Sumber Gambar: inspiradata.com
KESEDIHAN ADALAH NIKMAT
Oleh : Isti Mukarromah
Aku hanyalah seorang gadis desa. Bagiku,
pengalaman adalah guru yang terbaik. Seperti remaja pada umumnya, aku juga
seorang yang masih labil. Namun, bukan berarti pemikiran setiap orang akan
sama. Aku berpandangan bahwa kesedihan yang dialami merupakan sebuah
kenikmatan. Bagaimana ceritanya? Akan kubagikan secuil kisah dalam hidupku.
Pada pertengahan Maret 2020, aku masih
menjadi siswi SMA tingkat akhir. Setelah sepekan menjalani Ujian Sekolah, terdapat
wabah Virus Corona yang mengakibatkan manusia kalang kabut. Pelajar seperti
kami terpaksa dirumahkan padahal Ujian Sekolah tersisa tiga hari lagi.
Tugas-tugas pengganti jam pembelajaran selama #dirumahsaja yang memberatkan pun
harus dijalani. Berbagai macam Tryout Online dari sekolah juga
harus kami lakukan seadanya, sampai tiba saatnya pelaksanaan Ujian Sekolah
dalam jaringan (daring/online).
Entah apa saja yang dilakukan untuk mengatasi
kendala yang ada. Mulai dari mengerjakan di luar rumah sembari berjongkok
ditemani nyamuk-nyamuk nan menggemaskan, sakitnya telinga karena terlalu lama
menggunakan handset, sampai panasnya handphone dan terkurasnya
data internet karena terlalu lama digunakan.
Tidak hanya sampai di sini, Ujian Nasional
yang sudah dipersiapkan terpaksa ditiadakan. Pengumuman Kelulusan dan Pelepasan
Siswa dilaksanakan tanpa tatap muka. Pengambilan SKL dan rapor pun dilaksakan
bergilir sehingga tidak bertemu dengan teman-teman. Lulus tanpa sempat bersalaman
dan mengucapkan terima kasih pada para guru yang telah membimbingku, tidak
banyak ucapan selamat atas kelulusan dari mereka, ini sangat mengecewakan.
Ujian dan cobaan yang ada tidak hanya tentang
dunia persekolahan, melainkan berbagai aspek kehidupan. Di tengah ketenangan masa
#dirumahsaja, aku dikejutkan dengan informasi bahwa orang yang selama ini
kurindukan ada kemungkinan akan pergi jauh dalam waktu lama. Setelah sekitar
dua bulan tanpa pertemuan haruskah jarak kian menjauh? Entahlah, aku tak tahu
harus berbuat apa selain doa. Dalam sujudku menitikkan bulir netra, pedih perih
tiada terkira. Jiwa terasa hampa tanpa gairah. Raga lemas seketika. Deru napas
tak terkendali. Terlebih melihat mereka berkeliaran di tempat umum, membuatku
merasakan kesia-siaan usaha #dirumahsaja. Tagar Indonesia Terserah kian marak
di dunia maya. Tak sadarkah mereka akan dampaknya? Melihat orang lain
berdesakan di tempat umum, hati ini kian terasa seperti tersayat sembilu. Bersusah
payah menahan rindu, mencoba ikhlas dan sabar, lalu dihempaskan oleh kabar yang
beredar tentang ketidakpedulian masyarakat. Deras aliran air mata yang menganak
sungai, aku merasakan kesedihan ini seperti kenikmatan. Aku bersyukur masih diberikan
rasa nikmat dalam tangis. Aku menyakini bahwa kesedihan membawa kebahagiaan.
“Jauhnya jarak yang bersekat terkalahkan oleh
pekatnya doa yang mengangkasa.” ~Isti Mukarromah
Tiba-tiba aku teringat makna Q.S. Ar-Ra'du :
11 yang berisi tentang keadaan suatu kaum tidak akan diubah oleh Allah sehingga
mereka mengubahnya sendiri. Aku harus bangkit.
Aku berusaha untuk istiqomah dalam
bertilawah, yang biasanya hanya One Day One Juz selama Ramadhan
menjadi dua juz dalam sehari. Aku juga menyibukkan diri mengikuti lomba menulis
online lebih serius dari biasanya. Tema yang kuangkat pun tak jauh
dengan keadaan sekarang, yakni Corona, Ramadhan, dan Kerinduan.
Aku tidak terlalu berharap pada lomba itu
karena sudah sering gagal berpredikat. Namun, entah karena apa dan bagaimana, salah dua dari beberapa lomba itu mendapat
predikat Penulis Terpilih dalam Lomba Menulis Surat Nasional bertajuk “Surat
untuk Orang Terkasih” dan 100 Penulis Terbaik dalam Lomba Cipta Puisi Nasional
dimana aku mengirimkan puisi tentang Corona.
Aku sedih karena ujian yang kacau, tetapi aku
senang karena merasakan perjuangan demi ilmu. Aku sedih karena wisuda tanpa
tatap muka, tetapi aku bersyukur karena bisa menghemat waktu dan lebih fokus
ibadah. Aku sedih karena terlalu lama menahan kerinduan tanpa pertemuan, tetapi
aku merasakan kenikmatan tangis pilu dalam melangitkan doa. Aku sedih karena
tidak mendapat hadiah, tetapi aku merasakan kenikmatan yang luar biasa karena
setidaknya menjadi yang terbaik.
Dari pengalaman pahit ini, terdapat
pembelajaran yang berharga bagiku. Aku dapat memahami makna sebuah kesedihan
bahwasanya kesedihan apabila dihadapi dengan keikhlasan dan kesabaran, penuh
prasangka baik kepada-Nya, maka kita akan menjadi orang yang lebih kuat. Rasa
syukur tiada henti terucap tatkala kita menyadari bahwa Allah masih memberikan
kesedihan agar semakin dekat dengan Dia. Tidak ada kejadian tanpa makna. Menahan
kerinduan di tengah perkumpulan dan keramaian menyadarkan kita betapa
berartinya kebersamaan. Teknologi membantu kehidupan, ujian dapat dimodifikasi
secara daring, pertemuan tak harus tatap muka. Indonesia tidak terserah, masih
ada Allah yang dapat dijadikan tumpuan harapan. Ikhtiar lalu tawakkal.
Allah menilai usaha, bukan hasil.
“Niatkan Lillah, Awali Bismillah, Akhiri
Alhamdulillah.” ~Isti Mukarromah
BIOGRAFI PENULIS
Namanya
Isti Mukarromah, lahir di Kebumen pada 17 Agustus 2002. Gadis yang akrab disapa
Isti ini beralamat di Desa Kedungbulus, RT 2 RW 1, Kecamatan Prembun, Kabupaten
Kebumen. Ia adalah alumni SMAN 1 Prembun jurusan MIPA dan lulus pada tahun
2020. Penulis bisa dihubungi melalui WhatsApp : 081215632371, Facebook : Isti
Mukarromah, Instagram : @istimukarromah. Isti memiliki motto yang cukup
sederhana, yaitu “Niatkan Lillah, Awali Bismillah, Akhiri Alhamdulillah.
Komentar
Posting Komentar