PUSAT PERADABAN
DAN PENINGGALAN
BANI UMAYYAH
Pusat Peradaban
Bani Umayyah
Salah satu Dinasti penting yang ikut
mewarnai sejarah peradaban Islam adalah Dinasti Umayyah. Dinasti ini berdiri
pada tahun 661 M s.d 750 M.[1] Sejarah berdirinya Dinasti Umayyah
berasal dari nama Umayyah bin AbdulSyams bin Abdul Manaf, yaitu salah seorang
dari pemimpin kabilah Quraisypada zaman Jahiliyyah.[2]Wilayah
Yarussalem merupakan tempat dimanalahirnya Dinasti
Umayyah yang bertempat di kota kecil Illiyatyaitu pada tahun 40 hijriyah oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan, diperkirakan oleh para pakar sejarahwan sebagai
sabotase terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib dari pemerintahan terakhir
Khulafaurrasyidin.[3] Dan
sepeninggal Ali bin Abi Thalib, Gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam
yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal kedaulatan Bani Umayyah.
Muawiyah ibn Abu Sufyan ibn Harb
adalah pembangun Dinasti Umayyah dan sekaligus menjadi Khalifah pertama. Ia
memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.[4]Hal
ini dikarenakanadanya 2 faktor yang menyebabkan Muawiyah mengabil langkah ini,
yaitu karena di Madinah sebagai pusat pemerintahan khulafaurrasyidin yang
sebelumnya, dimana di dalamnya masih terdapat sisa-sisa
kelompok yang anti pati terhadapnya dan selain itu, di Madina Muawiyah ibn Abu
Sufyan kurang memiliki penfikut yang kuat dan fanatik, sedangkan di Damaskus
pengaruhnya telah menciptakan nilai simpatik masyarakat, basis kekuatannya
sukup kuat.[5]
Bisa dikatakan bahwa irama kehidupan
dan karakteristik Damaskus tidak banyak berubah sejak menjadi ibukota Dinasti
Umayyah. Dulu, seperti juga sekarang, banyak ditemui orang Damaskus yang
menggenakan celana lebar, sepatu dengan ujung berwarna merah, sorban besar,
menggunakan kufiyah (tutup kepala), dan iqal (ikat kepala).
Diantara kehebatan Dinasti Umayyah
yang bisa kita saksikan sekarang ini di Damaskus adalah teknik pengairannya,
yang tak tertandingi pada masanya di dunia Timur, dan hingga kini masih
berfungsi dengan baik.[6]
Peninggalan
Bani Umayyah
1.
Perkembangan
Gerakan Keagamaan
Pada masa Dinasti
Umayyah, kita dapat menemukan berbagai upaya untuk menggoyahkan fondasi agama
Islam dengan adanya gerakan-gerakan filosofis keagamaan. Tumbuhnya gagasan dan filosofis
tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tradisi Kristen dan filsafat
Yunani. Salah satu agen utama yang memperkenalkan Islam dengan tradisi Kristen
dan pemikiran Yunani pada masa itu adalah St. John (Santo Yahya) dari Damaskus.
John berhasil mempertahankan kedudukannya pada masa kekuasaan Islam.
Pada paruh pertama abad
ke-8, di Basrah hidup seorang tokoh terkenal bernama Washil ibn Atha, seorang
pendiri mazhab rasionalisme yang disebut Muktazilah. Tetapi, selain Muktazilah,
sekte yang keagamaan lain yang tumbuh berkembang pada masa ini adalah kelompok
Khawarij. Namun, jika Muktazilah mempelopori gerakan rasionalisme, khawarij
menjadi pendukung utama puritanisme Islam. Dan sekte lain yang muncul pada masa
Dinasti Umayyah adalah Murjiah, yang mengusung doktrin irja’ yaitu penangguhan
hukuman terhadap orang beriman yang melakukan dosa, dan mereka tetap dianggap
muslim.[7]
2.
Tradisi
Literer pada Periode Umayyah
Ada beberapa aspek yang
dapat dijadikan petunjuk terhadap perkembangan kebudayaan literer secara umum
pada periode ini, di antaranya seperti pidato, korespondensi, dan puisi. Ketiga
aspek tersebut merupakan bagian dari jenis sastra yang berkembang. Dan kemajuan
intelektual paling penting selama periode Dinasti Umayyah terjadi dalam bidang
penulisan puisi.[8]
3.
Perkembangan
Lembaga pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Pada periode Dinasti
Umayyah belum ada pendidikan formal. Akan tetapi, masyarakat luas memandang jika
orang yang dapat membaca dan menulis dalam bahasa aslinya, bisa menggunakan
busur dan panah, dan pandai berenang itu sebagai seorang terpelajar.
Nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam pendidikan, adalah keberanian, daya
tahan saat tertimpa musibah, menaati hak dan kewajiban tetangga, menjaga harga
diri, kedermawanan dan keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan
pemenuhan janji. Kebanyaan nilai tersebut sangat dijunjung tinggi oleh orang
badui.
Sebagai salah satu dari
beberapa ilmu yang kemudian banyak berhutang pada penemuan orang Arab, ilmu
kimia, seperti halnya ilmu pengobatan, merupakan salah satu disiplin ilmu yang
paling awal dikembangkan. Seperti naskah-naskah astrologi dan kimia yang
dinisbatkan kepada Jafar al-Shadiq, seorang keturunan Ali, dan salah satu dari
12 imam Syiah, telah diragukan keaslianyya oleh sarjana modern yang kritis.
Kenyataannya paling tidak menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada masa
Umayyah adalah bahwa ia tidak mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk
dokumen yang bisa dijadikan bahan kajian.[9]
4.
Perkembangan
Arsitektur
Sebagai seni paling awal
dan permanen, meskipun untuk tujuan keagamaan, arsitektur selalu menjadi
representasi utama seni bangunan. Tempat ibadah, yang secara harfiah berarti
rumah para dewa, adalah bangunan pertama yang menggerakkan jiwa yang baru
tercerahkan untuk menampilkan keindahan seni yang lebih tinggi, daripada yang
diterapkan pada rumah-rumah hunian biasa. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
arsitektur masjid merupakan contoh yang lebih jelas untuk melukiskan perpaduan
budaya antara Islam dan budaya daerah di sekitarnya.
Dalam bidang arsitektur, selain tempat-tempat ibadah, Dinasti
Umayyah hanya meninggalkan beberapa monument arsitektur. Bangunan yang paling
penting diantaranya adalah istana-istana padan pasir yang didirikan oleh para
putra mahkota keluarga khalifah. Di ibukota sendiri, pada saat ini tidak ada
yang tersisa dari bangunan megah Qashr al-Khadra, istana raja yang terletak berdampingan
dengan masjid besar.[10]
5.
Perkembangan
Senirupa dan Musik
Gambaran paling awal
dari senirupa Islam adalah lukisan di Qushyr ‘Amrah, yang menampilkan karya
para pelukis Kristen. Pada dinding-dinding tempat peristirahatan dan pemandian
al-Walid I di Transyordania terdapat gambar enam raja. Pengaruh Sasaniyah
terlihat jelas dalam lukisan. Gambar-gambar simbolis lainnya melukiskan
kemenangan, filsafat, sejarah, dan puisi.[11]
Sya’ir-sya’ir
peninggalan zaman Bani Umayyah mengungkapkan berbagai peristiwa yang terjadi
pada masa itu. Antara lain kedengkian antar suku dan kabilah yang bermunculan
kembali dalam bentuk baru yang lebih sengit.[12] Bisa
dikatakan bahwa pada masa pra-Islam, orang arab memiliki beragam jenis lagu. Namun,
pada perkembangan berikutnya, setelah nabi wafat, muncul apresiasi masyarakat
terhadap music dalam Islam. Fenomena itu segera merubah kecenderungan
masyarakat Hijaz tentang music kea rah norma-norma estetika.
Dengan demikian, pada
masa Dinasti Umayyah, Mekkah, lebih khusus lagi Madinah, merupakan tempat yang
kondusif bagi perkembangan lagu dan musik. Kedua kota itu memunculkan
generasi-generasi biduan baru yang terus meningkat, dan meneruskan karier
mereka di ibukota kerajaan, Damaskus.[13]
Daftar Pustaka
Fu’adi,
Imam. 2011.Sejarah Peradaban islam. Yogyakarta: Teras.
Mufrodi,
Ali. 1997.Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Lukman
Yasin, Cecep dan Dedi Slamet Riyadi (Penterjemah). 2010.History of the Arabs.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Amin,
Ahmad. 1993.Islam dari Masa ke Masa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kementrian
Agama RI. 2014. Sejarah Kebudayaan Islam MTS VII. Jakarta: Kementrian
Agama.
Kementrian
Agama RI. 2015. Sejarah Kebudayaan Islam MA XI. Jakarta: Kementrian
Agama.
[1] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban islam, (Yogyakarta: Teras,
2011), hlm. 69.
[2]Kementrian Agama RI, Sejarah Kebudayaan Islam MTS VII, (Jakarta:
Kementrian Agama, 2014), hlm. 140.
[3]Kementrian Agama RI, Sejarah Kebudayaan Islam MA XI, (Jakarta:
Kementrian Agama, 2015), hlm. 6.
[4] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 69.
[5] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban islam, (Yogyakarta: Teras,
2011), hlm. 71.
[6] Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. Cecep Lukman
Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm.
289.
[7] Ibid., hlm. 309.
[8] Ibid., hlm. 312.
[9] Ibid., hlm. 320.
[10] Ibid., hlm. 335.
[11] Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. Cecep Lukman
Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 339.
[12] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1993), hlm. 109.
[13] Philip K. Hitti, op. cit. hlm. 345.
Komentar
Posting Komentar