A.
Pengertian Pemimpin
Definisi tentang pemimpin memiliki
banyak variasi dan banyak yang mencoba untuk mendefinisikan tentang pemimpin
ini. Pemimpin adalah orang yang memiliki segala kelebihan dari orang-orang
lain. Pemimpin dalam pandangan orang kuno adalah mereka yang dianggap paling
pandai tentang berbagai hal yang ada hubungannya kepada kelompok, dan pemimpin
harus pandai melakukannya (pandai memburu, cakap dan pemberani dalam
berperang).[1]
Kata pemimpin dan kepemimpinan
merupakan satu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan, baik secara struktur
maupun fungsinya. Artinya kata pemimpin dan kepemimpinan adalah satu kesatuan
kata yang mempunyai keterkaitan, baik dari segi kata maupun makna. Istilah
pemimpin dalam kamus besar Indonesia berasal dari kata
“pimpin” yang mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan kata
kepemimpinan itu sendiri mempunyai makna cara untuk memimpin. Jadi pemimpin
adalah orang yang memimpin, atau ia ditunjuk menjadi.[2]
Hal ini memungkinkan bahwa dalam menduduki posisinya melalui pemberian
atribut-atribut secara formal atau tertentu.
B. Pengertian dan Macam-Macam Non-Muslim
Non Muslim merupakan orang yang tidak menganut
agama Islam, tetapi menganut sejumlah agama lain dengan segala bentuk
kepercayaan dan variasi ritualnya. Di dalam masyarakat umum terdapat tiga
kelompok besar yang dikenal dengan sebutan non-Muslim, diantaranya yaitu:
Murtad, AhlKitab, dan Kafir.
1.
Murtad
Murtad, secara
literal berarti orang yang berbalik, kembali, atau keluar. Dalam pandangan
hukum Islam, murtad berarti keluar dari Islam atau tidak mengakui kebenaran
Islam, baik dengan berpindah agama lain, atau menjadi tidak beragama sama
sekali (atheis).[3]
Seseorang dikatakan murtad bila mana mereka mengerjakan sesuatu yang jelas
keharamannya dan hukumnya telah diketahui namun tetap dikerjakan dengan
anggapan, perbuatan tersebut boleh dilakukan serta dilakukan secara sengaja,
dengan maksud mempermudah atau menghina Islam atau karena keras kepala.
Misalnya, sujud menyembah matahari atau menginjak al-Qur’an. Tetapi kalau
perbuatan itu dilakukan bukan karena menolak nas yang melarangnya atau
disebabkan penalaran yang keliru terhadap nas,ulama menilai orang tersebut
tidak menjadi murtad, juga orang yang dipaksa untuk murtad tidak tergolong
orang yang murtad.
Sebagai contoh
kasus Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya, yaitu Sumayyah dan Yasir. Mereka
dipaksa orang musyik untuk murtad. Ibu bapaknya menolak, sehingga keduanya
dibunuh dan tercatat sebagai orang Islam yang mati syahid pertama dalam sejarah
Islam. Sedangkan Ammar mengucapkan kufur sehingga dibebaskan. Beliau kemudian
datang dan menangis di hadapan Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw.,
menghapus air matanya sambil bertanya, “bagaimana
sikap hatimu” Ammar menjawab, “Hatiku
tenang dalam keimanan.” Maka
Rasul menasihati, “kalau mereka memaksamu
kembali, maka ucapkan saja lagi apa yang telah kamu ucapkan itu”[4]
2.
AhlKitab
Kata AhlKitab
terdiri dari dua kata Ahl dan Al-Kitab. Kata Ahl berarti keluarga atau kerabat
dekat. Sedangkan al-Kitāb menunjuk kepada makna lembaran atau buku. Jadi Ahlul
Kitāb dapat diartikan sebagai komunitas yang diturunkanya suatu kitab.[5]
Para ulama mendefinisikan AhluKitāb dengan makna sebuah komunitas atau
kelompok yang telah memiliki kitab suci sebelum diturunya al-Qur’an.[6]
Didalam al-Qur’an dan dan Hadits yang dimaksud dengan istilah untuk term
AhluKitāb adalah menunjukkan kepada sebuah komunitas yang beragama Yahudi dan
Nasrani (Kristen). Adapun sebagian memperluas cakupan AhluKitab, sehingga istilah tersebut tidak hanya terbatas kepada
dua kelompok yang disebutkan di atas tadi, tapi mencakup agama dan kepercayaan
yang lain, seperti: Majusi dan Shabi’in,
atau oleh orang barat dikenal dengan sebutan kaum sabian.[7]
Majusi berasal dari bahasa Persia, yang
merujuk kepada agama Majusi, yaitu yang berarti mereka yang menyembah kepada
api dan bintang, serta mempercayai tentang adanya dua tuhan, yaitu Tuhan Ahuramazda (kebaikan) yang dilambangkan
dengan cahaya, serta Tuhan Ahriman
(kejahatan) yaitu yang dilambangkan dengan api. Di antara keduanya terdapat
permusuhan abadi sampai akhir zaman.
Agama ini mempunyai sakte yang cukup banyak,
namun yang paling dikenal adalah Zoroaster, dengan tokohnya yang terkenal
Zaradasyt, yang hidup sekitar tahun 600 SM. Selain itu ada sakte lain seperti, at-Tsanwiyyah, al-Zawaniyyah,
al-Maskhiyyah dan lain-lain. Abu Sa‟id al-Isthakhri al-Qadir Ballah,
memfatwakan bahwa penganut ajaran ini termasuk kāfir, seperti dikutip oleh
al-Andalusy. Sedangkan mengenai term as-Shabi’in, ada kemungkinan berkembangnya
pemakaian term tersebut untuk menunjukkan kepada Ahlul Kitāb yang telah ada
beberapa dawarsa setelah Nabi saw. Abu Aliah berpendapat bahwa kaum Shabi’
termasuk juga ada yang memasukkan kedalam istilah AhlulKitāb atau penganut
agama-agama lain seperti penganut Buddha, Hindu, serta Konghucu.
3.
Kafir
Secara
etimologis, kafir berasal dari kata kafara,
yakfuru, kufran. Kata tersebut memiliki berbagai macam makna, antara lain.
Naqidh al-Iman, yaitu antonim dari iman atau tidak beriman kepada Allah Swt,
Aṣaw wa Imtana’u, yaitu melakukan maksiat, dan lain sebagainya.[8]
Adapun kafir juga berasal dari bahasa Arab Kufr yang mempunyai arti menutupi,menyelimuti, melupakan sesuatu.
Sedangkan secara terminologi kāfir adalah orang
yang menentang, menolak, kebenaran dari Allah Swt, yang disampaikan oleh
Rasul-Nya atau secara singkat kāfir adalah kebalikan dari iman.[9]
Sedangkan kāfir dengan arti mengingkari yang ditujukan kepada orang-orang
non-Muslim dapat diklasifikasikan kepada beberapa kelompok. Dalam Fikih Siyasah, term kafir dibagi menjadi
tiga bagian.
a.
Kafir Ḥarbi, yaitu non-Muslim yang terlibat permusuhan dengan kaum Muslimin. Mereka
senantiasa ingin memecah belah orang-orang mukmin dan bekerja sama dengan
orang-orang yang telah memerangi Allah Swt dan Rasulnya sejak dahulu.
b.
Kafir Mu’ahad, yaitu non-Muslim yang terikat
komitmen dengan kaum muslimin untuk tidak saling bermusuhan. Kafir Mu’ahad
berasal dari Darul ḥarbi, tetapi mereka telah mengadakan perjanjian damai
dengan pemerintah Islam. Hak dan kewajiban mereka ditentukan menurut al-Qur’an,
Sunnah, dan perjanjian yang disepakati bersama, oleh karena itu, mereka harus
dilindungi hak-hak dan kewajibannya.
c.
Kafir Dzimmah, yaitu non-Muslim yang
berdomisili di negara Islam. Kafir
Dzimmi adalah kaum non-Muslim yang hidup di tengah masyarakat Muslim, mereka
mendapat perlindungan Allah, Rasul-Nya, dan masyarakat Muslim.[10]
Mereka tidak dianggap sebagai bahaya dan ancaman yang serius terhadap
akidah umat Islam. Oleh karena itu, mereka dapat hidup aman dalam wilayah
kekuasaan Islam dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh
penguasa Islam. Di negara Islam, dzimmi
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim, kecuali dalam beberapa
hal, diantaranya:
1)
Hak untuk mendapatkan izin tinggal dan menjadi penduduk secara resmi di dalam wilayah
hukum Islam. Ahludzimmah berhak tetap
bertahan di atas tanah yang menjadi miliknya yang sah. Tidak ada seorang pun
yang berhak untuk mengusirnya dari tanahnya itu.
2)
Jaminan keamanan atas nyawa mereka dan
keluarga, baik dari ancaman orang
Islam atau dari ancaman sesama orang kāfir.
3)
Jaminan keamanan atas harta benda yang
dimilikinya.
4)
Jaminan untuk melaksanakan agamanya di dalam wilayah negeri muslim. Konsekuensi yang
harus dijalankan kaum muslim dengan ahludzimmah
adalah memberikan kepada mereka jaminan untuk bebas melakukan kegiatan
agamanya, sesuai dengan keyakinannya. Orang Muslimin dilarang untuk memaksa,
menyudutkan, atau memerintahkan mereka masuk Islam, kecuali bila atas kesadaran
mereka sendiri.
5)
Jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Islam tidak
mengharamkan umatnya bermuamalat dengan orang non-Muslim. Bahkan rasul masih
saja menggadaikan pakaian perangnya kepada orang yahudi serta berjual beli
dengan mereka. Demikian juga dengan para sahabat, mereka aktif di pasar
bersama-sama dengan non-Muslim dalam mencari rizki.
6)
Jaminan atas keamanan kehormatan dan harga diri mereka, baik yang terkait dengan nama
baik, nasab, susila, dan lainnya.
7)
Jaminan
dari berbagai macam gangguan lainnya, baik
yang berasal dari umat Islam ataupun dari orang kafir lainnya.[11]
C. Hak-Hak
Non-Muslim Sebagai Warga Negara
Berkaitan
dengan hak-hak non-Muslim sebagai warga negara, ada beberapa keistimewaan yang
diberikan negara untuk mereka diantaranya: Dalam Islam, hak asasi pertama dan
utama warga negara adalah melindungi nyawa, harta dan martabat mereka,
bersama-sama dengan jaminan bahwa hak ini tidak akan dicampuri, kecuali dengan
alasan-alasan yang sah dan legal.[12]
Darah
seorang non-Muslimdianggap suci dan sesuai darah Muslim. Jika seorang Muslim
membunuh seorang non-Muslim maka denda ataupun balasan yang dibebankan akan
sama dengan denda atau balasan kepada seseorang yang membunuh seorang Muslim.
Pada zaman Rasulullah saw. Seorang muslim membunuh seorang dzimmiy, Rasulullah
memerintahkan mengeksekusinya.[13]
Hak penting
kedua adalah pendidikan. Sewajarnyalah jika mereka melaksanakan sistem
pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah diseluruh negeri. Tapi mengenai pendidikan agama, mereka tidak akan
dipaksa untuk mempelajari Islam, justru sebaliknya mereka akan diberi hak penuh
untuk menyebarkan ilmu pengetahuan berlandaskan agama mereka sendiri kepada
anak-anak mereka di sekolah-sekolah mereka sendiri atau bahkan di Universitas
atau Akademi-Akademi Nasional.[14]
Hak
penting ketiga adalah kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut
keyakinan masing-masing. Dalam negara Islam semua nonMuslim akan memiliki
kebebasan yang sama untuk menganut keyakinan, pandangan, mencurahkan pendapat
(melalui kata-kata tertulis maupun tidak tertulis), serta berserikat dan
berkumpul sebagaimana yang di miliki oleh kaum muslimin sendiri, yang tunduk
pada batasan-batasan yang diterapkan oleh hukum terhadap kaum muslimin.
Diantara pembatasanpembatasan tersebut, mereka akan diberi hak untuk mengkritik
pemerintah dan para pejabatnya , termasuk kepala negri.
Kaum
dzimmiy tidak akan pernah dipaksa untuk menganut suatu keyakinan yang
bertentangan dengan kesadaran mereka, dan adalah hak merekalah untuk menolak
apa yang bertentangan dengan kesadaran atau keimanan mereka.
Hak
lain yang juga sangat ditekankan dalam Islam adalah jaminan pemenuhan kebutuhan
pokok bagi semua warga negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan. Dalam
suatu negara Islam, pintu-pintu industri, pertanian, perdagangan dan semua
profesi lainnya terbuka bagi setiap warga negara, dan kaum Muslimin tidak
memiliki hak istimewa tertentu atas kaum non-Muslim. Dalam kaitan ini, juga
tidak akan ada seorang non-Muslim pun yang dapat dihambat, karena harus member
prioritas kepada Muslim. Setiap warga negara, Muslim maupun non-Muslim,
menikmati hak yang sama disektor perekonomian.[15]
D.
Sifat Ideal Pemimpin
Sebagai umat Islam tentunya contoh yang paling
ideal untuk diikuti adalah Rasulullah Muhammad saw. sendiri. Beliau adalah
sosok manusia yang paripurna dan menjadi samudera tanpa batas walaupun diselami
lautannya sepanjang zaman. Allah swt. menegaskan tentang hal ini di dalam
firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu ( yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” ( QS. Al Ahzab: 21)
Terlebih utama dalam masalah
kepemimpinan, dalil di atas telah menjadi hujjah yang sangat kuat sebagai
pendukung berbagai asumsi dan tesis dari pemikir-pemikir Islam yang menyatakan
model kepemimpinan yang telah dipraktikkan oleh Nabi adalah sebuah metodologi
yang paling efektif dan paling berhasil dalam mencapai tujuan dan target yang
ingin dicapainya.
Sedangkan jika ingin melihat dari perspektif
Barat dan perspektif Islam. Adapun perbandingan tersebut dapat kita lihat dalam
tabel berikut ini:
1.
Perspektif Barat
a.
Memiliki kemampuan mempengaruhi dan membujuk
orang lain (inducing). (Edwin A.Locke)
b.
Memiliki kemampuan manajerial yang baik karena
kepemimpinan itu sebagai sebuah proses yang lebih dari sekedar menduduki
jabatan formal. (Observasi John Gardner).
c.
Memiliki konsep relasi dimana pemimpin yang
efektif harus mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang yang dipimpinnya.
d.
Memiliki visi yang jelas, serta mampu
menerjemahkan visi tersebut sebagai misi yang dilaksanakan oleh bawahannya.
e.
Memiliki sikap yang optimistis dalam mengemban
amanah organisasi.
f.
Memiliki intrait approach (pendekatan watak)
yang mencolok sebagai hasil dari proses latihan dan pendekatan situasional atau
perilaku yang tersimak (observed behavior) bukan pada pembawaan ( inbom) yang
hipotetikal.
2.
Perspektif Islam
- Harus mampu memimpin dan mengendalikan
dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain.
- Memiliki kemampuan manajerial yang baik
karena seorang pemimpin itu harus dipilih dari orang-orang dengan kualitas
yang terbaik.
- Memiliki konsep relasi yang baik karena
seorang pemimpin harus mampu menjembatani berbagai perbedaan yang ada di
tengah-tengah masyarakatnya.
- Visinya adalah Al-Qur'an, misinya adalah
menegakkan kebenaran.
- Memiliki sikap tawadhu ' dan mawas diri
dalam mengem. ban amanah Allah, karena pada prinsipnya kepemim. pinan itu
bukan saja harus dipertanggungjawabkan di depan lembaga formal tapi yang
lebih penting lagi di hadapan Allah swt.
- Memiliki sifat Siddiq (benar), Amanah
(terpercaya), Tabligh (menyampaikan apa adanya), Fathonah (Pandai) serta
menyadari sepenuhnya bahwa Allah memberikan kemampuan yang berbeda-beda
bagi setiap orang (QS: AI-Iumlah: 4) serta menerimanya dengan rasa syukur
dan ikhlas.
Dari perbandingan di atas dapat disimpulkan
beberapa hal yang menjadi perbedaan mendasar antara Islam dan Barat dalam
meletakkan landasan moral idealitas seorang pemimpin yaitu:
- Pendekatan yang di gunakan oleh Barat
adalah pendekatan eksternal atau dengan kata lain seorang pemimpin
diletakkan sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan
komunitasnya. Sementara Islam menggunakan pendekatan internal yang berarti
bahwa pribadi seorang pemimpin itu merupakan cerminan dari keberhasilannya
memimpin, yang harus dimulai dari belajar memimpin dirinya sendiri sebelum
memimpin orang lain.
- Sifat ideal yang dimiliki oleh seorang
pemimpin dalam perspektif barat adalah hasil dari sebuah proses latihan
murni tanpa ada faktor lainnya di dalamnya, sementara Islam meyakini bahwa
sifat-sifat tertentu seseorang merupakan karakter khas yang dimilikinya
sebagai karunia Allah dan antara setiap orang memiliki kelebihan yang
belum tentu dimiliki oleh orang lain. Sementara itu Islam memandang bahwa
seorang pemimpin itu harus memiliki sifat-sifat wajib yang dimiliki oleh
Rasulullah Muhammad saw. (no.6) yang berintikan pada kebenaran, kejujuran
dan kemampuan intelegensi yang memadai.
- Yang terpenting dari semua itu adalah
Islam memandang bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah yang
diembankan Allah swt. ke pundak manusia, sehingga kepemimpinan tersebut
akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah. Untuk itu seorang pemimpin
harus memiliki rasa takut kepada Allah sebagai kontrol sempurna bagi
kepemimpinannya. Sementara itu perspektif Barat mencukupkan masalah amanah
kepemimpinan itu sebagai tanggung jawab legalformal saja dengan parameter
materi.
Dari uraian kesimpulan ini, dapat
dipersempit lagi perbedaan yang paling substansial antara kepemimpinan dalam
perspektif Islam dan perspektif Barat yaitu jika perspektif Islam memandang
sifat ideal seorang pemimpin itu sebagai sebuah proses yang mengandung
unsur-unsur materi dan religi sekaligus yang meliputi seluruh aspeknya secara
kompleks sedangkan perspektif barat memandang sifat ideal seorang pemimpin itu
adalah sebuah proses yang tersimak (zahir) dengan parameter yang juga bersifat
materi dan dapat diukur.
E.
Karakteristik Pemimpin Umat Masa Depan
Masa depan adalah masa yang sangat
kompleks sebagai sebuah sunnatullah dengan bertambahnya usia zaman dan jumlah
penduduk, maka akan bertambah juga problematika yang teq'adi di tengah-tengah
umat. Lebih-lebih jika kita amati proses degradasi moral yang sedang
berlangsung pada saat ini, tentunya tugas dari pemimpin-pemimpin umat masa depan
adalah teramat berat. Dengan mempelajari
sejarah panjang Kepemimpinan yang pemah hadir di dalam pentas sejarah dunia
Islam, maka calon-calon pemimpin yang dipersiapkan sebagai pemimpin umat masa
depan harus memiliki beberapa karakter berikui sebagai modal dasar bagi
kepemimpinannya walaupun tentunya belum bisa mewakili kompleksitas yang akan
terjadi Adapun karakteristik pemimpin umat masa depan itu adalah
1.
Memiliki akidah Islamiah yang mantap
Seorang pemimpin harus menampilkan kepribadian
yang kokoh dan tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai arus pemikiran. Dia
harus mampu menjadi benteng sekaligus pengayom, bagi umatnya dan kemantapan
akidah adalah indikator utama yang akan mempengaruhi indikamr. indikator
lainnya.
2.
Tasamuh (toleran)
Sikap tasamuh ini dibutuhkan untuk
mengantisipasi sikap talashub (fanatik) yang pernah menjangkiti umat Islam di
masa-masa awal kehadirannya akibat perasaan sukuisme yang sangat kental dari
orang-orang Arab pada saat itu. Kepemimpinan Islam masa depan harus mampu menanamkan
sikap tasamuh dengan memberikan contoh yang baik terlebih dahulu untuk
menyatukan perbedaan sekaligus mengikis perasaan sektarianisme yang sudah
menjadi kultur.
3.
Memiliki landasan kerjasama dan solidaritas
Kerjasama ini harus diletakkan pada kerangka
yang luas, baik itu dalam bentuk talawun Islamy (kerjasama umat Islam) maupun
talawun insany (kerjasama antar umat manusia), dan hal ini merupakan karakter
kepemimpinan yang harus dimiliki oleh pemimpin masa depan mengingat
kompleksitas stratinasi sosial berikut berbagai problematika yang akan
mengikutinya.
4.
Mampu menghilangkan kultur organisasi
Organisasi suku, masa, sosial politik dan
lain-lain hanya akan menambah deretan persoalan sekaligus memperlebar jurang
perbedaan. Untuk itu budaya kultus organisasi harus dihapuskan, dan seorang
pemimpin masa depan harus memiliki visi ke depan yang baik untuk membentuk
ummatan wahidah (umat yang satu)
5.
Terbuka
Pemimpin masa depan haruslah terbuka terhadap
dinamika internal umatnya, kritik yang konstruktif dan demokrat karena seorang
pemimpin yang berwawasan sempit lambat laun akan menjelma menjadi diktator
karena tidak ada kontrol yang menjadi penyeimbang terhadap berbagai kebijakan
yang dikeluarkannya.
6.
Bebas dari penyakit ”]ahid” dan ”]amid”
Penyakit ]ahid (reaksioner) dan Jamid (beku
berfikir) merupakan penyebab runtuhnya Daulah Islamiah di masa lalu. Untuk itu
seorang pemimpin yang akan bersinggungan langsung dengan era post modernialisme
harus benar-benar arif dalam menyikapi berbagai perkembangan yang terjadi.
Menyikapi segala sesuatu dengan sikap yang reaksioner justru akan merugikan
kedudukan seorang pemimpin karena yang terlihat bukanlah sikap mengayomi
melainkan justru sikap partisan yang tidak layak dikedepankan.
F.
Pandangan Ulama’ Tentang Pemimpin Non-Muslim Secara Umum
Dalam hal ini, terkait dengan
pemimpin Non-Muslim, ada beberapa pandangan dari beberapa ulama‟ tafsir yakni
sebagai berikut:
1.
Menurut
pendapat Syaikh ImamQurṭubi, pemimpin harus dipegang oleh kaum Muslimin, dan
sangat berbahaya apabila pemimpin dipercayakan kepada kaum Non-Muslim. Di dalam
Kitabnya Tafsiral-Qurtubi, beliau menyatakan, pada zaman sekarang ini
keadaan sudah terbalik dan berubah sedemikian rupa, hingga orang-orang Islam
lebih mempercayakan segalanya kepada orang-orang kafir, dan keadaan kaum
Muslimin pun semakin memburuk dan terpuruk.[16]
2.
Menurut
Hasbias-siddiqi, kerjasama, bantu-membantu, dan bersahabat setia antara dua
orang yang berlainan agama untuk kemaslahatan-kemaslahatan dunia, yang demikian
itu tidak dilarang. Yang dilarang adalah kita bersahabat setia dengan Yahudi
dan Nasrani dalam hal-hal yang merusak atau bertentangan dengan kemaslahatan
para mukmin seperti ungkapan beliau dalam Tafsir al-Qur‟anulMajid an-Nur, Tuhan
hanya melarang kamu berkawan setia dengan orang-orang yang terang-terangan
memusuhimu, yang memerangimu, yang mengusir kamu atau membantu orang-orang yang
mengusirmu seperti yang dilakukan oleh musyrik Makkah.[17]
3.
Menurut
Sayyid Quṭbdi dalam Tafsirnya Fi-Zhilalil-Qur‟an beliau beranggapan
bahwa Agama Islam menyuruh pemeluknya agar melakukan toleransi dan melakukan
pergaulan yang baik dengan AhlKitāb. Khususnya, mereka yang mengatakan
“sesungguhnya kami adalah orang-orang Nasrani.” Akan tetapi, al-Qur‟an melarang
mereka memberikan loyalitas dan kesetiaan kepada mereka semua. Karena,
toleransi dan bergaul dengan baik itu adalah masalah akhlak dan perilaku,
sedangkan masalah wala‟ loyalitas adalah masalah akidah dan masalah
penataan umat. Wala‟ berarti pertolongan atau bantu-membantu antar satu
golongan dengan golongan lain. Sedang hal ini, tidak ada bantu-membantu dan
tolong-menolong antara kaum Muslimin dan Ahli kitab sebagaimana halnya dengan
orang kafir.[18]
4.
Menurut
Ahmad Musthafa al-Maraghi mengenai pengangkatan pejabat non- Muslim tidaklah
masalah, memang banyak ayat al-Quran yang secara tegas melarang kaum Muslimin
untuk mengangkat non-muslim menjadi walinya, tetapi ada alasan-alasan yang
melarangnya, secara umum adalah pelarangan mengambil non-muslim sebagai teman
dalam suatu hal yang membahayakan kaum Muslimin, seperti membuka
rahasia-rahasia khusus yang berkaitan dengan urusan-urusan agama, bersekongkol
untuk memerangi kaum Muslimin lainnya.[19]
Dari sini dapat diketahui, bahwa pengangkatan wali dan perjanjian untuk saling
menolong di antara dua golongan yang berbeda agama dalam mencapai berbagai
kemaslahatan duniawi, tidak termasuk dalam larangan ini. Lebih jauh al-Maraghi
berpendapat dalam tafsirnya, mempekerjakan kaum kafir dzimmydi dalam
pemerintahan Islam adalah tidak dilarang. Para sahabat ra. Telah mempekerjakan
mereka dikantor-kantor amiriyah (keamiran).[20]
5.
Menurut
M. Quraish Shihab tentang bagaimana sikap Muslim mengangkat non-Muslim
dalam pemerintahan. Landasan normatif yang sering dijadikan sebagai titik tolak
ketika membicarakan persoalan ini adalahQS. al-Ma‟idah ayat 57. Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi auliya’,
orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di
antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang
kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul
orang-orang yang beriman.”QS. al-Ma‟idah ayat 57. Ayat ini sering dipahami
bahwa hak pemimpin dalam pemerintahan hanya ada pada kalangan Muslim saja.
Artinya, non-Muslim tidak berhak untuk dijadikan pemimpin. Menurut penulis, Hal
ini bisa dipahami, karena sebagaimana non-Muslim sangat membenci kaum Muslimin
dan sifat-sifat buruk yang dimilikinya, dan ada ayat-ayat al-Qur‟an yang
mengecam mereka sebagai kaum yang membuat kerusakan didunia Ini. sehingga
sangat mustahil pemerintahan suatu negara diserahkan kepada mereka, apalagi negara
yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Ditambah lagi orang yang
menjadikannya (non-Muslim) sebagai waliynya, diancam akan dikeluarkan
dari barisan kaum Muslimin yang dengan demikian Allah tidak akan menjadi
penolongya.
Dengan demikian
tidak salah sekiranya banyak para pemikir islam melarang kaum Muslimin bahkan
mengharamkan secara mutlak mengangkat mereka menjadi pemimpin pemerintahan yang
mengatur ketertiban kehidupan Muslimin dalam bernegara dan bermasyarakat
seperti beberapa ulama tafsir seperti Ash-Shabuny dan Mustafa al-Maraghy.[21]
Dari segala yang ada, terdapat sedikit
perbedaan pemahaman M. Quraish Shihab, tentang kebolehan kaum Muslimin
mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin pemerintahan. Ini bisa terlihat dari
penafsiran beliau QS. al-Māidah ayat 51. Sebelum beliau menafsirkan ayat
tersebut secara panjang lebar, Beliau mendahuluinya dengan kata “jika
keadaan Yahudi atau Nasrani atau siapa pun seperti dilukiskan oleh ayat-ayat
yang lalu”. kata-kata ini menunjukkan bahwa, M. Quraish Shihab berpapasan
kepada kita untuk melihat pada ayat-ayat lainnya berkenaan dengan sikap buruk
mereka yang di kecam oleh al-Qur‟an. Beberapa sifat buruk orang-orang
non-Muslim yang dijelaskan oleh al-Qur‟an diantaranya adalahorang-orang
Ahlal-Kitab selalu berupaya untuk mengalihkan umat Islam dari agamanya, atau
paling tidak menanamkan benihbenih keraguan seperti QS al-Baqarah ayat 109.
Sejalan dengan
pendapat M. Asad yang mengatakan bahwa pengertian wali yang dilarang dalam ayat
tersebut lebih banyak berkonotasi aliansi moral ketimbang aliansi polotik
bentuk aliansinya, berimplikasi pengambilan over tradisi dan pandangan hidup
orang-orang kafir dan menjadikanya sebagai preferensi ketimbang tradisi dan
pandangan hidup Muslim sendiri.Membina hubungan dan kerjasama dengan
orang-orang non-Muslim dalam bidangbidang sosial, ekonomi, politik, ilmu
pengetahuan, teknologi, seni budaya, dan sebagainya dalam rangka menciptakan
masyarakat yang damai, sejahtera dan berkeadilan, tidaklah dilarang dalam Islam
QS al-Anfal ayat 61. Maka karena sifat-sifat atau ciri-ciri diataslah sehingga
muncul larangan itu. Oleh karena itu, ia hanya berlaku bagi mereka yang
mempunyai berbagai sifat atau ciri demikian, kendati mereka seagama, sebangsa,
dan seketurunan dengan Muslimin. Jadi, memilih pemimpin yang bukan Muslim tidak
terlarang.
G.
Pandangan Ulama Terhadap Kepemimpinan Non Muslim Secara Rinci
Jika kita berbicara tentang
pandangan ulama terkait kepemimpinan nonMuslim tentunya terdapat perbedaan
argumen antar ulama, ada ulama yang kemudian memperbolehkan mengangkat pemimpin
non Muslim tetapi disisi lain ada juga ulama yang tidak memperbolehkan
mengangkat pemimpin non Muslim.
1.
Ulama yang melarang pemimpin non muslim
Menurut Al-Zamakhsyari, dilarangnya
mengangkat orang non Muslim menjadi pemimpin adalah sangat masuk akal mengingat
orang non muslim atau orang kafir adalah musuh orang Islam, dan prinsipnya
tidak mungkin bagi seseorang yang mengangkat musuhnya menjadi pemimpinnya.
Menurut Ali al-Sayis apabila seorang Muslim mengangkat orang non Muslim sebagai
pemimpin berarti umat Islam seolah memandang jalan yang ditempuh oleh orang
kafir adalah jalan yang baik. Sebab dengan meridhoi kekafiran maka orang
tersebut telah kafir.
Al-Zuhaili juga menyampaikan hal
yang sama yaitu dengan mengangkat pemimpin non Muslim maka hal tersebut
menunjukkan kesan umat Islam memandang baik jalan kekafiran yang ditempuh oleh
kaum non Muslim. Tetapi menurut al-Zuhaili hal tersebut tidak mengapa sepanjang
hanya dalam konteks urusan duniawi semata tanpa merestui kekafiran mereka dan
dilarang juga menjadikan non muslim sebagai pemimpin dalam jabatan yang
strategis, mulia, dan terhormat seperti seorang kepala negara. Pernyataan
tersebut diperkuat dengan kebijakan khalifah Umar bin Khattab yang mana beliau
pernah mengangkat pemimpin non musli asal Romawi dalam mengurusi permasalahan
administrasi. Kebijakan ini juga kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah
selanjutnya seperti khalifah Bani Abbasiyah yang sering melibatkan orang-orang
Yahudi dan Nasrani dalam masalah kenegaraan.[22]
Pendapat diatas berbeda dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi yaitu umat Islam tidak hanya dilarang
mengangkat pemimpin non Muslim sebagai pemimpin negara, tetapi juga dilarang
mengangkat pemimpin non Muslim dalam jabatan publik lainnya. Pendapat Ibnu
Arabi ini diperkuat dengan mengutip
kebijakan Umar bin Khattab pada saat menerima informasi dari Abu Musa
Al-Asy’ari dari Yaman yang mengangkat seorang kafir dzimmi sebagai sekretaris
pribadinya. Kemudia Umar mengirimi surat kepada Abu Musa untuk memecat
sekretaris yang non Muslim itu karena bertentangan dengan ayat al-Qur’an serta
menurut Umar pemimpin non Muslim itu tidak dapat menerima saran-saran orang
lain dengan tulus dan tidak dapat dipercaya.[23]
2.
Ulama yang memperbolehkan pemimpin non muslim
Diantara ulama yang memperbolehkan
mengangkat pemimpin non Muslim diantara orang muslim diantaranya yaitu Thariq
al- Bishri, Muhammad Abduh, Asghar Ali
Enginer, Abdullah Ahmed al-Naim dan Muhammad Thoha. Mereka semua merupakan
intelektual Muslim modern yang memiliki cara pandang baru dalam melihat
pesan-pesan yang ada dalam al-Qur’an. Mereka juga menggunakan metodologi baru
dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu tematik yang mana metodologi tafsir ini
berbeda dengan metodologi ulama klasik dalam menafsirkan al-Qur’an yang lebih
bersifat atomistik dan parsial. Para intelektual Muslim modern tersebut juga
menggunakan pendekatan interdisipliner seperti filsafat bahasa, semantik,
semiotik, antropologi, sosiologi, sains , dan lain sebagainya.[24]
Muhammad Abduh sebagai ulama
terkemuka memperbolehkan orang non Muslim menjadi pemimpin bagi kaum muslimin.
Dalam hal ini Muhammad Abduh mengkategorikan orang non Muslim yang tidak
memusuhi orang-orang Muslim lah yang boleh diangkat menjadi pemimpin. Adapun
argumen Abduh didasari ayat QS.
Al-Mumtahanah : 9
إِنَّمَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya
: sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir amu dari negerimu, dan
membantu untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai lawan,
maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.
Muhammad Abduh menawarkan pendekatan
sosio historis terhadap asbabun nuzul ayat tersebut. Dalam hal ini Abduh
memperbolehkan non Muslim menjadi pemimpin dengan alasan: pertama larangan
tersebut hanya berlaku jika non Muslim menzhalimi orang Muslim. Yang kedua
Muhammad Abduh melihat bahwa laragan tersebut tidak relevan juka diterapan pada
saat ini karena non Muslim juga dilindungi haknya sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah ketika memimpin kota Madinah. Yang ketiga ada
dalil yang mendukung untuk memberikan keadilan pada oarng-orang non Muslim.[25]
Sementara Al-Mawardi seorang ulama
yang bermadzhab Syafi’i juga
memperbolehkan pengangkatan orang non Muslim untuk jabatan publik tertentu.
Adapun berikut ini tafshil atau rincian terhadap jabatan tersebut yang beliau
tulis dalam kitab Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah halaman 27.
و يجوز أن يكون
هذا الوزير من اهل الذمة وإن لم يجوز ان يكون وزير التوفيض منهم
Posisi pejabat (Tanfidz atau
eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi atau orang non Muslim yang siap hidup
bersama orang Muslim. Tetapi untuk posisi pejabat tafwidh atau pejabat dengan
otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, otoritas tidak boleh diisi oleh
kalangan mereka.
Dalam kitab tersebut Al-Mawardi
mengemukakan bahwa kekuasaan dibagi menjadi 2 yaitu tafwidh dan tanfidz. Adapun
tafwid memiliki cakupan kerja penanganan hukum, mengatur strategi perang,
mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Sedangkan pejabat tafwidh,
Al-Mawardi mensyaratkan Is;am, pemahaman terhadap hukum agama, mereka.
H.
Kontekstualisasi Mengangkat Pemimpin Non-Muslim di Indonesia
Negara Indonesia adalah negara
majemuk, yang di dalamnya terdapat banyak suku bangsa, adat istiadat, dan
kebudayaan, serta mempunyai beragam Agama yang dianut oleh penduduknya. Untuk
menyatukan dan mempersatukan Bangsa dan Negara, Indonesia mempunyai semboyan
Bhineka Tunggal Eka, yang menjadikan pancasila sebagai dasar negara. Walaupun
Negara Indonesia mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam, Namun, para
pendiri Negara Indonesia tidak memilih syariah Islam sebagai dasar Negara.
Mereka sadar, Negara bisa kuat dan kokoh bukan dari pemahaman bernegara
sekelompok orang tertentu saja, namun dari pemahaman bernegara secara
keseluruhan. Kurang lebih sebagai mana yang dipraktikkan oleh Nabi saat
mendirikan Negara Madinah. Naiknya seorang non-Muslim menjadi salah satu
pejabat pemerintahan di Negara ini, yang mengatur permasalahan kehidupan
permasyarakatan keduniaan, tidaklah dilarang. Karena tidak ada satu Undang-Undang
pun Negara Indonesia ini, yang melarang mereka mengemban suatu jabatan di
pemerintahan, sebagaimana pendapat M. Quraish Shihab, tentang kebolehan
non-Muslim menjabat di pemerintahan.
M. Quraish Shihab menghindari
pemahaman penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadis secara parsial. karena
syari‟ah „tradisional” memberi peluang bagi diskriminasi yang serius terutama
menyangkut relasi antara agama. Karenanya, syari’ah tradisional yang berkaitan
dengan persoalan non-Muslim tak layak lagi dipertahankan. Memang banyak faktor
yang mempengaruhi cara pandang ulama fikih (syari‟ah) dan juga kaum Muslimin
terhadap persoalan non-Muslim. Diantaranya adalah pergulatan sejarah yang kelam
antara Muslim dan non-Muslim, terutama saat terjadi penghianatan kaum yahudi
terhadap Nabi Muhammad di Madinah, dukungan kaum Nasrani terhadap tentara Salib
dalam perang salib (1097-1291 M), dan belakang kolonialisme Barat terhadap di
dunia Islam pada masa modern. Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah juga
cara kaum Muslimin memahami teks-teks al-Qur‟an dan Hadis, yang sering kali
dilakukan secara parsial. Akibat beberapa faktor diatas, beberapa hukum Islam (
Syari’ah) yang berkaitan dengan kaum non-Muslimin yang terdokumentasikan dalam
fikih (syari’ah) tampaknya sulit diharapkan untuk membantu menjembatani
hubungan antara Muslimin dan non-Muslim. Muhammad al-Ghazali dan al-Ghanausyi,
ulama ternama asal Mesir dan Tunisia, mencoba mengapresiasi non-Muslim dalam
konteks politik modern, menurut Muhammad al-Ghazali dalam bukunya at-Ta’aṣṣub
wa at-Tasamuhbain al-Masihiyyah wa al-Islam, yang dinukil oleh Sukron Kamil
dan Chaidar menyatakan bahwa masyarakat Islam dibina atas prinsip toleransi,
kerja sama, dan inklusifitas.[26] Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen
yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam “sudah menjadi orang-orang
Islam, dilihat dari sudut pandang politik dan kewarganegaraan” hal ini karena
hak dan kewajiban mereka sama dengan hak dan kewajiban kaum Muslimin. Sementara
itu, Rasyid al-Ghanausyi, ulama asal Tunisia, menyatakan bahwa kewarganegaraan
tidaklah berdasarkan agama. Kelompok minoritas non-Muslim memiliki hak yang
sama dengan umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan Islam seperti keadilan
dan persamaan berlaku bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun bukan. Bagi
al-Ghanausyi, diskriminasi terhadap kalangan non-Muslimin dan perlakuan yang
menganggap mereka sebagai warga negara kelas dua adalah tindakan melanggar
ajaran agama dan merusak citra Islam.
Contoh bahwa kemudahan yang
diajarkan al-Qur’an inilah yang dipraktikkan oleh Umar bin Khathab dengan
menyerahkan tugas perkantoran kepada orang-orang Romawi (yang bukan Muslim
ketika itu). Kebijaksanaan serupa diambil oleh khalifah sesudahnya (Utsman dan
Ali ra.). demikian juga yang diterapkan oleh Dinasti Abbasiyah dan
penguasa-penguasa Muslim sesudah mereka. Yakni menyerahkan tugas negara kepada
orang Yahudi, Nasrani, dan Buddha. Kerajaan Usmaniyah pun
demikian, bahkan duta-duta besar dan perwakilan-perwakilannya
diluar Negri kebanyakan dipegang oleh orang Nasrani. Dari kristiani misalnya terdapat Hunain bin
Ishaq (kepala Bait al-Hikmah), keluarga barmak berkali-kali dijadikan wazir (perdana
menteri) oleh para khalīfahAbbasiyah, dan banyak pula dari kaum Yahudi yang
memegang jabatan penting dalam persoalan ekonomi.[27]
Secara teoritis, tampak sekali bahwa
semangat Syari‟ah Islam pada awalnya adalah bersifat melindungi dan memberikan
hak-hak non-Muslim, seperti dalam piagam Madina. Namun, dalam praktiknya dibeberapa
negara Muslim saat ini, yang sering terjadi justru penyimpangan, yang
mengaburkan makna serta semangat yang dikandung syari’ah itu sendiri. Dalam
kapasitasnya sebagai non-Muslim, Ahldzimah seringkali mendapat perlakuan
yang tidak setara dengan komunitas Muslim. Kendati kaum non-Muslim dzimmi diperbolehkan
beribadah sesuai keyakinannya dan diperbolehkan menerapkan hukum keluarganya.
Namun, dalam urusan politik, semua jabatan administratif dan politis haruslah
dipegang oleh Muslim. Mereka tidak bisa menduduki posisi-posisi strategis dalam
pemerintahan. Mereka juga tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota
majelis permusyawaratan. Sebab itulah, beberapa ahli syariah modern menolak
pelarangan non- Muslim menjadi pejabat negara, menurut Amien Rais sebagaimana
kebebasan berbicara, beragama, bebas berkehendak, bebas dari ketakutan dan
seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam Islam, hak non-Muslim dalam Islam
untuk menjadi menteri dan menduduki jabatan-jabatan pemerintahan lainnya juga
diakui. Namun, Islam tidak memberikan hak kepada non-Muslim untuk menjadi
kepala negara. Perbedaan ini, menurutnya, hanya menunjukkan bahwa Islam tidak
munafik, sebagaimana negara-negara demokrasi barat yang mempersamakan secara
konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya, Islam memberlakukan syarat
secara de jure dan de facto bahwa kepala negara harus merupakan
anggota dari mayoritas.[28]
Pandangan yang sama menurut mantan
presiden RI Ke-4, KH. Abdurrahman Wahid. Baginya non-Muslim adalah warga negara
yang memiliki hak-hak penuh, termasuk hak untuk menjadi kepala negara di negara
Islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Ali Imran: 38 dijadikan sebagai alasan
untuk menolak hak non-Muslim menjadi kepala negara. Alasannya karena kata yang
terdapat dalam ayat itu adalah auliya’ yang berarti teman atau pelindung
, bukan umara’ yang berarti penguasa. Hal senada diungkapkan oleh
HarifuddinCawidu, mengutip pendapat ath-Thabataba‟i dan Muhammad Asad, bahwa
konsep wali dalam ayat ini lebih dekat kepada prinsip-prinsip moral dan bukan
prinsip-prinsip politik. Maksudnya adalah seorang Muslim tidak layak untuk
menjadikan non- Muslim sebagai acuan moral dan prinsip hidup sebab Islam
memiliki konsep dan tradisi sendiri dalam soal moral dan nilai-nilai kehidupan.
Begitu juga pandangan M. Quraish
Shihab. Di Negara Indonesia, Negara Bangsa (nation state), yang tidak mengambil
syari‟ah Islam sebagai dasar negara. Memilih pemimpin yang bukan Muslim tidak
terlarang, selama membawa manfaat, untuk semuaitu pun hendaknya memprioritaskan
orangorang yang beriman.[29]
Tetapi beliau tidak memberi perincian yang mendalam, menyangkut kebolehan
tersebut. Sampai jabatan apa yang memperbolehkan non-Muslim menjabatnya.
Mengakhiri tulisan ini ada baiknya mengutip pendapat Ibn Taimiyah, (Allah
mendukung pemerintahan Adil sekalipun kāfir, dan tidak mendukung pemerintahan
zalim sekalipun Muslim).
[1] Ngalim
Porwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Mutiara, 1984), 38
[2]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia pdf, (Jakarta
Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1075.
[3] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur‟an dan Hadis, (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2014), 146.
[4] Ibid, 161.
[5] Ibid,
h. 176.
[6] Ibid,
h. 177.
[9] Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam al-Qur’an; Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 7.
[10] Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad; Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut al-Qur’an dan Sunnah, (Terj.
Irfan Maulana Hakim), (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), 750.
[12] Abul A’la
Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem
politik Islam, (Bandung: IKAPi, 1995), 272.
[13] Abul A’la
Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem
politik Islam, 306.
[14] Ibid, 321.
[15] Ibid, h 322
[16]
Syeikh Imam Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Terj. Dudi Rosyadi), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 446.
[17]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Tafsir al-Qur‟nul Majid An-Nuur, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), 4193.
[18]
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, (Terj. As‟Ad Yasin), (Jakarta:
Gema Insani Pess, 2002), 265.
[19]
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, (Terj. Bahrun
Abubakar) (Semarang: Toha Putra, 1993), 250.
[20] Ibid.,
319.
[21] Sukron
Kamil, Syariah Islam dan Ham Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil,
Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim, (Jakarta: CRSC, 2007), 79.
[22] Muhammad Rizal
Husni, Skripsi: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kepemimpinan Non Muslim di
Indonesia,UII Yogyakarta, 2018, 37
[23] Muhammad Rizal
Husni, Skripsi: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kepemimpinan Non Muslim di
Indonesia, 38
[24] ibid, 41
[25] Ibid, 46
[26]
Sukran Kamil, Chaidar S., Syariah Islam dan Ham; dampak Perda Syariah
Terhadap
Kebebasan
Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim, (Jakarta: CSRC
UIN Jakarta, 2007), 72.
[27] Rohmat
Syaifudin. Skripsi pemimpin non Muslim dalam Al-Qur’an, (Semarang: Univ
Islam Walisongo, 2016), 77
[28]
Sukron Kamil, Chaidar S, Syariah Islam, 81-82
[29] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 73.
Komentar
Posting Komentar