NAZHARIYAT AL-HUDUD
(PEMIKIRAN KONSEP JILBAB MENURUT
SYAHRUR)
Nur Rofiqoh (16110206) Haristi
Fadhillah (16110175)
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Email: qouz.f2@gmail.com
Abstract
This
article will discuss Syahrur's opinion on the concept of headscarves. Muhammad
Syahrur ibn Dayb himself was born in the Salihiyyah city of Damascus, Syria on
11 April 1938. Syahrur is one of the most famous figures for his thoughts and
works. One of the many discussions examined by experts, scientists, scholars
and others is his opinion about the headscarf. In general the creed's opinion
with the Ulema 'ushul fiqh is different. Syahrur argues that what makes the law
human, Allah Almighty gives a halal-haram limit, while humans and the Prophet
make orders or prevention, prohibitions, acquisition in the halal region caused
by demands of situations and conditions. While in depth about the hijab,
Syahrur related the concept of the headscarf to the issue of women's clothing.
According to Syahrur the verses that discuss libas al-mar'ah can be included in
the verse muhkamat (verses of the law), so it must use the method of ijtihad
through a hudud and tartil theory approach if we want to interpret it
methodologically. The definition of clothing (al libas) itself according to
Syahrur consists of three letters, namely lam, ba, and sin which means cover
and cover. And seen from the meaning of denotative al libas has the meaning of
the clothes worn. While the definition of Aurat (As Saw'ah) is not much
different from the understanding of al libas. The word as saw'ah By denotative
or clear, while connotatively this word has aurat, which is aurat which is a
body part that cannot be opened to be shown. Likewise seen from the history of
Hijab according to Syahrur, the pensi religious tradition is the one who used
to wear headscarves by covering all of his limbs from head to toe. Because the
nation positioned women as unclean living things, so only free people were
allowed, and female slaves or ordinary women were not allowed to wear them.
While seen from jewelry according to Syahrur mahram from a woman or anyone who
is allowed to see women's jewelry (jewelry that is worn here is jewelry that
looks like, back, two legs, stomach, head, and two hands).
Abstrak
Artikel
ini akan membahas tentang pendapat Syahrur mengenai konsep jilbab. Muhammad
Syahrur ibn Dayb sendiri lahir di salihiyyah kota Damaskus, Syiria pada 11
April 1938. Syahrur merupakan salah satu tokoh yang sangat terkenal karena
pemikiran dan karya-karyanya. Salah satu pembahasan yang banyak dikaji oleh
para pakar, ilmuan, cendekiawan dan lainnya adalah pendapatnya tentang Jilbab.
Secara umum pendapat syahrur dengan Ulama’ ushul fiqih berbeda. Syahrur
berpendapat bahwa yang membuat hukum
adalah manusia, Allah swt memberi batasan halal-haram, sedangkan manusia dan
Nabi saw melakukan perintah atau pencegahan, larangan, pembolehan dalam wilayah
halal yang disebabkan karena tuntutan situasi dan kondisi. Sedangkan secara
mendalam tentang jilbab, Syahrur mengaitkan konsep jilbab dengan masalah
pakaian perempuan. Menurut Syahrur ayat-ayat yang membahas tentang libas
al-mar’ah bisa masuk kedalam ayat muhkamat (ayat-ayat hukum), sehingga harus
menggunakan metode ijtihad melalui pendekatan teori hudud dan tartil jika kita
ingin menafsirkan nya secara metodologi. Definisi pakaian (al libas) sendiri
menurut Syahrur terdiri dari tiga huruf, yakni lam, ba, dan sin yang memiliki
arti tutup dan menutupi. Dan dilihat dari makna denotative al libas memiliki makna baju yang dikenakan. Sedangkan
definisi Aurat (As Saw’ah) tidak jauh berbeda dengan pengertian al libas. Kata
as saw’ah Secara denotatif atau jelas,
sedangkan secara konotatif kata ini memiliki aurat, yang mana aurat itu adalah
bagian tubuh yang tidak boleh dibuka untuk diperlihatkan. Begitupula dilihat
dari sejarah Hijab menurut Syahrur tradisi agama pensi-lah yang biasa
menggunakan pakaian jilbab dengan cara menutup seluruh anggota tubuhnya dari
kepala sampai kaki. Karena bangsa tersebut memposisikan wanita sebagai makhluk
hidup yang tidak suci, sehingga hanya orang merdeka yang boleh, dan para budak
wanita ataupun wanita biasa tidak diperbolehkan untuk memakainya. Sedangkan
dilihat dari perhiasan menurut Syahrur
mahram dari seorang wanita atau siapa saja yang diperbolehkan melihat perhiasan
wanita (perhiasan yang dimaksutkan disini adalahv perhiasan yang nampak
Seperti, punggung, dua kaki, perut, kepala, dan dua tangan).
A.
Pendahuluan
Sebagian
orang pemikir muslim kontemporer yang memiliki pemikiran dan ide-ide brilian
dibidang kajian Islam adalah Muhammad Syahrur. Pemikiran-pemikirannya berfokus
pada bagaimana membaca, memahami, menafsirkan Al-Qur’an dan terus menggali
ketentuan-ketentuan hukum yang ada didalamnya. Dengan dorongan dari
keprihatinannya pada kondisi umat Islam saat ini yang cenderung terbelakang,
dan gagap terhadap persoalan keagamaan di era modern ini, Syahrur
bersungguh-sungguh dalam mengkaji Islam. Meskipun ia tidak memiliki basis
keilmuan yang mendalam selayaknya para pemikir lainnya.
Maraknya
isu yang terus ramai dalam kajian fikih kontemporer adalah isu tentang gender,
yang mana salah satunya didalamnya membahas tentang konsep jilbab yang menjadi
topik perbincangan yang tak kunjung usai. Masalah wajib tidaknya seorang wanita
dalam menggunak jilbab, lalu aurat bagian manakah yang harus ditutupi agar
tidak terlihat oleh orang yang bukan mahramnya masih sangat hangat untuk
diperbincangkan dan diamati. Banyak metode dan pendekatan yang dilakukan oleh
para ulama dalam menjelaskan masalah tersebut. Namun, hal tersebut tidak bisa
memberhentikan usaha pengembangan metodologi penggalian hukum dengan tujuan
untuk mengembangkan kajian fikih kontemporer yang mana hal ini bisa digunakan
untuk menjawab tantangan zaman. Dari hal ini, semangat yang dilakukan Syahrur,
seorang pemikir dari Arab-Syiria, yang mencoba membuat teori batas (nazariyyah
al huddud) dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran tentang masalah jilbab.[1]
Tulisan
ini mencoba mengkaji pemikiran-pemikiran Syahrur terhadap teori hudud-nya
mengenai jilbab yang saat ini menjadi tranding topik atas berbagai model jilbab yang dipakai
seorang perempuan/wanita. Teori tersebut dicetuskan sebagai sebagian upaya
pembaharuan dalam bidang pemikiran hukum Islam.
B.
Biografi
Muhammad Syahrur ibn Dayb lahir di salihiyyah
kota Damaskus, Syiria, pada tanggal 11 April 1938. Lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi yang terletak di
al-Midan, sebelah selatan kota Damaskus adalah dimana Shahrur
menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya pada tahun 1945
sampai 1957. Sedangkan pendidikan tinggi Syahrur di Moscow Uni Soviet, ia meraih gelar Diploma teknik sipil pada tahun
1964. Setelah meraih gelarnya di Moscow Institute of
Engineering di Saratow Moscow, dalam
bidang tehnik sispil dengan beasiswa dari pemerintah sejak tahun 1959 sampai
1964. Setelah lulus Syahrur menjadi dosen di Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Lalu melanjutkan studi master dan doktor dalam bidang Mekanika Pertanahan
Dan Fondasi di Universitas Nasional
Irlandia, ia berhasil merai gelar masternya pada tahun 1969, dan gelar
doktornya pada tahun 1972 dalam bidang Mekanika Tanah dan Tehnik
Fondasi.[2]
Tulisan-tulisannya
dalam bidang teknik banyak tersebar di Damaskus, dan dalam kajian keislamannya
sangat tinggi. Hal tersebut juga didukung oleh kemampuannya dalam menguasai
beberapa bahasa asing seperti bahasa Arab, bahasa Rusia, dan bahasa Inggris.
Syahrur juga meminati bidang lain yaitu Filsafat Humanisme, Filsafat Bahasa
khususnya dalam linguistic kontemporer dan distematika Bahasa Arab.
Pertemuannya dengan Ja’far Dabb al-Bab,
yaitu rekan sekaligus seseorang yang dianggap sebagai gurunya di bidang
linguistic yang membuat Syahrur mulai mendalami kajian Filsafat Bahasa di
Moskow. Dari pertemuan itulah menjadi pengaruh yang cukup berarti bagi sebuah
karya-karya Syahrur yang monumental dan kontroversial sehingga karya tersebut
terwujudkan. Karyanya yaitu al-Kitab wa Al-Qur’an: Qora’ah Muashirah
(1990).[3]
Karyanya yang dekontruktif namun rekonstruktif memunculkan tudingan-tudingan
dari beberapa kalangan yang menuding bahwa Syahrur adalah agen Zionis, Bahkan
penjual buku di Kuwait beranggapan bahwa karya tersebut lebih bahaya
dibandingkan buku Satanic Verses-nya Salman Rusdi. Sehingga pemerintah Saudi
Arabiah, Mesir, Qatar menyatakan secara resmi melarang peredaran buku tersebut.[4]
Dengan
pemikiran-pemikiran Syahrur melalui karyanya yang monumental, secara tahapan
dibagi menjadi 3 fase:[5]
1.
pada tahun
1970-1980 Syahrur mengkaji masalah tentang az-Zikr (metodologi,
istilah-istilah pokok, pemahaman tentang risalah dan kenabian). Fase ini
dimulai sejak Syahrur mengambil studi di Dublin, Irlandia. Dari kajiannya
tersebut, Syahrur melihat bahwa kajiannya terjebak dalam tradisi taklid dan
penjelasannya menoton pada tradisi terdahulu. Begitu juga dengan kajian tradisi
kalam dan fiqh. Kajian tradisi kalam terjebak pada tradisi pemikiran Asy’ariah
atau Mu’tazilah, sedangkan yang kajian fiqih terjebak dalam pemikiran al-fiwaha’
al-khamsa.
2.
pada tahun
1980-1986, pada fase ini dimulai sejak Syahrur bertemu dengan Ja’far Dak
al-Bab. Ja’far memperkenalkan pemikiran-pemikiran Al-Farabi, Abu Ali-
al-Farisiy dan muridnya, Ibn Jinny dan Abd al-Qohar al-Jurjaniy, kepada
Syahrur. Sehingga Syahrur memahami berbagai permasalahan bahasa bahwa lafaz itu
mengikuti makna, jadi bahasa arab adalah bahasa yang mana bahasa tersebut tidak
mengeal sinonim (muradhif). Dari situlah Syahrur mengadakan kajian
intensif pada mushaf, yang berupa
istilah pokok al-Qur’an seperti al-imam al-mubin, al-kitab, al-furqan,
al-Qur’an, az-Zikr, amm al-kitab,al-lauh al-mahfuz.
3.
Tahun 1986-1990
pemikirannya bersama Ja’far dituliskan dalam sebuah buku dan diterbitkan pada
tahun 1990. Syahrur perlu memilah-milah bagian demi bagian karena hal tersebut
merupakan pekerjaan yang tidak mudah, dalam bab satu saja yang mencakup 200
halaman baru terselesaikan selama satu tahun dari tahun 1986-1987. Sedangkan buku
yang diluncurkan baru terselesaikan pada tahun 1988 dengan 800-an halaman.
C.
Pandangan hukum
Islam menurut Syahrur
Menurut
Syahrur Definisi hukum Islam adalah hukum yang manusiawi, penuh keragaman dalam
cakupan batas (hudud) Allah dan dibangun diatas hudud Allah. Pendapat syahrur
dengan Ulam’ ushul fiqih berbeda, Syahrur berpendapat bahwa yang membuat hukum adalah manusia. Allah swt
memberi batasan halal-haram, sedangkan manusia dan Nabi saw melakukan perintah
atau pencegahan, larangan, pembolehan dalam wilayah halal, disebabkan karena
tuntutan situasi dan kondisi. Pandangan fiqih Islam menurut Syahrur belum
sepenuhnya tersusun oleh kematangan manusia, namun tersusun berdasarkan asumsi
bahwa syari’at Islam ‘ayni bukan hududi.
Syahrur memiliki paradigma hukum Islam bahwa apabila ulama’ memandang hukum
sebagai titah ilahi yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf,
maka Syahrur memandangnya hukum tersebut sebagai hukum sipil buatan manusia
yang satu sisi mengindahkan titah ilah, sedangkan disisi lain memperhatikan
situasi dan kondisi masyarakat.[6]
D.
Pengertian Hudud
Teori
hudud adalah suatu teori baru dalam kajian fiqih kontemporer dalam karya
syahrur. Karyanya yang berupa al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah al-Mu’asirah
yaitu teori limit (Teori Batas/Nazariyyat al-Hudud). Teori tersebut merupakan
salah satu pendekatan Syahrur untuk berijtihad dalam mengkengkaji ayat-ayat
yang berupa pesan hukum dalam al-Qur’an. Teori limit (hudud) ini digunakan
Syahrur yang mengacu pada ketetapan Allah yang tidak boleh dilanggar, namun
terdapat wilayah ijtihad yang bersifat elastis, fleksibel, dinamis.[7] Teori hudud memiliki karakteristik yang
berbeda dengan para fuqaha. Kata hudud jamak dari kata had, secara
bahasa berari pemisah, batas, atau larangan. Para fuqaha terkadang menggunakan
kata hudud sebagai hukuman
(‘uqubah) yang berupa kejahatan dan sudah ditentukan oleh Allah swt yang
bersifat tetap dan pasti. Menurut
Syahrur hudud merupakan bentuk hukuman yang bersifat fleksibel, longgar,
dan berlaku untuk berbagai macam kejahatan, baik yang sudah ditentukan didalam
al-Qur’an maupun belum ditentukan. Adanya teori hudud dibangun atas
asumsi Syahrur bahwa risalah Islam yang di bawa Nabi Muhammad bersifat dinamis
sehingga akan tetap relavan pada setiap zaman dan tempat (shalih li kulli
zaman wa makan). Menurut Syahrur Risalah Islam terdapat dua aspek yaitu
istiqamah (gerak konstan) dan aspek hanifiyyah/ at-taghayyur (gerak dinamis)
yang menjadikan ajaran Islam menjadi fleksibel dan dinamis. Namun tetap berada
didalam bingkai hududullah (batas-batas hukum Allah). Sehingga para mujtahid memiliki ruang lingkup yang cukup
luas untuk berijtihad sesuai dengan kondisi sosial yang ada disekitarnya.[8]
E.
Batas-batas dalam
penetapan hukum
1.
Posisi
Batas Minimal
Batas minimal
terdapat pada surah an-Nisa’ ayat 22-23 yang berhubungan dengan pihak yang
haram dinikahi. Allah swt menetapkan batas minimal dalam dua ayat tersebut
bahwa perempuan yang haram dinikahi yaitu terdiri dari keluarga dekat. Meskipun
berada didalam situasi apapun atau didasarkan pada ijtihat seseorang dilarang
melanggar batas minimal ini. Diperbolehkannya berijtihad pada usaha memperluas
pihak yang diharamkan. Contohnya jika dokter membuktikan bahwa pernikahan
dengan kerabat terdekat akan berdampak negative pada keturunan dan pembagian
harta. Maka diperbolehkannya ijtihad dalam bentuk menetapkan peraturan yang
melarang pernikahan dengan kerabat terdekat asalkan mujtahid memiliki data dan
bukti yang valid. Seperti hasil dari
analisis laboraturium dengan hasil survey keluarga yang mendukung di
perbolehkannya nikah dengan kerabat terdekat.[9]Batas
minimal dalam teori Syahrur bisa diagambarkan sebagai berikut:
y
Y
= F (X) Garis batas minimal
Selain surah an-Nisa’ ayat 22-23 yang
miliki batas minimal, ada juga yang terdapat pada surah al-An’am ayat 19-145
tentang makanan-makanan yang diharamkan, dan surah an-Nur ayat 31 berbicara
tentang pakaian perempuan.
Jadi dalam batas minimal ini manusia
tidak boleh menetapkan hukum yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan berada
dibawah ketentuan minimal, tetapi ia boleh menetapkan hukum lebih tinggi dari
pada yang sudah ditetapkan Allah swt.[10]
2.
Posisi
batas maksimal
Batas maksimal
terdapat pada surah al-Maidah ayat 38, yang menjelaskan tentang memotong tangan
bagi pencuri. Allah swt menjelaskan
didalam ayat ini bahwa batas maksimal hukuman bagi seseorang yang mencuri
adalah potong tangan. Jadi tidak diperbolehkan memberi hukuman lebih berat dari
potong tangan, tetapi bisa saja menjatuhkan hukuman yang lebih ringan.[11]
Dapat digambarkan sebagai berikut
y
Y = F (X)
X
Garis (batas) maksimal
Allah memberi batas maksimal hukuman
bagi pembunuh dengan sengaja yaitu dengan hukuman qishas yang sesuai
deng firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat 178. Jadi, akan diberi batas
maksimal hukuman qishas bagi pembunuh secara sengaja, akan tetapi pelaku
pembunuhan dengan sengaja boleh dihukum yang lebih ringan.[12]
3.
Batas
maksimal dan minimal yang tidak menyatu dalam satu titik
Suatu atauran hukum Islam yang telah
menetapkan batas minimal maupun maksimal.
Seseorang boleh mengacu pada batas
minimal atau maksimal yang telah ditetapkan dalam menetapkan suatu hukum.
Tetapi tidak boleh melampaui batas maksimal atau minimal yang ditetapkan oleh
Allah swt. contohnya seperti yang terkandung dalam surah An-Nisa’ ayat 11-14
tentang pembagian harta warisan.
Batas maksimal laki-laki 2 x lipat dari
perempuan. Sedangkan batas minimal perempuan 0,5 dari laki-laki, digambarkan
sebagai berikut:
y
Batas
maksimal
Titik
belok (pembeda)
Y
= F (X)
X
Batas minimal
Menurut Syahrur, ada sebagian ayat-ayat
al-Qur’an yang meiliki batas minimal dan maksimal sekaligus.di antaranya dalam
surah an-Nisa’ ayat 3 tentang poligami.[13]
4.
Batas
maksimal dan minimal yang menyatu dalam satu baris
Dalam batasan ini adalah suatu ketetapan
hukum yang harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, maka hal
itu tidak boleh melebihi maupun mengurangi. Digambarkan sebagai berikut:
y
Y
= F (X)
X
Batasan ini berlaku pada kasus zina yang
diberi hukuman 100 kali cambukan, hukuman itu berpotensi sebagai batas minimal
dan maksimal sebagaimana yang tercantum pada ayat 2 dari surah An-Nur. Cara
hukuman inilah yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan Allah, yaitu empat
orang saksi. Pada surah An-Nur ayat 3-10 mengenai keterangan dan semua batasan
hukum. Hukuman itu sudah termasuk pada
batasan minimal, jadi tidak kurang dari 100 cambuk ataupun lebih dari 100
cambuk. Ketika Syahrur ditanya mengapa hukuman 100 cambuk sudah termasuk batas
minimal? Syahrur tidak menjawab hanya diam saja. Sehingga Muhyar hanya
mengira-ngira bahwa mana ada seseorang yang telah di dera 100 kali masih mampu
bertahan hidup.[14]
5.
Batas
maksimal yang mendekati garis lurus
Hukuman harus diberi batasan agar tidak
mendekati ataupun melangar hukum yang telah ditetapkan oleh Allah. Digambarkan
sebagai berikut:
y
Garis batas Garis lurus
Maksimal yang
mendekati
garis lurus
X
0
Batasan ini berhubungan pdengan
pergaulan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim yang terdapat didalam surah
al-Isra’ ayat 32 dan surah al-An’am ayat
151. Didalam 2 ayat itu terdapat batasan maksimal yang mana pergaulan laki-laki
dan perempuan yang bukan muhrim adalah pergaulan yang dapat mendekati kepada
zina.
6.
Batas
maksimal positif yang tidak boleh dilampaui dan batas minimal yang negative
yang boleh di lampaui
Suatu tindakan atau ketetapan tidak
boleh melebihi batas maksimal positif, hanya boleh melampaui batas minimal
negative, dan digambarkan sebagai berikut:
Batas maksimal (positif)
Y
= F (X)
X
Batas minimal
(negative)
Dalam batasan ini berkaitan dengan
ayat-ayat yang berbicara tentang riba dan zakat. Riba termasuk batasan maksimal
positif yang tidak diperbolehkan melebihinya, sedangkan zakat termasuk batas
minimal negative yang diperbolehkan melebihinya. Jadi disimpulkan bahwa riba
dalam bentuk apapun dilarang karena riba termasuk batas maksimal positif.
Sedangkan pemberian zakat melebihi batas boleh. Kelebihan pemberian zakat dari
apa yang telah ditentukan itulah termasuk kategori sadaqah.
tatif
maupun makna kiasan atau konotatif. [15]
F.
Konsep Jilbab
Menurut Syahrur
Syahrur
mengaitkan konsep jilbab dengan masalah pakaian perempuan. Menurut beliau
ayat-ayat yang membahas tentang libas al-mar’ah bisa masuk kedalam ayat muhkamat
(ayat-ayat hukum), sehingga harus menggunakan metode ijtihad melalui pendekatan
teori hudud dan tartil jika kita ingin menafsirkan nya secara
metodologi. Syahrur menggunakan istilah libas (pakaian) yang memiliki
arti siyab (pakaian), jilbab (pakaian luar perempuan), khimar (tutup),
ketika berbicara soal pakaian perempuan yang digunakan untuk menggantikan
istilah al hijab atau al hijab al syar’I yang biasa sering popular di kalangan umum
atau masyarakat. Istilah hijab dalam Al Quran tidak ada kaitannya sama
sekali dengan persoalan pakaian perempuan menurut M. Syahrur. Dalam AlQuran pun
kata hijab disebutkan sebanyak delapan kali, yakni dalam Q.S Al A’raf
46, Q.S Al Ahzab 53, Q.S Sad 32, QS Fussilat 5, QS Al Syura 5, QS Al Isra 45,
QS Maryam 17, QS Al Mutaffifin 15, kata-kata yang disebutkan dalam beberapa
Quran Surat diatas itu makna hijab tidak ada kaitannya sama sekali
dengan masalah pakaian perempuan, akan tetapi seluruh kata hijab dalam
Quran Surat diatas maknanya lebih mengacu terhadap pengertian al-hajiz (penghalang).[16]
1.
Definisi Pakaian
menurut Syahrur
Kata al libas terdiri
dari tiga huruf, yakni lam, ba, dan sin. Yang memiliki arti tutup dan
menutupi. Dilihat dari makna yang sebenarnya atau makna denotatif, kata al
libas memiliki makna baju yang
dikenakan, sebagaimana yang termaktub dalam Alquran QS Al Kahfi ayat 31:
“Dalam surga itu mereka dihiasi
dengan gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera Halus dan sutera
tebal” dan
firman Nya dalam QS Fathir ayat 33: “(Bagi mereka) surga Adn , mereka masuk
kedalamnya, didalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas,
dan dengan mutiara, dan pakaian mereka didalamnya adalah sutera”. Sedangkan,
menurut makna kiasan atau konotasinya al libas memiliki arti pencampuran
atau pergantian, sebagaimana yg telah dijelaskan dalam Alquran QS Al Baqarah
ayat 42: “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” Dalam
firmannya yang lain, QS al Furqan ayat 47: “Dialah yang menjadikan untukmu
malam (sebagai pakaian), dan tidur untuk istirahat, dan ia menjadikan siang
untuk bangun berusaha.” Firman Nya yang lain dalam QS Al Baqarah 187: “Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri
kamu; mereka itu adalah pakaian bagi kamu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”
Bisa diambil kesimpulan bahwa, semua
ayat diatas memang menyebutkan kata al libas, disini kita bisa
mengartikan nya dengan makna yang macam-macam tergantung dari konteks
kalimatnya, bisa diartikan dengan makna yang jelas atau denotatif maupun makna
kiasan atau konotatif. [17]
2.
Definisi Aurat
(As Saw’ah)
Tidak beda dengan
pengertian al libas, kata as
saw’ah juga harus diartikan secara
konotatif maupun denotatif. Secara denotatif atau jelas, kata ini memiliki arti
keburukan (al qubh), seperti yang disebutkan dalam hadis: saw’a u
waludun khayrun min hasna’a ‘aqimin yang memiliki arti “perempuan yang
buruk rupa namun subur lebih baik daripada perempuan cantik tapi mandul”.
Sedangkan secara konotatif kata ini memiliki aurat, yang mana aurat itu adalah
bagian tubuh yang tidak boleh dibuka untuk diperlihatkan. Dari hal ini,
kemudian muncul pendapat bahwa kata tersebut adalah kiasan tentang alat kelamin
pria dan wanita yang jika terlihat pihak lain merasa terganggu.[18]
Di dalam Alquran juga telah dijelaskan
masalah penutup (hijab) , jilbab, dan kerudung (khimar) dalam
beberapa ayat, salah satunya adalah QS Al Ahzab ayat 53 yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi kecuali bila
kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah, dan bila kamu selesai
makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang
demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu
keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta
sesuatu (keperluan)kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari
belakang tabir (hijab). Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak pula
mengawini istri-istrinya selamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu
adalah amat besar (dosanya) disisi Allah.”
Penjelasan tafsir sebab turunnya ayat
tersebut adalah seperti yang driwayatkan oleh As Suyuti dalam Tafsir
Jalalayn nya adalah ketika Nabi Muhammad menikahi Zaynab, ketika itu nabi
mengundang para sahabat dan pada akhirnya mereka bercakap-cakap, duduk bersama
sembari menikmati makanan. Kemudian nabi hendak ingin berdiri, tetapi ternyata para
sahabat tidak berdiri. Dan pada akhirnya ketika para sahabat menyaksikan
kondisi tersebut, sebagian mulai ikut berdiri, dan hanya sisa tiga orang yang
masih duduk, lalu pada akhirnya mereka semua pulang. Kemudian Nabi mendatangi
Zaynab dan masuk kedalam rumah, Zaynab mengikuti, kemudian Nabi memasang hijab
(penutup) antara Nabi dan Zaynab.[19]
3.
Sejarah Hijab
Dilihat dari
sejarahnya, menurut Syahrur tradisi agama pensi-lah bangsa Persia atau yang
biasa disebut (al dayyanat al-farisiyyah) yang biasa menggunakan pakaian
jilbab dengan cara menutup seluruh anggota tubuhnya dari kepala sampai kaki.
Karena bangsa tersebut memposisikan wanita sebagai makhluk hidup yang tidak
suci, sehingga hidung dan mulutnya harus diikat dengan kayu agar tidak menodai
kesuciannya. Jilbab sendiri pada awalnya merupakan pakaian khusus dan tidak
boleh digunakan oleh sembarang wanita, kecuali oleh wanita-wanita yang memiliki
kedudukan tinggi dan merdeka atau dalam kata lainnya yakni perempuan
ningrat. Jadi para budak wanita ataupun
wanita biasa tidak diperbolehkan untuk memakainya. Dalam hal ini, pada awalnya
konsep jilbab digunakan untuk membedakan antara wanita budak dan wanita
merdeka, antara wanita biasa dengan wanita ningrat. Konsekuensi adanya
perbedaan dalam hal ini adalah hijab dan pakaian bukanlah merupakan beban
syariat bagi seorang wanita, tetapi lebih sebagai standar kesopanan yang
dituntut oleh kehidupan sosial yang mana, ketika pola sosial tersebut berubah,
otomatis standar tersebut juga berubah. Pemahaman seperti ini berlangsung
hingga masa pasca Nabi SAW.[20]
4.
Perhiasan
Perempuan
Perhiasan
Perempuan dalam QS An Nur 31 dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama perhiasaan yang terlihat (az zinah az
zahirah), dan yang kedua adalah perhiasan yang tidak nampak atau
tersembunyi (az zinah al makhfiyah). Perhiasan sendiri terbagi menjadi
tiga macam, yaitu:
a.
Perhiasan
berbentuk benda (zinat al ashya), adalah perhiasan yang berwujud berupa tambahan
terhadap suatu benda ke benda yang lainnya atau pada suatu tempat dan fungsinya
untuk memperindah. Contohnya: cincin, kalung, gelang, jepit rambut, desain
baju, dekorasi ruangan dll. Yang mana hal ini termaktub dalam Alquran QS Al
a’raf 31: “Hai anak Adam, pakailah pakaian mu yang indah di setiap (memasuki
masjid), makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
b.
Perhiasan lokasi
atau tempat (zinat al mawaqi atau az zinah al makaniyyah). Yang dimaksut
dari perhiasan ini adalah ruang-ruang di tempat umum atau perkotaan. Seperti
bangunan-bangunan yang didirikan diatas rumput hijau yang biasa kita sebut
taman kota. Tempat ini adalah tempat yang sering dikunjungi oleh banyak orang
yang berfungsi untuk menghiasi kota.
c.
Perhiasan
gabungan antara yang bersifat kebendaan dan bersifat lokasi. Seperti yang telah
dijelaskan dalam QS Al A’raf 32: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan Nya untuk hamba-hamba Nya dan (siapa pula kah yang
mengharamkan) rizki yang baik?” dan surat Yunus 24: “Hingga apabila bumi
itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan
pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya.” Maksut dari
ayat tersebut adalah kemajuan ilmu pengetahuan beserta pengembangannya akan
memenuhi bumi dengan berbagai bentuk hiasan benda dan hiasan lokasi., maka
seluruh tubuh wanita adalah perhiasan. Perhiasan disini dimaksutkan adalah yang
berbentuk utuh, bukan hanya sekedar gelang, kalung, dan sebagainya, tetapi
seluruh tubuh wanita.[21]
Tubuh
wanita dibagi menjadi dua, yang pertama yaitu bagian tubuh yang terbuka secara
alami (qism az zahir bi al khalq). Allah berfirman yang artinya: “Janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak darinya.”
Kita harus memahami ayat ini bahwa terdapat perhiasan tersembunyi dari dalam
tubuh wanita. Perhiasan yang Nampak adalah sesuatu yang secara alami terlihat
dalam tubuh wanita tersebut. Seperti, punggung, dua kaki, perut, kepala, dan
dua tangan. Karna sesungguhnya Allah mencipatakan pria dan wanita dalam keadaan
telanjang. Yang kedua, adalah bagian tubuh yang tidak Nampak, yang mana bagian
ini disembunyikan oleh Allah dalam bentuk susunan tubuh wanita. Bagian yang
tersembunyi ini disebut al juyub. Kata al jayb sendiri tersusun dari tiga huruf jim,
ya’, dan ba’ yang pada dasarnya memiliki arti “lubang yang terletak pada
sesuatu”. Al juyub sendiri terdiri dari bagian antara dua payudara,
bagian bawah payudara, bagian bawah ketiak, pantat, dan kemaluan. Yang mana
bagian ini harus tertutupi oleh perempuan.[22]
Oleh sebab itu, Allah menyuruh kepada wanita yang beriman untuk menutupi
seluruh bagian tubuh mereka yang termasuk kedalam bagian al juyub. Bagian al juyub ini adalah bagian yang
dilarang diperlihatkan kepada orang lain kecuali suaminya. Fakta ini
menerangkan kepada kita tentang kenapa tidak disebutnya suami (az zauj) di dalam ayat yang berisikan daftar pria yang
diperbolehkan melihat perhiasan di depan mereka (wanita). Tetapi dalm hal ini
ayat tersebut menggunakan istilah al ba’l. para mahram disebut dengan
istilah al ba’l (suami) dst yang termaktub dalam QS An Nur ayat 31:
5.
Pihak pihak yang
Dilarang Melihat Perhiasan (Maharim Az Zinah)
Al ba’l adalah
seseorang yang masuk dalam kategori mahram nikah, tetapi posisinya adalah mahram
yang dilarang melihat kemaluan wanita. Dari sini kita dapati pihak yang masuk
kedalam Maharim az zinah adalah sbanyak tujuh orang, yaitu: orang tua
suami, bapak, anak laki-laki suami, anak laki-laki, saudara laki-laki, anak saudara
laki-laki dan anak laki-laki saudara perempuan.[26]
Ada kategori
mahram yang wanita diperbolehkan untuk berhubungan atau berinteraksi
bersamanya, akan tetapi tidak diperbolehkan bagi wanita untuk memperlihatkan
perhiasannya yang tersembunyi (al juyub al ‘uluwiyah;aurat bagian atas) dihadapan
mereka. Kategori mahram ini adalah: paman dari pihak bapak dan ibu, anak dan
saudara sepersusuan, suami ibu, suami anak perempuan dan suami saudara
perempuan. Perhiasan yang dimaksutkan disini adalah perhiasan tempat atau
lokasi dari perhiasaan benda tersebut digunakan.[27]
Selanjutnya,
terdapat beberapa potongan ayat yang menerangkan pihak-pihak yang wanita
diperbolehkan memperlihatkan sebagian dari perhiasannya, adalah:
a)
Aw ma malakat
aymanuhunna (QS An Nur 31) , dilihat dari segi sejarahnya kata milk
al yamin yakni berhubungan dengan
masalah perbudakan. Yang mana budak pada zaman dahulu belum mengenal istilah jilbab
atau hijab. Karena pada zaman itu, para budak dibiarkan dijalanan
tanpa penutup kepala dan bagian dadanya terbuka dengan alasan mereka telah
membantu pekerjaan tuannya.
b)
Aw at tabi’na
ghayri uli al irbati min ar rijali ”….atau pelayan
pelayan pria yang tidak mempunyai keinginan apapun terhadap wanita …” (QS An
Nur 31). Golongan yang dimaksut dalam potongan ayat ini adalah orang yang tidak
memiliki dorongan seksual atas wanita. Seperti halnya seorang dokter yang
sedang membantu persalinan, akan pasti melihat kemaluan atau aurat besar dari
sang pasien. Akan tetapi niat dari seorang dokter ini tanpa disertai dengan
dorongan seksual karna dalam hal ini dokter hanya membantu.
c)
Aw at tifli al
ladhina lam yazharu ala aurati an nisa i ”…atau anak-anak
yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (QS An Nur 31) yang dimaksut dari
ayat ini adalah anak-anak yang tidak mengerti mengapa seorang wanita merasa
malu dalam keadaan ia sedang tidak menutupi aurtanya. Hal ini sangat wajar,
karena hingga usia tertentu anak-anak belum mengerti yang namanya aib dan malu.
d)
Wala yadribna bi
arjulihinna li yu’lama ma yukhfina min zinatihinna “..dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang orang yang beriman supaya
kamu beruntung. (QS An Nur 31) penjelasan dari potongan ayat tersebut adalah agar
wanita selalu menjaga aurtanya atau bagian yang tersembunyi dalam tubuhnya agar
tidak diketahui orang lain, karena bagian tersembunyi tersebut tidak mungkin
bisa terlihat jika memang bukan sang wanita yang menampakkannya. Dalam hal ini
Allah melarang wanita untuk melakukan pekerjaan atau usaha (al darb) yang mana bisa menunjukkan bagian intim dari
tubuhnya, seperti tarian tarian yang mana jika hal tersebut dilakukan bisa
memperlihatkan aurtanya.
e)
Wa tubu illallahi
jamian “…
dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah…” (QS An Nur 31) dalam ayat ini Allah
memerintahkan kepada kaum mukminin dan mukminat agar bertaubat, karena dalam
kehidupan kita selalu melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Allah.[28]
Lalu yang dipertanyakan apakah boleh jika wanita keluar rumahnya mengenakan
pakaian yang menutupi juyub sebagai batas minimalnya? Dalam hal ini
Syahrur tidak memperbolehkan juga melarang, melainkan ia hanya berpendapat
bahwa Alquran membahas tentang pakaian yang lengkap bagi wanita, diantaranya
yaitu jilbab, yaitu al libas al khariji (pakaian luar) yang bisa berupa
celana panjang (bantal) , baju gamis biasa (al qamis) dan ia juga
tidak harus menutupi kepalanya.[29]
Menurut Syahrur, fungsi hijab terbagi
menjadi dua, yaitu dilihat dari kondisi geografis dan sosio kulturalnya, yakni
untuk menjaga diri dari gangguan yang bersifat alamiah seperti suhu dingin dan
panas atau gangguan yang bersifat sosial seperti diremehkan oleh orang lain.[30]
Dalam hal ini Syahrur mengutip dari Alquran QS Al Ahzab 59:
[1]
Abdul Mustaqim, “Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur tentang
Poligami dan Jilbab” Jurnal Kajian
Hukum Islam vol 5 no 1, hlm. 67
[2]
Shofa Ulfiyati, “Pemikiran Muhammad Syahrur (Pembacaan Syahrur Terhadap
Teks-Teks Keagamaan)”. Et-Tijarie. Vol. 5 No. 1 (2018), h. 59
[3]
Kurdi dkk, “Hermeunitika Al-Qur’an dan Hadits” (Yogyakarta: Elsaq Press,
2010), h. 287
[4] Vita
Vitria, “Komparasi Metodologis Konsep Sunnah Menurut Fazlur Rahman dan
Muhammad Syahrur (Perspektif Hukum Islam)”. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum,
Vol. 45, No. II (2011), h. 1341
[5]
Mulyadhi, “Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta: Penernit Jendela,
2003) h.296
[6] Ivan
Alfian, “Pemikiran Muhammad Syahrur”, Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Vol. 10, No. 2 (2016), h. 247
[7]
Sunardi Panjaitan, Skripsi, “Teori Batas Hukum Islam: Studi Terhadap
Pemikiran Muhammad Syahrur dalam Waris”, (Jakarta: UIN, 2008), h. 23
[8] Fuad
Mustafid, “Pembaruan Pemikiran Hukum Islam: Studi Tentang Teori Hudud
Muhammad Syahrur”, Al-Mazahib, vol. 5, no. 2 (2017), h. 311
[9] Ivan
Alfian, “Pemikiran Muhammad Syahrur”, Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Vol. 10, No. 2 (2016), h. 250
[10] Fuad
Mustafid, Op Cit, h. 313
[11] Ivan
Alfian, Op Cit, h. 251
[12] Fuad
Mustafid, Op Cit, h. 314
[13]
Ibid, hlm. 262-263
[14]
Ibid, hlm. 316
[15]
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2004), hlm. 483-484
[16]
Abdul Mustaqim, Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur tentang Poligami
dan Jilbab, hlm. 73
[17]
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2004), hlm. 483-484
[18] Ibid,
hlm. 484
[19] Ibid,
hlm. 488
[20]
Abdul Mustaqim, Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur tentang Poligami
dan Jilbab, hlm. 73
[21]
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta,
eLSAQ Press, 2007), hlm. 246-247
[22] Ibid,
hlm. 248
[23]
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm. 517
[24]
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm. 518
[25]
Abdul Mustaqim, Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur tentang Poligami
dan Jilbab, hlm. 75
[26]
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm. 519
[27]
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm. 520
[28]
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm. 524-530
[29]
Abdul Mustaqim, Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur tentang Poligami
dan Jilbab, hlm. 75
[30] Abdul
Mustaqim, Pemikiran Fiqh Kontemporer Muhammad Syahrur tentang Poligami dan
Jilbab, hlm. 75
[31]Muhammad
Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm. 531
[32]
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, hlm. 538-539
Komentar
Posting Komentar