SIKAP DAN GAYA KEPEMIMPINAN UMAR
BIN ABDUL AZIZ
Manusia
diciptakan oleh Allah swt selain sebagai hamba Allah juga sebagai khalifah di
muka bumi. Manusia memiliki peran sebagai pemimpin, baik untuk dirinya sendiri
maupun orang lain. Berbicara tentang kepemimpinan, sejarah Islam mencatat bahwa
setelah kepemimpinan Rasulullah saw dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rosyidin dan
setelah itu diteruskan oleh Dinasti Umayyah dimana salah satu dari
pemimpin-pemimpin tersebut adalah Umar bin Abdul Aziz. Umar Bin Abdul Aziz
merupakan khalifah yang ke-8 di Dinasti Umayyah. Jika dilihat silsilah nasabnya
Beliau masih memiliki ikatan dengan Umar bin Khattab melalui pihak ibunya.
Beliau merupakan putra dari Abdul Aziz bin Marwan, gubernur di Mesir. Ibunya
bernama Laila Ummi Ashim bin Umar bin Khattab. Beliau dilahirkan di daerah
Hilwan, Madinah pada tahun 63 Hijriah.[1]
Umar bin Abdul Aziz dikenal dengan keadilannya
dalam memimpin. Beliau memiliki sikap yang sangat berbeda dengan
pemimpin-pemimpin Bani umayyah yang lain. Beliau merupakan khalifah yang sangat
Adil dan memiliki amanah yang tinggi. Dalam memerintah, beliau sama sekali
tidak mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya, akan tetapi kepentingan
rakyatnya yang menjadi prioritas.[2]
Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Gubernur untuk
seluruh tanah Hijaz termasuk dua kota suci Islam yaitu Makkah dan Madinah. Ia
menjalankan tugas ini dengan penuh tanggung jawab dan ia menjadi orang yang
sangat disegani karena kepribadiannya yang tawadhu dan zuhud.
Sebelum
melaksanakan tugasnya sebagai gubernur, beliau mengangkat 10 ulama
terkemuka sebagai penasehatnya,
diangkatnya para ulama tersebut agar bisa mengingatkan Umar bin Abdul Aziz
untuk selalu berbuat Adil dan bijaksana dalam memerintah. Umar bin Abdul Aziz
memerintah di tanah hijaz khususnya di kota Madinah kurang lebih selama 6 tahun
mulai tahun 87 H hingga tahun 93 H, beliau telah memberikan banyak perubahan
terutama dalam bidang pembangunan. Beliau membuat sumur umum untuk kepentingan
rakyatnya dan memperluas Masjid Madinah. Begitu tentramnya negeri tersebut
sehingga tersebarlah kabar bahwa rakyat hijaz hidup dengan penuh kerukunan di
bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Akhirnya banyak sekali orang-orang yang
mulai berdatangan ke kota Madinah terutama dari Iraq. Karena pada saat itu raja
di Iraq terkenal dengan raja yang keji dan dholim sehingga timbul pemberontakan
yang menyebabkan rakyat Iraq pergi ke negeri Hijaz untuk mengungsi dan ingin
mencari kedamaian.[3]
Umar bin Abdul
Aziz menampung pengungsi tesebut dengan sedikit kewalahan karena terlalu banyak
sekali orang yang mengungsi ke Madinah. Hingga akhirnya beliau mengirimkan
surat kepada Khalifah Walid bin Abdil Malik yang pada saat itu berada di
Damsyik, beliau berharap agar khalifah Walid bin Abdil Malik segera mencegah
perbuatan raja Iraq yang dholim kepada rakyatnya. Hal itupun sudah diketahui
oleh Raja Iraq sehingga raja tersebut marah, lalu dia mengirimkan surat kepada
khalifah Walid supaya Umar bin Abdul Aziz diberhentikan dari jabatannya.
Khalifah Walid yang memiliki watak yang sama dengan sang raja, dia pun
menyetujui usul dari raja tersebut. Tak lama setelah itu Umar bin Abdul Aziz
dipecat dari jabatannya sebagai gubernur. Beliau sama sekali tidak terlalu
memikirkan tentang pemecatan itu. Yang beliau sayangkan adalah para gubernur
dan amir-amir yang masih berbuat kejam dan selalu menzalimi rakyatnya. Mereka
yang masih merampas hak-hak rakyatnya tanpa memerdulikan nasib rakyatnya.
Mereka juga telah menyalahgunakan jabatannya untuk menindas rakyat yang tidak
mampu dan menggunakan uang rakyat untuk kebutuhan pribadi mereka. Oleh karena
hal itulah pemberontakan terjadi dimana-mana sebab kebencian rakyat kepada
penguasa.[4]
Setelah enam
tahun berlalu, ketika masa pemerintahan Sulaiman bin Abdil Malik beliau sakit,
dan ketika ia ingin menjadikan putranya Ayyub sebagai khalifah selanjutnya pada
saat itu Ayyub masih kecil sehingga tidak memungkinkan jika menjadikannya
seorang khalifah, dan bahkan sebelum meninggalnya khalifah Sulaiman, putranya
tersebut sudah meninggal terlebih dahulu sehingga khalifah Sulaiman bingung,
siapakah yang akan menggantikan posisinya sebagai khalifah. Akhirnya sebelum
beliau meninggal, khalifah meminta pertimbangan dan saran dari Raja’ bin Haiwah.
Pada saat itu, Raja’ mengusulkan Umar bin Abdul Aziz . Padahal sebelum itu,
raja sudah berjanji dengan Umar bin Abdul Aziz bahwa ia tidak akan menyebutkan namanya di depan
Khalifah. Akan tetapi, Raja tetap mengusulkannya, khalifah Sulaiman pun menyetujui
usulan dari Raja.[5]
Sebelum wafat beliau membuat surat wasiat, akan tetapi surat wasiat tersebut
tidak boleh di buka kecuali dalam khalayak umum. Setelah khalifah Sulaiman
wafat, dibacakanlah isi surat wasiatnya dan telah tertulis bahwa orang yang akan
melanjutkan kepemimpinannya adalah Umar bin Abdul Aziz, ketika mendengar
namanya disebutkan, ia sempat menolaknya, akan tetapi masyarakat tetap
menyetujui jika Umar bin Abdul Aziz yang akan menjadi Khalifah selanjutnya.
Pada awal ia
menjadi Khalifah ia dibingungkan dengan segala kemewahan yang ada
disekelilingnya. Sebagai khalifah yang baru saja di baiat, ia mendapatkan
beberapa macam kendaraan seperti kuda pengangkut barang, beberapa ekor kuda
tunggangan dll. Ia sama sekali tidak menginginkan hal tersebut sehingga ia
menjual semua kendaraan itu dan memasukkannya ke Baitul Mal. Ia menjauhkan
dirinya dari segala kenikmatan yang ada di dunia. Ditinggalkannya pakaian yang
indah dan mahal dan menggantinya dengan pakaian yang terbilang biasa saja.
Beliau juga tidak ingin mendekati makanan-makanan yang lezat, bahkan beliau
juga tidak memperbolehkan orang lain untuk melayaninya, ia lebih suka untuk
melakukannya sendiri.[6]
Setelah ia
diangkat menjadi khalifah mula-mula ia memperbaiki permasalahan yang ada di
masyarakatnya. Umar mengembalikan harta dan hak-hak rakyatnya yang dahulu
pernah dirampas oleh pejabat-pejabat sebelum-sebelumnya. Umar bin Abdul Aziz
dikenal sebagai khalifah yang sangat Adil, dan disebut sebagai Umar kedua
setelah Umar bin Khattab. Diantaranya sikap beliau dalam menegakkan keadilan
dan kebenaran yaitu beliau mengutus seseorang untuk memantau kinerja para
gubernur pada saat itu. Dan apabila menemukan tindakan yang tidak sesuai atau
menyimpang, maka umar akan langsung memecatnya, seperti yang ia lakukan kepada
Yazid bin Abi Muslim, Gubernur dari Afrika Utara.
Umar tidak
terlalu memperhatikan untuk membangun angkatan perang. Ia lebih memperhatikan
kondisi rakyatnya agar mereka merasa nyaman dan makmur, Umar juga menghentikan
pengepungan di Konstatinopel dan menyuruh tentaranya untuk pulang karena beliau
memberikan belas kasihan terhadap
tentara yang jumlahnya semakin berkurang dikarenakan kelaparan,
kedinginan dan sakit. Beliau juga melarang keras hukum had kecuali setelah
ditemukan bukti yang konkrit dan telah melalui pemeriksaan. Sehingga para
penguasa tidak menegakkan hukum sesuai keinginan mereka sendiri. Beliau
menaikkan gaji para pegawai agar tidak terjadi korupsi dan juga penyuapan.
Beliau menghapuskan jizyah untuk orang orang yang masuk Islam dan mencegah
adanya ketidakadilan dan juga kezaliman.[7]
Selama Umar
menjabat sebagai Khalifah, ia berhasil memperbaiki hubungannya dengan kaum
Syi’ah, dan beliau juga memberikan kebebasan beragama bagi rakyat yang menganut
ajaran selain Islam sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Umar juga tidak
membeda-bedakan antara kedudukan orang mawali (orang non arab tetapi beragama
Islam) dengan orang Muslim yang berasal dari Arab.[8]
Umar bin Abdul Aziz merupakan Khalifah yang tidak suka mencampur urusan negara
dengan urusan keluarga. Terbukti di dalam suatu cerita tentang beliau dengan
putranya, pada saat putranya memasuki ruang kerja Umar dan ingin membahas
tentang permasalahan keluarganya, khalifah Umar mematikan lampu yang ada
diruangannya. Seketika itu anaknya bertanya mengapa ia memadamkan lampu
tersebut. Umar menjawab bahwa lampu tersebut adalah milik negara dan sekarang
ia sedang membicarakan tentang masalah keluarga, sehingga ia tidak mau memakai
fasilitas negara untuk membahas permasalahan keluarganya.[9]
Umar bin Abdul
Aziz memiliki jiwa yang Agamis dibandingkan dengan khalifah-khalifah
sebelumnya, beliau memiliki kepribadian yang wara’, zuhud, dan ahli ibadah. .
Walaupun beban yang ia tanggung sebagai khalifah sangatlah berat, ia tak pernah
melupakan kewajibannya sebagai seorang hamba dengan beribadah kepada-Nya.
Beliau membangun negara dengan menanamkan nilai-nilai spiritual, sehingga
rakyatnyapun merasakan ketentraman jiwa dan lebih Religius.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
Bastomi, Hepi
Andi. 2008. Sejarah Para Khalifah.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Faruq, Ummu.
Buku Pintar Anak Islam Seri Tarikh Islam . Yogyakarta: Pustaka Al Haura’
Hakam , Abdullah bin Abdul. 2002.
Biiografi Umar bin Abdul Aziz. Jakarta: Gema Insani
Press
Musthafa, Usamah
Naim. 2006. Kisah Tentang Umar bin Abdul
Aziz, Terj. Izzudin Karimi.
Surabaya:
CV Fitrah Manduru
N , Firdaus A. 1977. Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Jakarta:
Publicita
Kementerian Agama. 2014. Buku Siswa
Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Direktorat
Pendidikan
Madrasah
[1] Usamah Naim Musthafa,
Kisah Tentang Umar bin Abdul Aziz, Terj. Izzudin Karimi (Surabaya: CV Fitrah
Manduru, 2006) hlm. 10
[2] Samsul Munir Amin.
Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009) hlm. 126
[3] Firdaus A. N.
Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz (Jakarta: Publicita, 1977) hlm. 59
[4] Ibid, 60
[5] Hepi Andi Bastomi,
Sejarah Para Khalifah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008) hlm. 57
[6] Firdaus A. N.
Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz (Jakarta: Publicita, 1977) hlm. 70
[7] Ummu Faruq, Buku
Pintar Anak Islam Seri Tarikh Islam (Yogyakarta: Pustaka Al Haura’) hlm. 62
[8] Kementerian Agama,
Buku Siswa Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah,
2014) hlm. 153
[9] Hepi Andi Bastomi,
Sejarah Para Khalifah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008) hlm. 58
[10] Abdullah bin Abdul
Hakam, Biiografi Umar bin Abdul Aziz (Jakarta: Gema Insani Press, 2002) hlm. 24
Komentar
Posting Komentar