Kumpulan Cerpen - Senja dan Secangkir Kopi Nadia

Sumber Gambar : Phinemo.com

SENJA DAN SECANGKIR KOPI NADIA

Oleh: Rian Ika Maryani

 

            Pipi Nadia menghangat. Ada sebuah kelegaan tersendiri dalam ruang hatinya. Sebuah ruang yang dulu gelap namun kini bersinar menuju terang. Nadia, wanita yang duduk di gazebo nomor 17 sedari satu jam yang lalu itu kini mulai menutup lembaran-lembaran kenangan. Hatinya kini lebih lapang. Diteguknya kopi yang tersisa di cangkir tanda ia telah menandaskan semua kepahitan yang dialaminya. Nadia kemudian berkemas, mengambil kontak motor, dan bergegas meninggalkan gazebo tersebut.

            Kopi Ampirono, sebuah kedai kopi yang menarik setiap pengunjung untuk kembali lagi entah untuk sekadar berkumpul bersama keluarga, pasangan, teman, atau menikmati kesendirian atau untuk menikmati jamuan yang ada. View pemandangan yang menarik ditengah-tengah suasana pedesaan juga cemilan khas ndeso selalu berhasil memikat para pengunjung. Sang owner sukses menyetting kedai itu dengan kreativitas yang menjadi daya jual bagi penikmat kopi ataupun pemburu tempat selfi. Disitulah Nadia memulai dan mengakhiri sebuah kisah manis yang sulit diceritakan tapi sangat berharga dalam hidupnya.

            Nadia menggenggam tangan Arkan. Betapa bahagianya sepasang gadis-jejaka ini. Tinggal menghitung hari, sebentar lagi mereka akan melangkah bersama membangun kehidupan baru.

            “Kamu suka kan Nad? ” tanya Arkan dengan sungguh.

            Nadia membalas dengan senyum yang sangat manis. Beberapa detik kemudian senyum itu mengembang bak mawar yang sedang indah-indahnya.

            Sweet banget Arkan. Aku enggak nyangka kamu….,” Nadia tidak melanjutkan kata-katanya. Ia benar-benar dibuat takjub. Sebuah cincin, gazebo dengan pemandangan indah, langit senja, dan sepoi angin menjadi satu kejutan indah.

            “Dua hari lagi, aku akan melamarmu. Memintamu langsung kepada ibu ayahmu,” ucap Arkan diiringi keharuan Nadia.

            Sejak senja itu, Nadia agak disibukkan dengan berbagai persiapan-persiapan. Ia mulai menghubungi kontak-kontak wedding organizer. Ia ingin di hari bahagianya, semua sesuai dengan impiannya. Untuk satu ini, Arkan lebih memilih mengiyakan saja dan ikut apa yang diinginkan Nadia. Arkan yakin wanita yang dikenalnya lima tahun silam itu akan merancang dan mempersiapakan semuanya dengan baik. Sesekali ia menemani Nadia memilih gaun dan souvenir. Sesekali pula ia tak bisa membersamai karena pekerjaan. Bukan masalah sebenarnya, Nadia sendiri adalah wanita yang mandiri. Ia memahami apa kesibukan calon suaminya. Nadia bukan tipe wanita manja yang harus selalu didampingi dalam setiap aktivitasnya. Semua berjalan sendiri-sendiri, namun untuk tujuan yang sama: memperjuangkan masa depan. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan Arkan memilih Nadia sebagai teman hidup. Wanita yang tangguh, tidak manja, dan penyayang.

            Hujan masih setia menyapa bumi. Derasnya air hujan menghambur membasahi dedaunan. Dingin, hujan datang sepagi ini. Ia datang saat matahari masih enggan bangun dari selimut awan tebal dan burung-burung masih terlelap tidur bersembunyi dibalik bulu-bulunya yang hangat. Masih bulan dua, gumam Nadia. Masih ada beberapa bulan lagi. Nadia sudah tidak sabar. Ia menerawang jauh memandang hujan yang kian mereda.

            “Yah, aku harus ke Solo,” pinta Nadia dengan terisak.

            “Nadia…”, ibu menangis memeluk Nadia.

            Kabar yang sebenarnya tidak diinginkan Nadia dan keluarga. Kabar yang hampir Nadia sendiripun tak kuasa mempercayainya. Pantas beberapa hari ini Arkan berbeda. Ia tak lagi sering menghubungi atau sekadar bertukar foto aktivitas dengan Nadia. Lantas, setelah kabar itu menyeruak, ia jadi semakin ketakutan. Mungkinkah Arkan menyembunyikan sesuatu?

            Profesi Arkan memang sangat riskan saat kondisi seperti ini. Bekerja tanpa kenal waktu, bahkan mempertaruhkan nyawa sendiri demi kehidupan yang lain. Profesi seorang perawat memang sudah dilakoninya sejak lulus kuliah. Nadia juga tahu konsekuensinya bekerja jadi pelayan kesehatan. Nadia pun satu almamater dengan Arkan, namun ia memilih tidak mengambil profesi itu. Ia berkeinginan menjadi istri dan ibu yang bisa duapuluh empat jam siaga di rumah.

            Senja di gazebo nomor 17, mengakhiri kisah ini. Nadia harus merelakan Arkan. Bukan salah siapapun, bukan takdir yang enggan berpihak, memang sudah jalan Tuhan. Nadia bersyukur pernah dipertemukan dengan lelaki sehebat Arkan. Biarlah Arkan damai di sisiNya. Nadia bangga, calon suaminya adalah salah satu pahlawan kemanusiaan dalam pandemik tahun ini, yang namanya akan dikenang semua orang.

 


Penulis memiliki nama lengkap Rian Ika Maryani, biasa dipanggil Rian. Penulis yang memiliki nama pena Riie_Supardi ini merupakan seorang pendidik di sebuah sekolah dasar di kota Magelang. Saat ini penulis berusia 30 tahun. Penulis menyelesaikan kuliahnya di S1 PGSD UNY sembilan tahun silam. Wanita penyuka miayam ini baru memulai kegiatan literasi, khususnya menulis di tahun 2020, saat pandemi covid-19. Harapan penulis, semoga pandemi ini segera berakhir dan semua dapat memulai aktivitas normal seperti biasanya.

 

 

 


Komentar