BAB THAHARAH
(Macam-macam najis,
hadats besar, kecil dan tata cara bersucinya (thaharah)
dan bersuci dari
hadats, najis, jenis-jenis air, haid, nifas, istihadah, adab istinja’, khuf dan
siwak)
Oleh:
Ali Hasan Assidiqi (16110048) dan Faiqatuz Zuhriyah (16110046)
(Mahasiswa PAI-B Semester 4 UIN Malang)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa unsur utama utama yang harus di penuhi untuk
memenuhi syarat-syarat ibadah seperti sholat dan lain sebagainya hendaklah di
awali dengan bersuci atau thaharah ataupula terbebas dari segala kotoran. Thaharah merupakan miftah (alat pembuka) pintu untuk memasuki
ibadah shalat, thawaf di Ka’bah dan lainnya. Tanpa thaharah pintu tersebut
tidak akan terbuka, artinya tanpa thaharah, ibadah shalat dan lainnya baik yang
fardhu maupun yang sunnah tidak akan sah. Bukan hanya itu, thaharah menjadi
pintu gerbang utama dalam melakukan ibadah kepada
Allah SWT (berwudhu, mandi atau tayammum) adalah cara bersuci yang Allah terangkan dalam al-Qur’an dan hadits dengan jelas.
Dalam Islam thaharah bagi setiap muslim baik
laki-laki dan perempuan wajib untuk mengetahui, mempelajari dan
mempraktekkannya dalam keseharian karna merupakan dasar ibadah bagi ummat
Islam. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari hal-hal yang kotor
sehingga sebelum memulai aktifitas kita menghadap tuhan atau beribadah haruslah
dimulai dengan bersuci baik dengan cara berwudhu, mandi maupun bertayammum yang
semua itu sesuai keperluan dari kita. Jika kita melihat dan
membaca dengan teliti seluruh kitab-kitab fiqih maka rata-rata diawali dengan
bab thaharah. Hal ini menunjukan kepada kita betapa thaharah menjadi hal yang
mendasar dan menjukkan kepada kita betapa pentingnya masalah thaharah ini
sehingga wajib untuk kita pelajari.
Selain hal tersebut pula, ternyata ada hal yang
sangat unik yakni dalam sebuah kitab ringkasan dari Ihya ulumuddin yakni
rasulullah pernah bersabda “kunci shalat adalah bersuci“ (HR Abu Dawud
dan Tirmidzi). Dan ada pula keteraangan bahwa didirikannya agama atas
kebersihan. Dari hal diatas bahwa dapat kita kita renungkan bahwa adanya
perintah bersuci secara lahiriah itu sebenarnya adalah bersuci secara batiniah.
Semua itu pernah rasulullah sampaikan yang isinya “bersuci adalah separuh
keimanan” (HR Tirmidzi dan Muslim).[1]
Namun, walaupun menjadi hal yang mendasar bagi
ummat Islam, masih banyak dari ummat Islam yang tidak faham tentang thaharah, najis-najis dan jenis-jenis air yang di gunakan untuk bersuci. Oleh
karena itu dalam makalah ini penulis membahas secara keseluruhan tentang
hal-hal yang berkaitan dengan thaharah. Tujuannya dalam penulisan ini agar
pembaca memahami tentang thaharah dan beta pentingnya untuk kita ajarkan kepada
orang lain serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis ingin membahas secara mendalam dan detail dari sumber-sumber yang
telah diakui seperti: pengertian thaharah, macam-macam najis dan tata cara
bersucinya, hadats besar dan kecil dan tata cara bersucinya, bersuci dari najis
dan hadats.
C.
Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini, yaitu bertujuan sebagai suatu pengantar Media atau
perantara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memperluas Ilmu
terutama tentang bab
thaharah yang meliputi: pengertian thaharah, macam-macam najis dan tata cara bersucinya, hadats
besar dan kecil dan tata cara bersucinya, bersuci dari najis dan hadats untuk
di praktekkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian thaharah
Thaharah berarti bersih (nadlafah),
suci (nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas). Sedangkan
menurut syara’ thaharah itu adalah mengangkat (menghilangkan penghalang yang
timbul dari hadats atau najis.[2]
Begitupula dalam kitab Raudatuth Thalibin berbunyi syaikh Al-Utsaimin dalam kitab
Asy-Syarh Al Mumti 1/19 berkata “At-Thaharah menurut bahasa
adalah An-Nazhafah (bersuci), Thahara Ats-Tsaud min Al-Qadzr (membersihkan
pakaian dari kotoran). Sedangkan dalam istilah mempunyai dua makna yaitu: pertama,
makna pokok yaitu menyucikan hati dan syrik dalam beribadah kepada Allah,
curang dan marah terhadap hamba-hambanya Allah. Ini lebih penting dari
menyucikan badan dan bahkan badan tidak dapat suci ketika masih syirik. Hal ini
sesuai dengan Al-quran dan assunah yaitu “sesungguhnya orang-orang yang
musyrik itu najis” (Qs. At-Taubah (9): 28) dan Nabi Muhammad Saw bersabda
bahwa “sesungguhnya orang mukmin tidak najis” (Muttafaq ‘Alaih). Kedua,
makna cabang yaitu bersuci secara fisik yang dalam artiannya menghilangkan
hadats atau sesuatu yang mencegah shalat dan sejenisnya.[3]
Dari pemaran diatas maka dapat kita simpulkan bahwa thaharah menyucikan diri
baik secara fisik dan bhatin untuk menghilangkan hadats (kecil, besar) dan
najis atau sejenisnya.
B. Macam-macam najis dan tatacara thaharahnya (bersucinya)
1.
Pengertian
Najis adalah kotoran yang setiap muslim wajib untuk menyucikan diri
darinya dan menyucikan setiap sesuatu yang terkena kotoran najis tersebut.
Sebagaimana firman Allah swt :
وثيا بك فطهر
“Dan pakaianmu, bersikanlah !” (al-Muddatstsir [74] : 4)
انالله يحب التوابين و يحب المطهر ين
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang tobat, dan menyukai orang-orang yang menyucikan
diri.” (al-Baqarah
[2]: 222)
Rasulullah saw bersabda :
النظا فة من
الاء يمان
“bersuci itu sebagian dari keimanan.”
2.
Jenis-jenis Najis
a.
Bangkai
Allah berfirman dalam surat al-maidah :3, yaitu :
حرمت عليكم
الميتة - المائد ٣
“diharamkan
atas kamu bangkai” (al-maidah: 3)
Bangkai merupakan binatang yang mati begitu
saja, tanpa disembelih menurut menurut ketentuan Agama. ada beberapa hal yang
termasuk dalam kategori bangkai, yaitu binatang yang dipotong atau dipatahkan
lehernya hingga mati. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Waqiq al-Laitsi:
“Rasulullah saw bersabda, ‘Binatang ternak
yang dipatahkan lehernya atau dipotong dalam keadaan masih hidup, maka ia
termasuk bangkai.” (HR. Abu Daud
sebagai hadits hasan. Katanya, “Ulama mengakui ketentuan seperti ini.”)
Namun, ada beberapa
perkara yang dikecualikan dari binatang yang mati tanpa dimasukkan ke dalam
kategori bangkai, yaitu sebagai berikut :
1.
Bangkai ikan dan belalang, ia tetap dianggap suci karena
berdasarkan hadits Ibnu Umar r.a :
“Rasulullah saw bersabda, ‘ada dua jenis bangkai dan darah yang
dihalalkan kepada kita, yaitu bangkai ikan dan belalang. Sedangkan dua jenis
darah yang dihalalkan kepada kita itu adalah hati dan limpa.’” (HR. Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Daruquthni)
Hadits tersebut dhai’if.
Akan tetapi, Imam Ahmad mensahihkan dan menganggap hadits mauquf,
sebagaimana yang telah ditegaskan Zir’ah dan Abu Hatim. Sedangkan hadits
seperti ini hukumnya marfu’. Artinya, silsilah sanadnya sampai kepada
nabi, karen terdapat ucapan sahabat yang menyatakan, “kami dihalalkan, atau
kami diharamkan” diman ungkapan semacam ini adalah sama dengan sabda Nabi
saw dari segi maknanya. Bahkan dari segi hukum, pernyataan seperti itu adalah
sama ungkapan sahabat yang bermakna, “Kami diperintah atau kami dilarang”.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Nabi saw pernah bersabda mengenai
hukum halal memakan kekayaan laut.
(هُوَ الطَّهُوْرَ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ)
“Airnya suci lagi menyucikan dan bangkainya
hala untuk di makan”.
2.
Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir, seperti
semut, lebah, dan lain-lainnya, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam sesuatu
dan kemudian mati, maka ia tidaklah menyebabkan tempat tesebut najis.
Ibnu Mundzir mengatakan, “saya tidak tahu bahwa pertikaian pendapat
dalam masalah ini, yaitu tentang hukum sucinya binatang yang tidak mempunyai
darah yang mengalir. Akan tetapi, ada satu pendapat yang diriwayatkan dari
syafi’i dan ini merupakan pendapat yang populer dari mazhabnya bahwa binatang
tersebut adalah najis. Akan tetapi, bila binatang itu jatuh dalam benda cair
selama benda cair itu tidak akibat binatang tersebut, maka ia masih dimaafkan.”
3.
Tulang bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku, dan kulit serta perkara
yang sejenis dengan itu, maka ia dikategorikan suci. Karena, asalnya adalah
suci dan tidak ada dalil pun yang menyatakan najis.
Az-Zuhri memberikan
komentar mengenai tulang-belulang bangkai, seperti taring gajah dan
lain-lainnya. Katanya, “Saya temukan sebagian ulama-ulama salaf mengambilnya
untuk dijadikan sebagai sisir dan minyak. Dan yang demikian itu tidak mengapa.”
(HR.Bukhari)
Ibnu Abbas r.a pernah membacakan ayat berikut :
“katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makannan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi(karena
sesungguhnya kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya tuhanmu maha penghampun lagi
maha penyayang.”(al-An’aam: 145). Kemudian beliau mnegulasnya, “yang diharamkan
itu hanyalah apa yang dimakan. Tetapi kulit, air kulit, gigi, tulang, rambut,
dan bulu binatang tersebut tetap dihalalkan.” (Riwayat Ibnu Mundzir dan
Ibnu Hatim)
Dengan demikian pula air susu bangkai tetap dikategorikan
suci. Sebab ketika para sahabat menaklukkan negeri Irak, mereka memakan keju
orang-orang Majusi. Padahal itu dibuat dari susu, sedangkan hasil sembelihan
mereka itu dianggap sama dengan bangkai.
Dalam sebuat
riwayatyang berasal dari Salman al-Farisi r.a ia pernah bertanya tentang keju,
lemak, dan bulu, jawabnnya “yang halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah
dalam kitab-Nya, yang haram adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya,
dan perkara perkara yang tidak ditemukan keterangannya maka ia sesuatu dimaafkan”.
Perlu diketahui bahwa pernytaan ini berkenaan dengan keju orang-orang Majusi,
yakni pada saat Salman menjabat sebagai gubernur Umar bin Khathab di wilayah
Mada’in[4].
b.
Darah
segala macam darah itu najis, selain hati dan limpa.
Adapun firman Allah dalam surat
Al-Maidah : 3, yaitu:
خرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير - المائد ٣
“diharamkan atas kamu memakan bangkai, darah,
dan daging babi.” (Al-Maidah:3)
Adapun sabda Rasulullah SAW :
اُحِلَتْ لَنَا مَيْتَتَانِوَ دَمَانِ
: اَلسَّمَكُ وَالْجَرَادُ وَالْكَبِدُ
وَالطِّحَالُ
“Telah
dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah: ikan dan belalang,
hati dan limpa.” (Riwayat Ibnu
Majah).
Dikecualikan juga,
darah yang ketinggalan dalam daging binatang yang sudah disembelih, begitu juga
darah ikan : kedua macam darah ini suci atau dimaafkan, artinya dibolehkan atau
dihalalkan[5].
Dalam kitab fiqih
sunnah, yang ditulis oleh Sayyid Sabiq : Semua jenis darah adalah diharamkan,
baik darah yang mengalir maupun tertumpah. Misalnya, darah yang mengalir dari hewan
yang disembelih ataupun darah haid. Akan tetapi, darah yang sedikit itu
dimaafkan.
Ketika Abu Mijlaz
ditanya tentang darah yang terdapat pada bekas sembelihan domba atau darah yang
dijumpai dipermukaan periuk, beliau menjawab, “tidak mengapa! Sebab yang
dilarang itu hanyalah darah tertumpah”.(HR. Abu Hamid dan Abu Syaikh)
Sementara Abu Hurairah r.a berpendapat, tidak mengapa jika seorang
mengerjakan solat sekiranya darah itu hanya setetes atau dua tetes.[6]
c.
Nanah.
Segala macam jenis nanah itu najis, baik yang kental maupun yang
cair, karena nanah itu adalah darah yang sudah busuk.[7]
d.
Anjing dan Babi
Anjing adalah najis
dan wajib mencuci apa saja yang terkena jilat sebanyak tujuh kali. Hal ini
berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a :
“Rasulullah saw bersabda, “sucikanlah bejanamu yang terkena
jilat anjing, yaitu mencuci sebanyak tujuh kali. (HR.Muslim)[8]
Demikian pula dengan
Imam shadiq pernah ditanya tentang anjing. Beliau berkata, “kotoran dan najis”.
Bekas minumannya tidak boleh dipakai berwudhu. Buanglah air tersebut. Lalu
cucilah tempatnya, pertama-tama dengan tanah baru kemudian dengan air”.
Putranya Imam
Kazhim, pernah ditanya tentang babi yang minum dari bejana. Apa yang harus
diperbuat ? beluiau berkata “dicuci tujuh kali”. Demikian
pula fatwa para fukaha. Tidak ada kecuali dalam hal ini seluruh bagian dari
anjing dan babi, termasuk bagian yang tidak ditempati kehidupan, seperti bulu
dan tulang, hukumnya najis. Sudah barang tentu, tidak termasuk dalam ketentuan
inianjing laut dan babi laut, karena dalil-dalil tentang kenajisan anjing dan
babi khusus untuk anjing dan babi darat, tidak mencakup anjing dan babi laut.[9]
e.
Arak
Jumhur ulama berpendapat, ia adalah najis karena berdasarkan pada
firman Allah ta’ala :
“hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya arak, berjudi, berhala, dan mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji(najis) termasuk perbuatan setan...”(al-Maidah : 90)
Sebagian ulama
lagi berpendapat bahwa ia suci, sebab kata-kata najis pada ayat tersebut
ditafsirkan sebagai najis maknawi, karena kata “najis” itu merupakan predikat
dari arak serta segala yang dihubungkan dengannya. Padahal semua itu tidak
dapat dikatakan najis. Allah ra’ala berfirman :
“...maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu...” (al-Hajj:30)
Ternyata berhala disini dikatakan najis, tetapi najis maknawi yang
apabila disentuh tidak menyebabkan kita bernajis. Alasan
lain, ayat tersebut ditafsirkan bahwa ia merupakan pekerjaan setan yang dapat
menimbulkan permusuhan, saling membenci, dan menjadi penghalang untuk mengingat
Allah serta melakukan shalat.[10]
f.
Segala benda cair yang keluar dari dua pintu (tempat buang air
besar dan kecil).
semua itu najis selain mani, baik yang seperti
tinja , urin atau yang tiada biasa seperti madzi (cairan yang keluar dari kemaluan
laki-laki ketika ada syahwat yang sedikit.[11]
Adapun sabda Rasulullah SAW :
اِنَّهُ صَلَّى الله عليه وسلّمَ لَمَّاجِىءَلَهُ بِحَجَرَيْنِ
وَرَوْثَةٍ لِيَسْتَنْجِىَ بِهَا,اَخَذَالحَجَرَيْنِ وَرَدَّ الرَّ وْثَتَ وَقَالَ
هَذِهِ رِكْسٌ. رواه البخار
“sesungguhnya Rasulullah saw diberi dua biji
batu dan sebuah
fases keras untuk dipakai istinja’, beliau mengambil dua batu saja, sedangkan tinja beliau
kembalikan dan berkata: “tinja ini najis” (Riwayat Bukhari).
C.
Hadats kecil dan tatacara thaharahnya (bersucinya)
1. Hadats kecil dan
sebab-sebanya
Seseorang dikatakan
berhadas kecil apabila buang air besar maupun kecil, buang angin atau kentut,
atau terjadinya beberapa hal yang menyebabkan batalnya wudhu. Agar seseorang
bisa suci dari hadas kecil maka harus melakukan wudhu dengan menggunakan air.
Akan tetapi, apabila seseorang tidak menemukan air, atau tidak boleh terkena
air karena sakit, maka seseorang bisa melakukan tayamum dengan menggunakan
debu. Oleh karena itu berikut hal-hal yang meyebabkan harus bersuci (thaharah)
dalam hadats kecil sebagai berikut:
a. Keluarnya sesuatu dari
lubang kubul (kemaluan bagian depan) dan lubang dubur (anus), atau salah satu
dari keduanya, baik itu berupa kotoran, kencing, kentut, madzi, atau yang
lainnya.
b. Hilangnya akal, baik
itu karena gila, mabuk, pingsan, atau tidur yang nyenyak.
c. Bersentuhnya kulit
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
d. Menyentuh atau
tersentuhnya kemaluan dan atau dubur dengan telapak tangan atau jari-jari
secara langsung, baik itu miliknya sendiri atau orang lain (misalnya anaknya
sendiri).
2. Landasan thaharah dalam
hadats kecil
Berkaitan dengan hal
tersebut, dalam al-quran sudah disebutkan ayat yang menjadi landasan untuk
melakukan thahrah termasuk terhadap hadats kecil dan besar yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Mâ’idah [5]:
6).[12]
Bukan hanya itu dalam
hadits juga terdapat beberapa landasan seperti:
a. Dari Ibnu Umar:
Sesungguhnya aku mendengar Rasulullooh saw
bersabda: Allah tidak akan menerima sholat (orang) yang tidak bersuci
dan tidak menerima shodaqah dari hasil penipuan
(khianat). (HR Muslim Bab 1 no
160)
b. Dari Ibnu Abbas, telah
bersabda Rasulullooh saw: “Hanyalah aku diperintah berwudhu',
apabila aku hendak sholat”. (Hadis ini disahihkan oleh Muh.Nashiruddin Al-Albany
dalam "Sahih Jaami'us Shaghiir, no. 2333). HR Abu Dawud, no. 3760;
Tirmidzi, no. 1848 (Hasan-Sahih) dan Nasa'i I:73).
c. Dari Abu Sa'id, telah
bersabda Rasulullooh saw: “Kunci sholat adalah bersuci, tahrimnya adalah takbir dan tahlilnya adalah
salam”. (Disahihkan oleh MNA-A
dam "Sahih Jaami'us Shaghiir, no. 5761).
HR Abu Dawud, no.60; Tirmidzi, no.3; Ibnu Majah no.275).[13]
Wudhu secara bahasa
berasal dari kata wadha’ah artinya adalah baik dan bersih. Sedangkan
secara istilah, wudhu adalah menggunakan air untuk dibasuhkan dan diusapkan
bagian tubuh tertentu yang disertai dengan niat untuk menghilangkan hadas
kecil. Dan dalam istrilah syara’ ialah perbuatan tertentu yang dimulai dengan
niat.[14]
Menurut sebuah hadits
yang diriwayatkan Ibnu Majah, wudhu’ diwajibkan sebelum hijrah yakni pada malam
isra’ mi’raj bersamaan dengan kewajiban shalat lima waktu. Dimana pada mulanya
diwajibkan hanya setiap kali hendak melalakukan shalat, tetapi kemudian
kewajiban itu dikaitkan dengan dengan keadaan berkhadats.[15]
Di dalam berwudhu ada
beberapa hal yang harus kita perhatikan, yakni fardhu dalam wudhu, sunnah dalam
wudhu, dan hal-hal yang membatalkan wudhu.
Berikut adalah fardhu
atau sesuatu yang wajib atau rukun dilakukan oleh seseorang ketika berwudhu:
1) Berniat untuk melakukan
wudhu.
Niat merupakan salah
satu fardhu atau rukun wudhu’ dan merupakan bagian daripadanya. Tanpa niat
berarti wudhu’ itu tidak lengkap sehingga tidak sah. Salah satu landasan
tentang niat seperti dalam surat al-bayyinah ayat 5 dan hadits. Dalam al-quran
surat al-Bayyinah ayat 5 menyebutkan “padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya meyembah Alllah dengan menurunkan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus” dan dalam hadits dari Umar ra. Berkata rasulullah
“amal itu tergantung niatnya dan sesorang itu akan mendapatkan sesuai niatnya” (HR Bukhari, Muslim
dan empat imam Ahli hadits).[16] Sedangkan niatnya adalah sebagai berikut:
“Saya niat wudu untuk
menghilangkan hadas keci,l fardu karena Allah ta’ala”.
Namun
jika ingin melakukan sunnah juga bisa yaitu berkumur, memnbasuh tangan dan
telinga.
2) Membasuh seluruh muka
atau wajah (mulai tumbuhnya rambut kepala bagian atas sampai dengan dagu, dan
mulai batas telinga kanan sampai batas telinga kiri atau disebut merata). Hal
ini sesuai dengan dalam ayat al-quran surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi “...maka
basuhlah mukamu....”
3) Membasuh kedua tangan
sampai dengan siku-siku. Hal sesuai dengan dalam ayat al-quran surat al-Maidah
ayat 6 yang berbunyi “....dan tanganmu sampai dengan siku...”
4) Mengusap sebagian dari
rambut di kepala
Dalam hal ini yang
menjadi landasan pertama adalah ayat al-quran surat al-Maidah ayat 6 yang
berbunyi “...dan sapulah kepalamu..”. Namun dalam ulama fiqih terdapat
beberapa perbedaan dimana Imam Syafi’i mewajibkan sebagian dan mensunahkan
semuanya. Beliau dalam hal ini berladaskan juga kepada hadits mughirahyang
menyatakan bahwa ketika Nabi Muhammad Saw berwudhu’ beliau menyapun ubun-ubun
dan sorbannya, kemudian menyapu kedua khufnya (HR. Muslim). Berbeda dengan Imam
Malik yang mewajibkan menyapu seluruh kepala. Sedangkan imam Abu Hanifah batas
yang wajib disapu itu adalah seperempat bagian dari kepala.
5) Membasuh dua telapak
kaki sampai dengan mata kaki. Hal ini sesuai dengan dalam ayat al-quran surat
al-Maidah ayat 6 yang berbunyi “.....dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki”. Dan dalam hadits jabir mengatakan bahwa rasulullah Saw
memrintahkan agar membasuh kaki bila berwudhu’.
6) Tertib (berturut-turut,
teratur, atau tidak berbalik-balik). Hal ini berdasarkan beberapa hal seperti:
kesesuaiann dengan al-Quran, nabi tidak pernah berlaku tidak tertib dan
wudhu’itu adalah ibadah jadi harus tertib. Sedangkan kelompok yang tidak
menyatakan harus tertib yang dimana tertib itu adalah sunnah bukan wajib
seperti tokoh Abu Hanifah, Sawry, Daud al-Zahiry dan sebagian ulama malikiyah.[17]
Di samping memerhatikan
yang fardhu, orang yang berwudhu perlu untuk memerhatikan yang sunnah di dalam
berwudhu, yakni:
1) Memulai wudhu dengan
membaca basmalah (bismillâhir-rahmânir-rahîm).
Sumber rujukan dari pernyataan ini adalah
hadits rasulullah yang berbunyi “tiap tiap pekerjaan penting yang tidak
dimulai dengan bismillahi al-rahman al-rahim, maka itu adalah terputus
barokahnya” (HR Nasai). Dan juga dalam hadits
lainnya bersabda rasulullah Saw “berwudhu’lah kamu dengan bismillah” (HR
Nasai dan Ibnu Khuzairmah).
2) Membasuh kedua telapak
tangan sampai dengan pergelangan sebelum berkumur. Dalam hal ini rasullullah
pernah merperlihatkan kepada beberapa sahabat, dan sahabat yang mengetahui
mengerjakannya. Salah satunya adalah Usman bin Affan dan Ali bin Abi thalib.
Landasannya terdapat dalam hadist yang berbunyi “jika seseorang kamu bangun
dari tidurnya, janganlah ia mencelupkan tangganya ke bejana sampai dibasuh tiga
kali” (HR Malik). Namun dalam hadits lain seperti riwayat muslim tidak
mengatakan tiga kali hanya saya disuruh membasuhnya.
3) Berkumur-kumur atau
membersihkan mulut dan gigi dengan air (madmadah).
4) Memasukkan air ke
lubang hidung dan membersihkannya (Istinsyaq).
Dalam hal ini landasannya adalah perbuatan
Nabi Saw dalam hadits muttafaq ‘alayh yang berbunyi “barangsiapa berwudhu’
hendaklah ia menaruh air di hidungnya kemudian menghembuskannya” (HR.
Muslim).
5) Mengusap seluruh kepala
dengan air.
6) Mengusap kedua telinga,
baik bagian yang luar maupun yang dalam.
Landasan dari hal ini seperti yang
diucapkan nabi melalui Abdullah ibn Zayd berkata “saya melihat Rasulullah
saw, berwudhu” dan untuk menyapu telinganya beliau mengambil air lain dan bukan
air yang telah ia gunakan untuk menyapu kepalanya” (HR. Hakim dan Bayhaqy)
7) Membersihkan sela jari
tangan dan kaki.
Dalam hal ini sesuai hadits rasulullah yang
isinya “Apabila engkau berwudhu’, maka sela-selailah antara jari-jari tangan
dan kakim” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
8) Menyela-nyela janggut
dengan jari.
Dalam hal ini sesuai hadits rasulullah yang
berkata setelah waktu itu rasulullah mengambil air dengan telapak tangannya
menaruh di bawah jenggotnya dengan itu dan berkata ‘beginilah saya
diperintahkan oleh Tuhan saya (Allah)” (HR. Abu Dawud).
9) Mendahulukan yang kanan
baru kemudian yang kiri.
Dalam hal ini sesuai hadits rasulullah yang
berisi “Apabila kamu berwudhu’ maka mulailah dengan sebelah kanan” (HR
Ibnu Majah dan Khuzaimah)
10) Tiga kali membasuh atau
mengusap.
Dalam hal ini sesuai
hadits rasulullah yang berisi “Bahwa rasulullah Saw berwudhu’ tiga tiga
kali” (HR. Muslim). Dan hal inipula di praktekkan setiap saat oleh sahabat
Ali ra. sehingga beliau berkata kepada yang lainnya selesai berwudhu’ ‘inilah
cara rasulullah berwudhu’ (HR. Ibnu Majah)
11) Membaca doa setelah
berwudhu.
12) Melakukan secara
berurutan dengan tidak berselang lama (muwalah).[18]
Sedangkan hal-hal yang membatalkan
wudhu adalah sebagai berikut:
1) Keluarnya sesuatu dari
lubang kubul (kemaluan bagian depan) dan lubang dubur (anus), atau salah satu
dari keduanya, baik itu berupa kotoran, kencing, kentut, madzi, atau yang
lainnya.
Dalam hal ini ulama
berbeda pendapat antara satu dengan lainnya. Menurut Imam Abu hanifah beserta
muridnya (ats-Tsauri, Imam Ahmad, dan sebagian sahabat) menyatakan bahwa
apapaun yang keluar dari anggota tubuh seperti darah dari hidung, darah bekam,
muntah-muntah, atau dari dhubur dan kubul itu najis dan batal wuhdu’nya.[19]
Sedangkan meunurut Imam Syafi’i dan pengikutnya termasuk Imam Malik dan
pengikutnya bahwa yang mebatalkan wudhu’ segala sesuatu yang keluar dari dua
lubang yaitu kubul dan dubur.[20]
2) Hilangnya akal, baik
itu karena gila, mabuk, pingsan, atau tidur yang nyenyak.
Dalam hal ini ulama ada
tiga pendapat yaitu: pertama mengatakan segala bentuk tidur itu membatalkan
wudhu’. Kedua menurut Imam Malik bahwa semua posisi kecuali duduk baik itu mebatalkan
kecuali dudukpun nyenyak. Ketiga menurut Imam Syafi’i bahwa tidur yang tidak
membatlkan adalah posisi duduk yang masih tegak dan tidak bersujud.[21]
Dalam perbedaan tersebut memiliki pondasi hadist masing yaitu untuk yang
menyatakan tidur tidak membatalkan ketika tidak miring “sesungguhnya Nabi
masuk kedalam rumah Maimunah, lalu beliau tertidur hingga berdengkur. Kemudian
beliau langsung shalat tanpa berwudhu’ (HR Abu dawud, At-Tirmidzi, Ahmad
dan Atthabrani).[22] Sedangkan yang mengatakan mebatalkan adalah
riwayat Abu Hurairah “Apabila salah satu diantara kalian bangun tidur maka
bercuci tangan sebelum berwudhu’ di bejana”.
3) Bersentuhnya kulit
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Dalam hal ini terdapat banyak pendapat. Pertama menurut Imam Malik bersentuhan
apapun dengan lawan jenis walau tanpa syahwat itu batal. Kedua Imam Abu hanifah
menganggp tidak membatalkan jika tanpa syahwat. Sedangkan Imam Syafii mengangap
semuanya adalah batal baik yang disentuh ataupula yang menyentuh ketika tanpa
penghalang kecuali terdesak dan tidak bisa lagi.[23]
4) Menyentuh atau
tersentuhnya kemaluan dan atau dubur dengan telapak tangan atau jari-jari
secara langsung, baik itu miliknya sendiri atau orang lain (misalnya anaknya
sendiri).
Dalam hal ini terdapat tiga pendapat, menurut Imam Syafii berserta
muridnya, Imam Ahmad dan Dawud mengatakan membatalkan wudhu’. Sedangkan menurut
Imam Abu hanifah tidak membatalkan wudhu’ dan ketiga pendapat ulama lainnya
yang menyatakan jika nikmat maka batal dan jika tidak atau tidak sengaja maka
tidak batal.[24]
Begitupula dalam kitab lainnya kitab syafinatun najah bahwa menyentuh kemaluan
itu batal ketika diniatkan kecuali tidak sengaja asal yang digunakan adalah
telapak tangan yang bagian atas bukan bawah.[25]
D.
Hadats besar dan tatacara thaharahnya
(bersucinya)
1. Hadats besar dan
sebab-sebanya
Hal-hal yang
menyebabkan seseorang menjadi berhadas besar sehingga wajib mandi agar kembali
menjadi suci adalah sebagai berikut:
a.
Bersetubuh atau bertemunya dua khitan antara laki-laki dan perempuan
(meskipun tidak keluar air mani). Hal ini sesuai dengan hadits rasulullah yang
berbunyi “Apabila bertemu dua (bekas) khitan, maka telah wajib mandi
walaupun tidak keluar mani. Aisyah menambahkan “saya melakukan hal itu dengan
rasulullah, kemudian kamipun mandi setelahnya” (HR. Muslim).
b.
Keluarnya air mani (disebabkan bersetubuh atau sebab lain). Dalam hadits
rasulullah bersabda “Air (mani) hanyalah (wajib) karena air (mani)” (HR.
Muslim)
c.
Meninggal dunia (yang bukan mati syahid); sudah barang tentu pengertian
mandi di sini adalah dimandikan.
d.
Selesai haid atau menstruasi. Hadits rasulullah Saw “Apabila haid datang,
maka tinggalkanlah shalat dan apabila ia telah selesai maka mandilah dan shalatlah
kembali (HR. Bukhari).
e.
Setelah melahirkan.
f.
Selesai nifas (berhenti darahnya setelah melahirkan).[26]
2. Fardhu dalam Mandi
Ketika seseorang akan
melakukan mandi wajib maka harus memerhatikan hal-hal yang hukumnya fardhu atau
yang harus dilakukan sebagai berikut:
a.
Berniat mandi untuk menghilangkan hadas besar. Niat ini adanya di dalam
hati, namun untuk menguatkannya maka lisan dapat mengucapkan niat sebagai
berikut:
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ فَرْضًا لِلّهِ تَعَالىَ
Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari fardhal lillâhi ta’âlâ.
Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari fardhal lillâhi ta’âlâ.
Artinya:
“Aku berniat mandi untuk menghilangkan hadas besar fardhu karena Allah Ta’ala.”
“Aku berniat mandi untuk menghilangkan hadas besar fardhu karena Allah Ta’ala.”
Namun dalam hal ini niat menjadi beberapa hal seperti: niat mandi besar
seperti biasa, niat mandi junub, haid, nifas, jumat dan lainnya.
b. Membasuh seluruh tubuh dengan air yang suci sampai rata, yakni dari kepala (termasuk seluruh rambut) sampai dengan ujung kaki.
c. Menghilangkan najis apabila ada yang melekat di badan.[27]
b. Membasuh seluruh tubuh dengan air yang suci sampai rata, yakni dari kepala (termasuk seluruh rambut) sampai dengan ujung kaki.
c. Menghilangkan najis apabila ada yang melekat di badan.[27]
3. Sunnah dalam Mandi
Sedangkan yang hukumnya sunnah ketika mandi untuk menghilangkan hadas besar adalah sebagai berikut:
Sedangkan yang hukumnya sunnah ketika mandi untuk menghilangkan hadas besar adalah sebagai berikut:
- Mendahulukan untuk membasuh kotoran atau najis yang menempel di badan.
- Berwudhu sebelum mandi.
- Menghadap ke arah kiblat.
- Membaca basmalah (bismillâhir-rahmânir-rahîm) ketika akan memulai
mandi.
- Mendahulukan anggota atau bagian badan yang sebelah kanan baru
kemudian yang sebelah kiri.
- Membasuh badan sampai tiga (3) kali.
- Menggosok-gosok seluruh tubuh dengan tangan.
- Sambung-menyambung (muwalat) dalam membasuh anggota badan.
- Khusus bagi wanita apabila selesai mandi haid atau nifas disunnahkan
memakai wangi-wangian kecuali sedang ihram.
E.
Bersuci dari najis
1. Jenis-Jenis Najis
a.
Bangkai binatang yang tidak
punya darah dan bangkai binatang laut.
Dalam hal ini ulama fiqih
berbeda pendapat. Menurut Imam Malik dan muridnya bawha bangkai yang tidak
punya darah hukumnya suci termasuk binatang laut. Sedangkan Imam Syafii
mengatakan bahwa semua jenis binatang baik yang ada darah atau tidak itu
sama-sama najis kecuali binatang dilaut. Dalam penulikalannya khusus bianatang
laut sesuai sabda rasul yang berbunyi “Laut itu thahur (suci airnya danbisa
mensucikan), dan halal bangkainya” (HR Thirmidzi dan empat imam fiqih).[28]
b.
Memamfaatkan kulit bangkaila
Dalam hal ini Imam Syafii dan
Imam Abu Hanifah bahwa kulit binatang najis itu tetap walau disamak sedangkan
yang halal jika disamak itu suci. Berbeda dengan Imam Malik yang mempunyai dua
versi yaitu petama sama dengan Imam Syafi’i dan kedua semua binatang tidak bisa
suci namun bisa dimamfaatkan jika sudah kering.[29]
c.
Najisnya darah binatang daratan
Semua ulama sepakat darah
binatang darat itu najis. Namun berbeda tentang darah ikan dimana Imam Syafii
dan Imam Malik darah ikan itu suci.[30]
d.
Najisnya air kencing dan
kotoran manusia
Dalam hal ini para ulama
sepakat bahwa najisnya air kencing dan kotoran manusia itu najis, kecuali air
kencing bayi ada dua pendapat. Pertama menurut Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah
itu najis semua dan sebgaian lainnnya berpendapat suci secara mutlak.[31]
2. Macam-macam najis dan cara menyucikannya
Macam-Macam Najis
|
Najis Mukhafafah
(ringan)
|
Najis
Mutawasitah (sedang)
|
Najis
Mughallazah (berat)
|
a. Najis Mukhafafah
(ringan) adalah najis yang berasal dari kencing bayi laki-laki berumur 2 tahun
belu makan kecuali air susu ibu. Cara menyucikannya dipercikan atau disiram
yang terkena air lalu bersihkan.
b. Najis Mutawasitah
(sedang) adalah najis yang berasal dari dhubur dan kubul manusia dan binatang
contoh air mani, barang cair memabukkan dll. Najis ini terbagi 2 yakni ainiyah
(berwujud atau nampak) dan hukmiyah (tidak tanpak tapi berbau). Cara
menyucikannya dengan dibasuh hingga hilang.
c. Najis Mughallazah
(berat) adalah najis terkena anjing babi dan keturunannya. Cara membersihkannya dengan dibasuh 7X dengan
air bercampur tanah.
3.
Sesuatu yang dapat digunakan untuk menghilangkan najis (benda)
Mengenai
benda yang digunkan untuk menghilangkan najis, kaum muslimim sepakat bahwa air
yang suci dan mensucikan dapat menghilangkan najis dari tiga tempat tersebut.
Mereka juga berpendapat bahwa secara khusus juga berlaku pada batu. Di luar itu
para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah mengunakan benda-benda
suci baik itu cair atau padat itu boleh dan selain air dan batu itu makruh.[32]
Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i bahwa menghilangkan najis hanya
dengan air, dan boleh batu khusus dari qubul (buang air kecil) dan cebok.[33]
Dan pendapat lainnya boleh mengunkan benda yang dapat membersihkan. Serta
sebagian ulama lainnya yang membatasi bahwa yang dapat membersihkan hanya batu
saja (Mazhab Zhahiri).[34]
F. Bersuci dari hadats (Tayammum)
1. Tayammum
a. Pengertian
Tayamum menurut makna bahasa ialah
“bersengaja”. Sedangakan menurut makna syar’i adalah bertujuan dan sengaja
menyapukan tanah kebagian muka dan kedua tangan dengan maksud agar dapat
mengerjakan shalat dan lain-lainnya[35].
b.
Syarat-syarat tayamum
Syarat-syarat
tayamum ada 5, yaitu :
1)
Ada uzur, baik karena perjalanan atau sakit
Allah
berfirman :
Dan
kika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau
menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah. (al-Maidah :6)
2)
Masuk waktu shalat
Rasulullah
bersabda :
Bumi
dijadikan untukmu sebagai tempat sujud dan suci. Siapa saja diantara umatku
yang mendapati waktu shalat, hendaklah dia shalat. (HR.Bukhari)
Dalam
riwayat ahmad disebutkan :
Dimana
saja saya mendapatkan waktu shalat, maka saya mengusap (tanah) dan shalat.
Dua riwayat ini menunjukkan bahwa
rasulullah bertayamum dan shalat jika tidak mendapatkan air setelah masuk waktu
shalat.
3)
Telah berusaha mencari air, tetapi tidak didapat
4)
Ada air, tetapi sulit untuk menggunakannya (karena air yang
tersedia hanya sedikit dan dibutuhkan untuk minum manusia ataupun hewan )
5)
Tersedia tanah yang suci yang mengandung debu. Jika bercampur
dengan kapur atau pasir, maka tidak cukup.[36]
c.
Rukun Tayamum
Adapun rukun
tayamum ada empat, yaitu :
1)
Niat
2)
Mengusap wajah
3)
Mengusap kedua tangan sampai kedu siku
4)
Tertib
Allah
berfirman :
“Maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dengan tanganmu
dengan tanah itu”.
(al-Maidah :6)
Kata
فتيمموا))
maksudnya adalah menyengajalah untuk bertayamum. Ini merupakan dalil yang
menunjukkan wajib niat, disertai dengan hadits “sesungguhnya setiap amalan itu
tergantung niatnya”. Masud tanah yang baik itu adalah tanah yang suci.[37]
d.
Sunnah Tayamum
Sunnah tayamum ada tiga, yaitu :
1) Mengucap
basmalah.
2) Mendahulukan
bagian kanan dari bagian kiri.
3) Dilakukan
secara beruntun tanpa berhenti.[38]
G. Jenis-jenis Air
Air Musta’mal
|
Jenis-Jenis Air
|
Air Mutlak
|
Air yang bernajis
|
Air bercampur
dengan barang yang suci
|
1.
Air Mutlak
Air mutlak dihukumkan sebagai air
suci megi menyucikan. Artinya, ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi lannya.
Adapun yang termasuk macam-macam air mutlak itu adalah sebagai berikut.
a.
Air hujan, salju atau es, dan air embun. Hal ini berdasarkan firman
Allah ta’ala :
“ ... Dan Allah
menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu ...”
(al-Anfaal [8]: 11)
“ ... dan kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” (al-Furqaan [25]:48)
Juga berdasarkan dari hadits Abu Hurairah r.a :
“Jika
Rasulullah saw membaca takbir di dalam shalat, maka beliau diam sejenak sebelum
membaca al-fatihah. Akupun bertanya, ‘Demi kedua orang-tuaku wahai Rasulullah!
Apakah kiranya yang engkau baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan
membaca al-fatihah ?’ Rasulullah pun menjawab, ‘Aku membaca, ‘Ya Allah,
jauhkanlah diriku dari dosa-dosaku sebagaimana engkau menjauhkan Timur dari
Barat. Ya Allah bersihkanlah diriku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih
dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah diriku dari kesalahan-kesalahanku dengan
salju, air, dan embun.’” (HR. Jama’ah kecuali Tirmidzi)
b.
Air laut.
c.
Air telaga (zamzam), sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ali r.a artinya bahwa “ rasulullah saw meminta seember penuh dengan air
zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakaiannya untuk berwudhu” (HR.
Ahmad)
d.
Air yang berubah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir,
atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut kebiasaannya tak terpisah
dari air, seperti lumut dan daun-daun kayu, maka menurut ijma’ ulama air itu
tetap termasuk air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kaitan dengan
unsur-unsur lain, boleh dipakai untuk bersesuci. Allah ta’ala berfirman :
“... jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayamumlah ...”(al-Ma’idah [5]:6)
2.
Air Musta’mal (Air yang telah dipakai)
Yaitu air yang
telah terpisah (telah terpakai) dari anggota-anggota orang yang berwudhu dan
mandi. Hukumnya suci lagi menyucikan, bagaimana halnya air mutlak tanpa adanya
perbedaan dari segi hukum sedikit pun. Hal itu mengingat bahwa asalnya yang
suci dan tiada dijumpai satu alasan pun yang mengeluarkannya dari hal
kesuciannya.
Juga karena hadits
Rubaiyi’ binti Mu’awwidz sewaktu menerangkan cara wudhu Rasulullah saw.
Katanya, “Dan disapunya kepalanya dengan sisa wudhu yang terdapat pada kedua
tangannya.”
Juga dari riwayat
Abu Hurairah r.a :
“Nabi saw. Berjumpa dengannya disalah satu jalan kota Madinah,
sedangkan waktu ia dalam keadaan junub. Maka Abu Hurairah pun menyelinap pergi
dari Rasulullah lalu mandi, kemudian datang kembali. Lantas Nabi saw bertanya,
‘Ke mana ia tadi ?’ sahabat lainnya menjawab,’ia datang sedang dalam keadaan
junub dan tak hendak menemani Baginda dalam keadaan tidak suci itu.’ Maka
bersabdalah Rasulullah saw, Mahasuci Allah, orang mukmin itu tak mungkin najis
’” (HR. Jama’ah)
Hadits ini
menegaskan bahwa orang mukmin itu tidak mungkin najis. Dengan demikian, tidak
ada alasan bagi seseorang yang menyatakan bahwa air itu kehilangan kesuciannya
semata karena bersentuhan dengan benda yang suci. Oleh karena itu bertemunya
barang yang suci dengan yang suci pula tidaklah membawa pengaruh apa-apa.
Ibnu Mundzir mengatakan,”Diriwayatkan
dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu
Umamah, Atha’, Mak-hul, dan Nakha’i bahwa mereka berpendapat tentang orang yang
lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya,’Cukuplah bila ia
menyapu dengan air itu.’ Ini menunjukkan bahwa air musta’mal itu menyucikan,
dan demikian pula pendapatku.”
Madzhab ini adalah
salah satu pandapat yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi’i. Dan, menurut Ibnu
Hazm juga merupakan pendapat Sufyan as-Sauti, Abu Tsaur, dan semua ahli zahir.
3.
Air yang Bercampur dengan barang
yang suci
Misalnya dengan sabun, lumut, tepung
dan lain-lain yang biasanya terpisah dari air. Hukumnya tetap menyucikan selama
kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tak dapat lagi
dikatakan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, dan tidak
meyucikan bagi lainnya.
Ummu Athiyah berkata :
“Rasulullah
saw masuk ke ruangan kami pada hari ketika putrinya-zainab-wafat. Lalu beliau
berkata, ‘mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih banyak lagi jika kalian
mau, dengan air yang dicampur dengan daun bidara. Setelah itu, campurlah air
itu dengan kapur barus atau sedikit darinya. Jika telah selesai beritahukanlah
padaku.’setelah selesai memandikan, kami pun memberitahukan kepada nabi.
Kemudian beliau menyerahkan kain kafan untuknya seraya bersabda,’balutkanlah
kain ini pada rambutnya!’”
(HR. Jamaah)
Sebagaimana yatng tekah diketahui,
mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang suci lagi menyucikan untuk
orang yang hidup.
Menurut riwayat Ahmad, Nasa’i, dan
Ibnu Khuzaimah dari hadits Ummu Hani’,
“
Nabi saw mandi bersama Maimunah dari sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang
didalamnya ada sisa tepung.”
Jadi, di dalam kedua hadits tersebut
terdapat percampuran, tetapi tidak sampai menyebabkan percampuran tersebut
bukan air mutlak.
4.
Air yang bernajis
Adapun jenis air yang bernajis dalam
hal ini, terdapat dua keadaan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, bila najis itu
mengubah salah satu dai rasa, warna, atau baunya. Berdasarkan kondisi ini maka
para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagaimana
yang ditegaskan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Mulqin.
Kedua, bila air tetap dalam
keadaan mutlak. Dengan arti kata lain, salah satu diantara sifatnya yang tiga
tadi tidak berubah. Hukumnya ia adalah suci dan menyucikan, baik kadar air
tersebut sedikit maupun banyak. Alasannya adalah hadits dari Abu Hurairah r.a :
“seorang
badui bediri lalu kencing di Masjid. Orang-orangpun langsung berdiri untuk
menangkapnya. Maka bersabdalah Nabi saw,’biarlah dai!cukuplah kalian menuangkan
pada kencingnya itu setimba atau
seember! Kamu dibangkitkan adalah untuk memberikan kemudahan bukan untuk
menyukarkan”. (HR. Jama’ah
kecuali Muslim)
Ini juga
merupakan pendapat dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnu Musayyab,
Ikrimah, Ibnu Abu Laila, Tsauri, Dawuh azh-Zhahiri, Nakah’i, Malik, dan
lain-lain. Al-ghazali berkata, “ saya berharap kiranya madzhab syafi’i mengenai
air akan akan sama dengan madzhab Maliki
Adapun
Haditsnya :
“abdulallah
binUmar r.a behwasayanya Nabi saw pernah bersabda,’jika air sampai dua kulah
maka ia tidaklah mengandung najis”. (HR. Bukhari Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i) maka ia
adalah hadits mudhtharib, artinya haditsnya tidak jelas, biak dari segi sanad
maupun matannya.
Ibnu Abdil Barr di dalam kitab al-Tahmid
mengatakan “pendirian Syafi’i mengenai hadits dua kulah adalah madzhab yang
lemah dari segi penyelidikan dan tidak berdasarkan kepada alasan yang kuat.
H. Haid
Darah haid ialah darah yang keluar
dari rahim wanita bukan karena penyakit dan bukan pula karena persalinan. Allah
telah menetapkan hal itu atas wanita sebagai cara untuk memelihara keturunan
dan mengetahui kesucian rahim.[39]
Haid tidak akan dimulai sebelum
wanita mencapai usinya 9 tahun. Karena itu, jika seorang wanita melihat darah
keluar sebelum usia tersebut, itu bukan darah haid, tetapi darah penyakit.
Demikain juga darah yang keluar dari rahim wanita diatas usia enam puluh tahun,
itu bukan darah haid, melainkan darah penyakit. Lamanya haid paling sedikit
adalah sehari semalam, paling lama 15 hari-15 malam. Kebiasaanya enam hari enam
malam atau tujuh hari tujuh malam suci anatara dua haid paling sedikit 15
hari-15 malam, sebanyak-banyaknya tidak ada batas karena sebagian perempuan
hanya satu kali haid haid selama hidupnya. Keterangannya menurut pemeriksaan
ulama-ulama masa dahulu, ialah yang dinamakan “istiqra’”.[40]
I.
Nifas
1.
Definisi Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari
rahim perempuan yang disebabkan melahirkan anak, walaupun hanya diakibatkan keguguran.[41]
Masa nifas sedikitnya sekejap, kebanyakan perempuan keluar darah nifas selama
40 hari, dan selama-lamanya 60 hari melahirkan anak.[42]
2.
Hal-hal yang terlarang bagi perempuan Haid dan Nifas
Perempuan-perempuan
yang haid dan nifas sama kedudukannya dengan orang junub. Dengan kata lain,
setiap perkara yang dilarang kepada orang junub, maka ia juga diberlakukan
kepada perempuan haid dan nifas.
Disamping
itu, masing-masing dari ketiga golongan ini dikategorikan orang berhadas besar.
Selain larangan tersebut, terdapat beberapa larangan atas perempuan haid dan
nifas, yaitu seperti berikut :
1.
Puasa, perempuan haid dan nifas tidak dibolehkan berpuasa.
2.
Bersenggama, hal ini diharamkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin,
dalil al-Quran dan dalil Sunnah. Oleh sebab itu, tidak boleh menyetubuhi istri
yang sedang haid dan ketika dalam keadaan nifas hingga mereka suci.[43]
J. Istihadah
1.
Definisi Istihadah
Istihadah
adalah darah yang keluar secara terus-menerus dan mengalir bukan pada waktunya.
2.
Keadaan perempuan Istihadah
Perempuan
yang istihadah itu mengalami salah satu di antara tiga hal berikutnya :
a.
Jangka waktu haid telah diketahuinya sebelum terjadinya istihadah.
Dalam keadaan seperti ini, jangka waktu yang telah diketahui itu mesti dianggap
sebagai masa haid, sedangkan selebihnya dianggap sebagai istihadah. Ini
berdasarkan hadits Ummu Salamah,
b.
Darahnya mengalir berkepanjangan dan tidak mempunyai hari-hari yang
telah diketahuinya ada kalanya karena tidak ingat lagi akan kebiasaannya atau
ia mencapai baligh dalam keadaan istihadhah sehigga tidak dapat membedakan
darah haid dengan darah selainnya. Dalam keadaan seperti itu, hitungan dari
haidnya dianggap selama enam atau tujuh hari, karena melihat pada kebiasaan
kaum perempuan haid.
c.
jika ia tidak mempunyai kebiasaan, tetapi dapat membeda-bedakan
darah gaid dengan darah lainnya, maka dalam keadaan seperti ini, hendaklah ia
berbuat sesuai dengan perbedaannya itu.[44]
3.
Hukum-hukumnya
Perempuan yang
istihadah mempunyai ketentuan yang dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.
Ia tidak wajib mandi ketika ingin melakukan shalat apapun dan pada
waktu manapun, kecuali hanya satu kali, yaitu pada saat haidnya telah putus.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, baik dari golongan salaf (terdahulu)
maupun khalaf(kemudian).
2.
Ia wajib berwudhu pada setiap kali ingin mengerjakan shalat.
3.
Hendaklah ia mencuci kemaluannya sebelum berwudhu dan kemudian
ditutup dengan kain atau kapas untuk menahan atau mengurangi najis.
4.
Menurut mayoritas ulama, perempuan yang beristihadhah tidak boleh
wudhu sebelum masuk waktu shalat karena kesuciannya itu adalah karena keadaan
darurat. Oleh karena itu, ia tidak boleh memajukan wudhu sebelum tiba waktu
shalat yang diperlukan
5.
Tidak ada halangan bagi suaminya menyetubuhinya pada saat darahnya
keluar. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama karena tidak ditemukan satu
dalil pun yang mengharamkannya. Ibnu Abbas mengatakan, “perempuan istihadhah
boleh disetubuhi oleh suaminya, sebab jika ia sudah dibolehkan mengerjakan
sholat tentunya hukum boleh menyetubuhi pun adalah lebih diutamakan” (HR.
Bukhari)
6.
Hukum perempuan istihadhah adalah sama seperti perempuan-perempuan
suci lainnya. Oleh sebab itu, ia boleh mengerjakan sholat, berpuasa, i’tikaf,
membaca al-Quran, menyembuhkan dan membawa mushaf serta melakukan semua ibadah.
Ini adalah berdasrakan ijma’ ulama.[45]
K. Adab Istinja’ (Cebok)
Menurut
pra ulama ahli fiqih sebagian besar tentang adab istinja’ atau cebok dan masuk WC
cenderung bersifat sunnat atau anjuran. Hal itu dapat diketahui dari as-sunnah.
Contohnya seperti jika ingin membuang air sebaiknya menjauhkan diri dan tidak
berbicara, larangan cebok dengan tangan kanan, tidak boleh menyentuh kemaluan
dengan tangan kanan dan lainnya seperti yang disebutkan dalam hadits.
Dalam
konteks ini, para ulama hanya beda berpendapat dalam satu hal saja yakni
tentang terhadap membelakangi kiblat bagi orang yang sedang buang air besar dan
kecil. Dalam hal ini ada 3 pendapat
yaitu 1) bagi orang yang buang air besar atau kecil ia tidak boleh menghadap
atau membelakangi kiblat di manapun tempatnya.[46]
2) hal itu tidak boleh secara mutlak.[47]
3) hal itu boleh dilakukan di dalam bangunan-bangunan atau kota kota (ada
penghalang) dan diluar itu tidak boleh.[48]
Hal ini sesuai dengan 2 hadits yang sedikit bertentangan dalam artian walau
sama-sama shahih yaitu: 1) hadits abu ayyub al-ashari sesunguhnya Nabi Muhammad
Saw bersabda “Apabila kalian buang air janganlah menghadap atau membelakangi
kiblat. Tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat” (HR Bukhari Muslim)[49]
dan 2) Hadits Abdullah bin Umar sesunguhnya ia berkata “Aku naik ke atas
rumah kakaku Hafsah, daan aku melihat Rasulullah Saw dalam posisi duduk
berjongkok sedang buang air besar menghadap ke arah Syiria dan membelakangi
kiblat”.[50]
Berdasarkan 2 hadits tersebut ada 3
pendapat di kalangan ulama’ namun kebanyakan mengambil bahwa mereka cenderung
mengartikan hadits Abu Ayyub Al-Ashari tersebut dalam buang air kecil atau
besar di tanah lapang dan mengartikan hadits ibnu umar dalam kasus buang air
besar ini ada sekat atau penghalang.[51]
Berikut beberapa adab dalam buang hajat atau buang kecil berikut ini:
1.
Dianjurkan bagi orang yang akan masuk ke WC membaca doa. Hal ini
berdasarkan hadits berikut:
Dari Ali bahwa nabi bersabda “pembatas antara jin dengan aurat
bani adam hawa manakala seorang di antara mereka masuk WC adalah agar ia
mengucapkan basmalah” (Shahih: Shahih Jamius Shaghir no. 3611, Tirmidzi
jilid 2 no 603). Dan dari riwayat lainnya yaitu dari Anas “rasullullah
ketika masuk dalam WC mengucapkan: Allahumma inni a’uudzubika minal khubutsi wal khabaits” (Mutafaqun ‘alaih:
Fathul Bhari 1 no 145, Muslim jilid 1 no 378, Ibnu Majah jilid 1 no 298 dll)
2.
Apabila keluar dari WC dianjurkan mengucapkan”Ghufatanaka”. Hal ini
berdasarkan hadits rasulullah dari Aisyah ia berkata “adalah Nabi Muhammad
Saw apabila keluar dari WC mengucapkan Ghufranaka” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no 4714, Tirmidzi jilid 1 Bab 7 no 7, dan Ibnu Majah Bab 110 no
300 dll).
L. Khuf (Mengusap Sepatu)
1.
Pengertian
Khuf
merupakan salah satu kemudahan Islam, ketika
seorang muslimah berada dalam keadaan suci tak berhadats atau telah berwudhu
dan mengenakan kaos kaki lalu berhadats maka saat berwudhu kembali seorang
muslimah diperbolehkan untuk tidak melepaskannya saat wudhu. Demikian juga
lelaki muslim, boleh melakukan hal tersebut. Ini juga berlaku bagi yang memakai
sepatu atau penutup kaki lainnya.
2. Landasan
a. Al-mughirah bin Syu’bah
menuturkan “aku pernah bersama rasulullah dalam sebuah perjalanan. Aku pun
turun untuk melepas kedua sepatu rasulullah dan beliau bersabda, ‘Biarkan
sepatu itu karena aku memakainya dalam keadaan suci’” (HR Bukhari).
b. Hudzaifah bin Al Yaman
mengatakan “Aku bersama rasulullah dalam sebuah perjalanan. Beliau buang air
kecil kemudian berwudhu’ dan mengusap sepatu.” (HR. Bukhari. Ini
disampaikan singakat).[53]
3. Cara Mengusap atau
melakukan.
Tata cara mengusapnya tentu bukan dengan mencolek atau sebatas
menempel/meletakkan tangan saja. Para ulama telah menjelaskan dengan sederhana.
Begitu mudah.
Syaikh Shalih ibn Fauzan
menjelaskan caranya:
- Meletakkan telapak –sekaligus jari- yang telah dibasahi dengan air di
atas jari-jari kaki.
- Tangan kanan diletakkan di atas jemari kaki kanan. Tangan kiri
diletakkan di atas kaki kiri.
- Kedua tangan digerakkan atau disapukan hingga bagian atas yaitu
punggung pergelangan kaki atau betis.
- Pengusapan dilakukan sekali saja. Tak perlu diulang[54].
Dan menurut Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin mengungkapkan bahwa sebagian ulama menyatakan
usapan pada kaki kanan dan kiri dilakukan bersamaan. Sebagian yang lain
menyatakan bahwa ini dilakukan bergantian. Usapan kaki kanan didahulukan
sebelum kaki kiri. Beliau juga menyatakan bahwa permasalahan ini “waasi’un”
artinya diberi kelapangan dalam memilih, tak terlalu dipermasalahkan. sedangkan
menurut pendapat para ulama pada catatan
ini, Ibnu Rusyd rahimahullah dalam kitabnya yang fenomental yaitu Bidayatul
Mujtahid menyebutkan ikhtilaf ulama ada 3 meliputi: a) Bagian yang wajib diusap
adalah bagian atas khuf. Mengusap bawahnya adalah mustahab. Pendapat ini
dipegang oleh Malik, as-Syafi’i dan yang lain. b) Bagian yang wajib diusap
adalah bagian atas dan bawahnya sekaligus. Inilah pendapat yang dipegang oleh
Ibnu Nafi’ dan sahabat Malik. c) Bagian yang wajib diusapkan adalah bagian atas
saja. Bagian bawah tidak diusap dan tidak pula disunnahkan. Inilah
pendapat yang dipegang oleh imam Abu Hanifah, Daud, Sufyan dan lain-lain. Namun
sekalipun banyak pendapat dalam kesepakatan kebanyakan ulama’ memilih yang
ketiga karena dasarnya lebih banyak seperti:
a) Sahabat Al-Mughirah
menuturkan:
رأيت رسول الله مسح على
ظهر الخفين
“Aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas Khuf.”
b) Sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
b) Sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
لو كان الدين بالرأي
لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه لقد رايت رسول الله يمسح على ظاهر خفيه
“Sekiranya agama ini
adalah dengan akal semata maka tentu bagian bawah khuf lah yang lebih utama
untuk diusap disbanding bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas khufnya.(HR. Abu Dawud)”.[55]
4. Jangka Waktu Bolehnya
Mengusap Khuf
Keringanan mengusap
khuf di sini bukan selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi
orang yang mukim, jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan
untuk musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).
Dari Shafwan bin
‘Assal, ia berkata,
فَأَمَرَنَا أَنْ
نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً
إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ
غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf
yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu
mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam
jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan
buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi
junub (HR. Ahmad).”[56]
5. Hikmah Mengusap Khuf
Hikmah mengusap khuf
adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim.
Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan
mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang
amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar
yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara
langsung.[57]
M. Siwak
Termasuk sunnah yang paling sering dan yang
paling senang dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah
bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang
banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan
putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah
yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan
mendapatkan keridhoan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana
sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
السِّوَاكَ
مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ (رواه أحمد)
“Siwak
merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rob”. (Hadits
shohih riwayat Ahmad, irwaul golil no 66). (Syarhul mumti’ 1/120 dan taisir
‘alam 1/62)
Oleh
karena itu Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam begitu
bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan
sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda :
لَوْلاَ
أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Kalau
bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk
bersiwak setiap akan wudlu. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim,
irwaul golil no 70)
لَوْلاَ
أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَّلاَةٍ
“Kalau
bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk
bersiwak setiap akan sholat”. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim,
irwaul golil no 70).[58]
Ibnu
Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan
sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar
dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Allah, kita senantiasa dalam
keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya
ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan
dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata
Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya
adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir Radhiyallahu
‘anhu:
مَنْ
أَكَلَ الثَّوْمَ أَوِ الْبَصَالَ أَوِ الْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
لإَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ بَنُوْ آدَمَ
“Barang
siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka
janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan
apa-apa yang bani Adam tergaanggu dengannya” (Taisir ‘alam 1/63)
Dan ternyata Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam tidak hanya bersiwak ketika akan sholat saja,
bahkan beliau juga bersiwak dalam berbagai keadaan. Diantaranya ketika
dia
masuk kedalam rumah…
رَوَى
شُرَيْحٌ بْنُ هَانِئِ قَالَ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا بِأَيِّ
شَيِءٍ يَبْدَأُ النَّبِيُّ إِذَا دَخَلَ بَيِتَهُ ؟ قَالَتْ : بِالسِّوَاكِ
Telah
meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata :”Aku bertanya kepada ‘Aisyah
: “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Rosulullah jika dia memasuki rumahnya
?” Beliau menjawab :”Bersiwak”. (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no
72). Dari hal ini menjelaskan bahwa
bersiwak itu sangatlah bagus dan dianjurkan oleh rasulullah Saw.[59]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Thaharah berarti bersih (nadlafah), suci
(nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas). Sedangkan
menurut syara’ thaharah itu adalah mengangkat (menghilangkan penghalang yang
timbul dari hadats atau najis.[60]
2.
Najis adalah kotoran yang setiap muslim wajib untuk menyucikan diri
darinya dan menyucikan setiap sesuatu yang terkena kotoran najis tersebut. Dan macam-macam najis ada 3 macam yaitu:
najis mukhalladoh, mukhaffafah dan mutawatsithah.
3.
Hadats kecil adalah ketika keluarnya sesuatu dari tubuh
atau lainnya seperti buang air kecil, besar, kentut, bersentuhan antara bukan
mahram dll. Cara untuk bersucinya adalah wudhu’. Berbeda dengan hadats besar
yang disebabkan oleh hal tertentu seperti bersetubuh, keluarya mani, meninggal
dunia dll dan cara menyucikannya mandi terlebih dahulu lalu berwudhu’.
4.
Tayamum menurut makna bahasa ialah “bersengaja”. Sedangakan menurut
makna syar’i adalah bertujuan dan sengaja menyapukan tanah kebagian muka dan
kedua tangan dengan maksud agar dapat mengerjakan shalat dan lain-lainnya.[61]
5.
Darah haid ialah darah yang keluar dari rahim wanita bukan karena
penyakit dan bukan pula karena persalinan. Allah telah menetapkan hal itu atas
wanita sebagai cara untuk memelihara keturunan dan mengetahui kesucian rahim[62].
6.
Khuf merupakan salah satu kemudahan
Islam, ketika seorang muslimah berada dalam keadaan suci tak berhadats atau
telah berwudhu dan mengenakan kaos kaki lalu berhadats maka saat berwudhu
kembali seorang muslimah diperbolehkan untuk tidak melepaskannya saat wudhu.
7.
Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan
oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah
bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang
banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan
putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain.
Dalam hal ini penulis bersumber dari buku dan kitab
terkenal. Bukan hanya itu dalam pembahasan makalah ini bertujuan sebagai media
informasi kepada khalayak umum untuk dapat meiliki pegetahuan dan perkembangan
yang luas. Oleh karena itu Bab thahara dalam makalah ini mengkonsep secara
keseluruhan untuk menjadi bahan rujukan dalam belajar.
[1] Assyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi, Kitab Muizatul Mukminin, Bandung: Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro,
32-33
[4][4]Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar
Imam Hasan al-banna, Jakarta: pena pundi askara, 2006, 22
[6]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah
jilid 1 pengantar Imam Hasan al-banna, Jakarta: p ena pundi askara., 2006, 22
[8]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah
jilid 1 pengantar Imam Hasan al-banna., Jakarta: p ena pundi askara. 2006, 28
[9] Muhammad Jawab Mughniyah., Fiqh al-Imam Ja’far Ash-Shadiq ‘Ardh wa
Istidlal(juz 1&2), Jakarta: Penerbit lentera. 2009, 54
[10] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid
1 pengantar Imam Hasan al-banna, Jakarta: Pena pundi askara, 2006, 2
[13] Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Duro
Jauhar, 11-14
Keterangan: pendapat ini dapat dilihat juga di Tuhfatul Al
Fuqaha 1/22, pendapat Imam Abu Hanifah, Al-Mughni 1/184 pendapat
Imam ahmad dan ulama lainnya seperti Ibnu Abbas, Umar ra, Sa’id, Atha, Qatadah
dan An-Nawawi di Nail al-Authar 1/221.
Keterangan: pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama’ lihat
di ar-Raudhah 1/73, al-Majmu’ 2/91.
Keterangan: semua ini bisa dilihat di Qawanin al-Ahkam
asy-Syari’iyah hal. 27, Al-Mughni 1/150, ar-Raudhah 1/74.
[22]
Lihat sunan Abi dawud 1/242
Keterangan: pendapat Imam malik lihat di Qawanin al-Ahkam
asy-Syariyah hal 27. Imam Abu Hanifah lihat di Bada’i ash-Shana
1/148 dan Imam Syafii lihat di al-Majmu’ 2/26,27.
Keterangan: menurut Imam Syafii dkk lihat di al-Majmu’ 2/37,38, al-Mughni
1/178,179, al-muhalla 1/325. Imam Abu Hanifah lihat di Tuhfah
al-Fuqaha 1/35.
Keterangan: Imam Malik lihat di Qawanin
al-Akhkam asy-Syari’ah, hal. 36 dan Imam Syafii lihat di Al-Majmu 1/17 dan
al-Mughni 1/42 yang menegaskan bahwa semua binatang tidak memiliki darah dan
binatang laut tidak najis.
Keterangan: dalam veris asli Imam syafii ada
yang bilang najis namun kebanyakan menganggap ikan itu suci sesuai di majmu
2/115, Bada’ ash-Shana 1/216.
Keterangan; Imam Syaffi dkk lihat di al-Majmu
2/502, Tuhfah al-Fuqaha 1/96. Dan ulama lainnya
yang mengatakan suci lihat di al-Majmu 2/502 menguti dari Ibnu Hazm.
[32]
Keterangan: ini pendapat Imam Abu Hanifah dan muridnya, serta Abu yusuf. Lihat
Tuhfah al-Fuqaha 1/25
[33]
Keterangan Lihat Qawanin al-Ahkam asy Syar’iyyah hal 22, al-majmu 1/140,
al-mughni 1/9.
[34]
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, 109-110
[35]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar Imam Hasan al-banna, 2006, Jakarta: Pena pundi
askara, 2006, 99
[36]
Musthafa diib al-Bugha, Fiqh Islam Lengkap Penjelasan
Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi’i. Surakarta.: Media Zikir, 2009, 63
[37]
Musthafa diib al-Bugha, Fiqh Islam Lengkap Penjelasan
Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi’i, 2009, 64
[39] Muhammad Jawab Mughniyah., Fiqh al-Imam Ja’far Ash-Shadiq ‘Ardh wa
Istidlal(juz 1&2), Jakarta: Penerbit lentera, 2009, 124
[41]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah
jilid 1 pengantar Imam Hasan al-banna, Jakarta: Pena pundi askara. 2006, 116
[43]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar Imam Hasan al-banna, Jakarta: Pena pundi askara, 2006, 115-117
[46]
Keterangan: ini pendapat yang dikutip dari Imam Ahmad, Mujahid, Ibrahim
an-Nakha’i, ats-Tsauri dan Abu Tsaur, lihat kitab al-mughni.
[47]
Keterangan: ini pendapat dawud azh
zhahiri dan Rabi’ah guru Imam Malik.
[48] Ini
pendapat Imam Malik dan Imam Syafii, Imam Ahmad. Dalam Fath Al-Bahri mengaku
mayoritas ulama dan cenderung kepada hal ini. Lihat juga al-Mugni 1/164.
[49]
Lihat kitab Nail al-Authar 1/97
[50]
Lihat kitab Nail al-Authar 1/98
[51]
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, 115-116
[52]
Abdul Azhim bin Badawi, Al-wajiz fi fiqsis sunnah wal kitabil aziz,
Jakarta: Pustaka as-sunah, 74-76
[53]
Syaikh Abdul Ghani Al Maqoisi, Umdatul Hikmah, Hadits Bukhari Muslim Pilihan
(penerjemah: Abu Ahmad Abdullah), Media Hidayah, 26
[54] syaikh Shalih ibn
Fauzan , kitab Mulakhkhas
al-Fiq-hiyy karya, Dar A’lam as-Sunnah, Riyadh, 130
[55] Hadits shahih
diriwayatkan Abu Daud no. 162, Daruquthniy no. 73 dan Baihaqiy 2/111. Lihat Irwa’
no. 103
[56] HR. Ahmad 4/239. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa penjelasan mengenai mengusap khuf dalam
hadits ini dinilai shahih lighoirihi (dilihat dari jalur lain). Sedangkan sanad
ini hasan dilihat dari jalur ‘Ashim.
[58]
Syaikh Abdul Ghani Al Maqoisi, Umdatul Hikmah, Hadits Bukhari Muslim Pilihan
(penerjemah: Abu Ahmad Abdullah), Media Hidayah, 23-24
[59] Syaikh Abdul Ghani Al Maqoisi, Umdatul Hikmah, Hadits Bukhari
Muslim Pilihan (penerjemah: Abu Ahmad Abdullah), Media Hidayah, 27
[61]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar Imam Hasan al-banna, 2006, Jakarta: Pena pundi
askara, 2006, 99
[62] Muhammad Jawab Mughniyah., Fiqh al-Imam Ja’far Ash-Shadiq ‘Ardh wa
Istidlal(juz 1&2), Jakarta: Penerbit lentera, 2009, 124
Komentar
Posting Komentar