak Ia ketahui. Walhasil, "(tok tok tok) Mbaak,," sembari mengetuk pintu. Beberapa menit kemudian,
dibukalah pintu kamar sebelah.
"Looh, gini-gini mau kemana?" tanya mbak kosnya.
"Lieve ndak tau make up mbaak, ada acara cosplay,
lah yak apaa nanti jalan, ah,
kan nan..."suara
Lieve terputus
"Sssssth,,
pokok dateng. Sini masuk" Lieve
berhenti bicara, mbak kosnya langsung melakukan pekerjaan sesuai yang Lieve
mau. Dandanannya tidak terlalu mencolok, tampak natural dan tetap manis di
wajah Lieve. Belum sempat Lieve bicara, mbak kosnya langsung menuntun Lieve ke luar kamar.
"Nah, jamnya, lihat! Sudah kurang berapa? Jadi jangan terharu duluu dan sana dah
berangkat, hati-hatiii", sambil melambaikan tangannya dan menutup pintu agar Lieve langsung berangkat.
Kriing
"Dek, posisi dimana? Ini kakak, Thana.
Maaf ndak izin
dulu untuk minta nomor.
Tak jemput sekarang ya", katanya
"Loh, sudah di angkot, Kak"
"Hmm maaf lama ndak ngabari kalau kakak disuruh
jemput, nanti pulangnya bareng sudah" jawabnya lembut. Bicara-bicara-bicara-banyak,
selesai, tutup, dan sampailah Lieve di Mal G. Tio sudah
menunggunya di depan parkir mobil. Kemudian mereka berdua masuk dan mencari
teman-teman lainnya. Sesampainya di
lokasi, alangkah bahagianya Lieve karena Ia tidak diwajibkan naik ke atas karpet pula. Lieve bersama
sederet penonton pun sekarang berdiri dan hanya melihat. Sedang yang lainnya
sibuk menggapai tangan para cosplay, berswafoto, bersorak, melompat
kegirangan, dan hal lain yang tidak
terpikirkan oleh Lieve.
Usai semua penampilan selesai, semua berfoto. Lieve
terkejut saat Ia diminta berdiri di
samping Kirito. Dengan kaku Ia
berdiri dan memaksakan wajah untuk senyum. Sedang jam sudah semakin meninggalkan siang, beranjak sore.
"Dek,," sapa Thana
"Iya? Emm
akak yang tadi?"
"Iya, ini akak, mau pulang kapan?", tanya Thana
"Emm, terserah
akak" jawabnya perlahan. Saban Lieve mengucap
kata Emm, hanya ada satu kemungkinan yang terjadi, yaitu: Ia sedang
diundung kegugupan.
"Sekarang?"
lanjut Thana.
"Emm, boleh"
Lieve tak pamit pada yang lainnya. Cukup
Thana yang bersua. Ia merasa canggung karena merupakan satu-satunya perempuan.
Selangkah dua langkah mundur, Thana memperhatikan dengan jalan perlahan. Akhirnya
mereka pun pulang. Pergi ke arah parkiran, dan
melaju dengan kecepatan sedang. Saat
itu, yang mereka cakapkan hanya seputar poin-poin penting. Lebih banyak diam.
Meski keduanya nampak berusaha keras meredam kikuk, dan hal itu berlanjut
sampai tiba ke kos Lieve.
"Terima kasih
banyak, Kak" pada Thana. Mengiyakan
kata-kata Lieve, Thana pun pamit pulang. Selama Lieve di Mal G, Ia terlalu fokus dengan
orang-orang, sampai lupa tidak makan, pun pagi harinya Ia tidak sarapan. Masakan yang sudah disiapkannya ternyata masih tertata rapi
di atas meja, belum tersentuh. Usai
melaksanakan shalat, Lieve pun makan, kemudian tidur.
Esok paginya di sekolah, Lieve tidak merasakan gejala sakit apapun. Namun, saat Ia sedang berjalan, tubuhnya
terasa gontai, dan dingin gemetar. Lieve
hanya sendirian. Entah kemana perginya Arin. Lieve
hendak berjalan menuju kantin untuk makan. Bukan sarapan. Lieve tidak sadar bahwa dirinya diikuti oleh Thana, dari
kejauhan. Merasa dirinya mulai tidak
kuat berjalan, Lieve pun berbelok ke kiri, di taman, dan mencari tempat duduk
yang sepi. Ia tidak ingin dibawa ke UKS. Tidak menyukai obat, dan takut
kalau-kalau nanti akan disuntik. Berdiamlah Lieve di sana, beberapa saat meletakkan kepala di tumpuan kedua tangannya.
Sebentar-sebentar Ia
gosokkan kedua tangannya lalu melihat dengan wajah cemas. Tangannya pucat,
seperti baru saja berendam di air es. Gemetarnya seolah Ia berada di puncak gunung. Tidak dapat disangkalnya
lagi.
Tengah sibuk menenangkan tangannya, Thana pun datang
menghampiri.
"Kenapa dek?", tanya Thana
"Ndak papa, kak" sambil
terus-menerus menyatukan kedua tangannya erat-erat. Thana yang sedari tadi
memang sudah mengikuti Lieve, Ia paham bahwa Lieve sedang tidak enak badan,
sesuai yang dikhawatirkannya kemarin saat acara cosplay. Hendak
dibawa ke UKS, Lieve langsung menolak. Thana bersedia mengantarkannya pulang ke kos apabila Lieve menerima tawarannya.
Bahkan pun Thana tidak akan keberatan untuk
mengantarkan Lieve ke rumah sakit jika Lieve
mau. Semua tawarannya sudah dilontarkan tetapi Lieve tetap tidak mau berkutik
dari tempat duduknya. Gemetarnya semakin terlihat, tapi Lieve tetap mengatakan Ia tidak apa-apa.
Thana pun menjulurkan
tangannya ke tangan Lieve. Digenggamnya dengan kedua tangan, diam sebentar
sambil terus menunduk. Lieve hanya diam, di samping kebingungan dengan apa yang
dilakukan Thana, Ia pun tidak menolak karena
genggaman itu terasa meredakan gemetar Lieve. Tidak lama setelahnya, Lieve
tidak lagi merasa kedinginan, pucat pada tangannya sudah menghilang, saat
diminta berdiri pun Ia
tidak lagi merasa lemah. Lieve hampir menangis gembira, tapi segera Ia tahan dan kemudian
berterima kasih pada Thana.
"Kok, bisa?", tanya Lieve. Thana hanya menggelengkan kepala lalu tersenyum, dan dibalas senyuman
pula oleh Lieve.
***
Hari-hari MOS hampir usai. Kini, saatnya diklat wajib untuk para
siswa di bawah bimbingan
kepanduan. Semua tenda sudah disiapkan di bumi perkemahan (buper). Lieve satu kelompok
dengan Arin. Regu putra dan putri terpisah. Saat mendirikan tenda, Lieve
dibantu dengan Thana. Ya, selain
Otaku, Thana pun mengikuti ekskul kepanduan, dan saat ini Ia
tengah berjuang untuk menjadi panitia pendamping regu Lieve.
Upacara pembukaan dimulai, Lieve ada dalam pengawasan Thana.
Lieve tahu akan hal itu. Jelas sudah ada kontak sebelum keberangkatan mereka,
sebab Thana mulai rutin menjemput dan mengantarkan Lieve kemana pun Lieve butuh. Dan
pagi tadi, Lieve sebagai siswa baru seolah mendapat kehormatan di antara
teman-teman lainnya karena memasuki buper
bersama panitia pelaksana. “Ah, harusnya aku minta turun saja di depan sana dari pada harus jadi pusat tontonan seperti
ini" gumam Lieve dalam hati. Dari gelagat Thana bergerak,
Lieve pun menyimpulkan bahwa Thana juga memikirkan
hal serupa. Namun demikian, saat itu Lieve tidak tahu bahwa dalam pandangan
kakak kelasnya, Ia adalah perempuan pertama
yang Thana dekati.
Usai upacara pembukaan, materi pertama dimulai. Tempat duduk
Lieve tidak luput dari pengawasan Thana. Beberapa jam dilalui, berbagai kegiatan
pun dilalui. Hari pertama Lieve di buper itu sangat lancar. Tidak ada kendala
yang mengganggu. Keesokan harinya adalah jadwal untuk penjelajahan. Thana
diminta untuk beristirahat oleh pembinanya. Namun, Ia bersikeras mengatakan tidak apa-apa, belum penat juga. Jadi Ia meminta jatah untuk menemani
regu yang menjelajah.
Lieve tetap dalam pengawasan Thana sampai regu kembali ke buper untuk persiapan salat.
Teman-teman Lieve bersamaan menuju musala. Lieve berdiam di tenda sendirian sebab hari ini Ia mendapat jatah rutin bulanan libur
salat. Tak selang beberapa lama,
pusing kembali Ia rasakan, dingin, gemetar.
Ia paksakan diri untuk tidur
hingga lepas jam salat.
"Lievee..."
"Lieve... Bangun. .." kata teman-temannya sepulang
shalat
"Lieve..."
Berkali-kali temannya membangunkan, tetapi Lieve tidak bangun
juga. Sedikit dipukul, didorong, berteriak, tetap saja Lieve tidak bangun. Padahal regu mereka harus latihan yel-yel.
Lieve tetap terlelap sepeti orang koma. Hingga datang salah satu
pendamping -seorang perempuan-, Ia memanggil nama Lieve, sontak Lieve langsung terperanjat bangun
dan menjawab, "Iya?"
sembari duduk dengan memejamkan mata. Teman-teman lainnya
dikagetkan oleh Lieve yang segera bangun dari tidur. Tadinya mereka khawatir Lieve pingsan,
tetapi sekali mbak tadi membangunkan, Ia langsung bangun seolah tadi tidak dibangunkan.
"Ayok ikut mbak ke depan", kata pendamping itu
"Kemana mbak?"
"Ayodah ikut"
Lieve segera bangun,
dan beranjak mengikuti langkah pendamping itu. Jarak antara tenda Lieve ke depan sekitar 12 meter.
"Dek, kamu kuat?" tanya mbak tadi
"Iya, mbak"
"Loh dek, ayo ke UKS"
"Ndak mbak, kuat kok"
"Kok sandaran
kalau kuat?"
Lieve tidak sadar bahwa sejak tadi, Ia berjalan
sambil bersandar pada pendamping itu. Sontak Ia
terkejut, dan berusaha berjalan
lebih menekan ke arah lawan. Walhasil,
Lieve hampir jatuh ke tanah lapang. Tim kesehatan dengan sigap langsung merangkul Lieve dan
membopongnya ke tenda kesehatan. Tidak dapat dielak lagi, Lieve kembali sakit.
Tangannya pucat, gemetar kuat, tak
hanya tangan kali ini, tetapi seluruh badan. Seisi tenda panik dengan keadaan
Lieve. Tangan, kaki, dan lengan sudah disapu oleh minyak kayu putih. Cadangan
selimut sudah dikeluarkan semua. Rangkap 5 selimut pun sudah dipakaikan pada
Lieve. Tak lupa pula jaket. Lieve diminta memakai
jaket kulit tebal milik pemimbing ekskul PMR. Namun, semua
usaha itu rupanya belum juga meredakan
gemetar Lieve. Ia tetap kedinginan,
bibirnya biru pucat. Tangannya seperti baru saja berendam air es dalam jangka
waktu lama.
"Dimana", tanya Thana buru-buru. Pendamping yang tadi menjemput
Lieve langsung menunjuk ke arah Lieve. Tanpa lama, Thana langsung melepas
sepatu dan dengan satu langkah besar Ia sudah berada di samping kanan Lieve. Lieve tahu, Ia menoleh ke arah kanan,
menatap orang yang baru saja Ia
kenal beberapa hari, tapi seolah sudah
benar-benar mengenalnya lama. Seperti sedang menemukan pendaman yang selama ini
Ia cari. Ia tatap mata yang mulai membiaskan air mata, menoleh ke
belakang sekejap lalu berkurang genangannya.
"Lieve ndak papa kok.." sambil tersenyum.
"Maafin kakak, kalau tahu akan seperti ini, kakak ndak
akan turuti permintaan pembina tadi", jelas Thana. Lieve menatap dengan wajah heran, matanya mengisyarati
pertanyaan, tetapi bibirnya tak mampu berkutik untuk mengeluarkan suara.
"Kakak diminta untuk istirahat karna beliau menganggap
kakaklah yang paling banyak bekerja.
Kakak sudah nolak, agar kakak bisa tetap ngawasi adek. Kakak sudah
bilang kalau kakak akan istirahat nanti malam saja setelah regu-regu tidur,
tapi tetap saja beliau minta kakak istirahat. Makanya kakak minta teman kakak untuk manggil
adek, ternyata malah dia datang sendirian bilang adek ada di tenda kesehatan.
Kakak minta maaf" katanya sembari
menunduk.
Penjelasan itu seolah membuka tabir pada diri Lieve. Tepat
setelah Ia masuk ke bumi perkemahan
itulah Ia merasa sakit. Rupanya
bersamaan dengan itu, Thana tidak diizinkan masuk ke dalam buper. Saat ini,
Lieve tengah berjuang melawan kedinginan yang benar-benar terasa menusuk. Lieve
lemas. Teman-temannya datang
mengantarkan jatah makanan Lieve. Tim kesehatan dengan sigap membuka, dan hendak
menyuapkannya pada Lieve. Namun, Thana segera menghalang tangan tim,
"Apa?"
tetiba sebentar menatap lengannya lalu mengalihkan pandang pada Thana.
"Jangan disuapi dulu. Pedes ndak?",
tanya Thana
"Ndak, ini nasi goreng"
awal perdebatan seolah baru saja dimulai.
"Iya aku tahu, coba dulu pedes
apa ndak?” tanya Thana sekali lagi. Tim kesehatan sambil lalu mengangkat Lieve
dan meletakkan tas di belakangnya agar Ia bisa duduk.
"Ndak Than, ndaak. Nih, ndak” terlihat tangannya mengambil sesendok
nasi danmencicipinya. Berkali-kali tim kesehatan mengatakan tidak pedas, tetapi
Thana tetap saja tidak yakin. Akhirnya Thana pun menghirup aroma nasi goreng
tesebut.
"Aku kan
sudah ndak percaya, ndak apanya? Jangan! Jangan suapi. Lieve ndak akan
kuat" Thana menjauhkan nasi goreng
itu dari depan Lieve. Tim kesehatan pun tidak terima. Bagaimana bisa mereka
terima sedang Thana hanya menghirup sebentar, dan tim sudah mencicipi secaa
nyata. Menarilah nasi goreng itu ke kanan ke kiri karena jadi bahan rebutan.
Namun, Thana terlambat. Tim kesehatan dengan sigap menyuapkan sepucuk nasi
goreng ke arah Lieve. Lieve yang sedai tadi hanya memejamkan mata, pikirnya
tidak terkoneksi pada perdebatan yang sedang berlangsung. Thana mulai menarik
napas cepat, tanda kesal.
Tak selang berapa lama, sontak
bibir Lieve memerah, tangannya terus-menerus memukul pelan-pelan bibirnya yang terkena pedas. Ia mulai membuka matanya karena kepedasan, berulang
kali Ia ucap kata pedas sambil
kebingungan bagaimana cara mengatasinya.
Thana marah sambil panik, tim kesehatan pun ikut panik. "Air, air”. Suasana tenda mulai grasah-grusuh. Diberikannya
air pada Lieve, tapi pedasnya tak kunjung reda. Bibir Lieve tetap merah, pedih
katanya. Lieve hampir menangis,
Thana tetap saja memarahi tim kesehatan. Alih-alih minum, mereka meminta Lieve
untuk mendekatkan botol dinginnya ke arah bibir, supaya berkurang sakit karna
pedasnya. Namun, usaha itu tetap tidak
berhasil.
"Suruh panitia konsumsi ambil makanan, jangan pedes,
bawa sini", perintah Thana. Salah
satu tim kesehatan gopoh berlari
menuju dapur. Beberapa saat di sana, dan kembali dengan
membawa sepiring nasi kuah bening, tahu,
tempe, kerupuk. Belum sampai sendok itu ke bibir Lieve, Thana kembali mencegah
tangan tim untuk menyuapkan. "Pedes ndak?" tanyanya sekali lagi. Tim kesehatan
melihat Thana dengan ekspresi mengejek, dan setengah tertawa.
"Kamu ni luucu. Kuah kayak gini ya ndak
mungkin pedes", bantah tim kesehatan. Namun, Thana tetap saja tidak
percaya. Hendak berucap, tetapi tim yang baru saja berlari mengambil makanan
itu langsung angkat suara
"Ndak, ndak dikasih
sambel itu!" jawabnya mantap. Namun, lagi-lagi Thana tidak percaya.
Dimintanya piring nasi itu, dan Ia ulangi hal tadi. Menghirup sebentar, lalu
menjauhkannya dari wajah Lieve dan wajahnya sendiri. Sembari merentangkan
tangan kanan ke arah serong kanan, Thana kembali naik pitam setingkat.
"Siapa yang nyajikan? Aku
bilang jangan pedes kenapa masih juga pedes?" Napasnya sudah naik-turun dengan cepat.
Bibirnya semakin kecil karna dirapatkan. Matanya mencari sesiapa yang baru saja
membawa nasi sepiring tersebut.
"Kamu ni, aku sudah nyobak, lah
kamu cuma nyium bilang pedes. Ini ndak pedes!!!"
tim kesehatan ikut naik pitam. Matanya sudah menampakkan kekesalan. Wajahnya
mulai 3 sentimeter dinaikkan dengan bola mata yang tetap mengarah pada mata
Thana. Jika saja ada rasinggan, mungkin kedua belah pihak sudah saling
mengeluarkan jurus jitu.
"Ini pedes. Bagi Lieve ini pedes",
bantah Thana
"Ini ndak pedes, Than! Ini ndak pedes! Aku nih tim kesehatan! Aku lebih tahu ketimbang kamu!!!" marahnya
"Aku ini kakaknya! Aku lebih paham mana yang pedes
buat adekku dan mana yang ndak!!!"
Tak selesai Thana berkata, tim sudah
menyuapkan sesendok nasi ke arah Lieve. Lieve tidak begitu kuat merespon
pertengkaran antara Thana dan tim kesehatan. Ia hanya memejamkan mata sambil menepuk pelan-pelan
bibirnya yang peih kena pedas. Sekali kunyah, Lieve seketika membuka mata,
semakin kebingungan mencari air. Bibirnya semakin perih, terlalu pedas. Tak
kuat sudah Ia menahan air matanya. Tim pun semakin ketakutan,
panik, dan bingung. Takut karena sudah kalah debat dan menyebabkan hal yang
lebih buruk lagi. Lieve semakin tidak dapat bernafas, wajahnya sering
menengadah ke atas demi bisa menarik secarik udara.
"Aku sudah peringatkan kamu!! Tapi, arrgh... Kamu jaga adekku! Aku mau masak
sendiri untuk adekku!" ucap Thana cepat. Tim tak mengelak lagi. Mereka
kemudian membaringkan Lieve, segera Lieve mendekam di bawah selimut. Tas mulai
dipindah ke samping Lieve agar angin tidak dapat masuk mencela rongga. Tak selang berapa lama,
Thana pun datang dengan nasi yang
dimasaknya sendiri. Ia juga membawa
segelas jus jambu merah tanpa es. Disuapkannya pada Lieve, dan perlahan Lieve tidak merasa kepedasan lagi. Usai menghabiskan makanannya,
sedikit demi sedikit Lieve meminum jusnya. Tim kebingungan, bagaimana bisa seperti ini.
Lepas makan, tim dan Thana fokus pada gemetar yang dialami
Lieve. Dengan itu, Thana menggenggam tangan kanan Lieve menggunakan kedua tangannya. Tangan
kiri Lieve digenggam oleh tim kesehatan. Sebelumnya, tim kesehatan dan
perwakilan masing-masing ekskul yang
ada di dalam tenda kesehatan sudah bergantian menggenggam
tangan Lieve agar hangat.
Sedikit-sedikit ditiup, tetapi tidak ada yang berhasil. Kali ini, Thanalah yang
menggenggam tangannya. Sebagaimana di taman, Thana pun berhasil menghangatkan
tangan kanan Lieve. Imbasnya ke arah lengan pun Lieve tidak merasa kedinginan.
Thana tetap menggenggam tangan Lieve. Sebelah kiri pun tetap digenggam. Dari
saking dinginnya tangan kiri Lieve, Ia
meminta agar tim kesehatan meniru cara Thana menggenggam Lieve. "Mbak,, emmm genggamnya, kayak ini,
boleh?" tanya Lieve dengan tangan
kanan sedikit dinaikkan, sedang haluan wajahnya tetap ke arah tim. Tim pun
meminta Thana untuk menjelaskan bagaimana cara Ia menggenggam Lieve.
Setelah benar-benar persis seperti yang Thana ajarkan, barulah
tim menggenggam tangan kiri Lieve lagi. Menunggu beberapa saat, rupanya tetap saja. Lieve hanya merasakan
hangat pada tangan kanan. Thana pun meminta untuk berpindah tempat. Tangan kiri
Lieve digenggam Thana,
tetapi tangan kanan Lieve
tidak boleh disentuh siapa pun. Ia meminta Lieve untuk memasukkan
tangannya ke dalam selimut. Setelah beberapa saat tangan kiri Lieve digenggam,
barulah Lieve merasa kedua tangannya sudah mulai hangat, gemetar tubuhnya perlahan mulai berkurang. Kini
beralih pada kaki. Lieve diminta untuk duduk, bersandar pada tim kesehatan.
Lalu sama halnya dengan tadi, Thana memegangi kaki Lieve sebagaimana tadi Ia menggenggam tangan
Lieve. Dan,, tak lama kemudian, Lieve tidak lagi merasakan dingin dan gemetar.
Malam itu, Lieve tidur di tenda kesehatan, dan Thana dengan tenang dapat tidur
di tenda pendamping.
Kegiatan esok harinya, Lieve tidak boleh ikut. Ia hanya duduk
menyaksikan dari tenda, ditemani Thana dan beberapa tim kesehatan. Siapa yang
menyangka, bahwa hal ini menjadi buah awal pertengkaran antara ketua Otaku
dan penasihatnya? Yang semula sangat akrab, menjadi seperti musuh bebuyutan
yang sama-sama mempertahankan satu hal. Ya, satu hal saat itu, Lieve.
Biodata Narasi
Maulidiah Nur Hikmah (emtiga).
Alumni jurusan Bahasa di salah satu SMA favorit swasta Kabupaten Jember. Cerita
pendek ini didedikasikan kepada sosok inspiratif yang telah berhasil membantu
Emtiga dalam mencapai pribadinya. Beberapa kisah lainnya dituliskan dalam karya
padat –puisi– yang dapat dikunjungi setiap waktu di mldpuisi.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar