MASHADIRUL
AHKAM (SUMBER-SUMBER TASYRI’)
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah
agama yang sempurna, dalam artian mampu mengcover segala aspek kehidupan manusia tanpa
terkecuali. Sumber utama hukum islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Didalam
Al-Qur’an mengatur segala macam aspek diantaranya aspek ibadah, tauhid, janji
dan ancaman, sejarah umat terdahulu, serta jalan dan cara menggapai
kebahagiaan.
Setelah pertemuan-pertemuan sebelumnya kita telah
membahas Da’aimul ahkam atau dasar-dasar penetapan hukum islam serta
Mabadiul Ahkam atau dasar-dasar hukum islam, maka pada makalah kali ini
kita akan membahas mashodirul ahkam atau sumber-sumber hukum islam.
Dalam menetapkan suatu hukum, sudah tentu kita harus memiliki sumber yang
jelas. Dalam hal ini, para ulama’ sepakat bahwa sumber hukum islam yang
digunakan yaitu ada empat, Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Serta ada
beberapa hukum islam yang tidak disepakati oleh sebagian ulama’ dengan berbagai
pertimbangannya masing-masing diantaranya istihsan, istishab, maslahah
mursalah, madzhab sahabat, syar’un man qablana, urf, sadd Adz-Dzari’ah. Untuk
membahas lebih detail mengenai berbagai macam sumber hukum tersebut, maka kami
menulis makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa saja sumber tasyri’ (Mashodirul
Ahkam) yang bersumber dari dalil naqli ?
2.
Apa saja sumber tasyri’(Mashodirul
Ahkam) yang bersumber dari dalil
aqli ?
1.3 Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui sumber tasyri’
(Mashodirul Ahkam) yang bersumber dari dalil naqli.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mashodirul Ahkam
Mashodirul ahkam (مصادر الاحكام) bisa diartikan
sebagai sumber-sumber syari’at atau hukum islam. Yang menjadi sumber-sumber
hukum islam yaitu sesuai dengan dalil-dalil sumber hukum islam, baik yang naqli
maupun aqli. Dalil merupakan sesuatu yang dapat digunakan dalam menetapkan
hukum islam tentang amal perbuatan manusia yang qath’i dan dzanni. Mashodirul
ahkam (مصادر الاحكام) bisa
juga disebut ushulul ahkam (اصول الاحكام) atau adillatul ahkam (ادلة الاحكام). Mashodirul ahkam (مصادر الاحكام)
terdiri atas dua dalil yaitu dalil naqli dan dalil aqli, berikut ini
penjelasannya.
2.2 Dalil
Naqli (نقلى)
Mashodirul ahkam (مصادر الاحكام) yang naqli bersumber dari dua sumber,
yaitu: Al-Qur’an dan Hadits.
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum islam yang
pertama. Ayat-ayat Al-Qur’an tidak terbatas pada hukum dan peraturan, tetapi
dalam Al-Qur’an juga telah diperkenalkan beratus jenis persoalan yang
berbeda-beda. Sekitar lima ratus ayat Al-Qur’an berbicara mengenai hukum. [1]
Al-Qur’an adalah otoritas Tuhan, yang dijadikan acuan umum sebagai sumber yang
utama dalam menetapkan hukum. Al-Qur’an adalah given atau pemberian yang
mutlak harus diterima oleh manusia dan manusia haruslah mengakui bahwa
Al-Qur’an sebagai yuridis formal ebagai yang rasional. Ulama ushul fikih
mendefinisikan Al-Qur’an adalah suatu perkataan yang diturunkan oleh Allah
kepada Rasulullah dengan menggunakan bahasa arab agar dijadikan sebagai hujjah,
serta dengan cara membaca Al-Qur’an itulah maka orang-orang menghampirkan diri
kepada Allah dan menyembah-Nya.[2]
Adapun unsur pokok Al-Qur’an antara lain sebagai berikut :
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT, Al-Qur’an berbahasa arab, Al-Qur’an sebagai
hujjah bagi Rasulullah, Al-Qur’an sebagai undang-undang, Al-Qur’an sebagai
ibadah bagi yang membacanya Berikut ini adalah penjelasan dari kelima unsur
pokok Al-Qur’an tersebut.
a.
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah
SWT
Wahyu adalah
pengetahuan-pengetahuan yang dituangkan Allah ke dalam jiwa nabi agar
disampaikan kepada manusia untuk memberi petunjuk serta menjadi sara untuk
menggapai kehidupan dunia dan akhirat. Adapun cara Allah menurunkan wahyu
tertuang dalam firman Allah surat Asy-Syura ayat 51:
وَمَا
كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ
حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ
حَكِيمٌ
Artinya : Dan tidak ada bagi
seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantara
wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu
diwahyukan kepadanya dengan seisin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Tinggi dan Maha Bijaksana.[3]
b.
Al-Qur’an berbahasa arab
Al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa arab. Banyak ayat yang menjelaskan tentang hal ini, diantaranya :
.....وَهَذَا
لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
Artinya : Dan Al-Qur’an ini
berbahasa arab yang nyata. (QS. An-Nahl : 103)
وَكَذَلِكَ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا
Artinya : Demikian Kami
wahyukan kepadamu Al-ur’an dalam bahasa arab. (QS. Asy-Syura : 7). [4]
c.
Al-Qur’an sebagai hujjah bagi
Rasulullah
Disamping Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan Kalamullah
yang berbahasa arab, Al-Qur’an juga merupakan hujjah atau buktu bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah SWT. Hal ini pernah dinyatakan sendiri oleh
Rasulullah “ Aku ini adalah utusan Allah, buktinya adalahh Al-Qur’an yang aku
bacakan kepadamu ini, diwahyukan oleh Allah. Jika kamu masih ragu-ragu bahwa
Al-Qur’an ini datangnya dari Allah, tidak masuk diakalmu maka marilah kita
bertanding”.[5]
d.
Al-Qur’an sebagai undang-undang
Al-Qur’an adalah kita yang
diturunkan untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Maka dari itu Al-Qur’an
adalah kitab yang sempurna, didalamnya mengatur segala macam urusan, sehingga
Al-Qur’an dijadikan pedoman hidup
manusia baik di dunia maupun akhirat. Adapun isi Al-Qur’an mencakup dalam lima
aspek kehidupan, yaitu menyangkut ibadah, tauhid, janji dan ancaman, jalan dan
cara mencapai kebahagiaan, serta sejarah umat sebelum kita. [6]
e.
Al-Qur’an sebagai ibadah bagi
yang membacanya
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang merupakan mukjizat yang
diberikan kepada Nabi Muhammad SAW dan membacanya adalah bernilai ibadah.
2.
Hadits
Hadits merupakan perkataan, perbuatan, dan taqrir atau
ketetapan Nabi Muhammad SAW. Dalam ilmu ushul fiqih, lebih sering menggunakan
istilah hadits dari pada sunnah. Dalam menggunakan hadits sebagai sumber atau
penetapan hukum, para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Diantaranya
menurut jumhur ulama memandang bahwa posisi hadits masyhur itu dibawah hadits
mutawatir. Sedangkan ulama Hanafiyah mengangap bahwa hadits masyhur sejajar
dengan hadits mutawatir.
Dalam pemakaian hadits ahad juga terdapat perbedaan pendapat,
menurut ulama Mu’tazilah dan khawarij
tidak dapat dijadikan hujjah atau dasar pengambilan hukum dengan alasan
dalam hadits ahad tersebut kemungkinan terdapat kekeliruan, salah duga, atau
kedustaan perawinya. Sedangkan menurut jumhur ulama hadits ahad bisa dipakai
dalam menetapkan hukum asalkan bukan hadits dha’if.
Dalam penggunaan hadits dha’if para ulama juga terdapat
perbedaan. Menurut Abu Bakar Ibnu Arabi, hadits dha’if tidak dapat dijadikan
dasar dalam menetapkan hukum agar melakukan amal-amal yang utama. Sedangkan
menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalaniy, hadits dhaif dapat digunakan untuk fadhail
al-amal dengan syarat : a) Kedha’ifannya tidak terlalu kuat, b) Amal perbuatan
yang ditunjuk oleh hadits dha’if bersandar kepada hadits mutawatir atau hadits
shahih, c) waktu mengamalkannya tidakmempunyai keyakinan bahwa hadits itu
benar-benar datang dari Rasulullah SAW. [7]
2.3
Dalil Aqli
Dalil aqli merupakan dalil yang
bersumber dari akal pikiran manusia. Dalil aqli bersumber dari banyak hal,
diantaranya ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahh mursalah, madzab sahaby,
syar’u man qablana, ‘urf, serta saddud dzariyah. Diantara beberapa sumber
tersebut para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menggunakannya dalam
menetapkan hukum. Tetapi sumber yang telah disepakati ulama ada 4, yaitu
Al-Qur’an, hadits, ijma’’, dan qiyas. Sementara sumber-sumber selain itu masih
terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam menggunakannya.
1.
Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan (ittifaq) terhadap sesuatu.
Pengertian ini dikemukakan oleh Al- Asnamy Nihayassaul lil Asnawi yang menutip
pendapat Abu Ali Al-Farisi dalam kitab Al-Idha.[8]
Ijma’ dapat pula dikatakan sebagai kesepakatan para ulama mujtahid dalam
memutuskan suatu perkara setelah wafatnya Rasulullah SAW. Realitas kehidupan
merupakan sesuatu yang dinamis, sehingga banyak suatu hukum perkara yang belum
ditetapkan pada saat Rasulullah hidup, dan banyak peristiwa bermunculan seiring
berkembangnya zaman. Oleh karena itu peristiwa tersebut memrlukan ketetapan
hukum, maka untuk menetapkan hukum tersebut diperlukan adanya seorang mujtahid.
Adapun dasar hukum ijma’ yaitu terdapat dalam QS. An-Nisa’ ayat 59.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya : Wahai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah
dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS.
An-Nisa; 59).
Adapun ulama ushul fiqih menetapkan rukun ijma’ sebagai
berikut :
a.
Harus ada beberapa orang
mujtahid.
b.
Kesepakatan harus dilakukan
oleh mujtahiid di seluruh dunia Islam tanpa memandang suku, ras, atau golongan.
c.
Kesepakatan itu harus
dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid.
d.
Kesepakatan harus bersifat
bulat tanpa cacat.
Contoh ijma’ adalah kesepakatan
oleh MUI tentang kebolehan membudidayakan kodok, tetapi tidak boleh
mengonsumsinya. Singkatnya ijma’ adalah إتفق المجتهدين في الامر. [9]
2.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa yaitu
تقدير شيئ بأخر ليعلم المساواة بينهما
Artinya: mengukur sesuatu
kepada sesuatu yang lain agar diketahui persamaannya.
Sedangkan menurut istilah yaitu
ردّ
الفرع الى الاصل بعلّة تجمعهما فى الحكم
Artinya : menyamakan cabang
pada asalnya karena ilat atau alasan yang mengumpulkannya dalam hukum. [10]
yaitu menetapkan hukum terhadap suatu kejadian atau peristiwa
yang tidak ada dasar atau nashnya dengan cara membandingkan kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash karena ada persamaan ilat antara dua kejadian tersebut. Adapun dasar hukum
qiyas yaitu dalam QS. An-Nisa ayat 59.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
Artinya : Wahai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah
dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS.
An-Nisa; 59).
Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa “Kemudian
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)” menunjukkan peristiwa yang belum ada
ketetapan hukumnya agar dikembalikan pada Al-Qur’an dan hadits dengan jalan
membandingkan ilat satu dengan ilat yang lain. Sedangkan rukun qiyas sendiri
ada 4 yaitu :
a.
Ashal (pokok),
yaitu peristiwa pertama yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Ashal
juga disebut maqis alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan).
b.
Far’u (cabang),
yaitu peristiwa kedua yang belum ada ketetapan hukumnya, karena tidak ada nash
yang dapat dijadikan dasar penetapan hukumnya. Far’u juga disebut maqis (yang
diqiyaskan).
c.
Hukum ashal, yaitu hukum
dari peristiwa yang pertama, yaitu hukum suatu peristiwa yang ditetepkan
berdasarkan nash.
d.
Illat, yaitu
sifat yang ada pada ashal dan sifat itu akan dicari pada far’u. [11]Adapun
contoh dari qiyas adalah hukum memakan harta anak yatim yaitu hukumnya haram,
hal ini berdasarkan nash Al-Qura’n :
ِانَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk yang
menyala-nyala.
Illat memakan harta anak
yatim adalah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim. Lalu muncul
peristiwa kedua yaitu menjual harta anak yatim. Setelah diteliti ternyata illat
dari kedua hal tersebut adalah sama yaitu mengurangi atau menghabiskan harta
anak yatim. Sehingga hukum menjual harta anak yatim hukumnya sama dengan
memakan hartanya yaitu haram. Hukum tersebut memenuhi qiyas yaitu:
a)
Ashal : memakan harta anak
yatim
b)
Far’u : menjual harta anak
yatim
c)
Hukum ashal : haram
d)
Illat : mengurangi atau
menghabiskan harta anak yatim.
3.
Maslahah Mursalah
a.
Pengertian Maslahah Mursalah
Dari segi bahasa, kata
Al-Maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at, baik artinya ataupun wazan-nya
(timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat
ash-Shalah, seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al’naf’u. [12] Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah
dan mursalah. maslahah adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat.
Menurut imam al gazali (mazhab
syafi’i) maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syara’, ia memandang bahwa suatu kemaslahatan
harus sejala dengan tujuan syara’ sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan
manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya dengan tujuan-tujuan
manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada
kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.
Sedangkan
maslahah mursalah :
هو
كل مصلحة لم ير د في الشرع نص على اعتبار
ها او بنو عها
“Adalah
setiap kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nash syariat (AL-Qur’an dan
sunnah ) dalam mengambil pengajaran pada wujud dan macam-macam”
Menurut istilah ahli ushul, masalah dapat diartikan
kemaslahatan yang disyariatkan oleh syar’I dalam wujud hukum, dalam rangka
menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan dan
menyalahkannya.[13]
Jadi masalahah mursalah ialah
masalah-masalah yang bersesuaian
dengan tujuan-tujuan syariah islam, dan tidak di topang oleh sumber dalil yang
khusus baik bersifat meligitimasi atau membatalkan maslahat tersebut.
Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan
yang dipandang oleh manusia tidak
terdapat dalilnya dalam alqur’an dan sunnah baik dalil yang membenarkan maupun
dalil yang menyalahkan.
b.
Macam-macam maslahah mursalah
Maslahah
mursalah ada beberapa macam ditinjau dari beberapa segi:
1)
Berdasarkan segi kualiatas dan kepentingan ke maslahatan.
a)
Maslahah dharuriyah, yaitu
kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan
di akhirat. Yang termasuk dalam kemaslahatan ini adalah memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta.
b)
Maslahah hajjiyah, yaitu
kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok atau
mendasar sebelumnya berbentuk keringan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan dasar manusia. Misalnya dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas shalat (
menjama’) dan berbuka puasa bagi orang yang musafir dalam bidang muammalah
antara lain dibolehkan berburu binatang, melakukan jual beli pesanan.
c)
Maslahah tahsiniyah, yaitu
kemaslahatan yang bersifat pelengkap berupa keleluasa yang dapat melengkapi
kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan begizi,
berpakaian yang bagus dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan
manusia.
2)
Berdasarkan segi perubahan
maslahah
a)
Maslahah tsabitah, yaitu
kemaslahatan yang sifatnya tetap,tidak berubah sampai akhir zaman. Mislanya
berbagai kewajiban ibadah seperti shalat dan lainya.
b)
Maslahah mutaqhairah, yaitu
kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan
subyek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan muamalah
dan adat kebiasaan, seperti makan makanan yang berbeda-beda antara daerah yang
satu dengan yang lainnya.
3) Berdasarkan keberadaan
maslahah menurut syara’ mustafah asylabi pembagianya
sebagai berikut:
a)
Kemaslahatan yang di dukung oleh
syara’ artinya adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
kemaslahatan tersebut. Misalnya tentang hukuman atas orang yag meminum-minuman
keras.
b)
Hukum yang terdapat dalam
alhadist difahami berlainan oleh para ulama’ fiqih.[14]
Hal ini disebabkan perbedaan alat memukul yang digunakan nabi Muhammad saw
ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminu minuman keras. Ada hadist
yang menerangkan alat yang digunakan adalah pelepah kurmah sebanyak 10 kali.
Dan ada yang mengqhiyaskan dengan hukuman penuduh zina yaitu 80 kali. Pendapat
yang terakhir ini menurut ahli ushul fiqh sangat cocok untuk digunakan sebab di
dukung oleh syara’ sebab baik jenis maupun bentuknya disebut muslahah
mu,tabarah.
c)
Kemaslahatan yang ditolak oleh
syara’ karena bertentangan dengan ketentuan syara’, syara’ yang menentukan
bahwa orang yang memlakukan hubunga sexsual disiang hari dalam bulan ramadhan
dikenakan hukuman memerdekakan budak, atau puasa selam dua bulan
berturut-turut, atau memberi makan 60 oarang fakir miskin, dan ulama’ ushul
fiqh memberikan pandangan bahwa yang diutamakan adalah puasa dua bualan
berturut-turut karena hal yang demikian itu sangat relevan dengan tujuan syara’
d)
Kemaslahatan yang keberadaan
tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan syara’ melalui dalil yang
rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini di bagi dua. Kemaslahatan yang tidak di
dukung oleh syara’ baik secara rinci maupun umum, tatapi didukung oleh nash,
yang disebut maslahah qharibah. Namun mereka tidak dapat memberikan contohnya.
Dan kemaslahatan yang kedua disebut maslahah mursalah. Kemaslahatan ini
didukung oleh sekumpulan nash walau bukan nash yang rinci.
c.
Syarat-syarat maslahah mursalah
Ada
berapa syarat yang harus dipenuhi untuk kemaslatan itu, yakni :
1) Adanya
persesuaian antara maslahat yang di pandang sebagai sumber dalil yang terdiri
dari tujuan tujuan syariat.
2) Maslahat
itu harus masuk akal, mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang
rasional, dimana seandainya diajukan kepada rasionalis akan diterima.
3) Pengguna
dalil maslahat ini dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi. Dalam
pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak di ambil,
niscaya manusia akan mengalami kesulitan.
4) harus
benar-benar membuahkan maslahah. Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan
pembentukan hukum itu mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Jika
maslahah itu berdasarkan dugaan atau pembentukan hukum itu mendatangkan
kemanfaatan tanpa pertimbangan apakah maslahat itu bisa lahir lantaran
pembentukan hukum itu atau tidak berarti maslahat itu hanya diambil berdasarkan
dugaan semata. Misalnya, maslahat dalam hal merampas hak suami dalam
menceraikan istrinya, kemudian hak talak itu dijadikan sebagai hak qadhi dalam
seluruh suasana.
5) maslahah
itu sifatnya umum, bukan bersifat
perorangan, maksudnya ialah bahwa dalam kaitan dengan pembentukan hukum atas
suatu kejadian atau maslahah dapat
melahirkan kemanfaatan bagi kebanyakan umat manusia yang benar-benar dapat
terwujud atau bisa menolak mudharat , atau tidak hanya mendatangkan kemanfaatan
bagi seseorang atau beberapa orang saja, karena itu hukum tidak bisa
disyariatkan lantaran hanaya membuahkan kemaslahatan secara khusus kepada
pimpinana atau orang-orang tertentu dengan tidak menaruh perhatian kepada
kemaslahatan umat. Dengan kata lain kemaslahatan itu harus memberi manfaat bagi
seluruh umat.
6) pembentukan
hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan dengan tata hukum atau
dasar ketetapan nash dan ijma’. Karena itu tuntutan kemasalahatan untuk mempersemakan
antara hak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian harta warisan, merupakan
masalah yang tidak bisa di benarkan sebab masalah yang demikian ini adalah
batal.
Syarat-syarat
di atas tersimpul dalam lima jaminan dasar kemaslahatan manusia sebagai berikut
1)
Keselamatan keyakinana agama.
2)
Keselamatan jiwa.
3)
Keselamatan akal.
4)
Keselamatan keluarga dan
keturunan.
5)
Keselamatan harta benda.
Hal ini selaras dengan maqsid as
syariah, yakni untuk memelihara lima rukun kehidupan manusia yakni agama, akal,
keturunan, harta, dan jiwa.
Lima
dasar inilah yang menjadi patokan untuk mengatakan sesuatu itu masalahah atau
tidak. Dengan ditetapkanya lima dasar kemaslahatan ini tidak semua yang di
anggap maslahat oleh seorang itu menjadi ketentuan dalam menetapakan hukum.
d.
Dalil-dalil masalahah Mursalah
Adanya dalil umum yang diungkap oleh
ulama, yang menjadi maslahah mursalah
sebagai hujjah, beberpa diantaranaya adalah sebagai berikut: [15]Praktek
para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranaya: Sahabat mengumpulkan
al qur’an kedalam beberapa mushaf, padahal Rasulullah tidak pernah menyuruh.
Dengan tujuan untuk menjaga kitab ini
dari kepunahan. Dan yang lainya adalah khulaurrasidin menetepkan keharusan
menanggung ganti rugi kepada para tukang. Sebab kalu tidak dibenai dengan ganti
rugi maka mereka akan ceroboh dalam memegang amanah dari majikanya. Kemudian
contoh yang lain adalah saat umar bin
khattab memerintahkan para penguasa agar memisahakan antara harta
kekayaan pribadi dengan harta diperoleh dari kekuasaan agara terhindar dari
manipulasi.
4.
Istihsan
a.
Pengertian Istihsan
Secara
etimologi, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik atau menilai
sesuatu sebagai baik.[16]
Sedangkan menururt istilah ushul fiqih, ialah meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil
syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga,
karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil
yang terakhir disebut sandaran istihsan.[17] Secara terminologi imam
al-Sarakhsi (w.483. H/1090M ahli ushul fiqih Hanafi) menyatakan “Istihsan itu berarti
meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya
dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.”
Adapun
pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab
Khalaf, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang
kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena
menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang
menghendaki perpindahan tersebut.
Definisi
istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang
mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang
diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat
yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.
Definisi
istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah
dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain
pada sebagian kasus tertentu. Sementara
itu, Ibnu Anbary, ahli fiqih dari mazhab Maliki memberi definisi istihsan bahwa
istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan
qiyas kully. Istihsan merupakan sumber hukum yang
banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam mazhab, yaitu imam
Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap
menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat.[18]
b.
Syarat dan Rukun Istihsan
1)
Tidak boleh bertentangan dengan
Maqasid Syariah, dalil-dalil kulli, dan juz’i yang qath’i wurud dan dalalahnya,
dari nash al-Qur’an dan As-Sunnah.
2)
Kemaslahatan tersebut harus
bersifat rasional artinya harus ada penelitian dan pembahasan, hingga yakin hal
tersebut memberikan manfaat atau menolak kemudaratan, bukan kemaslahatan yang
dikira-kirakan.
3)
Kemaslahatan tersebut bersifat
umum
4)
Pelaksanaanya tidak menimbulkan
kesulitan yang tidak wajar.
c.
Macam-macam Istihsan
Dari
definisi-definisi diatas secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan
terdiri dari dua macam yaitu:[20]
1)
Istihsan qiyasi ialah suatu
bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali
kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan
yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Contohnya air sisa
minuman burung buas adalah suci dan halal diminum, seperti: sisa minuman burung
gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang
buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk diminum,
karena sisa minuman tersebut telah tercampur dengan air liurnya, yaitu
meng-qiyas-kan kepada dagingya.
Sebagaimana diketahui,
binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut binatang buas
tang tidak langsung bertemu dengan dagingya. Mulut binatang buas terdiri atas
daging yang haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan tulang atau zat
tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum,
danging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air, jarerna
dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena
itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan halal menurut Istihsan Qiyasi.
2)
Istihsan Istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk
pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada
ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini
disebut istihsan istitsna’i. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi
menjadi beberapa macam sebagai berikut:
a)
Istihsan bi an-Nashsh
Yaitu perkara pada
setiap masalah yang menunjukkan hukum yang bertentangan dan berbeda dengan
kaedah yang ditetapkan yang mempunyai nash dari Allah SWT. Contohnya dalam hal
wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena sifat
pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang
berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat.
b)
Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan
dengan ijma’ ialah suatu peralihan dari hukum pada satu-satu masalah yang telah
menjadi kaedah umum kepada hukum yang diistinbat melalui ijma’. Contoh yang
dewasa ini sering terjadi adalah dalam
kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu
harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang
ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini
dilakukan maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama
sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun
tanpa menentukan jumlah air dan lama
waktu yang dipakainya.
c)
Istihsan bi ad-Dharurah
Yaitu
ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang
menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau
mencegah kemudharatan. Contohnya dalam kasus
sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk
dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air sumur tersebut, karena sumur yang
sumbernya dari mata air sulit untuk
dikeringkan. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa dalam dalam keadaan seperti ini,
untuk menghilangkan najis cukup dengan
memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur, karena keadaan darurat
menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk
beribadah dan kebutuhan lainnya.
d)
Istihsan bi al-‘urf
Yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi
qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku, baik ‘urf
yang bersifat perkataan maupun perbuatan. Contohnya sama dengan contoh istihsan
yang berdasarkan ijma’ no dua diatas, yaitu dalam maslah pemandian umum yang
tidak ditentukan banyak airnya dan lama
pemandian yang digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa
dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan banyaknya air yang terpakai.
e)
Istihsan bi al- muslahah
Yaitu mengecualian
ketentuan hukum yang belum berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan
memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prisnip kemaslahatan. Adapun ulama
malikiyyah mencntohkan dengan membolehkan dokter melihat aurat wanita dalam
berobat.
d.
Dasar Hukum Istihsan
Berdasarkan ayat
al-Qur’an yaitu “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”(QS. Al-Baqarah (2): 185) dan hadis Rasulullah yakni Anas r.a
berkata “Rasulullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah lebih mudah
ajarannya, dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan
rukun-rukunnya”. (HR. Ibnu Bar)[21]
Yang
berpegang dengan dalil istihsan ialah Mazhab Hanafi menurut mereka, istihsan
sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali, karena
menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahah mursalah diperbolehkan,
tentulah melakukan istihsan juga begitu karena kedua hal itu pada hakekatnya
adalah sama. Selain Mazhab Hanafi, mazhab lain yang menggunakan istihsan ialah
sebagai Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab Hambali.
Pendapat
istihsan menurut Mazhab Hanafi berbeda dengan Mazhab Syafi’i. Menurut Mazhab
Hanafi istihsan ialah semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan,
bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Mazhab Syafi’i istihsan itu timbul
karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan
pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi.
Karena itu Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Miwafaqaat menyatakan: “Orang yang
menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang benar
diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT, menciptakan syara’
dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.
Para
ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah
yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar
dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الَّذِينَ
يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ
اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi
Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.
Az-Zumar: 18).
Ayat
ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan
mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali
untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
5.
Istishab
a.
Pengertian Istishab
Secara etimologi, istishab
berarti طلبالصحبة واستمرارها yaitu meminta kebersamaan, atau
berlanjutnya kebersamaan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.[22] Istishab menurut
bahasa arab ialah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh
adalah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan
lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil
yang mengubah ketetapan hukum itu.[23] Pengertian Istishab menurut para Ahli Ushul Fiqh yaitu :
“Membiarkan berlangsungnya suatu
hukum yang sudah ditetapkan pada masa
lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang kecuali jika ada dalil lain yang merubahnya”.
Sedangkan
menurut Ibn Qoyyim, Istishab yaitu
melanjutkan ketetapan suatu
hukum yang telah ada atau meniadakan
suatu hukum yang sejak
semula tidak ada.[24]
Dari segi waktu
ai-Istishab dihubungkan dengan tiga waktu yaitu lampau,
sekarang
dan mendatang. Dari segi ketetapan ada dua
kemungkinan yaitu diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan. Serta dari segi dalil,
ketidak adaan dalil yang mengubah ketetapan masa
lalu merupakan kunci dari Istishab. Apabila
terdapat dalil yang mengubah suatu ketetapan, Istishab tidak berlaku lagi.[25]
b.
Syarat dan Rukun Istishab
Dari
beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan istishab memiliki beberapa ketentuan
sebagai berikut:
1)
Segala hukum yang telah
ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali
kalau telah ada yang mengubahnya. Contoh: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A
dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang
berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu mak B ingin kawin
dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah
terikat perkawinan dengan A dan nelum ada perubahan hukum perkawinan mereka
walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan,
yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan
dengan Istishab.
2)
Perubahan hukum yang ada hanya
dapat terjadi, jika terdapat dalil yang mengubahnya. Contoh: Menurut firman
Allah Swt:
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (manusia).” (QS.
al-Baqarah (2): 29). Dihalalkan
bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya,
kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu
ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama
tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.
3)
Hukum yang ditetapkan dengan
yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh hukum yang ditetapkan dengan
ragu-ragu.
c.
Macam-macam Istishab
Menurut Abu Zahrah
Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu :
1)
Istishab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu Istishab yang
didasarkan atas hukum asal dari sesuatu adalah mubah (boleh). Istishab semacam ini
banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang mu’amalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang
mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat itu boleh dilakukan
dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melaranganya. Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.
“Dialah
Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu …”.Ayat diatas
menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di
bumi untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya boleh
dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan.
2)
Istishab al-baraah al-ashliyah
Istishab yang
didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai
ada dalil yang mengubah status itu.[26] Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat
pada diri seseorang ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada
dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan setatusnya itu tidak bisa diganggu
gugat kecuali ada bukti yang jelas. Jadi
seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada dalam status
tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3)
Istishab al-hukm
Istishab yang
didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti
yang mengubahnya. Misalnya: seorang yang
memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya
itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mngubah
status hukum itu, seperti duijual atau di hibahkan kepada pihak lain.
4)
Istishab al-washf
Istishab yang
didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya
sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya: sifat hidup yang dimiliki seseorang yang
hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.
d.
Dasar Hukum Istishab
Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya
istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada,
bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau
dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan
bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika
demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah.
Contoh Istishab: Telah terjadi
perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan
berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu
maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan
C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan
hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada
hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B,
adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
Dari keterangan dan contoh diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum
(thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau
menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada
yang mengubah atau yang mengecualikan.
Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga
jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan
yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin
dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi
suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara
yang halal dengan yang haram.
Jadi diperhatikan proses terjadi atau
perubahan undang-undang dalam suatu negara atau keputusan pemerintah, maka
istishab ini adalah kaidah yang selalu diperhatikan oleh setiap pembuat
undang-undang atau peraturan.
e.
Perbedaan Pendapat Ulama’ tentang
al-Istishab
Para ulama’ Ushul Fiqh seperti dikemukakan
oleh Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga macam Istishab yang disebut
pertama distas adalah sah dijadikan
landasan hukum. Mereka berbeda pendapat
pada macam yang ke empat yaitu istishab al-washf. Dalam hal ini ada dua pendapat :
1)
Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah
berpendapat bahwa Istishab al-washf dapat dijadikan landasan secara penuh baik
dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah
ada.
2)
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa, Istishab al-washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya
yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.
6.
‘Urf
a.
Pengertian urf
Secara
etimologi, urf (العرف ) yang artinya sesuatu yang
dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi,
yakni seperti yang dikemukakan oleh Abdul karim Zaidah dalam Ushul Fiqh
Nasrun Haroen istilah ‘urf yaitu :[27]
ما ألفه المجتمع واعتاده وسار عليه فى حياته من قول أو
فعل
“Segala
sesuatu yang tidak asing lagi di dalam sebuah masyarakat karena telah menjadi
suatu kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun
perkataan”.
Istilah urf dalam pengertian
tersebut sama dengan pengertian al-adah (adat istiadat). Contoh urf berupa
perbuatan atau kebiasaan disatu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan
sehari-hari seperti garam, tomat dan gula, dengan hanya menerima barang dan
menyerahkan harga tanpa harus mengucapkan ijab dan qobul.
b.
Macam-macam urf
Para ulama ushul fiqh membagi urf kepada tiga macam
diantaranya:[28]
1)
Dari segi objeknya, urf dibagi
menjadi dua macam yaitu al-urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan)
dan al urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan
a)
al-urf al lafzhi
al-urf al lafzhi merupakan
kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam
mengungkap sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas
dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” mencakup seluruh daging
yang ada. Apabila seorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging
memiliki bermacam-macam daging. Lalu pembeli mengatakan “saya membeli daging
satu kilogram,” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan
masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi
b)
al-urf al-‘amali
al-urf al-amali adalah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah
keperdataan. Yang dimaksud dengan perbuatan biasa asalah perbuatan masyarakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain,
seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu,
kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman
tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakai tertentu dalam
acara-acara khusus
Adapun yang berkaitan dengan
muamalah perdata adalah kebiaasaan masyarakat dalam melakukan akad/transaksi
dengan cara tertentu. Misalnya. Kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa
barang-barang yang dibeli itu kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang
yang dibeli tersebut berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah
tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
2)
Dari segi cakupannya, urf
terbagi menjadi dua macam yairu al-urf al-am (kebiasaan yang bersifat umum) dan
al-urf al-khash(kebiasaan yang bersifat khusus)
a)
Al-urf al-am
al-urf al-am adalah kebiasaan
tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah
misalnya dalam jual beli beli mobil maka seluruh alat yang diperlukan untuk
memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan bang serep termasuk dalam
harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
b)
Al-urf al-Khas
al-urf al-khas adalah
kebiaasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan
para pedagang apabila terjadi cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat
dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, maka konsumen tidak
dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan seperti penentuan masa
garansi disuatu barang.
3)
Dilihat dari segi keabsahannya
maka urf terbagi menjadi dua yaitu al-urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap
sah) dan al-urf al fasid (kebiasaan yang dianggap rusak)
a)
Al-urf al-Shahih
Al urf Al-Shahih adalahkebiasaan yang
berlaku di tengah tengah masyarakat yang tidak bertentang dengan nash (ayat
atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tudak pula membawa
mudharat kepada mereka. Mislanya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita dan ini tidak dianggap sebagai mas kawin
b)
Al-urf al fasid
Adalah kebiasaan yang yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada didalah
syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan
riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedaagang.
c.
Syarat-syarat urf
Adapun syarat-syarat urf untuk
dijadikan landasan hukum adalah sebgai berikut:[29]
1)
urf itu berlaku umum artinya
dapat diberlakukan untuk msyoritas persoalan yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat
2)
urf telah memasyarakat ketika
persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya ‘urf itu lebih dulu ada
sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3)
urf itu tidak bertentangan
dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi
4)
urf tidak bertentangan dengan
nash, sehingga hukum yang dikandung nash bisa diterapkan
7.
Syar’u Man
Qoblana
Syaru’u Man Qoblana artinya
syariat atau ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan suatu
hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain.[30]Hal
ini dibicarakan dalam ilmu ushul fiqh agar kita mengetahui boleh tidaknya
mengikuti peraturan-peraturan agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Waslam
Mengenai persoalan boleh dan
tidaknya berhujjah dengan syariat umat sebelum Muhammad tersebut ada hal-hal
yang diperselisihkan dan ada pula yang disepakati[31]
a.
Hal-hal yang disepakati
Mengenai hukum-hukum agama sebelum
islam yang ternyata telah dihapus oleh islam, ulama sepakat tentag tidak boleh
beramal dengannya. Mengenai hukum-hukum agama sebelum islam, yang mana syariat
islam yaitu Al-qur’an dan Hadis telah menetapkan hukum tersebut, para ulam
sepakat tentang wajibnya setiap muslim mengamalkannuya
b.
Hal-hal yang diperselisihkan
Yaitu nash Al-qur’an atau matan hadis
yang meriwayatkan tentang peraturan atau hukum agama sebelum islam sedangkan
nash atau matan hadis tidak secara tegas melarang kita mengikutinya. Sebagai
contoh firman Allah Subhanahu Wata’alla dalam surah Al-maidah ayat 45
Sehubungan dengan ayat diatas
perbedaan para ulama terbagi menjadi dua golongan, pertama pendapat bahwa yang
demikian wajib diikuti dan diamalkan karena dengan diceritakanny apada kita
berarti merupakan syariat bagi kita, yang dibawa oleh rasul juga. Yang
berpendapat demikian adalah golongan Hnafiyyah, sebagian Malikiyyah dan
syafi’iyah.
Adapun pendapat golongan kedua,
bahwa peraturan atau hukum syariat sebelum islam tidak boleh kita amalkan,
karena kedatangan syariat islam menghapus sekaligus hukum-hukum syariat yang
terdahulu. Kecuali ada ketegasan untuk itu dan dibenarkan atau diperintah oleh
islam seperti misalnya sabda Nabi Shalallahu Alaihi Waslam yang berbunyi.
Abdul Wahhab
Khalaf dalam bukunya” Ilmu Ushul al-Fiqh menjelaskan bahwa yang terkuat
diantara kedua pendapat tersebut adalah pendapat yang pertama. Alasannya bahwa
syariat islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat
islam. Oleh karena segala hukum syariat para Nabi terdahulu yang disebut dalam
Al-Qur’an tanpa ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah di nask (dihapus)
maka hukum-hukum berlaku nagi umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam.
Disamping itu disebutnya hukum-hukum itu dalam Al-qur;an yang merupakan
petunjuk bagi umat islam menunjukkan berlakunya bagi umat Muhammad Shallallahu
Alaihi Waslam. [32]
8.
Mazhab
Shahabi
Yang dimaksud dengan mazhab
shahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam tentang
suatu kasus dimana hukum-hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah.[33]
Sedangkan yang dimaksud dengan
sahabat menurut ulama ushul fiqh adalah”seseorang yang bertemu dengan
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam dan beriman kepadanya serta mengikuti dan
hidup bersama dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya
dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam.
Adapun sebagian ulama mempersingkat identitas sahabat itu dengan orang-orang
yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam serta
hidup bersamanya yang cukup lama.[34]
Abdul Karim Zaidan dalam Ushul
Fiqh Satria Effendi membagi pendapat sahabat kedalam empat kategori:
a.
fatwa sahabat yang bukan
merupakan hasil ijtihad. Misalnya fatwa Ibnu Mas’ud bahwa batas minimal waktu
haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa
seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal itu
mereka terima dari Rasullullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa semacam ini
disepakati menjadi landasan hukum bagi generasi sesudahnya
b.
fatwa sahabat yang disepakati
secara tegas dikalangan mereka dikenal dengan ijma sahabat. Fatwa seperti ini
menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
c.
fatwa sahabat secara perorangan
yang tidak mengikat sahabat lain. Para mujtahid dikalangan sahabat memang
sering berbeda pendapat dalam satu masalah, namun dalam hal ini fatwa seorang
sahabat tidak mengikat (diikuti ) sahabat yang lain
d.
fatwa sahabat secara perorangan
yang di dasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
9.
Saad al
dzari’ah
Kata sadd menurut bahasa
artinya menutup dan kata dzari’ah
artinya wasilah atau “jalan kesuatu tujuan” jadi secara bahasa berarti “
menutup jalan kepada suatu tujuan”.[35]
Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukan imam As-syatibi sadd
Adz-Dzari’h adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).
Dari pengertian tersebut dapat
diketahui bahwa sadd adz -dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang
yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu
kerusakan .[36]
Hibbah yaitu memberikan sesuatu
kepada orang lain tanpa ikatan apa-apa dalam syariat islam perupak perbuatan
yang baik yang mengandung kemashlahatan. Akan tetapi, bila tujuannya tidak baik
misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal
itu didasarkan pada pertimbangan, bahkan huku zakat itu wajib sedangka hibbah
adalah sunnah
Menurut imam Asy-Syatibi, ada
kriteria yang menyebabkan suatu perbuatan itu dilarang yaitu
a.
Perbuatan yang tadinya boleh
dilakukan itu mengandung kerusakan
b.
Kemafsadatan lebih kuat
daripada kemashlahatan
c.
Perbuatan yang diperbolehkan
syara’ mengandung lebih banyak kemafsadatannya.
KESIMPULAN
1.
Mashodirul Ahkam atau sumber
tasyri’ yang bersumber dari dalil naqli ada dua yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Al-Qur’an adalah sumber hukum islam yang pertama. Al-Qur’an adalah otoritas
Tuhan, yang dijadikan acuan umum sebagai sumber yang utama dalam menetapkan
hukum. Al-Qur’an adalah given atau pemberian yang mutlak harus diterima
oleh manusia dan manusia haruslah mengakui bahwa Al-Qur’an sebagai yuridis
formal sebagai yang rasional. Ulama ushul fikih mendefinisikan Al-Qur’an adalah
suatu perkataan yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah dengan menggunakan
bahasa arab agar dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan Hadits merupakan
perkataan, perbuatan, dan taqrir atau ketetapan Nabi Muhammad SAW.
2.
Mashodirul Ahkam atau sumber
tasyri’ yang bersumber dari dalil aqli ada 9 yaitu ijma’, qiyas, istihsan,
istishab, maslahah mursalah, madzhab sahabat, syar’un man qablana, urf, sadd
Adz-Dzari’ah.
3.
Dari beberapa sumber tersebut,
kita juga mengenal ada sumber hukum yang disepakati dan tidak disepakati.
Adapun sumber hukum yang disepakati oleh para ulama yaitu ada 4, meliputi
Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Sedangkan
sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama antara lain istihsan, istishab,
maslahah mursalah, madzhab sahabat, syar’un man qablana, urf, sadd
Adz-Dzari’ah.
DAFTAR
PUSTAKA
Mutahhari, Murtadha dan Baqir Ash-Shadr. 1993. Pengantar Ushul Fiqh Dan Ushul Fiqh
Perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Tharaba, Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus
Syar’i. Malang : CV Dream Litera Buana.
Sebani, Beni Ahmad. 2017. Ilmu Ushul Fiqh.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Hadi, Saeful. 2009. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Sabda
Media.
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul fiqih. Bandung : Pustaka Setia.
Dahlan,
Abd. Rahman. 2014. Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH.
Sanusi, Ahmad. 2015. Ushul Fiqih. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Zahrah
, Muhammad
Abu. 1999. Ushul
Fiqih. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Syarifudin, Amir. 2008. Ushul Fiqih jilid 2. Jakarta: Prenada
Media Group.
Nur,
Saifudin. 2007. Ilmu fiqh; suatu
pengantar komprehensip kepada hukum
islam. Bandung:
HUMANIORA.
Bakry,
Nazar. 1993. Fiqih
dan usul fiqih. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.
Sohari. 2015. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Kaidah-kaidah Hukum
Islam; Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Haroen, Narun. 1996. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos.
Zein, Satria Effendi M. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana.
Haroen, Hasrun. 1998. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Bakry, Nazar. 2003.
Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dahlan. 2011. Ushul
Fiqh. Jakarta: Amzah.
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua.
Jakarta: Kencana.
Khalaf. 1995. Ilmu Ushul Fikih, diterjemahkan oleh
Halimuddin. Jakarta: Rineka Cipta.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Harun, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Effendi, Satria. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana.
Syafe’i, Rachmat. 1998. Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN,
STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Murtadha Mutahhari dan Baqir Ash-Shadr, Pengantar
Ushul Fiqh Dan Ushul Fiqh Perbandingan,
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 142.
[2] Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i,
(Malang : CV Dream Litera Buana,2016). hlm. 77
[20]Saifudin
Nur, ilmu fiqh; suatu pengantar komprehensip kepada hokum islam,
(Bandung: HUMANIORA, 2007), hal. 55
[24]Abdul
Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1988), hal. 137
[27]Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Kencana, 2005) Cet.1, hal. 153
[28]Hasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos Wacana
Ilmu, 1998) hal. 139
[29]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 2003) hal. 238
[30]Abdrahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta, Amzah,
2011) hal. 230
[31]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (
Jakarta: Kencana, 2010) hal.167
[32]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih,
diterjemahkan oleh Halimuddin, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1995) hal. 110
[33]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2005) hal. 169
[34]Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997) hal. 155
[35]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2005) hal. 172
[36]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS,
(Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 132
Komentar
Posting Komentar