PEMERINTAHAN DINASTI UMAYYAH (Fase Pemerintahan, Khalifahnya, Keberhasilan Runtuhnya)


PEMERINTAHAN DINASTI UMAYYAH
(Fase Pemerintahan, Khalifahnya, Keberhasilan Runtuhnya)

Oleh: Layli Nur Azizah (16110082)
Setelah Rasulullah Saw wafat posisi kepemimpinan dalam islam digantikan oleh Khulafaur Rasyidin yang mana pemerintahannya berlangsung sekitar 30 tahun. Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin berakhir berdirilah sebuah dinasti yang bernama Dinasti Umayyah. Dinasti Umayyah berdiri di kota kecil bernama Illiyat yang berada di daerah Yarussalem pada tahun 40 H atau tepatnya pada tahun 662 M yang mana pendirinya adalah Muawiyyah bin Abi Sufyan.[1] Nama “Umayyah” diambil dari nama seorang pemimpin kabilah quraisy pada zama jahiliyah yaitu “Umayyah ibnu” Abdi Syams ibnu Abdi Manaf.
Dinasti Umayyah telah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun yang mana dalam jangka watu yang hampir satu abad itu mereka memiliki 14 khalifah. Semua khalifah Dinasti Umayyah masih tergolong satu garis keturunan dengan Muawiyyah. Berikut merupakan susunan para khalifah Dinasti Umayyah diantaranya yaitu: Muawiyyah bin Abi sufyan (40-61 H), Yazid bin Muawiyyah (60-64 H), Muawiyyah II bin Yazid (64 H), Marwan bin Al-Hakam (64-65 H), Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H), Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H), Umar bin Adbul Aziz (99-101 H), Yazid II bin Abdul Malik (101-105 H), Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H), al-Walid II bin Yazid II (125-126 H), Yazid III bin Walid (126 H), Ibrahim bin Al-walid (126 H), Marwan II bin Muhammad (127-132 H).[2] Diantara 14 khalifah tersebut terdapat beberapa khalifah yang memiliki banyak jasa dan  kontribusi bagi kejayaan peradaban islam, bebrapa buktinya yaitu:
1.      Muawiyyah: dikenal sebagai pendiri dinasti Umayyah dan juga sang inovator,  penggerak dan pemerkuat sistem militer, pembentuk dewan al-Khatim.
2.      Abdul Malik: disebut pendiri kedua bani Umayyah karena mampu mempersatukan kembali daerah bani Umayyah setelah terjadi pemberontakan, seorang panglima perang yang mahir dan cerdas, melakukan pencetakan uang sendiri, penertiban administrasi dan menjadikan bahasa arab sebagai bahasa yang resmi, menyempurnakan tulisan mushaf al-Quran dengan menambahkan tanda titik pada beberapa huruf, penertiban sistem irigasi, pembangunan jembatan, penerapan angka arab dalam hitungan dagang.
3.      Al-walid: menambah kekuasaan daerah (dari Afrika Utara, Spanyol, dan India), adanya penti bagi orang yang cacat, anak yatim, jaminan hidup, dan penyediaan guru, pembanguna masjid Al-Aqsa di damaskus.
4.      Umar bin Abdul Aziz: beliau mampu menyeimbangkan politik di dalam negeri, tidak membedakan muslim dari kedudukannya, memberikan keringanan pajak mengadakan perbaikan sarana umum, pengahapusan formalitas protokoler yang membuatnya menyamakan kedudukannya dengan rakyat biasa.
5.      Hisyam: dikenal sebagai khalifah yang cermat dan teliti, seorang ahli strategi militeryang hebat, mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan agar tidak ada penggelapan.[3]
Pada Fase Pemerintahan Dinasti Umayyah para pakar sejarah memiliki pandangan negatif kepada Muawiyyah dikarenakan ia memperoleh kekuasaannya dengan menggunakan tipu muslihat. Selain itu pada pemerintahan Dinasti Umayyah, Muawiyyah menggunakan sistem monarchihereditas (kerajaan turun temurun) yang mana hal itu bertolak belakang dengan sistem pemerintahan yang berlaku pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Hal ini dibuktikan ketika muawiyyah menunjuk puteranya Yazid sebagai Putra Mahkota yang mana kebijakan ini mengejutkan umat muslim saat itu. Untuk itu memudarlah keadilan yang ditekankan oleh agama islam yang mana pada akhirnya kekuasaan pada masa Dinasti Umayyah secara penuh bersifat kekuasaan politik, bukan lagi berupa kekuasaan yang adil sebagaimana yang agama islam inginkan.[4] Meskipun demikian partisipasi Dinasti Umayyah sangat besar terhadap kemajuan peradaban islam, diantaranya yaitu berhasilnya perluasan daerah kekuasaan. Dimana pada saat itu Islam telat tersebar di wilayah plosok dari 4 benua: Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Ketika beberapa kerajaan besar seperti: Romawi, Yunani, Persia, dan Gothia takluk pada islam mereka memberikan banyak keuntungan dengan membayar upeti yang besar. Untuk itu pada masa Dinasti Umayyah lebih di kenal sebagai masa perluasan daerah atau islamisasi. Fase ini berada pada masa pemerintahan Muawiyyah sampai pada khalifah ke-6 yaitu Walid bin Abdul Malik.[5]
Setelah itu pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul Malik yaitu kholifah ke-7 sampai khalifah ke-8 yaitu Umar bin Abdul Aziz islam telah berkembang begitu pesat, dari daerah Asia Tenggara menuju Asia Timur kemudian dari Afrika Utara menuju Andalusia dan dari India ke Persia. Dalam Fase kedua ini perluasan daerah kekuasaan tetap berjalan dengan baik, akan tetapi fokus pemerintah  dipusatkan pada peradaban pengetahuan dan administrasi pemerintahan. Pada saat itu telah dibangun pusat kota , Masjid, dan juga Istana menjadi lebih baik sebagai bukti kejayaannya pada masa itu. Selain itu khalifah ke 4 Marwan bin Hakam telah menemukan mata uang untuk alat jual beli. Dimana pada masa Abdul malik mata uang tersebut sudah mulai di cetak, hal ini juga termasuk bukti kemajuan peradaban pada masa Dinasti Umayyah I. Diantara bentuk-bentuk peradaban yang berkualitas tinggi dan dapat juga dimanfaatkan oleh masyarakat luas yaitu: dibidang ilmu pengetahuan Dinasti Umayyah menjadikan bahasa Arab bahasa resmi dalam tata uasaha dan pemerintahan, dijadikannya ilmu Qiraat sebagai sebagai cabang ilmu syariat yang sangat penting, perkembangan ilmu hadis, fiqih dan tafsir. Kemudian kemajuan pada bangunan masjid, sistem pengairan, dan jembatan. Selanjutnya dibidang fasilitas pendidikan mereka mendirikan Kuttab, adanya Halaqoh di Masjid, dan Majelis Munadarah, dll.
Selanjutnya pada fase pemerintahan khalifah ke-9 yaitu Yazid bin Abdul Malik banyak terjadi pemberontakan dikarenakan yazid tidak bisa mengendalikan pemerintahan seperti khalifah sebelumnya. Menurut ahli sejarah hal ini dilatar belakangi oleh bencinya masyarakat kepada pemerintahan Bani Umayyah karena pada saat itu telah berlangsung penetapan 2 khalifah sekaligus dalam setahun pemerintahan akan tetapi kebijakan khalifah yang sah tidak kunjung ditetapkan. Kemudian karena adanya pengalihan kekuasaan yang berbentuk sistem monarki ternyata ikut memperlemah kekuasaan pada saat itu, dimana terdapat peluang bagi putra mahkota untuk melakukan penyalahgunaan wewenang, kekuasaan dan ketidak disiplinan dalam melakukan pekerjaan. Pada akhirnya para pembesar istana seperti pengawal istana, perdana mentri, para qodi dan pembesar yang lain yang mengatur pemerintahan jadi khalifah tidak dapat menegakkan hukum bagi para koruptor dan beberapa orang yang melakukan penyelewengan yang mana hal itu semakin menyulut kemarahan masyarakat pada saat itu. Untuk itu muncul berbagai demonstrasi untuk meminta tanggung jawab pemimpin bani umayyah pada saat itu. Bani Umayyah pada fase ini mengalami kemunduran, akan tetapi diluar sana telah berdiri dan mulai tumbuh segenap kekuatan baru seperti Abbasiyah dan Syi’ah di daerah Hijaz dan Persia, bani Fathimiyyah di Mesir dan Thohiriyah di Maroko. [6]
Adanya sejumlah kekuatan baru yang berkembang saat itu, semakin memperburuk keadaan pemerintahan. Dimana kekuatan baru yang secara langsung berhadapan dengan Bani Umayyah adalah Bani Abbasiyah. Kemudian pecahlah peperangan yang dilancarkan kedua belah pihak, yang mana peperangan tersebut terjadi secara terbuka di seluruh wilayah Dinasti Umayyah. Akhirnya peperangan yang berlangsung antara Umayyah dan Abbasiyah dimenangkan oleh Abbasiyah. Untuk itu kekuasaan bani umayyah berakhir tepatnya pada tahun 132 Hijriyah atau 750 Masehi. Runtuhnya kekuasaan bani Umayyah ini dilatar belakangi banyak faktor, diantaranya yaitu:
1.      Pergantian khalifah yang didasarkan pada garis keturunan merupakan tradisi yang dianggap baru oleh bangsa Arab. Selain itu pengaturan yang berlangsung tidak jelas yang menyebabkan adanya persaingan tidak sehat antar keluarga istana.
2.      Dinasti Umayyah berdirinya dilatar belakangi oleh konflik-konflik yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib. Dimana kelopok syi’ah dankhowarij yang terus melakukan gerakan oposisi baik secara terbuka ataupun sembunyi-sembunyi. Pemberantasan golongan-golongan ini memakan banyak kekuatan pemerintah.
3.      Konflik yang terjadi antara banu Qays dan Bani Kalb semakin meningkat. Adanya konflik ini menyebabkan pemerintah Bani Umayyah sulit untuk mengadakan persatuan dan kesatuan. Selain itu sejumlah golongan mawali (non-Arab) di daerah Irak dan wilayah timur lainnya merasa bahwa status mawali mencerminkan inferoiritas., ditambah lagi angkuhnya bangsa Arab yang nampak pada masa Bani Umayyah.
4.      Keruntuhan yang terjadi dalam Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap bermewah-mewahan penghuni istana, yang mana ketika putra mahkota menjadi khalifah mereka tidak mampu menanggung beratnya tugas kenegaraan yang diberikan kepadanya. Selain itu para ahli agama pada saat itu merasa kecewa pada penguasa Bani Umayyah karena kurangnya perhatian terhadap berkembangnya agama saat itu.
5.      Terjatuhnya Dinasti Umayyah secara langsung juga disebabkan oleh kekuatan baru yang di pimpin oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd AL-Muthalib. Yang mana gerakan ini memperoleh dukungan dari Bani Hasyim , kaum Mawali dan juga kelompok Syi’ah yang merasa di kesampingkan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[7]

Daftar Pustaka
Kementerian Agama Indonesia, 2015, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia.
Syalabi, A. 2003, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
Bakar,Istianah Abu.2008,Sejarah Peradaban Islam, Malang: UIN Malang Press.
Amin,Ahmad. 1993, Islam dari Masa ke Masa, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Yatim,Badri.2013,Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyyah II,Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.


[1] Kementerian Agama Indonesia, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015) hlm. 5-6
[2] A. Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru,2003) hlm.25
[3] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008) hlm.53-54
[4] Ahmad Amin,Islam dari Masa ke Masa, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1993) hlm.100
[5] Kementerian Agama Indonesia, Ibid, hlm.8
[6] Ibid.hlm.8
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyyah II, (Jakarta, 2013, PT RajaGrafindo Persada) hlm.48-49

Komentar