ASRARUL AHKAM (RAHASIA-RAHASIA HUKUM ISLAM),


ASRARUL AHKAM (RAHASIA-RAHASIA HUKUM ISLAM), MELIPUTI: METODE PENGGALIAN RAHASIA SYARI’AT ISLAM, WILAYAH ASRARUL AHKAM, DAN ASPEK-ASPEK ASRARUL AHKAM

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Rahasia-rahasia hukum islam sering disebut sebagai “Asrarul Ahkam” dan ada juga yang menyebutkan Asrarut Tasyri’ atau Asrarus Syari’ah, tentang Asrarul Ahkam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari falsafah hukum islam. Bahkan Addahlawi menyebutkan bahwa ilmu yang paling tinggi martabatnya adalah ilmu-ilmu syari’ah yang membahas rahasia agama yang menerangkan hikmah-hikmah hukum.[1]
Walaupun rahasia-rahasia hukum islam itu sulit diketahui, tetapi paling tidak seseorang harus berusaha untuk mengungkapkannya. Yakni dengan mempelajari metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam itu sendiri. Allah SWT sendiri berfirman bahwa rahasia hukum islam hanya diketahui oleh orang-orang yang cerdik pandai atau orang-orang yang dikehendaki. Maka, agar rahasia-rahasia hukum islam itu bisa terungkap, seseorang harus mengetahui metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam. Oleh karena itu kami merasa perlu untuk mengungkapkan permasalahan ini yang selanjutnya terumus dengan judul “Asrorul Ahkam”

1.2 Rumusan Masalah

1.       Apa pengertian Asrarul Ahkam?
2.       Bagaimana metode penggalian Asrarul Ahkam?
3.       Apa aspek dalam Asrarul Ahkam?
4.       Bagaimana wilayah Asrarul Ahkam?

1.3 Tujuan

1.       Untuk mengetahui pengertian Asrarul Ahkam.
2.       Untuk mengetahui metode penggalian Asrarul Ahkam.
3.       Untuk mengetahui aspek dalam Asrarul Ahkam
4.       Untuk mengetahui wilayah Asrarul Ahkam

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Asrarul Ahkam

Asrar ini, jika kita tinjau dari segi sebab-sebab hukum disyari’atkan kita namakan Asrarut Tasyri’ atau rahasia-rahasia pembinaan hukum. Dan jika kita tinjau dari segi materi hukum itu sendiri, kita katakan Asrarul Ahkam, atau Asrarusy Syari’ah. 
Adapun pendapat ulama mengenai Asrarul Ahkam yaitu: pendapat bahwa kita tidak boleh mengungkapkan hikmah dan illat hukum, tidak boleh mendasarkan hukum kepada illat dan hikmah itu, karena tidak ada keharusan terkaitnya antara taklif dan hikmah.
Mereka berpendapat bahwa: “Allah membebani para hamba (mukallaf) dengan apa yang Allah kehendaki, baik mengandung hikmah atau tidak.” Mereka menyandarkan pandangan Umar ketika beliau mencium Hajar Aswad:
“Wahai Tuhanku sesungguhnya aku mengetahui bahwasanya engkau hai batu hitam adalah batu yang tidak memberi madlarat dan tidak memberi manfaat. Andaikata aku tidak melihat Rasulullah mencium engkau tentulah aku tidak mencium engkau.” [2]
Ada juga pendapat bahwasanya setiap perbuatan mukallaf yang disyari’atkan Allah mengandung hikmah, mempunyai hukum dan disertai rahasia-rahasia yang harus kita mengungkapkannya, Hanya saja hikmah-hikmah itu ada yang dapat dicapai dengan daya fikir manusia, ada yang tidak dapat dicapai dengan daya akal.
Namun demikian setiap hukum mempunyai hikmah dan illat, walaupun tersembunyi bagi sebagian manusia, karena tidak sanggup meliputi segala Asrarul Ahkam, tidak sanggup mengetahui hakikatyang dikehendaki syara’, maka karenanya para mujtahid  berbeda pendapat dalam menetapkan Manathul Ahkam atau Hikmah Tasyri’.[3]
Dalam mengungkap rahasia-rahasi hukum yakni illah dan hikmah hukum, perlu diperhatikan dua hal berikut ini:
Pertama, dalam mengahadapi kewajiban agama, khusus dalam bidang ibadat, jangan mengatakan bahwa kewajiban agama perlu dilaksanakan karena untuk perbaikan jiwa. Bila jiwa telah baik, maka tidak perlu lagi melaksanakan beban ibadah itu, atau kita mengatakan bahwa ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan kalau sudah dekat dengan jalan lain, tentulah tidak wajib beribadat.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali memberikan perumpamaan dengan mengisahkan seorang lelaki membina sebuah mahligai di suatu pegunungan. Di dalamnya ditanam semacam rumput yang berbau wangi. Dia mewasiatkan kepada anaknya supaya memelihara rumput itu dan jangan sekali-sekali tinggal di dalam mahligai itu, baik siang maupun malam tanpa ada rumput tersebu, Kemudian si anak menanam bermacam-macam bunga dan beraneka tumbuhan yang berbau wangi, serta mendatangkan kasturi dan cendana ke dalam mahligai sehingga baunya semerbak dan harum dan mengalahkan kewangian rumput yang ditanam sang ayah.
Pada suatu ketika sang anak mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ayahnya menyuruhnya memelihara rumput itu karena baunya wangi. Hal itu telah ditutupi oleh kembang-kembang, bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang lain yeng lebih semerbak baunya. Karenanya rumput yang ditanam ayahnya dibuang dari mahligai. Setelah mahligai telah kosong dari rumput tersebut, keluarlah dari beberapa lobang yang ada di mahligai itu ular-ular yang mengerikan, lalu dia memukul si anak dengan ekornya yang nyaris menewaskan sang anak. Ketika itu barulah sang anak menyadari bahwa diantara khasiat rumput yang ditanam ayahnya adalah untuk menolak bencana dan menyebabkan ular tidak dapat bergerak dari tempatnya. Dari perumpamaan ini, sang ayah bermaksud:
1.     supaya anak memanfaatkan rumput itu dengan baunya yang wangi. Hal ini dapat dipahami oleh sang anak.
2.     supaya rumput itu melemahkan daya ular, hingga tidak dapat bergerak dari tempat persembuyiannya. Hikmah ini sulit dipahami oleh sang anak[4].
Kedua, keharusan berhati-hati dalam menghadapi illat hukum (jangan segera meninggalkan hukum sebab illat tampak tidak jelas).
Abu Sulaiman al-Manthiqi dalam Hasbi telah mengulas pendapat al-Farabi dengan suatu uslub bahasa yang teramat indah. Dia berkata: “sesungguhnya syari’at diambil dari Allah’azza wa jalla dengan perantara utusan (duta) yang menghubungkan antara Allah dengan makhluq melalui jalan wahyu. Pintu munajat, kesaksian ayat-ayat dan munculnya mu’jizat dipertengahannya, adalah hal-hal yang tidak ada jalan untuk membahas dan mendalaminya. Dan kita harus mengikuti apa yang diserukan dan diperingatkan kepadanya, disanalah gugur pertanyaaan “karena apa” dan batal kata “mengapa” dan tergeser kata “mengapa tidak begini” dan lenyaplah kata “jikalau dan mudah-mudahan”. Sekiranya akal dapat menyukupi, maka wahyu tidak ada faedah dan gunanya, sebab kedudukan manusia berbeda akal dan kecerdasannya[5].
Walaupun rahasia-rahasia hukum Islam itu sulit diketahui, tetapi paling tidak seseorang harus berusaha untuk mengungkapkannya, yakni dengan mempelajari metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam itu sendiri. Allah SWT sendiri berfirman bahwa rahasia hukum Islam hanya diketahui oleh orang-orang yang cerdik pandai atau orang-orang yang dikehendaki, maka dari itu, agar rahasia-rahasia hukum Islam itu bisa terungkap, seseorang harus mengetahui metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam.
Sementara kata hikmah mempunyai beberapa arti. Pertama, kebijaksanaan dari Allah. Kedua, sakti atau kesaktian (kekuatan ghaib). Ketiga, arti atau makna yang dalam. Keempat, manfaat. Sedangkan Imam al-Jurjani dalam kitabnya memberikan makna hikmah yang secara bahasa berarti ilmu yang disertai amal (perbuatan) atau perkataan yang logis dan bersih dari kesia-siaan. Orang yang ahli ilmu hikmah disebut al-hakim, bentuk jamaknya (plural) adalah al-hukama. yaitu orang-orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan sunnah rasul.7
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa memahami agama dapat dilihat dari dua pendekatan, wahyu dan akal. Wahyu untuk menjelaskan masalah syari’at yang dating dari Allah yang kita harus mengikutinya, dimana wahyu itu merupakan mu’jizat baik yang sudah disebutkan sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya maupun mukjizat (keistimewaan) yang dating kemudian. Dua macam kemu’jizatan itu, hanya dapat dipahami dan digali melalui intervensi akal manusia oleh karena itu wahyu dan akal saling menunjang. 

2.2 Metode Penggalian Asrarul Ahkam

Untuk penggalian Asrorul Ahkam diperlukan metode yang dapat mengungkap segala rahasia-rahasia hukum, para ulama’ mengadakan berbagai macam pendekatan untuk mengungkap rahasia-rahasia itu, adapun metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
1.       Metodologi ta’lili
2.       Metodologi ta’wil
3.       Metodologi hikmah
Metodologi ta’lili, illat sebagai poros hukum. Contoh khomr, poros hukumnya memabukkan, artinya menutup fungsi akal (asrar), maqasidulnya harus mewujudkan pemeliharaan akal.
Metodologi ta’wil, ada di atas dan ada di bawah, kalau dibalik akan kelihatan., seperti (يد) dibawahnya ada kekuasaan.
Metodologi hikmah, sebagai puncak. Siapa yang diberi, al-Ghazali mengatakan “ tidak bisa diwakilkan, tetapi harus dialami sendiri rasa yang dalam, seperti rasa kopi itu enak, tidak bisa diketshui orang lain. begitu pula wuquf, masing-masing tenggelam dalam dirinya sendiri-sendiri”. Sedangkan al-Farabi mengatakan ada dua (2) kekuatan manusia, yaitu kenabian dan akal, itulah hikamh (kadang tidak terjangkau oleh akal manusia biasa).[6]  
Beda syari’ah dan Undang-Undang. Syari’ah adalah untuk keperluan manusia, bukan untuk Tuhan. Sedangkan Undang-Undang adalah untuk kepentingan yang membuat.

2.3 Aspek Asrarul Ahkam

Aspek-aspek yang mengungkapkan rahasia hukum islam dapat diketahui melalui 2 (dua) sudut, yaitu sudut kebahasaan atau pun sudut ma’nanya, yaitu:
1.       Sudut Bahasa, yaitu menerangkan hukum islam dengan melihat teks ayat atau hadits yang teliti. Misalnya, dalam masalah pencurian lafadz “sariq” (pencuri laki-laki) lebih didahulukan dari pada lafadz “sariqoh” (pencuri wanita), sedangkan masalah perzinaan lafadz “zaniyah” (pezina wanita) lebih didahulukan dari pada lafadz “zani” (pezina laki-laki). Firman Allah SWT:QS.Al-Maidah ayat 38 yang artinya:
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangankeduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebaga siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[7]
2.       Sudut  Ma’na, yaitu menerangkan rahasia hukum islam dengan melihat konteks makna pada ayat atau hadits yang diteliti. Misalnya, hadits yang menyatakan bahwa tiga hal yang main-main dianggap sungguhan, yaitu nikah, talaq dan ruju’. Hal itu disyari’atkan agar seseorang tidak membiasakan main-main dalam hal yang sakral, sehingga ia berhati-hati dalam menentukan sikap, apalagi masalah thalaq, karena thalaq merupakan penghianatan jiwa yang semula disepakati bersama.
Misalnya, hukum aqidah ditetapkan dengan hikmah mempersatukan kerukunan yang merata pada masyarakat, sedang hukum aqidah sam’iyah ditetapkan dengan hikmah menguji tingkat keimanan pada mukallaf untuk menumbuhkan rasa takut kepada kekuatan yang harus dirasakan oleh dlamir, sedang hukum-hukum ibadah ditetapkan dengan hikmah menarik kebaikan dan menolak keburukan, sedang hukum-hukum mu’amalah ditetapkan dengan hikmah mengatur hubungan manusia yang harmonis, penuh keinsyafan, keadilan, kasih sayang dan persamaan, dan hukum akhlak karimah ditetapkan dengan hikmah menjadi medium (wasilah) untuk memelihara keamanan dan kebahagiaan masyarakat.[8]

2.4 Wilayah Asrarul Ahkam

Menurut ibnu Rusdy, Asrarul Ahkam hanya berlaku bagi hukum-hukum amaliah lahiriyah, belum sampai pada aqidah. Karena hukum aqidah diharuskan memakai dalil-dalil yang qoth’i yang tidak dipertentangkan, baik dari golongan orang-orang Rosikh ilmunya maupun orang awam.
Sedangkan hukum amali lahiriyah dapat dikembangkan melalui metode-metode baik metode Qiyasi, ta’wili maupun menerangkan hikmah-hikmah yang dicapai walaupun setiap ulama’ berbeda hasil yang diperoleh dalam mengungkapkan rahasia hukum tersebut.[9]

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1.       Asrorul Ahkam atau yang dalam bahasa umum dinamakan hikmah atau ahdaf, adalah suatu cabang dari falsafah hokum islam, yang kita lihat atau kita tanggapi dari segi hikmah dan illat hukum.
2.       Adapun metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
a.       Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi
Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi, yaitu suatu metode penggalian hukum-hukum islam melalui penganalisaan Illat (Motif) hukum.
b.       Metode Ta’wili
Metode Ta’wili adalah Metode penggalian rahasia-rahasia hukum islam melalui penyuguhan hukum islam dengan berpijak pada arti dibalik yang aslinya.
c.        Metode Hikmi
Metode Hikmi adalah Metode pencarian rahasia hukum melalui pengungkapan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
3.       Menurut Ibnu Rusdy, wilayah Asrorul Ahkam hanya berlaku bagi hukum-hukum amaliah lahiriyah, belum sampai pada aqidah.
4.       Adapun Aspek-aspek yang mengungkapkan rahasia hukum islam dapat diketahui melalui 2 (dua) sudut, yaitu sudut kebahasaan atau pun sudut ma’nanya, yaitu:
a.       Sudut Bahasa, yaitu menerangkan hukum islam dengan melihat teks ayat atau hadits yang teliti.
b.       Sudut Ma’na, yaitu menerangkan rahasia hukum islam dengan melihat konteks makna pa ayat atau hadits yang diteliti.
5.       Asrorul Ahkam hanya berlaku bagi hukum-hukum amaliah lahiriyah, belum sampai pada aqidah. Karena hukum aqidah diharuskan memakai dalil-dalil yang qoth’i yang tidak dipertentangkan, baik dari golongan orang-orang Rosikh ilmunya maupun orang awam.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1975. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ramali, Ahmad. 1956. Memelihara Kesehatan Dalam Hukum Syara’ Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota.
Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum dalam Islam. Jakarta: Logos.
Basyir, Ahmad Azhar. 1984. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: UII Pres.



[1] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang , 1975), hlm. 380.

[2] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang , 1975), hlm. 387.
[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang , 1975), hlm. 390.

[4] Ahmad Ramali, Memelihara Kesehatan Dalam Hukum Syara’ Islam (Jakarta: Balai Pustaka, 1956),  hlm. 99.
[5]  Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum dalam Islam. (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 250.
[6] Fahim Tharaba, Himatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i. (Dream Litera Buana: Malang: Dream Litera Buana, 2016), hlm. 288-290.
[7] Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia.  Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Surabaya: Mahkota, 2002)
[8] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang ) hlm. 392.
[9] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang ) hlm. 393.

Komentar