DIMENSI SAKRALITAS

Penjelasan Mengapa Langit Malam Selalu Gelap | Dream.co.id

sumber: dream.co.id

DIMENSI SAKRALITAS

Oleh: Maulidiah Nur Hikmah

 

            Masyarakat Using merupakan salah satu etnik yang mendiami wilayah paling Timur di Provinsi Jawa Timur, tepatnya di wilayah Banyuwangi. Kata ‘Using’ sendiri memiliki makna ‘tidak’. Penamaan ini diberikan karena pada saat terjadinya perang Puputan Bayu, masyarakat di sekitar bekas kerajaan Blambangan enggan meninggalkan tempatnya meski sudah diperintahkan. Mereka memilih untuk tetap tinggal dan mendiami wilayah asli mereka. Dalam masyarakat milenial, saat mendengar kata ‘Using’, yang terbesit pertama kali ialah lagunya yang terkenal dengan ayunan dan bahasa yang khas (Banyuwangen).

Pandangan masyarakat secara umum menilai masyarakat Using adalah masyarakat yang mendiami kawasan Banyuwangi dan merupakan salah satu tempat kebudayaan lokal banyak berkembang serta dijaga kelestariannya. Ada begitu banyak macam budaya; baik lisan, setengah lisan maupun bukan lisan yang berkembang di sana. Dalam melestarikan dan menjaga budaya tersebut, masyarakat Using memiliki alasan dimensi yang kuat hingga membuat setiap individu mampu menjaga dan melestarikan budayanya. Selain karena faktor Banyuwangi merupakan wilayah bekas Kerajaan Blambangan, adanya sekelompok golongan yang mengakomodasi hal baru terhadap budaya setempat pun menjadi salah satu pendorong terbesar beragamnya budaya di masyarakat Using. Tidak sedikit dari masyarakat Using yang memadukan antara kebudayaan lokal dengan keagamaan-kepercayaan. Meski awalnya sempat dianggap tabu, tetapi kemudian hal itu dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan walaupun persebaran agama Islam sudah sampai ke wilayah mereka, masyarakat Using tetap mempertahankan kebudayaan yang telah menjadi kebiasaannya, bahkan mereka mengakomodasikan budaya tersebut dengan nilai-nilai keislaman. Namun demikian, bagi mereka hal itu bukanlah sesuatu yang dapat mencederai keyakinan mereka terhadap adanya Tuhan.

            Kebudayaan yang ada di masyarakat Using dilestarikan dengan wilayah religius yaitu berupa suatu penghayatan, hal ini dikenal dengan ruang batin. Ruang batin sendiri terbagi ke dalam 2 pola ekspresi; ekspresi filosofi etimologis yang mengacu pada idiom lokal dan ekspresi simbolik yang mengacu pada pola numerologis untuk dimensi kosmologi. Masyarakat Using meyakini bahwa di dunia ini seseorang harus hidup dengan memperhatikan keseimbangan diri (mikrokosmos) dan alam (makrokomos). Apa yang bisa kita upayakan ialah bentuk usaha kita menciptakan harmoni dengan kejadian dan keadaan. Sedangkan adanya perubahan yang terjadi ialah peran kosmologi.

Beberapa ahli membagi Masyarakat Using ke dalam 3 kelompok; kelompok yang mengikuti Al-Quran, kelompok yang mengaji tubuh sebagai sarana memahami keadaan, dan kelompok pertengahan (kurang memiliki ilmu keduanya). Kebanyakan orang yang berperan dalam kelestarian budaya yang ada di Using ialah kelompok kedua. Bentuk keselarasan mikrokosmos dan makrokosmos juga dituangkan dalam ritual-ritual. Kelompok kedua menilai mikrokosmos dan makrokosmos terbentuk dari air, udara, api dan tanah, sehingga dalam mewujudkan keharmonisan mereka harus menggunakan bahan dari alam, teraktualisasi dalam bentuk sajen.

            Pada pola numerologis, terdapat pengaplikasian harmonisasi berupa slametan (sedulur papat, lima badan). Slametan biasanya menyajikan jenang dalam 4 warna. Keempat warna terssebut memiliki makna tersirat yang menyatakan keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos. Kata sedulur papat, lima badan direpresentasikan sebagai 4 bentuk nafsu manusia, yaitu: aluamah, amarah, supiyah dan mutmainah yang berpusat di badan. Keterkaitannya dengan kepercayaan masyarakat Using terhadap kesinambungan memelihara kehidupan, simbol warna hari pasaran, dan profesi, yaitu: aluamah meliputi tanah, utara, hitam, wage, dan tani; amarah meliputi api, selatan, merah, paing, dan dagang; supiyah meliputi angin, barat, kuning, pon, dan satria; kemudian mutmainah meliputi air, timur putih, legi dan pemuka agama; dan pusatnya ialah badan meliputi rasa, tengah, biru/campuran, kliwon, dan roh. Manifestasi lainnya bisa dilihat dari segi warna yang dalam masyarakat Using berkaitan dengan unsur magis ialah: hitam sebagai klasifikasi sihir, merah-kuning sebagai klasifikasi santet, dan putih sebagai klasifikasi penyembuhan.

            Masyarakat Using terkenal dengan sebutan gudangnya dukun. Walaupun demikian, hal itu tidak menjadikan masyarakatnya malu terhadap nilai negatif tersebut. Dari sisi keagamaan, masyarakat Using bisa dibagi menjadi 3 bagian: abangan – muslim mistikus, santri – muslim normatif, dan priyai – muslim nominal (Geertz - Beatty). Pandangan masing-masing bagian terhadap ngelmu, mantra, dukun, dan ilmu magis berbeda-beda. Masyarakat yang tergolong abangan (muslim mistikus) menganggap semua hal itu sebagai sesuatu yang positif, bahkan pelaku ngelmu kebanyakan berasal dari golongan ini. Berbeda dengan masyarakat priyai yang merupakan golongan terhormat, dan disegani di masyarakat. Golongan ini dapat dinilai ambigu terhadap pandangannya kepada ngelmu. Di samping mereka menggunakan jasa dukun (artinya mereka meyakini dan percaya pada ngelmu), mereka juga tidak ingin keyakinannya atau kepercayaannya terhadap ngelmu diketahui masyarakat. Artinya, secarai hati mereka percaya pada ngelmu, tetapi secara status sosial tidak mau diketahui. Baginya, menggunakan jasa dukun merupakan suatu aib, sehingga golongan priyai yang ingin menggunakan jasa dukun sejatinya akan memilih dukun yang jauh dari kampung halaman. Kemudian, pandangan golongan santri (muslim normatif) terhadap ngelmu bisa dibagi menjadi 2 bagian sesuai dengan aliran agama Islam yang diambil. Di masyarakat Using ada 2 aliran keagamaan yang tersebar: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (Mu). Muslim dengan aliran NU lebih bersifat tradisional karena dalam pandangannya, Islam di Indonesia adalah Indonesia yang beragama Islam (berbudaya tapi beragama Islam). Jadi, NU memandang ngelmu ialah suatu hal yang positif, bahkan terkadang mereka menggunakan jasanya, meski terbatas pada selain meminta kesembuhan yang sejatinya mereka lebih percaya pada kyai (orang dalam). Muslim dengan aliran Mu lebih bersifat modern karena gerakannya yang besifat tajdid. Baginya, ngelmu adalah praktik kolot, di samping karena Mu menganggap ngelmu adalah hal yang menyekutukan Allah SWT.

            Maulidiah Nur Hikmah namanya. Biasa dikenal dengan Maulidiah M3. Mahasiswa asal Sukowono pegiat literasi yang memulai awal karyanya dengan puisi kecil saat berusia 6 tahun. Cita-cita dari almarhum kakaknya membuat Ia tak patah arang mencoba bergelut dengan ketakutannya pada keramaian, tak luput di dalamnya kegiatan tulis-menulis.


Komentar