sumber: kumparan.com
THE DEVIL
Oleh: Firda Rezki W
(Juara 3 Event Karya Menulis Bersama oleh KSK Pusat)
Iblis seringkali
di umpamakan dengan sosok kejam, bengis, egois, dan beragam sifat buruk
lainnya. Iblis seringkali digambarkan sebagai sosok yang memiliki tanduk besar,
sorot mata tajam, dan sayap sehitam malam yang membentang di angkasa. Sosok
yang mampu membuat siapa pun lari ketakutan begitu merasakan hawa kehadirannya.
Mungkin dari segi
penampilan tidak akan jauh beda dengan sosok iblis muda dalam cerita ini, tapi
pernahkah kalian berpikir seorang iblis memiliki harapan, rasa iba, dan kasih sayang?
Percayakah kalian jika kukatakan seorang iblis menolong manusia? Mungkinkah seorang iblis memiliki hati sebaik
malaikat?
***
“KEVIN!” bentak
seorang pria paruh baya dengan mata nyalang. “Lagi-lagi kamu melanggar
peraturan ayah,” ucapnya sambil menarik lengan pemuda itu dengan kasar.
“Ti---tidak, ayah.
Kali ini aku tidak sengaja,” aku Kevin sambil meringis.
Hanya sorot tidak
percaya yang ditunjukkan ayahnya sebelum ia dilempar masuk ke dalam ruangan
yang terlihat seperti gudang. Ini kali kedua ia berada di tempat berdebu itu.
Pertama, saat ia dengan sengaja membebaskan rusa buruan ayahnya. Dan sekarang,
ia tak sengaja menjatuhkan lukisan yang berada di ruang kerja ayahnya, dimana
seharusnya ia tak boleh ada disana.
Jika di teliti
dengan baik, kalian akan tahu dia adalah seorang iblis. Hanya saja tanduknya
terlalu pendek, sementara sayapnya selalu ia sembunyikan dibalik jubah.
Penampilan Kevin membuat ia sering disebut sebagai ‘Iblis Gagal’. Pasalnya,
teman seusianya tak pernah menyembunyikan sayap mereka dan tanduk mereka pun
jauh lebih besar dari milik Kevin.
Karena merasa
bosan, Kevin memutuskan untuk melihat-lihat isi gudang. Banyak barang lama
disana, bahkan boneka jerami buatannya juga ada disana. Semakin lama
berkeliling, ia baru menyadari bahwa ruangan itu cukup luas untuk disebut
gudang.
Kini ia menatap
benda besar yang dibungkus kain dan terletak di sudut ruangan. Karena penasaran
ditariklah kain itu. Debu beterbangan dimana-mana dan membuat ia batuk.
Ternyata cermin.
Cermin itu terlihat
kuno. Ia menyentuh cermin itu dan…
“Tembus,” gumamnya
dengan nada terkejut.
Karena merasa
hukumannya akan berlangsung lama kali ini, Kevin memutuskan untuk masuk ke
dalam cermin. Penasaran dengan dunia seperti apa yang ada di baliknya.
***
Tangannya ia
letakkan beberapa senti di depan matanya untuk menghindari cahaya terik yang
membuat pandangannya sedikit kabur. Perlahan diturunkan jemari itu begitu
matanya telah dapat menyesuaikan cahaya dengan baik. Kevin pun menoleh ke arah
sekitar.
Ia mendongak ke
atas dan kagum pada gedung-gedung pencakar langit yang ada disana. Yang tak
dapat ia pungkiri adalah sorot mata orang-orang yang memandangnya aneh.
Penampilan Kevin terlihat kuno dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan
orang-orang yang berlalu-lalang.
Sebagian dari
mereka berbisik, ada yang mengambil gambar dengan poselnya, namun tak sedikit
pula yang memilih berlalu begitu saja karena tidak tertarik.
Kevin berkedip
beberapa saat kala orang-orang ulai berkerumun mengelilinginya. Ia mundur
beberapa langkah dan memasang sikap waspada. Beberapa gadis yang ada ditengah
kerumunan berteriak histeris, mereka kagum pada wajah tampan Kevin.
Manik mata
berwarna merah yang menawan. Bibir tebal merona, kulit putih bersih, dan rambut
hitam lebatnya. Ditambah tubuh kekarnya yang terlihat atletis. Satu hal yang membuat
mereka penasaran. Sesuatu yang terlihat seperti punuk dan bersembunyi di balik
jubahnya.
Seorang gadis
dengan kacamata bulat yang tak sengaja lewat di dekat kerumunan hanya menatap
tak peduli, kemudian berlalu. Tapi sayangnya, langkahnya dihentikan oleh
seseorang dengan cara memegangi ransel gadis itu.
“He----hey, apa
yang kau lakukan?” tanyanya dengan nada gugup.
Tanpa memberi
jawaban, pria yang tak lain adalah Kevin menariknya. Mereka berlari menjauhi
kerumunan.
***
Hosh!
Hosh!
Napas keduanya
tersengal-sengal. Mereka berbelok di ujung jalan, kemudian berhenti sejenak
karena lelah berlari.
“Ka---kau,
hosh…..hosh….siapa?” tanya gadis dengan name tag Laila Putri.
“Maaf,
hosh….haahhh. Maaf karena terpaksa mengajakmu berlari denganku,” ungkap Kevin
sambil mengusap sedikit peluh di dahinya.
“Mengajak katamu?
Lebih tepatnya kau memaksaku berlari. Sudahlah, aku mau pergi,” Laila pun
bersiap meninggalkan Kevin, namun Kevin lagi-lagi menghentikan langkahnya.
“Kemana?”
“Sekolah-lah.
Memangnya kamu tidak sekolah?”
“Hmm? Ah, maksudmu
ke academy?”
“Eh?” Laila
menatap Kevin bingung, ia heran dengan bahasa yang digunakan Kevin tapi tak
lama kemudian ia pun mengangguk.
“Aku ikut,”
“Dengan kostum
itu?”
“Ah, tunggu
sebentar,”
Mulut Kevin
terlihat berkomat-kamit seperti orang yang sedang merapalkan mantra. Tak lama
kemudian, cahaya menyilaukan menyelimuti tubuh pria itu. Selang beberapa menit,
penampilannya kini berubah drastis.
Ia mengenakan
segaram putih abu-abu dengan ransel berwarna hitam di balik punggungnya. Sayap
yang tadinya bersembunyi dibalik jubah kini sudah tidak terlihat. Kejadian
magis yang terjadi di depan mata Laila berhasil membuat gadis itu menganga
lebar.
“Tutup mulutmu
kalau tidak mau seekor lalat masuk,” ujar Kevin.
“Apa itu sulap?”
tanya Laila takjub.
“Sulap?” kini
Kevin yang menunjukkan raut wajah heran. “Ini disebut sihir. Kau tahu sihir
kan?”
“Si---sihir?”
Laila terlihat berpikir sejenak. “Maksudmu sihir yang itu? Merapal mantra,
tongkat dan sapu terbang?”
“Itu penyihir. Aku
ini iblis,”
“Iblis?”
“Kenapa kau harus
mengulang setiap kata yang kuucapkan? Apa kita tidak akan berangkat ke
academy?” tanya Kevin malas.
“Ah, iya benar.
Ayo!!” Laila pun melangkah menuju sekolah dengan Kevin yang mengikutinya di
belakang. “Dan sedikit koreksi. Tempat yang kita tuju itu sekolah, bukan
academy.”
“Terserah.”
Di jalan, Laila
bertanya tentang bagaimana Kevin akan mengatasi tatapan orang-orang jika ia
masuk begitu saja ke dalam kelas?! Kalian tahu apa jawabannya? Dia bilang,
gampang. ‘Lihat betapa congkak pria itu dengan sihirnya,’batin Laila.
***
Bu Maya yang
merupakan guru matematika sekaligus wali kelas memasuki ruangan. Yah, dia tidak
salah jadwal. Hari itu jam pertama memang pelajaraan matematika, tapi ada yang
berbeda. Bukan pada penampilan bu Maya, melainkan seorang pria jangkung yang
mengikutinya dari belakang.
Setiap siswi
menatap kagum ke arahnya, kecuali Laila tentunya. “Finally, pura-pura jadi
murid baru, hah?!” gumam Laila sambil sedikit menahan tawa.
Untuk seorang
manusia biasa, tak akan ada yang bisa mendengar gumaman seseorang yang duduk
paling belakang yang berjarak cukup jauh dari papan tulis. Tapi, Kevin bukanlah
manusia dan tentunya dia mendengar apa yang dikatakan Laila. Seketika ia
menunjukkan tatapan sengit ke arah gadis itu yang malah dibalas senyum meledek.
Usai
memperkenalkan diri, Kevin di persilahkan duduk di bangku kosong yang tersedia.
Ada dua bangku kosong dalam kelas, karena tak ingin duduk dengan Laila, Kevin
memilih bangku yang berada tepat di depan Laila.
Tak ada perbedaan
besar memang, tapi setidaknya tempat itu lebih baik daripada harus melihat
langsung senyum meledek gadis itu.
“Baiklah,
anak-anak! Mari kita mulai pelajarannya,” sahut bu Maya.
***
Kriiingggg!!!! Kriiingggg!!!
Bel istirahat pun bordering.
Sebagian anak berhamburan menuju kantin, lelah dengan pelajaran yang menguras
habis pikiran. Seorang gadis bernama
Nindy ditemani Carol dan Tia berjalan ke arah meja Kevin, hendak mengajak pria
itu ke kantin.
“Emm…. Hey, Kevin! Mau ke kantin
bersama kami? Sekalian ku tunjukkan bagian sekolah ini,” tanya Nindy antusias.
“Tidak usah,” jawab Kevin tanpa
menoleh sedikitpun.
“Eyyy,
tak usah malu-malu begitu,” ucap Nindy yang berusaha menunjukkan senyumnya
walau sebenarnya ia geram karena tak dipedulikan.
“Sudahlah, jangan menggangguku,”
Kevin pun berdiri, lalu berjalan ke arah Laila. “Hey kacamata, ayo pergi,”
ajaknya.
“Kemana?” tanya Laila heran.
“Makan,”
“Memangnya kau butuh makan?” tanya
Laila lagi dengan tampang menahan tawa yang langsung menatap sorot ingin
membunuh dari Kevin. “Baiklah, ayo!”
“Hey, tunggu! Nindy mengajakmu
duluan, kenapa kau mengabaikannya begitu saja?” teriak Carol tak terima, tapi
Kevin peduli pun tidak.
Nindy menatap geram kepergian kedua
orang itu. Ia terlihat bergumam, lalu tersenyum menyeringai seakan merencanakan
sesuatu.
***
“Nih,” ucap Laila sambil menyodorkan
kotak bekal yang sempat dibawanya tadi ke arah Kevin.
“Gak usah,”
“Kaatanya lapar,”
“Kau tahu aku iblis?”
Laila mengangguk, “lantas?”
“Aku menyerap energi kehidupan,”
Laila menyodorkan lengannya, “Serap
saja, toh tidak akan ada yang peduli kalau aku mati.”
Kevin menatap gadis dihadapannya
penuh tanya. Pertama, gadis itu memperlakukannya dengan normal meski tau ia
adalah iblis. Kedua, gadis itu mau menyerahkan energi kehidupannya begitu saja
pada seorang iblis. Dia bodoh atau tak punya akal sehat?
Laila terlihat menunjukkan ekspresi
tak peduli seakan kematian bukanlah hal yang menakutkan. Ia tahu apa itu energi
kehidupan dari buku tua yang pernah di bacakan oleh neneknya. Ia tahu resiko
seperti apa yang akan di terimanya. Tak ada siapapun yang berpihak padanya di
dunia ini. Orang tuanya, neneknya, sanak saudara, mereka semua telah tiada
sejak setahun lalu.
Bencana alam yang mengubur seluruh
keluarganya, kecuali dirinya sendiri. Kenangan mengerikan dimana ia menyesal
karena tak pulang lebih awal hari itu. Kejadian yang selalu disesalinya selama
setahun terakhir sampai memilih ingin mati dan sekarang melalui Kevin, ia
memiliki kesempatan itu. Kesempatan untuk mati tanpa harus merasa sakit.
“Bodoh, “ Kevin menepis kasar lengan
Laila. “Sebagai manusia, kau harus menghargai hidupmu. Kau hanya belum sadar
bahwa ada seseorang yang memerlukanmu.”
Laila menoleh dan sempat terperangah
dengan sikap Kevin. “Pft, wow seorang iblis juga punya peri kemanusiaan. Aku
baaru tahu,”
Kevin mengalihkan pandangannya, lalu
berkata,”Kenapa? Apa menurutmu ini aneh?”
Laila menggeleng, kemudian menatap
Kevin lekat. “Tidak, lebih tepatnya unik. Untuk pertama kalinya aku mendengar
seseorang menyuruhku untuk hidup. Selama ini aku hanya mendengar makian dan
sumpah serapah. Terima kasih, kau teman yang baik,” ucapnya sambil tersenyum
hangat.
“Te---teman?” tanya Kevin
memastikan.
“Iya. Eh, kita berteman kan
sekarang? Atau kau tidak ingin berteman denganku?”
“Bukan, bukan. Hanya saja ini
pertama kalinya aku punya teman,” ujar pria itu sambil tersenyum senang.
***
Siang itu, sepulang sekolah. Laila
dihadang oleh Nindy dan gengnya di pintu kelas. Ketiganya terlihat tersenyum
gembira begitu menyadari bahwa Lala hanya sendirian sekarang. Tiga lawan satu
sudah jelas bukanlah pertandingan yang adil.
“Heh, cupu! Kamu itu sudah melewati
batas. Dulu kamu tidak pernah ganjen sama laki-laki, terus kenapa sekarang kamu
bersikap sok akrab dengan Kevin?” teriak Carol yang kemudian melayangkan satu
tamparan.
“Aku tidak---“
“Berhenti berdalih! Dari dulu kamu
seharusnya sudah keluar dari sekolah ini. Kenapa kau masih bertahan setelah
ditinggal keluargamu?” ucap Nindy yang berhasil membuat Laila diam terpaku.
Di tempat berbeda, Kevin mula merasa
bosan menunggu Laila yang tak juga kelihatan batang hidungnya, padahal gadis
itu sudah berjanji akan mengajaknya ke rumahnya. Tanpa pikir panjang, ia pun
meutuskan untuk kembali ke kelas, mencoba melihat apa yang terjadi.
Betapa kagetnya Kevin saat mendapati
Laila tengah disiksa oleh tiga orang gadis yang terlihat seumuran dengannya. Ia
hendak menolong Laila, namun sebuah kekuatan tak kasat mata seakan membuatnya
tak bisa bergerak walau sejengkal.
“Kevin Azaziel! Berani-beraninya
kamu kabur ke dunia manusia di tengah masa hukumanmu,” ucap seorang pria yang
suaranya terdengar familiar.
Kevin berbalik dan mendapati ayahnya
dari balik portal, sepertinya ayah Kevin menemukan cermin dalam gudang itu.
“A—ayah! Lepaskan aku, aku harus
menolong gadis itu,” pinta Kevin yang terlihat berusaha membebaskan diri dari
sihir ayahnya.
“Tidak, kamu harus pulang sekarang,”
“Ayah
tidak, jangan. AYAH!” Kevin berusaha memberontak saat sihir ayahnya memaksa ia
memasuki portal dan….
Push!!!
Kini Kevin terduduk menghadap cermin
dengan ekspresi kecewa. Pakaian yang ia kenakan pun telah kembali seperti sedia
kala. Ia menatap nanar ayahnya. Pria itu bangkit, lalu melayangkan tinjunya ke
arah sang ayah yang langsung di tangkis dengan mudah.
“Apa
yang ayah lakukan? Dia disksa!! Satu-satunya temanku—“
“Sadarlah, kau iblis! Dia manusia,”
ucap ayahnya mencoba menegaskan batas antara mereka.
Kevin melepaskan tangannya yang di
genggam ayahnya dari tadi, kemudian mencoba melompat ke dalam cermin tapi
digagalkan oleh sihir ayahnya.
“Sekali lagi kau mencoba masuk ke
dalam sana, energimu akan terkuras dank au akan butuh energy sahabatmu itu untuk
tetap hidup,” ucap sang ayah memperingatkan. “Dan jawaban untuk usahamu adalah
ini semua sia-sia.”
“Aku tidak peduli,”
***
Dan disinilah Kevin sekarang, di
dunia manusia dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya. Sepertinya hari
telah petang, Kevin pun berlari ke arah sekolah mencoba menemukan sahabatnya,
berharap ia masih ada disana.
Benar saja, ia masih disana dengan
tubuh penuh memar. Dihampirinya gadis itu dengan raut wajah sedih.
“Kau tak apa?”
Gadis itu hanya menoleh lalu
tersenyum. Kevin yang kesal dengan ekspresi pura-pura baik-baik saja itu
pun memutuskan untuk menggunakan kekuatan magisnya untuk menyembuhkan luka
memar yang ada pada tubuh Laila.
Selang beberapa menit, luka itu pun
sembuh. Hanya saja energi Kevin semakin menipis. Laila terkejut dengan
perubahan drastic pada kondisi Kevin, ia ingin berteriak minta tolong tapi tak
ada seorang pun yang mampu menolong.
Seketika sebuah portal terbuka
dihadapan mereka dan seseorang dengan penampilan bak iblis dan perawakan yang
lebih tua muncul dari balik portal.
“Si---siapa kau?” tanya Laila gugup.
“Aku ayah anak itu,” jawabnya sambil
menunjuk ke arah Kevin. “Aku akan membawanya kembli ke dunia kami,” lanjutnya
tegas.
“Ba---baiklah,”
“Ada satu cara jika kau ingin
menyelamatkannya sekarang,” omongan pria tua itu digantung.”Dengan menyerahkan
energy kehidupanmu.”
“Ba—“
“Tidak! Jangan! Kumohon Laila,
jangan,” pinta Kevin.
Laila terdiam. Sementara Azazel,
ayah Kevin, membawa putranya dan masuk ke dalam portal sebelum Laila bisa
mencerna apa yang terjadi saat itu. Satu titik sihir di tinggalkan Kevin untuk
melindungi gadis itu.
Sihir dengan bentuk kalung ruby yang
melingkar cantik di leher gadis itu sebagai tanda perpisahan, berharap suatu
hari mereka akan bertemu lagi.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar