Makalah Pandangan Islam tentang pemimpin non muslim


A.  Pengertian Pemimpin
Definisi tentang pemimpin memiliki banyak variasi dan banyak yang mencoba untuk mendefinisikan tentang pemimpin ini. Pemimpin adalah orang yang memiliki segala kelebihan dari orang-orang lain. Pemimpin dalam pandangan orang kuno adalah mereka yang dianggap paling pandai tentang berbagai hal yang ada hubungannya kepada kelompok, dan pemimpin harus pandai melakukannya (pandai memburu, cakap dan pemberani dalam berperang).[1]
Kata pemimpin dan kepemimpinan merupakan satu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan, baik secara struktur maupun fungsinya. Artinya kata pemimpin dan kepemimpinan adalah satu kesatuan kata yang mempunyai keterkaitan, baik dari segi kata maupun makna. Istilah pemimpin dalam kamus besar Indonesia berasal dari kata
“pimpin” yang mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan kata kepemimpinan itu sendiri mempunyai makna cara untuk memimpin. Jadi pemimpin adalah orang yang memimpin, atau ia ditunjuk menjadi.[2] Hal ini memungkinkan bahwa dalam menduduki posisinya melalui pemberian atribut-atribut secara formal atau tertentu.

B.  Pengertian dan Macam-Macam Non-Muslim
Non Muslim merupakan orang yang tidak menganut agama Islam, tetapi menganut sejumlah agama lain dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Di dalam masyarakat umum terdapat tiga kelompok besar yang dikenal dengan sebutan non-Muslim, diantaranya yaitu: Murtad, AhlKitab, dan Kafir.
1.    Murtad
Murtad, secara literal berarti orang yang berbalik, kembali, atau keluar. Dalam pandangan hukum Islam, murtad berarti keluar dari Islam atau tidak mengakui kebenaran Islam, baik dengan berpindah agama lain, atau menjadi tidak beragama sama sekali (atheis).[3] Seseorang dikatakan murtad bila mana mereka mengerjakan sesuatu yang jelas keharamannya dan hukumnya telah diketahui namun tetap dikerjakan dengan anggapan, perbuatan tersebut boleh dilakukan serta dilakukan secara sengaja, dengan maksud mempermudah atau menghina Islam atau karena keras kepala. Misalnya, sujud menyembah matahari atau menginjak al-Qur’an. Tetapi kalau perbuatan itu dilakukan bukan karena menolak nas yang melarangnya atau disebabkan penalaran yang keliru terhadap nas,ulama menilai orang tersebut tidak menjadi murtad, juga orang yang dipaksa untuk murtad tidak tergolong orang yang murtad.
Sebagai contoh kasus Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya, yaitu Sumayyah dan Yasir. Mereka dipaksa orang musyik untuk murtad. Ibu bapaknya menolak, sehingga keduanya dibunuh dan tercatat sebagai orang Islam yang mati syahid pertama dalam sejarah Islam. Sedangkan Ammar mengucapkan kufur sehingga dibebaskan. Beliau kemudian datang dan menangis di hadapan Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw., menghapus air matanya sambil bertanya, “bagaimana sikap hatimu” Ammar menjawab, “Hatiku tenang dalam keimanan.” Maka Rasul menasihati, “kalau mereka memaksamu kembali, maka ucapkan saja lagi apa yang telah kamu ucapkan itu[4]
2.    AhlKitab
Kata AhlKitab terdiri dari dua kata Ahl dan Al-Kitab. Kata Ahl berarti keluarga atau kerabat dekat. Sedangkan al-Kitāb menunjuk kepada makna lembaran atau buku. Jadi Ahlul Kitāb dapat diartikan sebagai komunitas yang diturunkanya suatu kitab.[5] Para ulama mendefinisikan AhluKitāb dengan makna sebuah komunitas atau kelompok yang telah memiliki kitab suci sebelum diturunya al-Qur’an.[6] Didalam al-Qur’an dan dan Hadits yang dimaksud dengan istilah untuk term AhluKitāb adalah menunjukkan kepada sebuah komunitas yang beragama Yahudi dan Nasrani (Kristen). Adapun sebagian memperluas cakupan AhluKitab, sehingga istilah tersebut tidak hanya terbatas kepada dua kelompok yang disebutkan di atas tadi, tapi mencakup agama dan kepercayaan yang lain, seperti:   Majusi dan Shabi’in, atau oleh orang barat dikenal dengan sebutan kaum sabian.[7]
     Majusi berasal dari bahasa Persia, yang merujuk kepada agama Majusi, yaitu yang berarti mereka yang menyembah kepada api dan bintang, serta mempercayai tentang adanya dua tuhan, yaitu Tuhan Ahuramazda (kebaikan) yang dilambangkan dengan cahaya, serta Tuhan Ahriman (kejahatan) yaitu yang dilambangkan dengan api. Di antara keduanya terdapat permusuhan abadi sampai akhir zaman.
Agama ini mempunyai sakte yang cukup banyak, namun yang paling dikenal adalah Zoroaster, dengan tokohnya yang terkenal Zaradasyt, yang hidup sekitar tahun 600 SM. Selain itu ada sakte lain seperti, at-Tsanwiyyah,    al-Zawaniyyah, al-Maskhiyyah dan lain-lain. Abu Sa‟id al-Isthakhri al-Qadir Ballah, memfatwakan bahwa penganut ajaran ini termasuk kāfir, seperti dikutip oleh al-Andalusy. Sedangkan mengenai term as-Shabi’in, ada kemungkinan berkembangnya pemakaian term tersebut untuk menunjukkan kepada Ahlul Kitāb yang telah ada beberapa dawarsa setelah Nabi saw. Abu Aliah berpendapat bahwa kaum Shabi’ termasuk juga ada yang memasukkan kedalam istilah AhlulKitāb atau penganut agama-agama lain seperti penganut Buddha, Hindu, serta Konghucu.
3.    Kafir
Secara etimologis, kafir berasal dari kata kafara, yakfuru, kufran. Kata tersebut memiliki berbagai macam makna, antara lain. Naqidh al-Iman, yaitu antonim dari iman atau tidak beriman kepada Allah Swt, Aṣaw wa Imtana’u, yaitu melakukan maksiat, dan lain sebagainya.[8] Adapun kafir juga berasal dari bahasa Arab Kufr yang mempunyai arti menutupi,menyelimuti, melupakan sesuatu.
Sedangkan secara terminologi kāfir adalah orang yang menentang, menolak, kebenaran dari Allah Swt, yang disampaikan oleh Rasul-Nya atau secara singkat kāfir adalah kebalikan dari iman.[9] Sedangkan kāfir dengan arti mengingkari yang ditujukan kepada orang-orang non-Muslim dapat diklasifikasikan kepada beberapa kelompok. Dalam Fikih Siyasah, term kafir dibagi menjadi tiga bagian.
a.    Kafir Ḥarbi, yaitu non-Muslim yang terlibat permusuhan dengan kaum Muslimin. Mereka senantiasa ingin memecah belah orang-orang mukmin dan bekerja sama dengan orang-orang yang telah memerangi Allah Swt dan Rasulnya sejak dahulu.
b.    Kafir Mu’ahad, yaitu non-Muslim yang terikat komitmen dengan kaum muslimin untuk tidak saling bermusuhan. Kafir Mu’ahad berasal dari Darul ḥarbi, tetapi mereka telah mengadakan perjanjian damai dengan pemerintah Islam. Hak dan kewajiban mereka ditentukan menurut al-Qur’an, Sunnah, dan perjanjian yang disepakati bersama, oleh karena itu, mereka harus dilindungi hak-hak dan kewajibannya.
c.    Kafir Dzimmah, yaitu non-Muslim yang berdomisili di negara Islam. Kafir Dzimmi adalah kaum non-Muslim yang hidup di tengah masyarakat Muslim, mereka mendapat perlindungan Allah, Rasul-Nya, dan masyarakat Muslim.[10] Mereka tidak dianggap sebagai bahaya dan ancaman yang serius terhadap akidah umat Islam. Oleh karena itu, mereka dapat hidup aman dalam wilayah kekuasaan Islam dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh penguasa Islam. Di negara Islam, dzimmi memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim, kecuali dalam beberapa hal, diantaranya:
1)   Hak untuk mendapatkan izin tinggal dan menjadi penduduk secara resmi di dalam wilayah hukum Islam. Ahludzimmah berhak tetap bertahan di atas tanah yang menjadi miliknya yang sah. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk mengusirnya dari tanahnya itu.
2)   Jaminan keamanan atas nyawa mereka dan keluarga, baik dari ancaman orang Islam atau dari ancaman sesama orang kāfir.
3)   Jaminan keamanan atas harta benda yang dimilikinya.
4)   Jaminan untuk melaksanakan agamanya di dalam wilayah negeri muslim. Konsekuensi yang harus dijalankan kaum muslim dengan ahludzimmah adalah memberikan kepada mereka jaminan untuk bebas melakukan kegiatan agamanya, sesuai dengan keyakinannya. Orang Muslimin dilarang untuk memaksa, menyudutkan, atau memerintahkan mereka masuk Islam, kecuali bila atas kesadaran mereka sendiri.
5)   Jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Islam tidak mengharamkan umatnya bermuamalat dengan orang non-Muslim. Bahkan rasul masih saja menggadaikan pakaian perangnya kepada orang yahudi serta berjual beli dengan mereka. Demikian juga dengan para sahabat, mereka aktif di pasar bersama-sama dengan non-Muslim dalam mencari rizki.
6)   Jaminan atas keamanan kehormatan dan harga diri mereka, baik yang terkait dengan nama baik, nasab, susila, dan lainnya.
7)   Jaminan dari berbagai macam gangguan lainnya, baik yang berasal dari umat Islam ataupun dari orang kafir lainnya.[11]

C.  Hak-Hak Non-Muslim Sebagai Warga Negara
Berkaitan dengan hak-hak non-Muslim sebagai warga negara, ada beberapa keistimewaan yang diberikan negara untuk mereka diantaranya: Dalam Islam, hak asasi pertama dan utama warga negara adalah melindungi nyawa, harta dan martabat mereka, bersama-sama dengan jaminan bahwa hak ini tidak akan dicampuri, kecuali dengan alasan-alasan yang sah dan legal.[12]
Darah seorang non-Muslimdianggap suci dan sesuai darah Muslim. Jika seorang Muslim membunuh seorang non-Muslim maka denda ataupun balasan yang dibebankan akan sama dengan denda atau balasan kepada seseorang yang membunuh seorang Muslim. Pada zaman Rasulullah saw. Seorang muslim membunuh seorang dzimmiy, Rasulullah memerintahkan mengeksekusinya.[13]
Hak penting kedua adalah pendidikan. Sewajarnyalah jika mereka melaksanakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah diseluruh negeri. Tapi mengenai pendidikan agama, mereka tidak akan dipaksa untuk mempelajari Islam, justru sebaliknya mereka akan diberi hak penuh untuk menyebarkan ilmu pengetahuan berlandaskan agama mereka sendiri kepada anak-anak mereka di sekolah-sekolah mereka sendiri atau bahkan di Universitas atau Akademi-Akademi Nasional.[14]
Hak penting ketiga adalah kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan masing-masing. Dalam negara Islam semua nonMuslim akan memiliki kebebasan yang sama untuk menganut keyakinan, pandangan, mencurahkan pendapat (melalui kata-kata tertulis maupun tidak tertulis), serta berserikat dan berkumpul sebagaimana yang di miliki oleh kaum muslimin sendiri, yang tunduk pada batasan-batasan yang diterapkan oleh hukum terhadap kaum muslimin. Diantara pembatasanpembatasan tersebut, mereka akan diberi hak untuk mengkritik pemerintah dan para pejabatnya , termasuk kepala negri.
Kaum dzimmiy tidak akan pernah dipaksa untuk menganut suatu keyakinan yang bertentangan dengan kesadaran mereka, dan adalah hak merekalah untuk menolak apa yang bertentangan dengan kesadaran atau keimanan mereka.
Hak lain yang juga sangat ditekankan dalam Islam adalah jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan. Dalam suatu negara Islam, pintu-pintu industri, pertanian, perdagangan dan semua profesi lainnya terbuka bagi setiap warga negara, dan kaum Muslimin tidak memiliki hak istimewa tertentu atas kaum non-Muslim. Dalam kaitan ini, juga tidak akan ada seorang non-Muslim pun yang dapat dihambat, karena harus member prioritas kepada Muslim. Setiap warga negara, Muslim maupun non-Muslim, menikmati hak yang sama disektor perekonomian.[15]

D.  Sifat Ideal Pemimpin
Sebagai umat Islam tentunya contoh yang paling ideal untuk diikuti adalah Rasulullah Muhammad saw. sendiri. Beliau adalah sosok manusia yang paripurna dan menjadi samudera tanpa batas walaupun diselami lautannya sepanjang zaman. Allah swt. menegaskan tentang hal ini di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu ( yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” ( QS. Al Ahzab: 21)
Terlebih utama dalam masalah kepemimpinan, dalil di atas telah menjadi hujjah yang sangat kuat sebagai pendukung berbagai asumsi dan tesis dari pemikir-pemikir Islam yang menyatakan model kepemimpinan yang telah dipraktikkan oleh Nabi adalah sebuah metodologi yang paling efektif dan paling berhasil dalam mencapai tujuan dan target yang ingin dicapainya.
Sedangkan jika ingin melihat dari perspektif Barat dan perspektif Islam. Adapun perbandingan tersebut dapat kita lihat dalam tabel berikut ini:
1.    Perspektif Barat
a.    Memiliki kemampuan mempengaruhi dan membujuk orang lain (inducing). (Edwin A.Locke)
b.    Memiliki kemampuan manajerial yang baik karena kepemimpinan itu sebagai sebuah proses yang lebih dari sekedar menduduki jabatan formal. (Observasi John Gardner).
c.    Memiliki konsep relasi dimana pemimpin yang efektif harus mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang yang dipimpinnya.
d.   Memiliki visi yang jelas, serta mampu menerjemahkan visi tersebut sebagai misi yang dilaksanakan oleh bawahannya.
e.    Memiliki sikap yang optimistis dalam mengemban amanah organisasi.
f.     Memiliki intrait approach (pendekatan watak) yang mencolok sebagai hasil dari proses latihan dan pendekatan situasional atau perilaku yang tersimak (observed behavior) bukan pada pembawaan ( inbom) yang hipotetikal.
2.    Perspektif Islam
  1. Harus mampu memimpin dan mengendalikan dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain.
  2. Memiliki kemampuan manajerial yang baik karena seorang pemimpin itu harus dipilih dari orang-orang dengan kualitas yang terbaik.
  3. Memiliki konsep relasi yang baik karena seorang pemimpin harus mampu menjembatani berbagai perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakatnya.
  4. Visinya adalah Al-Qur'an, misinya adalah menegakkan kebenaran.
  5. Memiliki sikap tawadhu ' dan mawas diri dalam mengem. ban amanah Allah, karena pada prinsipnya kepemim. pinan itu bukan saja harus dipertanggungjawabkan di depan lembaga formal tapi yang lebih penting lagi di hadapan Allah swt.
  6. Memiliki sifat Siddiq (benar), Amanah (terpercaya), Tabligh (menyampaikan apa adanya), Fathonah (Pandai) serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah memberikan kemampuan yang berbeda-beda bagi setiap orang (QS: AI-Iumlah: 4) serta menerimanya dengan rasa syukur dan ikhlas.
Dari perbandingan di atas dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi perbedaan mendasar antara Islam dan Barat dalam meletakkan landasan moral idealitas seorang pemimpin yaitu:
  1. Pendekatan yang di gunakan oleh Barat adalah pendekatan eksternal atau dengan kata lain seorang pemimpin diletakkan sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan komunitasnya. Sementara Islam menggunakan pendekatan internal yang berarti bahwa pribadi seorang pemimpin itu merupakan cerminan dari keberhasilannya memimpin, yang harus dimulai dari belajar memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain.
  2. Sifat ideal yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam perspektif barat adalah hasil dari sebuah proses latihan murni tanpa ada faktor lainnya di dalamnya, sementara Islam meyakini bahwa sifat-sifat tertentu seseorang merupakan karakter khas yang dimilikinya sebagai karunia Allah dan antara setiap orang memiliki kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Sementara itu Islam memandang bahwa seorang pemimpin itu harus memiliki sifat-sifat wajib yang dimiliki oleh Rasulullah Muhammad saw. (no.6) yang berintikan pada kebenaran, kejujuran dan kemampuan intelegensi yang memadai.
  3. Yang terpenting dari semua itu adalah Islam memandang bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah yang diembankan Allah swt. ke pundak manusia, sehingga kepemimpinan tersebut akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah. Untuk itu seorang pemimpin harus memiliki rasa takut kepada Allah sebagai kontrol sempurna bagi kepemimpinannya. Sementara itu perspektif Barat mencukupkan masalah amanah kepemimpinan itu sebagai tanggung jawab legalformal saja dengan parameter materi.
Dari uraian kesimpulan ini, dapat dipersempit lagi perbedaan yang paling substansial antara kepemimpinan dalam perspektif Islam dan perspektif Barat yaitu jika perspektif Islam memandang sifat ideal seorang pemimpin itu sebagai sebuah proses yang mengandung unsur-unsur materi dan religi sekaligus yang meliputi seluruh aspeknya secara kompleks sedangkan perspektif barat memandang sifat ideal seorang pemimpin itu adalah sebuah proses yang tersimak (zahir) dengan parameter yang juga bersifat materi dan dapat diukur.

E.  Karakteristik Pemimpin Umat Masa Depan
Masa depan adalah masa yang sangat kompleks sebagai sebuah sunnatullah dengan bertambahnya usia zaman dan jumlah penduduk, maka akan bertambah juga problematika yang teq'adi di tengah-tengah umat. Lebih-lebih jika kita amati proses degradasi moral yang sedang berlangsung pada saat ini, tentunya tugas dari pemimpin-pemimpin umat masa depan adalah teramat berat.  Dengan mempelajari sejarah panjang Kepemimpinan yang pemah hadir di dalam pentas sejarah dunia Islam, maka calon-calon pemimpin yang dipersiapkan sebagai pemimpin umat masa depan harus memiliki beberapa karakter berikui sebagai modal dasar bagi kepemimpinannya walaupun tentunya belum bisa mewakili kompleksitas yang akan terjadi Adapun karakteristik pemimpin umat masa depan itu adalah
1.    Memiliki akidah Islamiah yang mantap
Seorang pemimpin harus menampilkan kepribadian yang kokoh dan tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai arus pemikiran. Dia harus mampu menjadi benteng sekaligus pengayom, bagi umatnya dan kemantapan akidah adalah indikator utama yang akan mempengaruhi indikamr. indikator lainnya.
2.    Tasamuh (toleran)
Sikap tasamuh ini dibutuhkan untuk mengantisipasi sikap talashub (fanatik) yang pernah menjangkiti umat Islam di masa-masa awal kehadirannya akibat perasaan sukuisme yang sangat kental dari orang-orang Arab pada saat itu. Kepemimpinan Islam masa depan harus mampu menanamkan sikap tasamuh dengan memberikan contoh yang baik terlebih dahulu untuk menyatukan perbedaan sekaligus mengikis perasaan sektarianisme yang sudah menjadi kultur.
3.    Memiliki landasan kerjasama dan solidaritas
Kerjasama ini harus diletakkan pada kerangka yang luas, baik itu dalam bentuk talawun Islamy (kerjasama umat Islam) maupun talawun insany (kerjasama antar umat manusia), dan hal ini merupakan karakter kepemimpinan yang harus dimiliki oleh pemimpin masa depan mengingat kompleksitas stratinasi sosial berikut berbagai problematika yang akan mengikutinya.
4.    Mampu menghilangkan kultur organisasi
Organisasi suku, masa, sosial politik dan lain-lain hanya akan menambah deretan persoalan sekaligus memperlebar jurang perbedaan. Untuk itu budaya kultus organisasi harus dihapuskan, dan seorang pemimpin masa depan harus memiliki visi ke depan yang baik untuk membentuk ummatan wahidah (umat yang satu)
5.    Terbuka
Pemimpin masa depan haruslah terbuka terhadap dinamika internal umatnya, kritik yang konstruktif dan demokrat karena seorang pemimpin yang berwawasan sempit lambat laun akan menjelma menjadi diktator karena tidak ada kontrol yang menjadi penyeimbang terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkannya.
6.    Bebas dari penyakit ”]ahid” dan ”]amid”
Penyakit ]ahid (reaksioner) dan Jamid (beku berfikir) merupakan penyebab runtuhnya Daulah Islamiah di masa lalu. Untuk itu seorang pemimpin yang akan bersinggungan langsung dengan era post modernialisme harus benar-benar arif dalam menyikapi berbagai perkembangan yang terjadi. Menyikapi segala sesuatu dengan sikap yang reaksioner justru akan merugikan kedudukan seorang pemimpin karena yang terlihat bukanlah sikap mengayomi melainkan justru sikap partisan yang tidak layak dikedepankan.

F.   Pandangan Ulama’ Tentang Pemimpin Non-Muslim Secara Umum
Dalam hal ini, terkait dengan pemimpin Non-Muslim, ada beberapa pandangan dari beberapa ulama‟ tafsir yakni sebagai berikut:
1.    Menurut pendapat Syaikh ImamQurṭubi, pemimpin harus dipegang oleh kaum Muslimin, dan sangat berbahaya apabila pemimpin dipercayakan kepada kaum Non-Muslim. Di dalam Kitabnya Tafsiral-Qurtubi, beliau menyatakan, pada zaman sekarang ini keadaan sudah terbalik dan berubah sedemikian rupa, hingga orang-orang Islam lebih mempercayakan segalanya kepada orang-orang kafir, dan keadaan kaum Muslimin pun semakin memburuk dan terpuruk.[16]
2.    Menurut Hasbias-siddiqi, kerjasama, bantu-membantu, dan bersahabat setia antara dua orang yang berlainan agama untuk kemaslahatan-kemaslahatan dunia, yang demikian itu tidak dilarang. Yang dilarang adalah kita bersahabat setia dengan Yahudi dan Nasrani dalam hal-hal yang merusak atau bertentangan dengan kemaslahatan para mukmin seperti ungkapan beliau dalam Tafsir al-Qur‟anulMajid an-Nur, Tuhan hanya melarang kamu berkawan setia dengan orang-orang yang terang-terangan memusuhimu, yang memerangimu, yang mengusir kamu atau membantu orang-orang yang mengusirmu seperti yang dilakukan oleh musyrik Makkah.[17]
3.    Menurut Sayyid Quṭbdi dalam Tafsirnya Fi-Zhilalil-Qur‟an beliau beranggapan bahwa Agama Islam menyuruh pemeluknya agar melakukan toleransi dan melakukan pergaulan yang baik dengan AhlKitāb. Khususnya, mereka yang mengatakan “sesungguhnya kami adalah orang-orang Nasrani.” Akan tetapi, al-Qur‟an melarang mereka memberikan loyalitas dan kesetiaan kepada mereka semua. Karena, toleransi dan bergaul dengan baik itu adalah masalah akhlak dan perilaku, sedangkan masalah wala‟ loyalitas adalah masalah akidah dan masalah penataan umat. Wala‟ berarti pertolongan atau bantu-membantu antar satu golongan dengan golongan lain. Sedang hal ini, tidak ada bantu-membantu dan tolong-menolong antara kaum Muslimin dan Ahli kitab sebagaimana halnya dengan orang kafir.[18]
4.    Menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi mengenai pengangkatan pejabat non- Muslim tidaklah masalah, memang banyak ayat al-Quran yang secara tegas melarang kaum Muslimin untuk mengangkat non-muslim menjadi walinya, tetapi ada alasan-alasan yang melarangnya, secara umum adalah pelarangan mengambil non-muslim sebagai teman dalam suatu hal yang membahayakan kaum Muslimin, seperti membuka rahasia-rahasia khusus yang berkaitan dengan urusan-urusan agama, bersekongkol untuk memerangi kaum Muslimin lainnya.[19] Dari sini dapat diketahui, bahwa pengangkatan wali dan perjanjian untuk saling menolong di antara dua golongan yang berbeda agama dalam mencapai berbagai kemaslahatan duniawi, tidak termasuk dalam larangan ini. Lebih jauh al-Maraghi berpendapat dalam tafsirnya, mempekerjakan kaum kafir dzimmydi dalam pemerintahan Islam adalah tidak dilarang. Para sahabat ra. Telah mempekerjakan mereka dikantor-kantor amiriyah (keamiran).[20]
5.    Menurut M. Quraish Shihab tentang bagaimana sikap Muslim mengangkat non-Muslim dalam pemerintahan. Landasan normatif yang sering dijadikan sebagai titik tolak ketika membicarakan persoalan ini adalahQS. al-Ma‟idah ayat 57. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi auliya’, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.”QS. al-Ma‟idah ayat 57. Ayat ini sering dipahami bahwa hak pemimpin dalam pemerintahan hanya ada pada kalangan Muslim saja. Artinya, non-Muslim tidak berhak untuk dijadikan pemimpin. Menurut penulis, Hal ini bisa dipahami, karena sebagaimana non-Muslim sangat membenci kaum Muslimin dan sifat-sifat buruk yang dimilikinya, dan ada ayat-ayat al-Qur‟an yang mengecam mereka sebagai kaum yang membuat kerusakan didunia Ini. sehingga sangat mustahil pemerintahan suatu negara diserahkan kepada mereka, apalagi negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Ditambah lagi orang yang menjadikannya (non-Muslim) sebagai waliynya, diancam akan dikeluarkan dari barisan kaum Muslimin yang dengan demikian Allah tidak akan menjadi penolongya.
Dengan demikian tidak salah sekiranya banyak para pemikir islam melarang kaum Muslimin bahkan mengharamkan secara mutlak mengangkat mereka menjadi pemimpin pemerintahan yang mengatur ketertiban kehidupan Muslimin dalam bernegara dan bermasyarakat seperti beberapa ulama tafsir seperti Ash-Shabuny dan Mustafa al-Maraghy.[21] Dari segala yang ada,  terdapat sedikit perbedaan pemahaman M. Quraish Shihab, tentang kebolehan kaum Muslimin mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin pemerintahan. Ini bisa terlihat dari penafsiran beliau QS. al-Māidah ayat 51. Sebelum beliau menafsirkan ayat tersebut secara panjang lebar, Beliau mendahuluinya dengan kata “jika keadaan Yahudi atau Nasrani atau siapa pun seperti dilukiskan oleh ayat-ayat yang lalu”. kata-kata ini menunjukkan bahwa, M. Quraish Shihab berpapasan kepada kita untuk melihat pada ayat-ayat lainnya berkenaan dengan sikap buruk mereka yang di kecam oleh al-Qur‟an. Beberapa sifat buruk orang-orang non-Muslim yang dijelaskan oleh al-Qur‟an diantaranya adalahorang-orang Ahlal-Kitab selalu berupaya untuk mengalihkan umat Islam dari agamanya, atau paling tidak menanamkan benihbenih keraguan seperti QS al-Baqarah ayat 109.
Sejalan dengan pendapat M. Asad yang mengatakan bahwa pengertian wali yang dilarang dalam ayat tersebut lebih banyak berkonotasi aliansi moral ketimbang aliansi polotik bentuk aliansinya, berimplikasi pengambilan over tradisi dan pandangan hidup orang-orang kafir dan menjadikanya sebagai preferensi ketimbang tradisi dan pandangan hidup Muslim sendiri.Membina hubungan dan kerjasama dengan orang-orang non-Muslim dalam bidangbidang sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dan sebagainya dalam rangka menciptakan masyarakat yang damai, sejahtera dan berkeadilan, tidaklah dilarang dalam Islam QS al-Anfal ayat 61. Maka karena sifat-sifat atau ciri-ciri diataslah sehingga muncul larangan itu. Oleh karena itu, ia hanya berlaku bagi mereka yang mempunyai berbagai sifat atau ciri demikian, kendati mereka seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan Muslimin. Jadi, memilih pemimpin yang bukan Muslim tidak terlarang.

G. Pandangan Ulama Terhadap Kepemimpinan Non Muslim Secara Rinci
            Jika kita berbicara tentang pandangan ulama terkait kepemimpinan nonMuslim tentunya terdapat perbedaan argumen antar ulama, ada ulama yang kemudian memperbolehkan mengangkat pemimpin non Muslim tetapi disisi lain ada juga ulama yang tidak memperbolehkan mengangkat pemimpin non Muslim.
1.    Ulama yang melarang pemimpin non muslim
            Menurut Al-Zamakhsyari, dilarangnya mengangkat orang non Muslim menjadi pemimpin adalah sangat masuk akal mengingat orang non muslim atau orang kafir adalah musuh orang Islam, dan prinsipnya tidak mungkin bagi seseorang yang mengangkat musuhnya menjadi pemimpinnya. Menurut Ali al-Sayis apabila seorang Muslim mengangkat orang non Muslim sebagai pemimpin berarti umat Islam seolah memandang jalan yang ditempuh oleh orang kafir adalah jalan yang baik. Sebab dengan meridhoi kekafiran maka orang tersebut telah kafir.
            Al-Zuhaili juga menyampaikan hal yang sama yaitu dengan mengangkat pemimpin non Muslim maka hal tersebut menunjukkan kesan umat Islam memandang baik jalan kekafiran yang ditempuh oleh kaum non Muslim. Tetapi menurut al-Zuhaili hal tersebut tidak mengapa sepanjang hanya dalam konteks urusan duniawi semata tanpa merestui kekafiran mereka dan dilarang juga menjadikan non muslim sebagai pemimpin dalam jabatan yang strategis, mulia, dan terhormat seperti seorang kepala negara. Pernyataan tersebut diperkuat dengan kebijakan khalifah Umar bin Khattab yang mana beliau pernah mengangkat pemimpin non musli asal Romawi dalam mengurusi permasalahan administrasi. Kebijakan ini juga kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah selanjutnya seperti khalifah Bani Abbasiyah yang sering melibatkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam masalah kenegaraan.[22]
            Pendapat diatas berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi yaitu umat Islam tidak hanya dilarang mengangkat pemimpin non Muslim sebagai pemimpin negara, tetapi juga dilarang mengangkat pemimpin non Muslim dalam jabatan publik lainnya. Pendapat Ibnu Arabi ini diperkuat  dengan mengutip kebijakan Umar bin Khattab pada saat menerima informasi dari Abu Musa Al-Asy’ari dari Yaman yang mengangkat seorang kafir dzimmi sebagai sekretaris pribadinya. Kemudia Umar mengirimi surat kepada Abu Musa untuk memecat sekretaris yang non Muslim itu karena bertentangan dengan ayat al-Qur’an serta menurut Umar pemimpin non Muslim itu tidak dapat menerima saran-saran orang lain dengan tulus dan tidak dapat dipercaya.[23]
2.    Ulama yang memperbolehkan pemimpin non muslim
            Diantara ulama yang memperbolehkan mengangkat pemimpin non Muslim diantara orang muslim diantaranya yaitu Thariq al- Bishri, Muhammad  Abduh, Asghar Ali Enginer, Abdullah Ahmed al-Naim dan Muhammad Thoha. Mereka semua merupakan intelektual Muslim modern yang memiliki cara pandang baru dalam melihat pesan-pesan yang ada dalam al-Qur’an. Mereka juga menggunakan metodologi baru dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu tematik yang mana metodologi tafsir ini berbeda dengan metodologi ulama klasik dalam menafsirkan al-Qur’an yang lebih bersifat atomistik dan parsial. Para intelektual Muslim modern tersebut juga menggunakan pendekatan interdisipliner seperti filsafat bahasa, semantik, semiotik, antropologi, sosiologi, sains , dan lain sebagainya.[24]
            Muhammad Abduh sebagai ulama terkemuka memperbolehkan orang non Muslim menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Dalam hal ini Muhammad Abduh mengkategorikan orang non Muslim yang tidak memusuhi orang-orang Muslim lah yang boleh diangkat menjadi pemimpin. Adapun argumen Abduh didasari ayat   QS. Al-Mumtahanah : 9
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya : sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir amu dari negerimu, dan membantu untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai lawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.
            Muhammad Abduh menawarkan pendekatan sosio historis terhadap asbabun nuzul ayat tersebut. Dalam hal ini Abduh memperbolehkan non Muslim menjadi pemimpin dengan alasan: pertama larangan tersebut hanya berlaku jika non Muslim menzhalimi orang Muslim. Yang kedua Muhammad Abduh melihat bahwa laragan tersebut tidak relevan juka diterapan pada saat ini karena non Muslim juga dilindungi haknya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika memimpin kota Madinah. Yang ketiga ada dalil yang mendukung untuk memberikan keadilan pada oarng-orang non Muslim.[25]
            Sementara Al-Mawardi seorang ulama yang bermadzhab Syafi’i  juga memperbolehkan pengangkatan orang non Muslim untuk jabatan publik tertentu. Adapun berikut ini tafshil atau rincian terhadap jabatan tersebut yang beliau tulis dalam kitab Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah  halaman 27.
و يجوز أن يكون هذا الوزير من اهل الذمة وإن لم يجوز ان يكون وزير التوفيض منهم
            Posisi pejabat (Tanfidz atau eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi atau orang non Muslim yang siap hidup bersama orang Muslim. Tetapi untuk posisi pejabat tafwidh atau pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, otoritas tidak boleh diisi oleh kalangan mereka.
            Dalam kitab tersebut Al-Mawardi mengemukakan bahwa kekuasaan dibagi menjadi 2 yaitu tafwidh dan tanfidz. Adapun tafwid memiliki cakupan kerja penanganan hukum, mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Sedangkan pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Is;am, pemahaman terhadap hukum agama, mereka.

H.  Kontekstualisasi Mengangkat Pemimpin Non-Muslim di Indonesia
Negara Indonesia adalah negara majemuk, yang di dalamnya terdapat banyak suku bangsa, adat istiadat, dan kebudayaan, serta mempunyai beragam Agama yang dianut oleh penduduknya. Untuk menyatukan dan mempersatukan Bangsa dan Negara, Indonesia mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Eka, yang menjadikan pancasila sebagai dasar negara. Walaupun Negara Indonesia mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam, Namun, para pendiri Negara Indonesia tidak memilih syariah Islam sebagai dasar Negara. Mereka sadar, Negara bisa kuat dan kokoh bukan dari pemahaman bernegara sekelompok orang tertentu saja, namun dari pemahaman bernegara secara keseluruhan. Kurang lebih sebagai mana yang dipraktikkan oleh Nabi saat mendirikan Negara Madinah. Naiknya seorang non-Muslim menjadi salah satu pejabat pemerintahan di Negara ini, yang mengatur permasalahan kehidupan permasyarakatan keduniaan, tidaklah dilarang. Karena tidak ada satu Undang-Undang pun Negara Indonesia ini, yang melarang mereka mengemban suatu jabatan di pemerintahan, sebagaimana pendapat M. Quraish Shihab, tentang kebolehan non-Muslim menjabat di pemerintahan.
M. Quraish Shihab menghindari pemahaman penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadis secara parsial. karena syari‟ah „tradisional” memberi peluang bagi diskriminasi yang serius terutama menyangkut relasi antara agama. Karenanya, syari’ah tradisional yang berkaitan dengan persoalan non-Muslim tak layak lagi dipertahankan. Memang banyak faktor yang mempengaruhi cara pandang ulama fikih (syari‟ah) dan juga kaum Muslimin terhadap persoalan non-Muslim. Diantaranya adalah pergulatan sejarah yang kelam antara Muslim dan non-Muslim, terutama saat terjadi penghianatan kaum yahudi terhadap Nabi Muhammad di Madinah, dukungan kaum Nasrani terhadap tentara Salib dalam perang salib (1097-1291 M), dan belakang kolonialisme Barat terhadap di dunia Islam pada masa modern. Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah juga cara kaum Muslimin memahami teks-teks al-Qur‟an dan Hadis, yang sering kali dilakukan secara parsial. Akibat beberapa faktor diatas, beberapa hukum Islam ( Syari’ah) yang berkaitan dengan kaum non-Muslimin yang terdokumentasikan dalam fikih (syari’ah) tampaknya sulit diharapkan untuk membantu menjembatani hubungan antara Muslimin dan non-Muslim. Muhammad al-Ghazali dan al-Ghanausyi, ulama ternama asal Mesir dan Tunisia, mencoba mengapresiasi non-Muslim dalam konteks politik modern, menurut Muhammad al-Ghazali dalam bukunya at-Ta’aṣṣub wa at-Tasamuhbain al-Masihiyyah wa al-Islam, yang dinukil oleh Sukron Kamil dan Chaidar menyatakan bahwa masyarakat Islam dibina atas prinsip toleransi, kerja sama, dan inklusifitas.[26]  Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam “sudah menjadi orang-orang Islam, dilihat dari sudut pandang politik dan kewarganegaraan” hal ini karena hak dan kewajiban mereka sama dengan hak dan kewajiban kaum Muslimin. Sementara itu, Rasyid al-Ghanausyi, ulama asal Tunisia, menyatakan bahwa kewarganegaraan tidaklah berdasarkan agama. Kelompok minoritas non-Muslim memiliki hak yang sama dengan umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan Islam seperti keadilan dan persamaan berlaku bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun bukan. Bagi al-Ghanausyi, diskriminasi terhadap kalangan non-Muslimin dan perlakuan yang menganggap mereka sebagai warga negara kelas dua adalah tindakan melanggar ajaran agama dan merusak citra Islam.
Contoh bahwa kemudahan yang diajarkan al-Qur’an inilah yang dipraktikkan oleh Umar bin Khathab dengan menyerahkan tugas perkantoran kepada orang-orang Romawi (yang bukan Muslim ketika itu). Kebijaksanaan serupa diambil oleh khalifah sesudahnya (Utsman dan Ali ra.). demikian juga yang diterapkan oleh Dinasti Abbasiyah dan penguasa-penguasa Muslim sesudah mereka. Yakni menyerahkan tugas negara kepada orang Yahudi, Nasrani, dan Buddha. Kerajaan Usmaniyah pun
demikian, bahkan duta-duta besar dan perwakilan-perwakilannya diluar Negri kebanyakan dipegang oleh orang Nasrani.  Dari kristiani misalnya terdapat Hunain bin Ishaq (kepala Bait al-Hikmah), keluarga barmak berkali-kali dijadikan wazir (perdana menteri) oleh para khalīfahAbbasiyah, dan banyak pula dari kaum Yahudi yang memegang jabatan penting dalam persoalan ekonomi.[27]
Secara teoritis, tampak sekali bahwa semangat Syari‟ah Islam pada awalnya adalah bersifat melindungi dan memberikan hak-hak non-Muslim, seperti dalam piagam Madina. Namun, dalam praktiknya dibeberapa negara Muslim saat ini, yang sering terjadi justru penyimpangan, yang mengaburkan makna serta semangat yang dikandung syari’ah itu sendiri. Dalam kapasitasnya sebagai non-Muslim, Ahldzimah seringkali mendapat perlakuan yang tidak setara dengan komunitas Muslim. Kendati kaum non-Muslim dzimmi diperbolehkan beribadah sesuai keyakinannya dan diperbolehkan menerapkan hukum keluarganya. Namun, dalam urusan politik, semua jabatan administratif dan politis haruslah dipegang oleh Muslim. Mereka tidak bisa menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Mereka juga tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota majelis permusyawaratan. Sebab itulah, beberapa ahli syariah modern menolak pelarangan non- Muslim menjadi pejabat negara, menurut Amien Rais sebagaimana kebebasan berbicara, beragama, bebas berkehendak, bebas dari ketakutan dan seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam Islam, hak non-Muslim dalam Islam untuk menjadi menteri dan menduduki jabatan-jabatan pemerintahan lainnya juga diakui. Namun, Islam tidak memberikan hak kepada non-Muslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini, menurutnya, hanya menunjukkan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana negara-negara demokrasi barat yang mempersamakan secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya, Islam memberlakukan syarat secara de jure dan de facto bahwa kepala negara harus merupakan anggota dari mayoritas.[28]
Pandangan yang sama menurut mantan presiden RI Ke-4, KH. Abdurrahman Wahid. Baginya non-Muslim adalah warga negara yang memiliki hak-hak penuh, termasuk hak untuk menjadi kepala negara di negara Islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Ali Imran: 38 dijadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-Muslim menjadi kepala negara. Alasannya karena kata yang terdapat dalam ayat itu adalah auliya’ yang berarti teman atau pelindung , bukan umara’ yang berarti penguasa. Hal senada diungkapkan oleh HarifuddinCawidu, mengutip pendapat ath-Thabataba‟i dan Muhammad Asad, bahwa konsep wali dalam ayat ini lebih dekat kepada prinsip-prinsip moral dan bukan prinsip-prinsip politik. Maksudnya adalah seorang Muslim tidak layak untuk menjadikan non- Muslim sebagai acuan moral dan prinsip hidup sebab Islam memiliki konsep dan tradisi sendiri dalam soal moral dan nilai-nilai kehidupan.
Begitu juga pandangan M. Quraish Shihab. Di Negara Indonesia, Negara Bangsa (nation state), yang tidak mengambil syari‟ah Islam sebagai dasar negara. Memilih pemimpin yang bukan Muslim tidak terlarang, selama membawa manfaat, untuk semuaitu pun hendaknya memprioritaskan orangorang yang beriman.[29] Tetapi beliau tidak memberi perincian yang mendalam, menyangkut kebolehan tersebut. Sampai jabatan apa yang memperbolehkan non-Muslim menjabatnya. Mengakhiri tulisan ini ada baiknya mengutip pendapat Ibn Taimiyah, (Allah mendukung pemerintahan Adil sekalipun kāfir, dan tidak mendukung pemerintahan zalim sekalipun Muslim).



[1] Ngalim Porwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Mutiara, 1984), 38
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia pdf, (Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1075.
[3] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur‟an dan Hadis, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014), 146.
[4] Ibid, 161.
[5] Ibid, h. 176.
[6] Ibid, h. 177.
[7] Cyril Gkasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 15.
[8] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur‟an dan Hadis, 201.
[9] Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam al-Qur’an; Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 7.
[10] Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad; Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut al-Qur’an dan Sunnah, (Terj. Irfan Maulana Hakim), (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), 750.
[11] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur‟an dan Hadis, 220.
[12] Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem politik Islam, (Bandung: IKAPi, 1995), 272.
[13] Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem politik Islam, 306.
[14] Ibid, 321.
[15] Ibid, h 322
[16] Syeikh Imam Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Terj. Dudi Rosyadi),  (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 446.
[17] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Tafsir al-Qur‟nul Majid An-Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 4193.
[18] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, (Terj. As‟Ad Yasin), (Jakarta: Gema Insani Pess, 2002), 265.
[19] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, (Terj. Bahrun Abubakar) (Semarang: Toha Putra, 1993), 250.
[20] Ibid., 319.
[21] Sukron Kamil, Syariah Islam dan Ham Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim, (Jakarta: CRSC, 2007), 79.
[22] Muhammad Rizal Husni, Skripsi: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia,UII Yogyakarta, 2018, 37
[23] Muhammad Rizal Husni, Skripsi: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia, 38
[24] ibid, 41
[25] Ibid, 46
[26] Sukran Kamil, Chaidar S., Syariah Islam dan Ham; dampak Perda Syariah Terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2007), 72.
[27] Rohmat Syaifudin. Skripsi pemimpin non Muslim dalam Al-Qur’an, (Semarang: Univ Islam Walisongo, 2016), 77
[28] Sukron Kamil, Chaidar S, Syariah Islam, 81-82
[29] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,  73.

Komentar