Kumpulan Cerpen - The Devil

7 Cara Berdamai dengan Masa Lalu dan Memulai Hidup yang Lebih ...

sumber: kumparan.com

THE DEVIL

Oleh: Firda Rezki W

(Juara 3 Event Karya Menulis Bersama oleh KSK Pusat)

            Iblis seringkali di umpamakan dengan sosok kejam, bengis, egois, dan beragam sifat buruk lainnya. Iblis seringkali digambarkan sebagai sosok yang memiliki tanduk besar, sorot mata tajam, dan sayap sehitam malam yang membentang di angkasa. Sosok yang mampu membuat siapa pun lari ketakutan begitu merasakan hawa kehadirannya.

            Mungkin dari segi penampilan tidak akan jauh beda dengan sosok iblis muda dalam cerita ini, tapi pernahkah kalian berpikir seorang iblis memiliki harapan, rasa iba, dan kasih sayang? Percayakah kalian jika kukatakan seorang iblis menolong manusia?  Mungkinkah seorang iblis memiliki hati sebaik malaikat?

***

            “KEVIN!” bentak seorang pria paruh baya dengan mata nyalang. “Lagi-lagi kamu melanggar peraturan ayah,” ucapnya sambil menarik lengan pemuda itu dengan kasar.

            “Ti---tidak, ayah. Kali ini aku tidak sengaja,” aku Kevin sambil meringis.

            Hanya sorot tidak percaya yang ditunjukkan ayahnya sebelum ia dilempar masuk ke dalam ruangan yang terlihat seperti gudang. Ini kali kedua ia berada di tempat berdebu itu. Pertama, saat ia dengan sengaja membebaskan rusa buruan ayahnya. Dan sekarang, ia tak sengaja menjatuhkan lukisan yang berada di ruang kerja ayahnya, dimana seharusnya ia tak boleh ada disana.

            Jika di teliti dengan baik, kalian akan tahu dia adalah seorang iblis. Hanya saja tanduknya terlalu pendek, sementara sayapnya selalu ia sembunyikan dibalik jubah. Penampilan Kevin membuat ia sering disebut sebagai ‘Iblis Gagal’. Pasalnya, teman seusianya tak pernah menyembunyikan sayap mereka dan tanduk mereka pun jauh lebih besar dari milik Kevin.

            Karena merasa bosan, Kevin memutuskan untuk melihat-lihat isi gudang. Banyak barang lama disana, bahkan boneka jerami buatannya juga ada disana. Semakin lama berkeliling, ia baru menyadari bahwa ruangan itu cukup luas untuk disebut gudang.

            Kini ia menatap benda besar yang dibungkus kain dan terletak di sudut ruangan. Karena penasaran ditariklah kain itu. Debu beterbangan dimana-mana dan membuat ia batuk.

Ternyata cermin.

            Cermin itu terlihat kuno. Ia menyentuh cermin itu dan…

            “Tembus,” gumamnya dengan nada terkejut.

            Karena merasa hukumannya akan berlangsung lama kali ini, Kevin memutuskan untuk masuk ke dalam cermin. Penasaran dengan dunia seperti apa yang ada di baliknya.

***

            Tangannya ia letakkan beberapa senti di depan matanya untuk menghindari cahaya terik yang membuat pandangannya sedikit kabur. Perlahan diturunkan jemari itu begitu matanya telah dapat menyesuaikan cahaya dengan baik. Kevin pun menoleh ke arah sekitar.

            Ia mendongak ke atas dan kagum pada gedung-gedung pencakar langit yang ada disana. Yang tak dapat ia pungkiri adalah sorot mata orang-orang yang memandangnya aneh. Penampilan Kevin terlihat kuno dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan orang-orang yang berlalu-lalang.

            Sebagian dari mereka berbisik, ada yang mengambil gambar dengan poselnya, namun tak sedikit pula yang memilih berlalu begitu saja karena tidak tertarik.

            Kevin berkedip beberapa saat kala orang-orang ulai berkerumun mengelilinginya. Ia mundur beberapa langkah dan memasang sikap waspada. Beberapa gadis yang ada ditengah kerumunan berteriak histeris, mereka kagum pada wajah tampan Kevin.

            Manik mata berwarna merah yang menawan. Bibir tebal merona, kulit putih bersih, dan rambut hitam lebatnya. Ditambah tubuh kekarnya yang terlihat atletis. Satu hal yang membuat mereka penasaran. Sesuatu yang terlihat seperti punuk dan bersembunyi di balik jubahnya.

            Seorang gadis dengan kacamata bulat yang tak sengaja lewat di dekat kerumunan hanya menatap tak peduli, kemudian berlalu. Tapi sayangnya, langkahnya dihentikan oleh seseorang dengan cara memegangi ransel gadis itu.

            “He----hey, apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan nada gugup.

            Tanpa memberi jawaban, pria yang tak lain adalah Kevin menariknya. Mereka berlari menjauhi kerumunan.

***

                        Hosh! Hosh!

            Napas keduanya tersengal-sengal. Mereka berbelok di ujung jalan, kemudian berhenti sejenak karena lelah berlari.

            “Ka---kau, hosh…..hosh….siapa?” tanya gadis dengan name tag Laila Putri.

            “Maaf, hosh….haahhh. Maaf karena terpaksa mengajakmu berlari denganku,” ungkap Kevin sambil mengusap sedikit peluh di dahinya.

            “Mengajak katamu? Lebih tepatnya kau memaksaku berlari. Sudahlah, aku mau pergi,” Laila pun bersiap meninggalkan Kevin, namun Kevin lagi-lagi menghentikan langkahnya.

            “Kemana?”

            “Sekolah-lah. Memangnya kamu tidak sekolah?”

            “Hmm? Ah, maksudmu ke academy?”

            “Eh?” Laila menatap Kevin bingung, ia heran dengan bahasa yang digunakan Kevin tapi tak lama kemudian ia pun mengangguk.

            “Aku ikut,”

            “Dengan kostum itu?”

            “Ah, tunggu sebentar,”

            Mulut Kevin terlihat berkomat-kamit seperti orang yang sedang merapalkan mantra. Tak lama kemudian, cahaya menyilaukan menyelimuti tubuh pria itu. Selang beberapa menit, penampilannya kini berubah drastis.

            Ia mengenakan segaram putih abu-abu dengan ransel berwarna hitam di balik punggungnya. Sayap yang tadinya bersembunyi dibalik jubah kini sudah tidak terlihat. Kejadian magis yang terjadi di depan mata Laila berhasil membuat gadis itu menganga lebar.

            “Tutup mulutmu kalau tidak mau seekor lalat masuk,” ujar Kevin.

            “Apa itu sulap?” tanya Laila takjub.

            “Sulap?” kini Kevin yang menunjukkan raut wajah heran. “Ini disebut sihir. Kau tahu sihir kan?”

            “Si---sihir?” Laila terlihat berpikir sejenak. “Maksudmu sihir yang itu? Merapal mantra, tongkat dan sapu terbang?”

            “Itu penyihir. Aku ini iblis,”

            “Iblis?”

            “Kenapa kau harus mengulang setiap kata yang kuucapkan? Apa kita tidak akan berangkat ke academy?” tanya Kevin malas.

            “Ah, iya benar. Ayo!!” Laila pun melangkah menuju sekolah dengan Kevin yang mengikutinya di belakang. “Dan sedikit koreksi. Tempat yang kita tuju itu sekolah, bukan academy.”

            “Terserah.”

            Di jalan, Laila bertanya tentang bagaimana Kevin akan mengatasi tatapan orang-orang jika ia masuk begitu saja ke dalam kelas?! Kalian tahu apa jawabannya? Dia bilang, gampang. ‘Lihat betapa congkak pria itu dengan sihirnya,’batin Laila.

***

            Bu Maya yang merupakan guru matematika sekaligus wali kelas memasuki ruangan. Yah, dia tidak salah jadwal. Hari itu jam pertama memang pelajaraan matematika, tapi ada yang berbeda. Bukan pada penampilan bu Maya, melainkan seorang pria jangkung yang mengikutinya dari belakang.

            Setiap siswi menatap kagum ke arahnya, kecuali Laila tentunya. “Finally, pura-pura jadi murid baru, hah?!” gumam Laila sambil sedikit menahan tawa.

            Untuk seorang manusia biasa, tak akan ada yang bisa mendengar gumaman seseorang yang duduk paling belakang yang berjarak cukup jauh dari papan tulis. Tapi, Kevin bukanlah manusia dan tentunya dia mendengar apa yang dikatakan Laila. Seketika ia menunjukkan tatapan sengit ke arah gadis itu yang malah dibalas senyum meledek.

            Usai memperkenalkan diri, Kevin di persilahkan duduk di bangku kosong yang tersedia. Ada dua bangku kosong dalam kelas, karena tak ingin duduk dengan Laila, Kevin memilih bangku yang berada tepat di depan Laila.

            Tak ada perbedaan besar memang, tapi setidaknya tempat itu lebih baik daripada harus melihat langsung senyum meledek gadis itu.

            “Baiklah, anak-anak! Mari kita mulai pelajarannya,” sahut bu Maya.

***

            Kriiingggg!!!! Kriiingggg!!!

            Bel istirahat pun bordering. Sebagian anak berhamburan menuju kantin, lelah dengan pelajaran yang menguras habis pikiran.  Seorang gadis bernama Nindy ditemani Carol dan Tia berjalan ke arah meja Kevin, hendak mengajak pria itu ke kantin.

            “Emm…. Hey, Kevin! Mau ke kantin bersama kami? Sekalian ku tunjukkan bagian sekolah ini,” tanya Nindy antusias.

            “Tidak usah,” jawab Kevin tanpa menoleh sedikitpun.

            “Eyyy, tak usah malu-malu begitu,” ucap Nindy yang berusaha menunjukkan senyumnya walau sebenarnya ia geram karena tak dipedulikan.

            “Sudahlah, jangan menggangguku,” Kevin pun berdiri, lalu berjalan ke arah Laila. “Hey kacamata, ayo pergi,” ajaknya.

            “Kemana?” tanya Laila heran.

            “Makan,”

            “Memangnya kau butuh makan?” tanya Laila lagi dengan tampang menahan tawa yang langsung menatap sorot ingin membunuh dari Kevin. “Baiklah, ayo!”

            “Hey, tunggu! Nindy mengajakmu duluan, kenapa kau mengabaikannya begitu saja?” teriak Carol tak terima, tapi Kevin peduli pun tidak.

            Nindy menatap geram kepergian kedua orang itu. Ia terlihat bergumam, lalu tersenyum menyeringai seakan merencanakan sesuatu.

***

            “Nih,” ucap Laila sambil menyodorkan kotak bekal yang sempat dibawanya tadi ke arah Kevin.

            “Gak usah,”

            “Kaatanya lapar,”

            “Kau tahu aku iblis?” 

            Laila mengangguk, “lantas?”

            “Aku menyerap energi kehidupan,”

            Laila menyodorkan lengannya, “Serap saja, toh tidak akan ada yang peduli kalau aku mati.”

            Kevin menatap gadis dihadapannya penuh tanya. Pertama, gadis itu memperlakukannya dengan normal meski tau ia adalah iblis. Kedua, gadis itu mau menyerahkan energi kehidupannya begitu saja pada seorang iblis. Dia bodoh atau tak punya akal sehat?

            Laila terlihat menunjukkan ekspresi tak peduli seakan kematian bukanlah hal yang menakutkan. Ia tahu apa itu energi kehidupan dari buku tua yang pernah di bacakan oleh neneknya. Ia tahu resiko seperti apa yang akan di terimanya. Tak ada siapapun yang berpihak padanya di dunia ini. Orang tuanya, neneknya, sanak saudara, mereka semua telah tiada sejak setahun lalu.

            Bencana alam yang mengubur seluruh keluarganya, kecuali dirinya sendiri. Kenangan mengerikan dimana ia menyesal karena tak pulang lebih awal hari itu. Kejadian yang selalu disesalinya selama setahun terakhir sampai memilih ingin mati dan sekarang melalui Kevin, ia memiliki kesempatan itu. Kesempatan untuk mati tanpa harus merasa sakit.

            “Bodoh, “ Kevin menepis kasar lengan Laila. “Sebagai manusia, kau harus menghargai hidupmu. Kau hanya belum sadar bahwa ada seseorang yang memerlukanmu.”

            Laila menoleh dan sempat terperangah dengan sikap Kevin. “Pft, wow seorang iblis juga punya peri kemanusiaan. Aku baaru tahu,”

            Kevin mengalihkan pandangannya, lalu berkata,”Kenapa? Apa menurutmu ini aneh?”

            Laila menggeleng, kemudian menatap Kevin lekat. “Tidak, lebih tepatnya unik. Untuk pertama kalinya aku mendengar seseorang menyuruhku untuk hidup. Selama ini aku hanya mendengar makian dan sumpah serapah. Terima kasih, kau teman yang baik,” ucapnya sambil tersenyum hangat.

            “Te---teman?” tanya Kevin memastikan.

            “Iya. Eh, kita berteman kan sekarang? Atau kau tidak ingin berteman denganku?”

            “Bukan, bukan. Hanya saja ini pertama kalinya aku punya teman,” ujar pria itu sambil tersenyum senang.

***

            Siang itu, sepulang sekolah. Laila dihadang oleh Nindy dan gengnya di pintu kelas. Ketiganya terlihat tersenyum gembira begitu menyadari bahwa Lala hanya sendirian sekarang. Tiga lawan satu sudah jelas bukanlah pertandingan yang adil.

            “Heh, cupu! Kamu itu sudah melewati batas. Dulu kamu tidak pernah ganjen sama laki-laki, terus kenapa sekarang kamu bersikap sok akrab dengan Kevin?” teriak Carol yang kemudian melayangkan satu tamparan.

            “Aku tidak---“

            “Berhenti berdalih! Dari dulu kamu seharusnya sudah keluar dari sekolah ini. Kenapa kau masih bertahan setelah ditinggal keluargamu?” ucap Nindy yang berhasil membuat Laila diam terpaku.

            Di tempat berbeda, Kevin mula merasa bosan menunggu Laila yang tak juga kelihatan batang hidungnya, padahal gadis itu sudah berjanji akan mengajaknya ke rumahnya. Tanpa pikir panjang, ia pun meutuskan untuk kembali ke kelas, mencoba melihat apa yang terjadi.

            Betapa kagetnya Kevin saat mendapati Laila tengah disiksa oleh tiga orang gadis yang terlihat seumuran dengannya. Ia hendak menolong Laila, namun sebuah kekuatan tak kasat mata seakan membuatnya tak bisa bergerak walau sejengkal.

            “Kevin Azaziel! Berani-beraninya kamu kabur ke dunia manusia di tengah masa hukumanmu,” ucap seorang pria yang suaranya terdengar familiar.

            Kevin berbalik dan mendapati ayahnya dari balik portal, sepertinya ayah Kevin menemukan cermin dalam gudang itu.

            “A—ayah! Lepaskan aku, aku harus menolong gadis itu,” pinta Kevin yang terlihat berusaha membebaskan diri dari sihir ayahnya.

            “Tidak, kamu harus pulang sekarang,”

            “Ayah tidak, jangan. AYAH!” Kevin berusaha memberontak saat sihir ayahnya memaksa ia memasuki portal dan….

            Push!!!

            Kini Kevin terduduk menghadap cermin dengan ekspresi kecewa. Pakaian yang ia kenakan pun telah kembali seperti sedia kala. Ia menatap nanar ayahnya. Pria itu bangkit, lalu melayangkan tinjunya ke arah sang ayah yang langsung di tangkis dengan mudah.

            “Apa yang ayah lakukan? Dia disksa!! Satu-satunya temanku—“

            “Sadarlah, kau iblis! Dia manusia,” ucap ayahnya mencoba menegaskan batas antara mereka.

            Kevin melepaskan tangannya yang di genggam ayahnya dari tadi, kemudian mencoba melompat ke dalam cermin tapi digagalkan oleh sihir ayahnya.

            “Sekali lagi kau mencoba masuk ke dalam sana, energimu akan terkuras dank au akan butuh energy sahabatmu itu untuk tetap hidup,” ucap sang ayah memperingatkan. “Dan jawaban untuk usahamu adalah ini semua sia-sia.”

            “Aku tidak peduli,”

***

            Dan disinilah Kevin sekarang, di dunia manusia dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya. Sepertinya hari telah petang, Kevin pun berlari ke arah sekolah mencoba menemukan sahabatnya, berharap ia masih ada disana.

            Benar saja, ia masih disana dengan tubuh penuh memar. Dihampirinya gadis itu dengan raut wajah sedih.

            “Kau tak apa?”

            Gadis itu hanya menoleh lalu tersenyum. Kevin yang kesal dengan ekspresi pura-pura baik-baik saja itu pun memutuskan untuk menggunakan kekuatan magisnya untuk menyembuhkan luka memar yang ada pada tubuh Laila.

            Selang beberapa menit, luka itu pun sembuh. Hanya saja energi Kevin semakin menipis. Laila terkejut dengan perubahan drastic pada kondisi Kevin, ia ingin berteriak minta tolong tapi tak ada seorang pun yang mampu menolong.

            Seketika sebuah portal terbuka dihadapan mereka dan seseorang dengan penampilan bak iblis dan perawakan yang lebih tua muncul dari balik portal.

            “Si---siapa kau?” tanya Laila gugup.

            “Aku ayah anak itu,” jawabnya sambil menunjuk ke arah Kevin. “Aku akan membawanya kembli ke dunia kami,” lanjutnya tegas.

            “Ba---baiklah,”

            “Ada satu cara jika kau ingin menyelamatkannya sekarang,” omongan pria tua itu digantung.”Dengan menyerahkan energy kehidupanmu.”

            “Ba—“

            “Tidak! Jangan! Kumohon Laila, jangan,” pinta Kevin.

            Laila terdiam. Sementara Azazel, ayah Kevin, membawa putranya dan masuk ke dalam portal sebelum Laila bisa mencerna apa yang terjadi saat itu. Satu titik sihir di tinggalkan Kevin untuk melindungi gadis itu.

            Sihir dengan bentuk kalung ruby yang melingkar cantik di leher gadis itu sebagai tanda perpisahan, berharap suatu hari mereka akan bertemu lagi.

TAMAT

 

 


Komentar