MASA KEEMASAN DINASTI ABBASIYAH


MASA KEEMASAN DINASTI ABBASIYAH
(Perkembangan Ilmu Pengetahuan,
Tokoh Ilmuan, Ulama’ dan Pusat Peradapannya)



Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari dinasti Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad Saw. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M)[1].
Seiring dengan stabilnya kondisi social politik terutama pada masa pertengahan pemerintahan Abbasiyah, aktivitas pendidikan dan ilmu pengetahuan berkembang dengan begitu mengagumkan. Peradaban Islam menapaki zaman keemasan (The Golden Age). Zaman keemasan Islam berlangsung pada zaman dinasti Abbasiyah merupakan fakta sejarah. Perbandingan kemajuan yang pernah diperoleh antara masa Nabi, Khilafah Rasyidah, kekuasaan Bani Umayyah dengan kekuasaan Dinasti Abbasiyah juga sangat signifikan. Kalau kemajuan Islam pada masa Nabi dapat disebut sebagai kemajuan di bidang agama dan politik, pada masa khalifah Rasyidah sebagai kemajuan politik dan militer, pada masa Bani Umayyah sebagai kemajuan politik, ekonomi dan militer, maka kemajuan Dinasti Abbasiyah menambah panjang pencapaian kemajuan itu yakni politik, militer, ekonomi, sains dan perdaban.
Pada bidang pendidikan pemerintahan Abbasiyah memberikan catatan sejarah yang sangat istimewa. Produk pendidikan Islam pada babak ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kebangkitan peradaban Eropa. Perkembangan intelektual dimulai dengan diterjemahkannya khasanah intelektual Yunani klasik seperti filsafat Aristoteles, Khalifah sendiri mengalokasikan anggaran khusus untuk menggaji para penterjemah. Penerjemahan buku-buku Yunani merupakan salah satu factor dalam gerakan intelektual yang dibangkitkan dalam dunia Islam abad ke -9 dan terus berlanjut sampai abad ke -12.
Hasil terjemahan-terjemahan filsafat dan pemikiran Yunani kemudian memberikan kontribusi besar bagi perkembangan filsafat, pemikiran dan sains Islam[2]. Meski demikian, dalam masalah ini, harus segera dikatakan bahwa hal itu bukan berarti pemikiran dan filsafat Islam berasal dari Yunani, atau bahwa Islam tidak mempunyai pemikiran filosofis dan rasional sendiri yang orisinal seperti dituduhkan Renan dan Duhem;
Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru semata. Suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles, misalnya, jelas merupakan murid Plato (427-348 SM)[3], tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula Barush Spinoza (1632-1777 M) walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M) tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri.
Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filosof muslim. Al-farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M)[4], walau sebagai murid Aristoteles, tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak sama dengan gurunya. Para filosof muslim secara umum hidup dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof lainnya, sehingga adalah suatu kesalahan jika kita mengabaikan pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori mereka.
Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Tercatat dalam sejarah, terjemahan buku-buku filsafat Yunani yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan pemikiran dan filsafat Islam baru di mulai pada masa al-Makmun oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq.
Pada masa-masa ini, system berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Atha (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn al-Allaf (725-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Muammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mutamir (w. 840 M). begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan istila-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbath dengan menggunakan rasio seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M).
Perkembangan Peradaban Pendidikan dan Gerakan Intelektual
            Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat;
1.      Maktab/Kuttab dan Masjid
Maktab atau Kuttab dan masjid yaiutu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fiqh dan bahasa.
2.      Tingkat Pendalaman
Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama.
            Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass[5]. Kekuasaannya berlansung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).

Daftar Pustaka
Khaled Abou El Fadl, Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab,
            (Jakarta: Serambi, 2000).
George A Makdisi, dkk, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intetelktual dan
            Budaya Islam dan Pengaruhnya Terhadap Renaisans Barat, (Jakarta: Serambi,
            2005).
Emmanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal
            Milenium III, (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
M. Hadi Masruri dan Fuad Mustafid, Ibn Thufail: Jalan Pencerahan Mencari Tuhan,
            (Yogyakarta: Lkis, 2005).
Dirjen Pendidikan Islam. Sejarah Kebudayaan Islam Kurikulum 2013, (Jakarta: Kemenag,
            2015).


[1] Khaled Abou El Fadl, Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, (Jakarta: Serambi, 2000), h. 537.
[2] George A Makdisi, dkk, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intetelktual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya Terhadap Renaisans Barat, (Jakarta: Serambi, 2005), h. 30.
[3] Emmanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 237.
[4] M. Hadi Masruri dan Fuad Mustafid, Ibn Thufail: Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, (Yogyakarta: Lkis, 2005), h. 26.
[5] Dirjen Pendidikan Islam. Sejarah Kebudayaan Islam Kurikulum 2013, (Jakarta: Kemenag, 2015), hal. 67.

Komentar