MASHADIRUL AHKAM (SUMBER-SUMBER TASYRI’)


MASHADIRUL AHKAM (SUMBER-SUMBER TASYRI’)

 

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

                Islam adalah agama yang sempurna, dalam artian mampu mengcover segala aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali. Sumber utama hukum islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Didalam Al-Qur’an mengatur segala macam aspek diantaranya aspek ibadah, tauhid, janji dan ancaman, sejarah umat terdahulu, serta jalan dan cara menggapai kebahagiaan. 
                Setelah pertemuan-pertemuan sebelumnya kita telah membahas Da’aimul ahkam atau dasar-dasar penetapan hukum islam serta Mabadiul Ahkam atau dasar-dasar hukum islam, maka pada makalah kali ini kita akan membahas mashodirul ahkam atau sumber-sumber hukum islam. Dalam menetapkan suatu hukum, sudah tentu kita harus memiliki sumber yang jelas. Dalam hal ini, para ulama’ sepakat bahwa sumber hukum islam yang digunakan yaitu ada empat, Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Serta ada beberapa hukum islam yang tidak disepakati oleh sebagian ulama’ dengan berbagai pertimbangannya masing-masing diantaranya istihsan, istishab, maslahah mursalah, madzhab sahabat, syar’un man qablana, urf, sadd Adz-Dzari’ah. Untuk membahas lebih detail mengenai berbagai macam sumber hukum tersebut, maka kami menulis makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

1.       Apa saja sumber tasyri’ (Mashodirul Ahkam) yang bersumber dari dalil naqli ?
2.       Apa saja sumber tasyri’(Mashodirul Ahkam)  yang bersumber dari dalil aqli ?

1.3 Tujuan Pembahasan

1.       Untuk mengetahui sumber tasyri’ (Mashodirul Ahkam) yang bersumber dari dalil naqli.
2.       Untuk mengetahui sumber tasyri’(Mashodirul Ahkam)  yang bersumber dari dalil aqli.

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mashodirul Ahkam

                Mashodirul ahkam   (مصادر الاحكام) bisa diartikan sebagai sumber-sumber syari’at atau hukum islam. Yang menjadi sumber-sumber hukum islam yaitu sesuai dengan dalil-dalil sumber hukum islam, baik yang naqli maupun aqli. Dalil merupakan sesuatu yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum islam tentang amal perbuatan manusia yang qath’i dan dzanni. Mashodirul ahkam (مصادر الاحكام)  bisa juga disebut ushulul ahkam (اصول الاحكام) atau  adillatul ahkam (ادلة الاحكام). Mashodirul ahkam (مصادر الاحكام) terdiri atas dua dalil yaitu dalil naqli dan dalil aqli, berikut ini penjelasannya.

2.2 Dalil Naqli (نقلى)

                Mashodirul ahkam   (مصادر الاحكام) yang naqli bersumber dari dua sumber, yaitu: Al-Qur’an dan Hadits.
1.       Al-Qur’an
                       Al-Qur’an adalah sumber hukum islam yang pertama. Ayat-ayat Al-Qur’an tidak terbatas pada hukum dan peraturan, tetapi dalam Al-Qur’an juga telah diperkenalkan beratus jenis persoalan yang berbeda-beda. Sekitar lima ratus ayat Al-Qur’an berbicara mengenai hukum. [1] Al-Qur’an adalah otoritas Tuhan, yang dijadikan acuan umum sebagai sumber yang utama dalam menetapkan hukum. Al-Qur’an adalah given atau pemberian yang mutlak harus diterima oleh manusia dan manusia haruslah mengakui bahwa Al-Qur’an sebagai yuridis formal ebagai yang rasional. Ulama ushul fikih mendefinisikan Al-Qur’an adalah suatu perkataan yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah dengan menggunakan bahasa arab agar dijadikan sebagai hujjah, serta dengan cara membaca Al-Qur’an itulah maka orang-orang menghampirkan diri kepada Allah dan menyembah-Nya.[2]
       Adapun unsur pokok Al-Qur’an antara lain sebagai berikut : Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT, Al-Qur’an berbahasa arab, Al-Qur’an sebagai hujjah bagi Rasulullah, Al-Qur’an sebagai undang-undang, Al-Qur’an sebagai ibadah bagi yang membacanya Berikut ini adalah penjelasan dari kelima unsur pokok Al-Qur’an tersebut.
a.       Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT
Wahyu adalah pengetahuan-pengetahuan yang dituangkan Allah ke dalam jiwa nabi agar disampaikan kepada manusia untuk memberi petunjuk serta menjadi sara untuk menggapai kehidupan dunia dan akhirat. Adapun cara Allah menurunkan wahyu tertuang dalam firman Allah surat Asy-Syura ayat 51:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Artinya : Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantara wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seisin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi dan Maha Bijaksana.[3]
b.       Al-Qur’an berbahasa arab
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab. Banyak ayat yang menjelaskan tentang hal ini, diantaranya :
.....وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
Artinya : Dan Al-Qur’an ini berbahasa arab yang nyata. (QS. An-Nahl : 103)
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا
Artinya : Demikian Kami wahyukan kepadamu Al-ur’an dalam bahasa arab. (QS. Asy-Syura : 7). [4]
c.        Al-Qur’an sebagai hujjah bagi Rasulullah
               Disamping Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan Kalamullah yang berbahasa arab, Al-Qur’an juga merupakan hujjah atau buktu bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT. Hal ini pernah dinyatakan sendiri oleh Rasulullah “ Aku ini adalah utusan Allah, buktinya adalahh Al-Qur’an yang aku bacakan kepadamu ini, diwahyukan oleh Allah. Jika kamu masih ragu-ragu bahwa Al-Qur’an ini datangnya dari Allah, tidak masuk diakalmu maka marilah kita bertanding”.[5]
d.       Al-Qur’an sebagai undang-undang
Al-Qur’an adalah kita yang diturunkan untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Maka dari itu Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna, didalamnya mengatur segala macam urusan, sehingga Al-Qur’an dijadikan  pedoman hidup manusia baik di dunia maupun akhirat. Adapun isi Al-Qur’an mencakup dalam lima aspek kehidupan, yaitu menyangkut ibadah, tauhid, janji dan ancaman, jalan dan cara mencapai kebahagiaan, serta sejarah umat sebelum kita. [6]
e.        Al-Qur’an sebagai ibadah bagi yang membacanya
Al-Qur’an adalah  kalam Allah yang merupakan mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW dan membacanya adalah bernilai ibadah.

2.       Hadits
       Hadits merupakan perkataan, perbuatan, dan taqrir atau ketetapan Nabi Muhammad SAW. Dalam ilmu ushul fiqih, lebih sering menggunakan istilah hadits dari pada sunnah. Dalam menggunakan hadits sebagai sumber atau penetapan hukum, para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Diantaranya menurut jumhur ulama memandang bahwa posisi hadits masyhur itu dibawah hadits mutawatir. Sedangkan ulama Hanafiyah mengangap bahwa hadits masyhur sejajar dengan hadits mutawatir.
       Dalam pemakaian hadits ahad juga terdapat perbedaan pendapat, menurut ulama Mu’tazilah dan khawarij  tidak dapat dijadikan hujjah atau dasar pengambilan hukum dengan alasan dalam hadits ahad tersebut kemungkinan terdapat kekeliruan, salah duga, atau kedustaan perawinya. Sedangkan menurut jumhur ulama hadits ahad bisa dipakai dalam menetapkan hukum asalkan bukan hadits dha’if.
       Dalam penggunaan hadits dha’if para ulama juga terdapat perbedaan. Menurut Abu Bakar Ibnu Arabi, hadits dha’if tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum agar melakukan amal-amal yang utama. Sedangkan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalaniy, hadits dhaif dapat digunakan untuk fadhail al-amal dengan syarat : a) Kedha’ifannya tidak terlalu kuat, b) Amal perbuatan yang ditunjuk oleh hadits dha’if bersandar kepada hadits mutawatir atau hadits shahih, c) waktu mengamalkannya tidakmempunyai keyakinan bahwa hadits itu benar-benar datang dari Rasulullah SAW. [7]

2.3 Dalil Aqli

                Dalil aqli merupakan dalil yang bersumber dari akal pikiran manusia. Dalil aqli bersumber dari banyak hal, diantaranya ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahh mursalah, madzab sahaby, syar’u man qablana, ‘urf, serta saddud dzariyah. Diantara beberapa sumber tersebut para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menggunakannya dalam menetapkan hukum. Tetapi sumber yang telah disepakati ulama ada 4, yaitu Al-Qur’an, hadits, ijma’’, dan qiyas. Sementara sumber-sumber selain itu masih terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam menggunakannya.
1.       Ijma’
       Ijma’ adalah kesepakatan (ittifaq) terhadap sesuatu. Pengertian ini dikemukakan oleh Al- Asnamy Nihayassaul lil Asnawi yang menutip pendapat Abu Ali Al-Farisi dalam kitab Al-Idha.[8] Ijma’ dapat pula dikatakan sebagai kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu perkara setelah wafatnya Rasulullah SAW. Realitas kehidupan merupakan sesuatu yang dinamis, sehingga banyak suatu hukum perkara yang belum ditetapkan pada saat Rasulullah hidup, dan banyak peristiwa bermunculan seiring berkembangnya zaman. Oleh karena itu peristiwa tersebut memrlukan ketetapan hukum, maka untuk menetapkan hukum tersebut diperlukan adanya seorang mujtahid. Adapun dasar hukum ijma’ yaitu terdapat dalam QS. An-Nisa’ ayat 59.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa; 59).
       Adapun ulama ushul fiqih menetapkan rukun ijma’ sebagai berikut :
a.       Harus ada beberapa orang mujtahid.
b.       Kesepakatan harus dilakukan oleh mujtahiid di seluruh dunia Islam tanpa memandang suku, ras, atau golongan.
c.        Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid.
d.       Kesepakatan harus bersifat bulat tanpa cacat.
Contoh ijma’ adalah kesepakatan oleh MUI tentang kebolehan membudidayakan kodok, tetapi tidak boleh mengonsumsinya. Singkatnya ijma’ adalah إتفق المجتهدين في الامر. [9]

2.       Qiyas
          Qiyas menurut bahasa yaitu
تقدير شيئ بأخر ليعلم المساواة بينهما
Artinya: mengukur sesuatu kepada sesuatu yang lain agar diketahui persamaannya.
Sedangkan menurut istilah yaitu
ردّ الفرع الى الاصل بعلّة تجمعهما فى الحكم
Artinya : menyamakan cabang pada asalnya karena ilat atau alasan yang mengumpulkannya dalam hukum. [10]
       yaitu menetapkan hukum terhadap suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar atau nashnya dengan cara membandingkan kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ilat antara dua kejadian tersebut. Adapun dasar hukum qiyas yaitu dalam QS. An-Nisa ayat 59.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
 فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa; 59).
                       Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa “Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)” menunjukkan peristiwa yang belum ada ketetapan hukumnya agar dikembalikan pada Al-Qur’an dan hadits dengan jalan membandingkan ilat satu dengan ilat yang lain. Sedangkan rukun qiyas sendiri ada 4 yaitu :
a.       Ashal (pokok), yaitu peristiwa pertama yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Ashal juga disebut maqis alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan).
b.       Far’u (cabang), yaitu peristiwa kedua yang belum ada ketetapan hukumnya, karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar penetapan hukumnya. Far’u juga disebut maqis (yang diqiyaskan).
c.        Hukum ashal, yaitu hukum dari peristiwa yang pertama, yaitu hukum suatu peristiwa yang ditetepkan berdasarkan nash.
d.       Illat, yaitu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu akan dicari pada far’u. [11]Adapun contoh dari qiyas adalah hukum memakan harta anak yatim yaitu hukumnya haram, hal ini berdasarkan nash Al-Qura’n :
ِانَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk yang menyala-nyala.
               Illat memakan harta anak yatim adalah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim. Lalu muncul peristiwa kedua yaitu menjual harta anak yatim. Setelah diteliti ternyata illat dari kedua hal tersebut adalah sama yaitu mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim. Sehingga hukum menjual harta anak yatim hukumnya sama dengan memakan hartanya yaitu haram. Hukum tersebut memenuhi qiyas yaitu:
a)       Ashal                            : memakan harta anak yatim
b)       Far’u                            : menjual harta anak yatim
c)       Hukum ashal              : haram
d)       Illat                               : mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
3.       Maslahah Mursalah
a.       Pengertian Maslahah Mursalah
Dari segi bahasa, kata Al-Maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at, baik artinya ataupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah, seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al’naf’u. [12] Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. maslahah adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Menurut imam al gazali (mazhab syafi’i) maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’, ia memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejala dengan tujuan syara’ sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.
Sedangkan maslahah mursalah :
هو كل مصلحة لم ير د في الشرع نص  على اعتبار ها او بنو عها
“Adalah setiap kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nash syariat (AL-Qur’an dan sunnah ) dalam mengambil pengajaran pada wujud dan macam-macam”
            Menurut  istilah ahli ushul, masalah dapat diartikan kemaslahatan yang disyariatkan oleh syar’I dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan dan menyalahkannya.[13]
            Jadi masalahah mursalah ialah masalah-masalah yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syariah islam, dan tidak di topang oleh sumber dalil yang khusus baik bersifat meligitimasi atau membatalkan maslahat tersebut.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang dipandang  oleh manusia tidak terdapat dalilnya dalam alqur’an dan sunnah baik dalil yang membenarkan maupun dalil yang menyalahkan.
b.       Macam-macam maslahah mursalah
                Maslahah mursalah ada beberapa macam ditinjau dari beberapa segi:
1)       Berdasarkan segi kualiatas  dan kepentingan ke maslahatan.
a)       Maslahah dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Yang termasuk dalam kemaslahatan ini adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta.
b)       Maslahah hajjiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok atau mendasar sebelumnya berbentuk keringan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya dalam bidang ibadah  diberi keringanan meringkas shalat ( menjama’) dan berbuka puasa bagi orang yang musafir dalam bidang muammalah antara lain dibolehkan berburu binatang, melakukan jual beli pesanan.
c)       Maslahah tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap berupa keleluasa yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan begizi, berpakaian yang bagus dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
2)       Berdasarkan segi perubahan maslahah
a)       Maslahah tsabitah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya tetap,tidak berubah sampai akhir zaman. Mislanya berbagai kewajiban ibadah seperti shalat dan lainya.
b)       Maslahah mutaqhairah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti makan makanan yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lainnya.
3) Berdasarkan keberadaan maslahah menurut syara’ mustafah asylabi          pembagianya sebagai berikut:
a)       Kemaslahatan yang di dukung oleh syara’ artinya adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya tentang hukuman atas orang yag meminum-minuman keras.
b)       Hukum yang terdapat dalam alhadist difahami berlainan oleh para ulama’ fiqih.[14] Hal ini disebabkan perbedaan alat memukul yang digunakan nabi Muhammad saw ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminu minuman keras. Ada hadist yang menerangkan alat yang digunakan adalah pelepah kurmah sebanyak 10 kali. Dan ada yang mengqhiyaskan dengan hukuman penuduh zina yaitu 80 kali. Pendapat yang terakhir ini menurut ahli ushul fiqh sangat cocok untuk digunakan sebab di dukung oleh syara’ sebab baik jenis maupun bentuknya disebut muslahah mu,tabarah.
c)       Kemaslahatan yang ditolak oleh syara’ karena bertentangan dengan ketentuan syara’, syara’ yang menentukan bahwa orang yang memlakukan hubunga sexsual disiang hari dalam bulan ramadhan dikenakan hukuman memerdekakan budak, atau puasa selam dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 oarang fakir miskin, dan ulama’ ushul fiqh memberikan pandangan bahwa yang diutamakan adalah puasa dua bualan berturut-turut karena hal yang demikian itu sangat relevan dengan tujuan syara’
d)       Kemaslahatan yang keberadaan tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan syara’ melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini di bagi dua. Kemaslahatan yang tidak di dukung oleh syara’ baik secara rinci maupun umum, tatapi didukung oleh nash, yang disebut maslahah qharibah. Namun mereka tidak dapat memberikan contohnya. Dan kemaslahatan yang kedua disebut maslahah mursalah. Kemaslahatan ini didukung oleh sekumpulan nash walau bukan nash yang rinci.
c.         Syarat-syarat maslahah mursalah
Ada berapa syarat yang harus dipenuhi untuk kemaslatan itu, yakni :
1)       Adanya persesuaian antara maslahat yang di pandang sebagai sumber dalil yang terdiri dari tujuan tujuan syariat.
2)       Maslahat itu harus masuk akal, mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada rasionalis akan diterima.
3)       Pengguna dalil maslahat ini dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi. Dalam pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak di ambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.
4)       harus benar-benar membuahkan maslahah. Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan pembentukan hukum itu mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Jika maslahah itu berdasarkan dugaan atau pembentukan hukum itu mendatangkan kemanfaatan tanpa pertimbangan apakah maslahat itu bisa lahir lantaran pembentukan hukum itu atau tidak berarti maslahat itu hanya diambil berdasarkan dugaan semata. Misalnya, maslahat dalam hal merampas hak suami dalam menceraikan istrinya, kemudian hak talak itu dijadikan sebagai hak qadhi dalam seluruh suasana.
5)       maslahah itu sifatnya  umum, bukan bersifat perorangan, maksudnya ialah bahwa dalam kaitan dengan pembentukan hukum atas suatu kejadian  atau maslahah dapat melahirkan kemanfaatan bagi kebanyakan umat manusia yang benar-benar dapat terwujud atau bisa menolak mudharat , atau tidak hanya mendatangkan kemanfaatan bagi seseorang atau beberapa orang saja, karena itu hukum tidak bisa disyariatkan lantaran hanaya membuahkan kemaslahatan secara khusus kepada pimpinana atau orang-orang tertentu dengan tidak menaruh perhatian kepada kemaslahatan umat. Dengan kata lain kemaslahatan itu harus memberi manfaat bagi seluruh umat.
6)       pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nash dan ijma’. Karena itu tuntutan kemasalahatan untuk mempersemakan antara hak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian harta warisan, merupakan masalah yang tidak bisa di benarkan sebab masalah yang demikian ini adalah batal.
Syarat-syarat di atas tersimpul dalam lima jaminan dasar kemaslahatan manusia sebagai berikut
1)       Keselamatan keyakinana agama.
2)       Keselamatan jiwa.
3)       Keselamatan akal.
4)       Keselamatan keluarga dan keturunan.
5)       Keselamatan harta benda.
Hal ini selaras dengan maqsid as syariah, yakni untuk memelihara lima rukun kehidupan manusia yakni agama, akal, keturunan, harta, dan jiwa.
Lima dasar inilah yang menjadi patokan untuk mengatakan sesuatu itu masalahah atau tidak. Dengan ditetapkanya lima dasar kemaslahatan ini tidak semua yang di anggap maslahat oleh seorang itu menjadi ketentuan dalam menetapakan hukum.
d.        Dalil-dalil masalahah Mursalah
Adanya dalil umum yang diungkap oleh ulama, yang menjadi maslahah         mursalah sebagai hujjah, beberpa diantaranaya adalah sebagai berikut: [15]Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranaya: Sahabat mengumpulkan al qur’an kedalam beberapa mushaf, padahal Rasulullah tidak pernah menyuruh. Dengan tujuan untuk menjaga kitab  ini dari kepunahan. Dan yang lainya adalah khulaurrasidin menetepkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Sebab kalu tidak dibenai dengan ganti rugi maka mereka akan ceroboh dalam memegang amanah dari majikanya. Kemudian contoh yang lain adalah saat umar bin  khattab memerintahkan para penguasa agar memisahakan antara harta kekayaan pribadi dengan harta diperoleh dari kekuasaan agara terhindar dari manipulasi.
4.       Istihsan
a.        Pengertian Istihsan
       Secara etimologi, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik atau menilai sesuatu sebagai baik.[16] Sedangkan menururt istilah ushul fiqih, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.[17] Secara terminologi imam al-Sarakhsi (w.483. H/1090M ahli ushul fiqih Hanafi) menyatakan “Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.”
                       Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
                       Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.
                       Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu. Sementara itu, Ibnu Anbary, ahli fiqih dari mazhab Maliki memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully. Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam mazhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat.[18]
b.       Syarat dan Rukun Istihsan

       Dalam penetapan hukum Istihsan ini, para Ulama Fiqh menetapkan    persayaratan sebagai berikut:[19]
1)       Tidak boleh bertentangan dengan Maqasid Syariah, dalil-dalil kulli, dan juz’i yang qath’i wurud dan dalalahnya, dari nash al-Qur’an dan As-Sunnah.
2)       Kemaslahatan tersebut harus bersifat rasional artinya harus ada penelitian dan pembahasan, hingga yakin hal tersebut memberikan manfaat atau menolak kemudaratan, bukan kemaslahatan yang dikira-kirakan.
3)       Kemaslahatan tersebut bersifat umum
4)       Pelaksanaanya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.

c.        Macam-macam Istihsan
       Dari definisi-definisi diatas secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan terdiri dari dua macam yaitu:[20]
1)       Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Contohnya air sisa minuman burung buas adalah suci dan halal diminum, seperti: sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk diminum, karena sisa minuman tersebut telah tercampur dengan air liurnya, yaitu meng-qiyas-kan kepada dagingya.
                    Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut binatang buas tang tidak langsung bertemu dengan dagingya. Mulut binatang buas terdiri atas daging yang haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, danging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air, jarerna dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan halal menurut Istihsan Qiyasi.
2)       Istihsan Istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini disebut istihsan istitsna’i. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi menjadi beberapa macam sebagai berikut:
a)      Istihsan bi an-Nashsh
          Yaitu perkara pada setiap masalah yang menunjukkan hukum yang bertentangan dan berbeda dengan kaedah yang ditetapkan yang mempunyai nash dari Allah SWT. Contohnya dalam hal wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat.
b)      Istihsan bi al-Ijma’
          Istihsan dengan ijma’ ialah suatu peralihan dari hukum pada satu-satu masalah yang telah menjadi kaedah umum kepada hukum yang diistinbat melalui ijma’. Contoh yang dewasa  ini sering terjadi adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia  pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa  menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya.
c)       Istihsan bi ad-Dharurah
          Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan. Contohnya dalam kasus  sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari  mata air sulit untuk dikeringkan. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa dalam dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis cukup  dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan lainnya.
d)      Istihsan bi al-‘urf
          Yaitu  meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku, baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan. Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’ no dua diatas, yaitu dalam maslah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak airnya  dan lama pemandian yang digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan banyaknya air yang terpakai.
e)       Istihsan bi al- muslahah
          Yaitu mengecualian ketentuan hukum yang belum berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prisnip kemaslahatan. Adapun ulama malikiyyah mencntohkan dengan membolehkan dokter melihat aurat wanita dalam berobat.
d.       Dasar Hukum Istihsan
             Berdasarkan ayat al-Qur’an yaitu “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”(QS. Al-Baqarah (2): 185) dan hadis Rasulullah yakni Anas r.a berkata “Rasulullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”. (HR. Ibnu Bar)[21]
             Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Mazhab Hanafi menurut mereka, istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali, karena menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahah mursalah diperbolehkan, tentulah melakukan istihsan juga begitu karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama. Selain Mazhab Hanafi, mazhab lain yang menggunakan istihsan ialah sebagai Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab Hambali.
             Pendapat istihsan menurut Mazhab Hanafi berbeda dengan Mazhab Syafi’i. Menurut Mazhab Hanafi istihsan ialah semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Mazhab Syafi’i istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Miwafaqaat menyatakan: “Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang benar diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT, menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.
             Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18).
             Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.

5.       Istishab
a.       Pengertian Istishab
Secara etimologi, istishab berarti طلبالصحبة واستمرارها yaitu meminta kebersamaan, atau berlanjutnya kebersamaan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.[22]  Istishab menurut bahasa arab ialah mengakui adanya hubungan perkawinan.  Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh adalah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.[23] Pengertian Istishab menurut para Ahli Ushul Fiqh yaitu :
                “Membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada           masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang kecuali jika                 ada dalil lain yang merubahnya”.
                                Sedangkan menurut Ibn Qoyyim, Istishab  yaitu melanjutkan                ketetapan suatu   hukum yang telah ada atau meniadakan suatu hukum                yang sejak semula tidak    ada.[24]
                Dari segi waktu ai-Istishab dihubungkan dengan tiga waktu yaitu           lampau,                 sekarang dan mendatang.  Dari segi ketetapan ada dua kemungkinan yaitu diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.  Serta dari segi dalil, ketidak adaan      dalil yang mengubah ketetapan masa lalu merupakan kunci dari Istishab.           Apabila terdapat dalil yang mengubah suatu ketetapan, Istishab tidak berlaku     lagi.[25]
b.       Syarat dan Rukun Istishab
                                Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istishab memiliki beberapa ketentuan sebagai berikut:
1)       Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contoh: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu mak B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat perkawinan dengan A dan nelum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan Istishab.
2)       Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang mengubahnya. Contoh: Menurut firman Allah Swt:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (manusia).” (QS. al-Baqarah (2): 29). Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.
3)       Hukum yang ditetapkan dengan yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh hukum yang ditetapkan dengan ragu-ragu.

c.        Macam-macam Istishab
Menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu :
1)       Istishab al-ibahah al-ashliyah
       Yaitu Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu adalah mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang mu’amalat.  Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat itu boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melaranganya.  Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu …”.Ayat diatas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di  bumi untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan.
2)       Istishab al-baraah al-ashliyah
       Istishab yang didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah status itu.[26]  Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan setatusnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali ada bukti yang jelas.  Jadi seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3)       Istishab al-hukm
       Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.  Misalnya: seorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mngubah status hukum itu, seperti duijual atau di hibahkan kepada pihak lain.
4)       Istishab al-washf
       Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti  yang mengubahnya.  Misalnya: sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.
d.       Dasar Hukum Istishab
Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah.
Contoh Istishab: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
 Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.
Jadi diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam suatu negara atau keputusan pemerintah, maka istishab ini adalah kaidah yang selalu diperhatikan oleh setiap pembuat undang-undang atau peraturan.
e.        Perbedaan Pendapat Ulama’ tentang al-Istishab
Para ulama’ Ushul Fiqh seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga macam Istishab yang disebut pertama distas adalah sah  dijadikan landasan hukum.  Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat yaitu istishab al-washf.  Dalam hal ini ada dua pendapat :
1)       Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa Istishab al-washf dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada.
2)       Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa, Istishab al-washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.
6.       ‘Urf
a.       Pengertian urf
Secara etimologi, urf (العرف ) yang artinya sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi, yakni seperti yang dikemukakan oleh Abdul karim Zaidah dalam  Ushul Fiqh  Nasrun Haroen istilah ‘urf yaitu :[27]
ما ألفه المجتمع واعتاده وسار عليه فى حياته من قول أو فعل 
“Segala sesuatu yang tidak asing lagi di dalam sebuah masyarakat karena telah menjadi suatu kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan”.
Istilah urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian al-adah (adat istiadat). Contoh urf berupa perbuatan atau kebiasaan disatu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan sehari-hari seperti garam, tomat dan gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa harus mengucapkan ijab dan qobul.
b.          Macam-macam urf
Para ulama ushul fiqh membagi urf kepada tiga macam diantaranya:[28]
1)       Dari segi objeknya, urf dibagi menjadi dua macam yaitu al-urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan
a)       al-urf al lafzhi
al-urf al lafzhi merupakan kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkap sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging memiliki bermacam-macam daging. Lalu pembeli mengatakan “saya membeli daging satu kilogram,” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi
b)       al-urf al-‘amali
al-urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud dengan perbuatan biasa asalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakai tertentu dalam acara-acara khusus
Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiaasaan masyarakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya. Kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli tersebut berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
2)       Dari segi cakupannya, urf terbagi menjadi dua macam yairu al-urf al-am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khash(kebiasaan yang bersifat khusus)
a)       Al-urf al-am
al-urf al-am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah misalnya dalam jual beli beli mobil maka seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan bang serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
b)       Al-urf al-Khas
al-urf al-khas adalah kebiaasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terjadi cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, maka konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan seperti penentuan masa garansi disuatu barang.
3)       Dilihat dari segi keabsahannya maka urf terbagi menjadi dua yaitu al-urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf al fasid (kebiasaan yang dianggap rusak)
a)       Al-urf al-Shahih
    Al urf Al-Shahih adalahkebiasaan yang berlaku di tengah tengah masyarakat yang tidak bertentang dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tudak pula membawa mudharat kepada mereka. Mislanya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan ini tidak dianggap sebagai mas kawin
b)       Al-urf al fasid
Adalah kebiasaan yang yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada didalah syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedaagang.
c.        Syarat-syarat urf
Adapun syarat-syarat urf untuk dijadikan landasan hukum adalah sebgai    berikut:[29]
1)       urf itu berlaku umum artinya dapat diberlakukan untuk msyoritas persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat
2)       urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya ‘urf itu lebih dulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3)       urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi
4)       urf tidak bertentangan dengan nash, sehingga hukum yang dikandung nash bisa diterapkan

7.       Syar’u Man Qoblana
Syaru’u Man Qoblana artinya syariat atau ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan suatu hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain.[30]Hal ini dibicarakan dalam ilmu ushul fiqh agar kita mengetahui boleh tidaknya mengikuti peraturan-peraturan agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Waslam
Mengenai persoalan boleh dan tidaknya berhujjah dengan syariat umat sebelum Muhammad tersebut ada hal-hal yang diperselisihkan dan ada pula yang disepakati[31]
a.       Hal-hal yang disepakati
                                Mengenai hukum-hukum agama sebelum islam yang ternyata telah dihapus oleh islam, ulama sepakat tentag tidak boleh beramal dengannya. Mengenai hukum-hukum agama sebelum islam, yang mana syariat islam yaitu Al-qur’an dan Hadis telah menetapkan hukum tersebut, para ulam sepakat tentang wajibnya setiap muslim mengamalkannuya
b.       Hal-hal yang diperselisihkan
                                Yaitu nash Al-qur’an atau matan hadis yang meriwayatkan tentang peraturan atau hukum agama sebelum islam sedangkan nash atau matan hadis tidak secara tegas melarang kita mengikutinya. Sebagai contoh firman Allah Subhanahu Wata’alla dalam surah Al-maidah ayat 45
Sehubungan dengan ayat diatas perbedaan para ulama terbagi menjadi dua golongan, pertama pendapat bahwa yang demikian wajib diikuti dan diamalkan karena dengan diceritakanny apada kita berarti merupakan syariat bagi kita, yang dibawa oleh rasul juga. Yang berpendapat demikian adalah golongan Hnafiyyah, sebagian Malikiyyah dan syafi’iyah.
Adapun pendapat golongan kedua, bahwa peraturan atau hukum syariat sebelum islam tidak boleh kita amalkan, karena kedatangan syariat islam menghapus sekaligus hukum-hukum syariat yang terdahulu. Kecuali ada ketegasan untuk itu dan dibenarkan atau diperintah oleh islam seperti misalnya sabda Nabi Shalallahu Alaihi Waslam yang berbunyi.
       Abdul Wahhab Khalaf dalam bukunya” Ilmu Ushul al-Fiqh menjelaskan bahwa yang terkuat diantara kedua pendapat tersebut adalah pendapat yang pertama. Alasannya bahwa syariat islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat islam. Oleh karena segala hukum syariat para Nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Qur’an tanpa ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah di nask (dihapus) maka hukum-hukum berlaku nagi umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Disamping itu disebutnya hukum-hukum itu dalam Al-qur;an yang merupakan petunjuk bagi umat islam menunjukkan berlakunya bagi umat Muhammad Shallallahu Alaihi Waslam. [32]
8.         Mazhab Shahabi
Yang dimaksud dengan mazhab shahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam tentang suatu kasus dimana hukum-hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.[33]
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat menurut ulama ushul fiqh adalah”seseorang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersama dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam. Adapun sebagian ulama mempersingkat identitas sahabat itu dengan orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam serta hidup bersamanya yang cukup lama.[34]
Abdul Karim Zaidan dalam Ushul Fiqh Satria Effendi membagi pendapat sahabat kedalam empat kategori:
a.       fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya fatwa Ibnu Mas’ud bahwa batas minimal waktu haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka terima dari Rasullullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa semacam ini disepakati menjadi landasan hukum bagi generasi sesudahnya
b.       fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka dikenal dengan ijma sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
c.        fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat lain. Para mujtahid dikalangan sahabat memang sering berbeda pendapat dalam satu masalah, namun dalam hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat (diikuti ) sahabat yang lain
d.       fatwa sahabat secara perorangan yang di dasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
9.         Saad al dzari’ah
Kata sadd menurut bahasa artinya menutup  dan kata dzari’ah artinya wasilah atau “jalan kesuatu tujuan” jadi secara bahasa berarti “ menutup jalan kepada suatu tujuan”.[35] Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukan imam As-syatibi sadd Adz-Dzari’h adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd adz -dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan .[36]
Hibbah yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa ikatan apa-apa dalam syariat islam perupak perbuatan yang baik yang mengandung kemashlahatan. Akan tetapi, bila tujuannya tidak baik misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan, bahkan huku zakat itu wajib sedangka hibbah adalah sunnah
Menurut imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menyebabkan suatu perbuatan itu dilarang yaitu
a.       Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan
b.       Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan
c.        Perbuatan yang diperbolehkan syara’ mengandung lebih banyak kemafsadatannya.

KESIMPULAN

1. Mashodirul Ahkam atau sumber tasyri’ yang bersumber dari dalil naqli ada dua yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an adalah sumber hukum islam yang pertama. Al-Qur’an adalah otoritas Tuhan, yang dijadikan acuan umum sebagai sumber yang utama dalam menetapkan hukum. Al-Qur’an adalah given atau pemberian yang mutlak harus diterima oleh manusia dan manusia haruslah mengakui bahwa Al-Qur’an sebagai yuridis formal sebagai yang rasional. Ulama ushul fikih mendefinisikan Al-Qur’an adalah suatu perkataan yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah dengan menggunakan bahasa arab agar dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan Hadits merupakan perkataan, perbuatan, dan taqrir atau ketetapan Nabi Muhammad SAW.
2. Mashodirul Ahkam atau sumber tasyri’ yang bersumber dari dalil aqli ada 9 yaitu ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahah mursalah, madzhab sahabat, syar’un man qablana, urf, sadd Adz-Dzari’ah.
3. Dari beberapa sumber tersebut, kita juga mengenal ada sumber hukum yang disepakati dan tidak disepakati. Adapun sumber hukum yang disepakati oleh para ulama yaitu ada 4, meliputi Al-Qur’an,  hadits, ijma’ dan qiyas. Sedangkan sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama antara lain istihsan, istishab, maslahah mursalah, madzhab sahabat, syar’un man qablana, urf, sadd Adz-Dzari’ah.

DAFTAR PUSTAKA

Mutahhari, Murtadha dan Baqir Ash-Shadr. 1993.  Pengantar Ushul Fiqh Dan Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Tharaba, Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i. Malang : CV Dream Litera Buana.
Sebani, Beni Ahmad. 2017. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia. 
Hadi, Saeful. 2009. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Sabda Media.
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul fiqih. Bandung : Pustaka Setia.
Dahlan, Abd. Rahman. 2014. Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH.
Sanusi, Ahmad. 2015. Ushul Fiqih. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Zahrah , Muhammad Abu. 1999. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Syarifudin, Amir. 2008. Ushul Fiqih jilid 2. Jakarta: Prenada Media Group.
Nur, Saifudin. 2007.  Ilmu fiqh; suatu pengantar komprehensip kepada hukum islam. Bandung: HUMANIORA.
Bakry, Nazar. 1993. Fiqih dan usul fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mubarok,  Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.
Sohari. 2015. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Haroen,  Narun. 1996. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos.
Zein, Satria Effendi M. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Haroen, Hasrun. 1998. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bakry, Nazar. 2003.  Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
 Dahlan. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana.
 Khalaf. 1995.  Ilmu Ushul Fikih, diterjemahkan oleh Halimuddin.  Jakarta: Rineka Cipta.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Harun, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Effendi, Satria. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syafe’i, Rachmat. 1998. Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.

 



[1] Murtadha Mutahhari dan Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushul Fiqh Dan Ushul Fiqh Perbandingan,  (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 142.
[2] Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i, (Malang : CV Dream Litera Buana,2016). hlm. 77
[3] Ibid, hlm. 79-80

[4] Ibid, hlm. 80
[5] Ibid, hlm. 83
[6] Ibid, hlm. 85
[7] Ibid, hlm. 95-96
[8] Beni Ahmad Sebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), hlm. 165
[9] Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i, op.cit. hlm. 113
[10] Saeful Hadi, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Sabda Media, 2009), hlm. 108
[11] Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i, op.cit. hlm. 123
[12]Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul fiqih, (Pustaka Setia, 1999), hlm. 117
[13]Zurifah nurdin, ushul fiqih 1, 2012, hlm. 56
[14]Ibid, ilmu ushul fiqih, hlm. 122
[15]Syafe’I, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. (Pustaka Setia : Bandung, 1999), hal.167
[16]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH, 2014), hal. 197
[17]Ahmad Sanusi, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hal. 75
[18]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hal. 401
[19]AmirSyarifudin , Ushul Fiqih jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Group. 2008), hal. 319
[20]Saifudin Nur, ilmu fiqh; suatu pengantar komprehensip kepada hokum islam, (Bandung: HUMANIORA, 2007), hal. 55
[21]Nazar bakry, fiqih dan usul fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 61
[22]Jaih Mubarok,  Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hal. 133
[23]Sohari, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hal. 86
[24]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1988), hal. 137
[25]Ibid, hal. 133-135
[26]Narun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996),  hal. 114
[27]Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) Cet.1, hal. 153
[28]Hasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1998) hal. 139
[29]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003) hal. 238
[30]Abdrahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta, Amzah, 2011) hal. 230
[31]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, ( Jakarta: Kencana, 2010) hal.167
[32]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, diterjemahkan oleh Halimuddin, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1995) hal. 110
[33]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) hal. 169
[34]Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hal. 155
[35]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) hal. 172
[36]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 132

Komentar