MAQASIDUL AHKAM: DLARURIYYAT, HAJIYYAT, TAHSINIYYAT


MAQASIDUL AHKAM: DLARURIYYAT, HAJIYYAT, TAHSINIYYAT

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Syari’at Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, merupakan rahmat bagi alam semesta. Tujuan pentasyri’an syari’ah Islamiyyah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan bagi seluruh umat, sehingga manusia memperoleh kemaslahatan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat[1]. Meskipun demikian, pembahasan tentang kemaslahatan sebagai tujuan hukum ini menjadi perdebatan di kalangan ulama Mutakalimin karena menyangkut dengan persoalan teologis[2]. Pada masa awal Islam istilah maslahah sebagai tujuan hukum Islam belumlah menjadi istilah teknis sebagai mana yang dipahami pada masa kini. Istilah maslahah dalam al-Qur’an hanyalah dimaksudkan untuk makna kebaikan dan kemanfaatan.
Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW sebagai sumber utama hukum Islam selain menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya juga dengan ruh tasyri’ atau Maqasid al-Ahkam. Melalui Maqasid Ahkam inilah ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang secara kuantitatif sangan terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Quran dan Sunnah. Dengan pencetusan sebuah hukum syari’ah, maka butuh tujuan-tujuan yang lebih mengarah kepada kemslahatan yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya. Allah tidak serta merta memberikan sebuah hukum yang tanpa mempertimbangkan kepentingan dan kemaslahatan hambaNya. Maka dari itu ada tujuan-tujuan dalam hukum syari’ah yang terdiri dari dloruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Dlaruriyyat

 ضروريات adalah kebutuhan yang tidak boleh tidak, harus ada, karena kalau tidak ada, menyebabkan hidup manusia menjadi tidak ada. Dimaksudkan dengan dlaruriyat adalah perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat esensial bagi sendi-sendi kehidupan manusia, bila sendi-sendi tesebut tidak terwujud, makan akan menimbulkan ketidaksengajaan kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat, bahkan merusak kehidupan itu sendiri. Kebutuhan hidup yang dharuri ini hanya bisa dicapai dengan terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyah al-khams yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan saja oleh ulama Islam melainkan juga oleh seluruh agamawan[3].
Dalam kaitan dengan Maqasidut Tasyri’ (مقاصد التشريع) ada yang menyebut Ahdafut Tasyri’ (اهداف التشريع) ضروريات  ini berkaitan erat dengan (مقاصد الشريعة) tujuan-tujuan syari’ah yang lima (5), yaitu:
a)       (حفظ الدين) menjaga agama, Allah SWT berfirman dalam QS. Al-A’raf [2]: 132, sebagai berikut.
وَوَصَّىٰ بِهَآ إِبۡرَٰهِ‍ۧمُ بَنِيهِ وَيَعۡقُوبُ يَٰبَنِيَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰ لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya´qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam"
b)       (حفظ النفس) menjaga diri atau jiwa, Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 93, sebagai berikut.
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمٗا  
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.
c)       (حفظ العقل) menjaga akal, Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah [5]: 90-91, sebagai berikut.
يٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٩٠ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةَ وَٱلۡبَغۡضَآءَ فِي ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِ وَيَصُدَّكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِۖ فَهَلۡ أَنتُم مُّنتَهُونَ ٩١
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan {90} Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu) {91)
d)       (حفظ النسل) menjaga keturunan, Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Isra’ [17]: 32, sebagai berikut.
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk
e)       (حفظ المال واالعرض) menjaga harta dan kehormatan, Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah [5]: 38, sebagai berikut.
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dalam مقاصد الشريعة  yang lima ini ada skala prioritas; apabila ada pertentangan yang diutamakan adalah mulia urutan yang pertama. مقاصد الشريعة yang lima ini harus (التحقيق والايجاد) diwujudkan; harus riel dan (المحافظة على بقائها) dijaga ketetapannya; kelestariannya secara terus-menerus (إستمرار)[4].
Menurut al-Syatibi, penetapan kelima pokok di atas berdasarkan atas dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis. Di antara ayat-ayat itu adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan shalat, larangan membunuh jiwa, larangan meminum minuman yang memabukkan, larangan berzina, dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Setelah mengadakan penelitian yang cermat, dapat diambil kesimpulan bahwa oleh karena dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan al-kulliyat al-khams termasuk dalil qath’i, ia juga dapat dikelompokkan sebagai qath’i[5].

2.2 Definisi Hajiyyat

حاجيات  adalah kebutuhan-kebutuhan yang kalau tidak terpenuhi, hidup menjadi berat. حاجيات  ada, dalam rangka untuk menolak kesulitan (لدفع المشقة), seperti sholat yang lima (5) waktu, jadi waktu (3) karena adanya keringanan yang diberikan oleh Allah disebakan berpergian yang membolehkan menjama’ dan mengqosor sholat[6].
Maksud-maksud hajiyat, ialah segala sesuatu yang dihajati oleh masyarakat untuk menghindari musyaqqah (kesulitan). Apabila sesuatu hajiyat ini tidak berwujud, tiadalah menjadi cidera kehidupan, hanya menimbulkan kesulitan dan kesempitan saja. Hajiyah juga adalah kemaslahatan yang tidak secara langsung memenuhi kebutuhan pokok, akan tetapi secara tidak langsung menuju ke arah tersebut dalam hal memberikan kemudahan bagi pemenuhan kehidupan manusia[7].
Islam mensyariatkan untuk hal-hal yang bersifat hajiyyah bagi manusia. Hal-hal yang bersifat hajiyyah manusia mengacu kepada sesuatu yang menghilangkan kesulitan dari mereka, meringankan beban taklif dari mereka. Dimaksudkan dengan hajiyyat, adalah merupakan pemenuhan hal-hal yang dibutuhkan manusia untuk menghilangkan kesulitan dan meringankan beban yang memberatkan manusia dalam hidupnya. Bobot kepentingan ini berada di bawah kadar kepentingan dharuri, tidak tersedianya hal-hal yang termasuk dalam kategori ini akan menyebabkan manusia hidup dalam kesulitan, tetapi tidak sampai mengancam eksistensinya. Kebutuhan hidup yang bersifat hajjiyat ini terdapat dalam ibadah, adat, mua’malat, dan jinayat. Terpeliharanya tujuan hajjiyat hukum Islam dalam ibadat umpamanya dapat tercapai dengan adanya hukum rukhshah yang berbentuk dispensasi untuk menjamak atau mengqashar shalat bagi mereka yang sedang dalam perjalanan[8].
                     

2.3 Definisi Tahsiniyyat

تحسنيات adalah kebutuhan-kebutuhan yang kalau tidak ada, kehidupan yang menjadi tidak indah. Tasyri’ jangan menjadi pemberat, tapi adalah sebuah jalan untuk meringankan; memperindah; memperstandarkan hidup (tidak ada kesan berat atau tapi indah). Sebagai contoh Husen bin Ali pernah ditanya Yahudi, kenapa memakai kuda (kendaraan) dan pakaian yang paling bagus dan mewah, bukankah Mbahnya (Nabi Muhammad saw) mengatakan,
الدنيا سجن المؤمين وجنة الكافر
Dunia adalah penjara bagi muslim, dan surga bagi orang kafir”.
Lalu Husen bin Ali mengatakan (سجن) itu bukan diartikan begitu, tapi sebuah tempat yang sarat dengan aturan. Indah tidak harus mahal, tapi mahal tidak apa-apa.[9]
Dimaksudkan dengan tahsiniyat adalah mewujudkan hal-hal yang dapat menunjang peningkatan marwah dan martabat seseorang dalam masyarakat sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi, selera dan rasa agar dapat lebih mampu mengelola persoalan kemasyarakatan. Tahsiniyah juga adalah kemaslahatan yang perlu dipenuhi dalam rangka memberikan kesempurnaan serta keindahan bagi hidup manusia. Pencapaian tujuan tahsiniyat ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang mulia atau akhlak al-karimah, yang tercakup di dalamnya etika hukum, baik hukum ibadah, mu’amalah, dan jinayah. Etika hukum ibadah seperti tercermin pada adanya keharusan membersihkan badan, berhias, melaksanakan shadaqah, dan dan menganjurkan untuk mempergunakan perhiasan di setiap masjid.[10]. Terkait hukuman, agama Islam mengharamkan membunuh para pendeta, anak-anak, kaum wanita dalam jihad. Islam melarang penyiksaan dan penghianatan, membunuh orang yang tak bersenjata, membakar orang mati dan orang hidup[11].

2.4 Kedudukan Dlaruriyyat, Hajiyyat, dan Tahsiniyyat

Di atas telah disebutkan bahwa untuk menetapkan sebuah hukum, kelima unsur pokok di atas dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Urutan tingkat ini akan terlihat kepentingannya, ketika kemaslahatan yang ada pada tingkat masing-masing tingkatan itu satu sama lain bertentangan. Dalam hal ini, peringkat dharuriyyat meningkati tingkat pertama, disusul oleh peringkat hajiyyat, kemudian disusul oleh tahsiniyyat. Namun dari sisi lain, dapat dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua, dan peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.
Yang dimaksud dengan memelihara kelompok dharuriyyat adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat primer dalam kehidupan manusia. Kebutuhan primer itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dalam batas jangan sampai terancam eksistensi kelima kebutuhan pokok itu. Tidak terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok diatas.[12] Berbeda dengan kelompok dharuriyyat, kebutuhan dalam kelompok hajjiyat tidak termasuk dalam kebutuhan yang esensial, tidak kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok kebutuhan ini tidak akan mengancam eksistensi kelima pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi seseorang. Kelompok ini erat kaitannya dengan rukhsah atau keringanan dalam ilmu fiqh. Sedangkan, kebutuhan dalam kelompok tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Allah SWT.
Pada hakikatnya, baik kelompok dharuriyyat, hajiyyat,maupun tahsiniyyat dimaksudkan untuk memelihara dan mewujudkan kelima pokok diatas. Hanya saja, peringkat kepentingannya berbeda satu sama lain. Kebutuhan dalam kelompok pertama dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer, yang apabila kelima pokok itu diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok itu. Kebutuhan dalam kelompok kedua dapat dikatakan sebagai kebutuhan sekunder. Artinya, apabila kelima pokok dalam kelompok ini diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensinya, tetapi akan mempersempit dan mempersulit kehidupan manusia. Sedangkan, kebutuhan dalam kelompok ketiga erat kaitannya dengan upaya untuk menjaga etiket sesuai dengan kepatutan dan tidak akan mempersempit, apalagi mengancam eksistensi kelima pokok tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebutuhan dalam kelompok ketiga lebih bersifat komplementer dan pelengkap.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas bagaimana operasional tentang teori maqashid al-syari’ah, dibawah ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan sesuai dengan peringkatnya masing-masing. Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[13] Kemudian, dari masing-masing kelima kelompok itu akan dilihat berdasarkan tingkat kepentingan atau kebutuhannya.
Dalam masing-masing peringkat sebagaimana dijelaskan diatas, terdapat hal-hal yang sifatnya penyempurna terhadap pelaksanaan tujuan hukum syari’at Islam. Misalnya, dalam peringkat dharuriyyat, ditetapkan batas minimal minuman yang memabukkan dalam rangka memelihara akal, akan ditetapkan adanya pertimbangan dalam hukum qishas, untuk memelihara jiwa. Dalam peringkat hajiyyat, misalnya, ditetapkan khiyar dalam jual beli untuk memelihara harta, atau ditetapkan adanya khafa’at dalam perkawinan, untuk memelihara keturunan. Sedangkan, dalam peringkat tahsiniyyat, misalnya, ditetapkan tata cara thaharah dalam rangka pelaksanaan shalat, untuk memelihara agama.
Mengetahui urutan peringkat maslahat di atas menjadi penting artinya, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, ketika kemaslahatan yang satu berbenturan dengan yang lain. Dalam hal ini tentu peringkat pertama, dharuriyyat, harus didahulukan daripada peringkat yang kedua, yakni hajiyyat, dan peringkat ketiga, tahsiniyyat. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk peringkat kedua dan ketiga, manakala kemaslahatan yang masuk pertama terancam eksistensinya. Misalnya, seseorang diwajibkan untuk memelihara eksistensi jiwanya. Makanan dimaksud harus makanan yang halal. Apabila pada suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal, padahal ia akan mati kalau tidak makan, dalam kondisi tersebut ia diperbolehkan makan makanan yang diharamkan demi menjaga eksistensi jiwanya.
Makan dalam hal ini termasuk menjaga jiwa dalam peringkat dharuriyyat, sedangkan memakan makanan yang halal termasuk memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat. Jadi, harus didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat dharuriyyat daripada peringkat hajiyyat. Begitu pula halnya apabila peringkat hajiyyat, peringkat hajiyyat harus didahulukan daripada peringkat tahsiniyyat.
Sebagai contoh, melaksanakan shalat berjamaah termasuk peringkat hajiyyat. Sedangkan, persyaratan adanya imam yang shaleh dan tidak fasik termasuk tahsiniyyat. Jika dalam satu kelompok umat Islam tidak terdapat imam yang memenuhi persyaratan tersebut, dibenarkan berimam kepada imam yang fasik, demi menjaga shalat berjamaah yang bersifat hajiyyat itu.
Gambaran di atas hanya terbatas pada hal yang berbeda peringkatnya. Adapun dalam kasus yang sama peringkatnya, seperti peringkat dharuriyyat dengan peringkat dharuriyyat, peringkat hajiyyat dengan peringkat hajiyyat, dan peringkat tahsiniyyat dengan peringkat tahsiniyyat, kemungkinan penyelesaiannya adala sebagai berikut.
1.              Jika perbenturan itu terjadi dalam urutan yang berbeda dari lima pokok kemaslahatan tersebut, skala prioritas didasarkan pada urutan yang sudah baku, yakni agama harus didahulukan dari jiwa, jiwa harus didahulukan dari akal, akal harus didahulukan dari keturunan, dan keturunan harus didahulukan dari harta. Dengan kata lain, urutan kelima pokok kemaslahatan itu sudah dianggap baku dan mempunyai pengaruh atau akibat tersendiri. Adanya, pembakuan urutan ini hanya didasarkan pada penelitian yang dikemukakan oleh pencetus teori ini. Namun apabila dicermati, di antara kelima unsur itu memelihara jiwa merupakan unsur yang sentral dalam kaitannya dengan kemaslahatan yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, dalam kasus tertentu, memelihara jiwa dapat didahulukan daripada memelihara keyakinan.
2.              Jika perbenturan itu terjadi dalam peningkatan dan urutan yang sama, sama-sama menjaga harta atau menjaga jiwa dalam peringkat dharuriyyat, mujtahid berkewajiban meneliti dari segi cakupan kemaslahatan itu sendiri atau adanya faktor lain yang menguatkan salah satu kemaslahatan yang harus didahulukan. Misalnya, penggunaan tempat tertentu untuk jalan atau pengairan kadang-kadang berbenturan dengan hak milik seseorang yang harus dilepaskan, demi kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, kepentingan orang banyak harus didahulukan daripada kepentingan perorangan. Kedua kemaslahatan ini berada pada peringkat hajiyyat, dalam rangka memelihara harta[14].
Adapun menurut buku falsafah hukum Islam karya Hasbi Ash-Shiddieqy[15] menjelaskan bahwa hukum-hukum islam berlebih kurang kedudukannya, mengingat kedudukan maslahat tidak sederajat semuanya. Maka hukum islam pun tentu sedemikian pula. Para ulama menetapkan bahwa segala tuntutan syara’ tentulah berlebih kurang kedudukannya menurut tuntutan itu sendiri. Demikian itu pula segala yang diharamkan, karena kerusakan-kerusakan yang timbul dari padanya dan kerusakan-kerusakan ini berlebih kurang keadaannya, menurut larangan itu sendiri.
Hasbi Ash-Shiddieqy mengutip dari perkataan Izzuddin ibn Abdis Salam, membagi kemaslahatan kepada tiga, yaitu:
Pertama, maslahat yang Allah wajibkan untuk hamba-Nya, kurang utama dan ada yang kurang utama dan ada yang pertengahan. Maslahat yang utama, adalah maslahat yang menolak segala kerusakan yang aling buruk, dan mendatangkan kemaslahatan yang paling kuat. Bagian ini wajib kita kerjakan. Sesungguhnya kewajiban-kewajiban itu berlebih kurang kedudukannya menurut kemaslahatan yang dikandungnya.
Kedua, hukum-hukum yang disunnatkan untuk mengadakan perbaikan bagi para hamba. Martabat sunnat walaupun yang tertinggi daripadanya, namun dia terletak dibawah martabat wajib. Martabat-martabat sunnat berlebih kurang, dari atas turun kebawah hingga ada yang dekat kepada mubah.
Ketiga, maslahat-maslahat dari hukum-hukum yang mubah. Hukum-hukum yang mubah tidaklah lepa dari sesuatu maslahat atau menolak sesuatu mafsadat[16].
Sedangkan untuk perbuatan yang merusak Izzuddin membagi menjadi dua bagian:
Pertama, yang diharamkan Allah kita mengerjakannya.
Kedua, yang dibenci Allah kita mengerjakannya.
Yang diharamkan Allah ada dua martabat:
Martabat Kaba-ir (dosa-dosa besar), yang terbagi kepada kabir (besar), akbar (paling besar) dan ausath (sedang).
Haram yang akbar, adalah haram yang paling besar kerusakannya. Demikianlah terus mengecil, hingga sampailah kepada kerusakan yang seimbang dengan sebesar-besar dosa kecil.
Martabat Shagha-ir (dosa-dosa kecil).
Dosa-dosa ini terus mengecil hingga kepada derajatsetinggi-tinggi perbuatan makruh, atau setinggi-tinggi kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan makruh dan perbuatan makruh itu mengecil kerusakannya hingga pada pekerjaan-pekerjaan mubah.
Oleh karena kemaslahatan (jalbul manfa’ah wa daf’ul mafsadah = mengambil manfaat dan menolakkerusakan) yang menjadi tujuan hukum taklifi dan hukum wad’i, maka segala hukum islam memperhatikan unsur kemaslahatan perorangan. Kemaslahatan perorangan tetap dihargai selama tidak berlawanan dengan kemaslahatan umum. Orang yang memakan makanan orang lain yang sangat diperlukan oleh pemiliknya dipandang bersalah karena menimbulkan kemelaratan bagi orang lain itu.
Karenanyalah Islam menetapkan bahwa dharurat itu, ialah keadaan yang mengancam kemaslahatan apabila tidak mengerjakan yang haram itu. Inilah gerangan sebabnya syara’ menyuruh kita mengerjakan yang mudah menjauhi yang sukar. ‘Aisyah diwaktu mensyifatkan tindakan-tindakan Rasul berkata:
مَا خُيِّرَ بَيْنَ اَمْرَيْنِ اِلاَّ اِخْتَارَاَيْسَرَهُمَا
“Tidak disuruh pilih antara dua urusan, melainkan Nabi memilih yang lebih mudah di antara keduanya”.
Nabi saw. bersabda:
اَحَبُّ الْاَعْمَالِ اِلَى اللهِ اَدْوَمُهَا وَاِنْ قَلَّ. اِنَّ اللهَ يُحِبُّ الدَّائِمَةَ مِنَ الْاَعْمَالِ.
Pekerjaan yang lebih disukai Allah ialah yang dapat kekal kita kerjakan walaupun sedikit. Sesungguhnya Allah menyukai pekerjaan yang kekal[17]”.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Syatibi, Abu Ishak.  Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Kairo: Mustafa Muhammad, tt.
Ash Shiddieqy, Fuad Hasbi. 2001. Falsafah Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Khatimah, Husnul. 2007. Penerapan Syari’ah Islam. Bengkulu: Pustaka Pelajar.
Mas’ud, Muhammad Khalid. 1996. Filsafat Hukum Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka.
Nasution, Muhammad Syukri Albani. 2013. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Tharaba, Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I. Malang: Dream Litera Buana.



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 123.
[2] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 240.
[3] Abu Ishak Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, tt.), hlm. 5.
[4] Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I, (Malang: Dream Litera Buana, 2016), hlm. 163-164.
[5] Abu Ishak Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, hlm. 34.
[6] Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I, hlm. 164.
[7] Fuad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra 2001), hlm. 171-172.
[8] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’ah Islam, (Bengkulu: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 38.
[9] Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I, hlm. 164.
[10] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’ah Islam, hlm. 38.
[11] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 130.
[12] Abu Ishak Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, hlm. 4.
[13] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), hlm. 41-44.
[14] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 168-170.
[15] Fuad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, hlm. 177.
[16] Ibid, hlm. 177-179.
[17] Ibid, hlm. 180-183.



Komentar