Makalah Thaharah


BAB THAHARAH
(Macam-macam najis, hadats besar, kecil dan tata cara bersucinya (thaharah)
dan bersuci dari hadats, najis, jenis-jenis air, haid, nifas, istihadah, adab istinja’, khuf dan siwak)

Oleh:
Ali Hasan Assidiqi (16110048) dan Faiqatuz Zuhriyah (16110046)
(Mahasiswa PAI-B Semester 4 UIN Malang)

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa unsur  utama utama yang harus di penuhi untuk memenuhi syarat-syarat ibadah seperti sholat dan lain sebagainya hendaklah di awali dengan bersuci atau thaharah ataupula terbebas dari segala kotoran. Thaharah merupakan miftah (alat pembuka) pintu untuk memasuki ibadah shalat, thawaf di Ka’bah dan lainnya. Tanpa thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka, artinya tanpa thaharah, ibadah shalat dan lainnya baik yang fardhu maupun yang sunnah tidak akan sah. Bukan hanya itu, thaharah menjadi pintu gerbang utama dalam melakukan ibadah kepada Allah SWT (berwudhu, mandi atau tayammum) adalah cara bersuci yang Allah terangkan dalam al-Qur’an dan hadits dengan jelas.
Dalam Islam thaharah bagi setiap muslim baik laki-laki dan perempuan wajib untuk mengetahui, mempelajari dan mempraktekkannya dalam keseharian karna merupakan dasar ibadah bagi ummat Islam. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari hal-hal yang kotor sehingga sebelum memulai aktifitas kita menghadap tuhan atau beribadah haruslah dimulai dengan bersuci baik dengan cara berwudhu, mandi maupun bertayammum yang semua itu sesuai keperluan dari kita. Jika kita melihat dan membaca dengan teliti seluruh kitab-kitab fiqih maka rata-rata diawali dengan bab thaharah. Hal ini menunjukan kepada kita betapa thaharah menjadi hal yang mendasar dan menjukkan kepada kita betapa pentingnya masalah thaharah ini sehingga wajib untuk kita pelajari.
Selain hal tersebut pula, ternyata ada hal yang sangat unik yakni dalam sebuah kitab ringkasan dari Ihya ulumuddin yakni rasulullah pernah bersabda “kunci shalat adalah bersuci“ (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Dan ada pula keteraangan bahwa didirikannya agama atas kebersihan. Dari hal diatas bahwa dapat kita kita renungkan bahwa adanya perintah bersuci secara lahiriah itu sebenarnya adalah bersuci secara batiniah. Semua itu pernah rasulullah sampaikan yang isinya “bersuci adalah separuh keimanan” (HR Tirmidzi dan Muslim).[1]
Namun, walaupun menjadi hal yang mendasar bagi ummat Islam, masih banyak dari ummat Islam yang tidak faham tentang thaharah, najis-najis dan jenis-jenis air yang di gunakan untuk bersuci. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis membahas secara keseluruhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan thaharah. Tujuannya dalam penulisan ini agar pembaca memahami tentang thaharah dan beta pentingnya untuk kita ajarkan kepada orang lain serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis ingin membahas secara mendalam dan detail dari sumber-sumber yang telah diakui seperti: pengertian thaharah, macam-macam najis dan tata cara bersucinya, hadats besar dan kecil dan tata cara bersucinya, bersuci dari najis dan hadats.

C.    Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini, yaitu bertujuan sebagai suatu pengantar Media atau perantara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memperluas Ilmu terutama tentang bab thaharah yang meliputi: pengertian thaharah, macam-macam najis dan tata cara bersucinya, hadats besar dan kecil dan tata cara bersucinya, bersuci dari najis dan hadats untuk di praktekkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.








BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian thaharah
          Thaharah berarti bersih (nadlafah), suci (nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas). Sedangkan menurut syara’ thaharah itu adalah mengangkat (menghilangkan penghalang yang timbul dari hadats atau najis.[2] Begitupula dalam kitab Raudatuth Thalibin berbunyi syaikh Al-Utsaimin dalam kitab Asy-Syarh Al Mumti 1/19 berkata “At-Thaharah menurut bahasa adalah An-Nazhafah (bersuci), Thahara Ats-Tsaud min Al-Qadzr (membersihkan pakaian dari kotoran). Sedangkan dalam istilah mempunyai dua makna yaitu: pertama, makna pokok yaitu menyucikan hati dan syrik dalam beribadah kepada Allah, curang dan marah terhadap hamba-hambanya Allah. Ini lebih penting dari menyucikan badan dan bahkan badan tidak dapat suci ketika masih syirik. Hal ini sesuai dengan Al-quran dan assunah yaitu “sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” (Qs. At-Taubah (9): 28) dan Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa “sesungguhnya orang mukmin tidak najis” (Muttafaq ‘Alaih). Kedua, makna cabang yaitu bersuci secara fisik yang dalam artiannya menghilangkan hadats atau sesuatu yang mencegah shalat dan sejenisnya.[3] Dari pemaran diatas maka dapat kita simpulkan bahwa thaharah menyucikan diri baik secara fisik dan bhatin untuk menghilangkan hadats (kecil, besar) dan najis atau sejenisnya.

B.  Macam-macam najis dan tatacara thaharahnya (bersucinya)
1.             Pengertian
Najis adalah kotoran yang setiap muslim wajib untuk menyucikan diri darinya dan menyucikan setiap sesuatu yang terkena kotoran najis tersebut. Sebagaimana firman Allah swt :
وثيا بك فطهر
“Dan pakaianmu, bersikanlah !” (al-Muddatstsir [74] : 4)
انالله يحب التوابين و يحب المطهر ين
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat, dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (al-Baqarah [2]: 222)
Rasulullah saw bersabda :
النظا فة من الاء يمان
“bersuci itu sebagian dari keimanan.”
2.             Jenis-jenis Najis
a.                  Bangkai
Allah berfirman dalam surat al-maidah :3, yaitu :
حرمت عليكم الميتة - المائد  ٣
            diharamkan atas kamu bangkai”  (al-maidah: 3)

Bangkai merupakan binatang yang mati begitu saja, tanpa disembelih menurut menurut ketentuan Agama. ada beberapa hal yang termasuk dalam kategori bangkai, yaitu binatang yang dipotong atau dipatahkan lehernya hingga mati. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Waqiq al-Laitsi:
“Rasulullah saw bersabda, ‘Binatang ternak yang dipatahkan lehernya atau dipotong dalam keadaan masih hidup, maka ia termasuk bangkai.” (HR. Abu Daud sebagai hadits hasan. Katanya, “Ulama mengakui ketentuan seperti ini.”)
          Namun, ada beberapa perkara yang dikecualikan dari binatang yang mati tanpa dimasukkan ke dalam kategori bangkai, yaitu sebagai berikut :
1.    Bangkai ikan dan belalang, ia tetap dianggap suci karena berdasarkan hadits Ibnu Umar r.a :
“Rasulullah saw bersabda, ‘ada dua jenis bangkai dan darah yang dihalalkan kepada kita, yaitu bangkai ikan dan belalang. Sedangkan dua jenis darah yang dihalalkan kepada kita itu adalah hati dan limpa.’” (HR. Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Daruquthni)
Hadits  tersebut dhai’if. Akan tetapi, Imam Ahmad mensahihkan dan menganggap hadits mauquf, sebagaimana yang telah ditegaskan Zir’ah dan Abu Hatim. Sedangkan hadits seperti ini hukumnya marfu’. Artinya, silsilah sanadnya sampai kepada nabi, karen terdapat ucapan sahabat yang menyatakan, “kami dihalalkan, atau kami diharamkan” diman ungkapan semacam ini adalah sama dengan sabda Nabi saw dari segi maknanya. Bahkan dari segi hukum, pernyataan seperti itu adalah sama ungkapan sahabat yang bermakna, “Kami diperintah atau kami dilarang”. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Nabi saw pernah bersabda mengenai hukum halal memakan kekayaan laut.
(هُوَ الطَّهُوْرَ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ)
“Airnya suci lagi menyucikan dan bangkainya hala untuk di makan”.
2.    Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir, seperti semut, lebah, dan lain-lainnya, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam sesuatu dan kemudian mati, maka ia tidaklah menyebabkan tempat tesebut najis.
Ibnu Mundzir mengatakan, “saya tidak tahu bahwa pertikaian pendapat dalam masalah ini, yaitu tentang hukum sucinya binatang yang tidak mempunyai darah yang mengalir. Akan tetapi, ada satu pendapat yang diriwayatkan dari syafi’i dan ini merupakan pendapat yang populer dari mazhabnya bahwa binatang tersebut adalah najis. Akan tetapi, bila binatang itu jatuh dalam benda cair selama benda cair itu tidak akibat binatang tersebut, maka ia masih dimaafkan.”
3.    Tulang bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku, dan kulit serta perkara yang sejenis dengan itu, maka ia dikategorikan suci. Karena, asalnya adalah suci dan tidak ada dalil pun yang menyatakan najis.
          Az-Zuhri memberikan komentar mengenai tulang-belulang bangkai, seperti taring gajah dan lain-lainnya. Katanya, “Saya temukan sebagian ulama-ulama salaf mengambilnya untuk dijadikan sebagai sisir dan minyak. Dan yang demikian itu tidak mengapa.” (HR.Bukhari)
Ibnu Abbas r.a pernah membacakan ayat berikut :
katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makannan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi(karena sesungguhnya kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya tuhanmu maha penghampun lagi maha penyayang.”(al-An’aam: 145). Kemudian beliau mnegulasnya, “yang diharamkan itu hanyalah apa yang dimakan. Tetapi kulit, air kulit, gigi, tulang, rambut, dan bulu binatang tersebut tetap dihalalkan.” (Riwayat Ibnu Mundzir dan Ibnu Hatim)
          Dengan demikian pula air susu bangkai tetap dikategorikan suci. Sebab ketika para sahabat menaklukkan negeri Irak, mereka memakan keju orang-orang Majusi. Padahal itu dibuat dari susu, sedangkan hasil sembelihan mereka itu dianggap sama dengan bangkai.
          Dalam sebuat riwayatyang berasal dari Salman al-Farisi r.a ia pernah bertanya tentang keju, lemak, dan bulu, jawabnnya “yang halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, yang haram adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, dan perkara perkara yang tidak ditemukan keterangannya maka ia sesuatu dimaafkan”. Perlu diketahui bahwa pernytaan ini berkenaan dengan keju orang-orang Majusi, yakni pada saat Salman menjabat sebagai gubernur Umar bin Khathab di wilayah Mada’in[4].
b.    Darah
segala macam darah itu najis, selain hati dan limpa.
          Adapun firman Allah dalam surat Al-Maidah : 3, yaitu:
خرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير - المائد  ٣
“diharamkan atas kamu memakan bangkai, darah, dan daging babi.” (Al-Maidah:3)
          Adapun sabda Rasulullah SAW :         
اُحِلَتْ لَنَا مَيْتَتَانِوَ دَمَانِ : اَلسَّمَكُ وَالْجَرَادُ وَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah: ikan dan belalang, hati dan limpa.” (Riwayat Ibnu Majah).
          Dikecualikan juga, darah yang ketinggalan dalam daging binatang yang sudah disembelih, begitu juga darah ikan : kedua macam darah ini suci atau dimaafkan, artinya dibolehkan atau dihalalkan[5].
          Dalam kitab fiqih sunnah, yang ditulis oleh Sayyid Sabiq : Semua jenis darah adalah diharamkan, baik darah yang mengalir maupun tertumpah. Misalnya, darah yang mengalir dari hewan yang disembelih ataupun darah haid. Akan tetapi, darah yang sedikit itu dimaafkan.
          Ketika Abu Mijlaz ditanya tentang darah yang terdapat pada bekas sembelihan domba atau darah yang dijumpai dipermukaan periuk, beliau menjawab, “tidak mengapa! Sebab yang dilarang itu hanyalah darah tertumpah”.(HR. Abu Hamid dan Abu Syaikh)
Sementara Abu Hurairah r.a berpendapat, tidak mengapa jika seorang mengerjakan solat sekiranya darah itu hanya setetes atau dua tetes.[6]
c.    Nanah.
          Segala macam jenis nanah itu najis, baik yang kental maupun yang cair, karena nanah itu adalah darah yang sudah busuk.[7]
d.   Anjing dan Babi
          Anjing adalah najis dan wajib mencuci apa saja yang terkena jilat sebanyak tujuh kali. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a :
Rasulullah saw bersabda, “sucikanlah bejanamu yang terkena jilat anjing, yaitu mencuci sebanyak tujuh kali. (HR.Muslim)[8]
          Demikian pula dengan Imam shadiq pernah ditanya tentang anjing. Beliau berkata, “kotoran dan najis”. Bekas minumannya tidak boleh dipakai berwudhu. Buanglah air tersebut. Lalu cucilah tempatnya, pertama-tama dengan tanah baru kemudian dengan air”.
          Putranya Imam Kazhim, pernah ditanya tentang babi yang minum dari bejana. Apa yang harus diperbuat ? beluiau berkata “dicuci tujuh kali”. Demikian pula fatwa para fukaha. Tidak ada kecuali dalam hal ini seluruh bagian dari anjing dan babi, termasuk bagian yang tidak ditempati kehidupan, seperti bulu dan tulang, hukumnya najis. Sudah barang tentu, tidak termasuk dalam ketentuan inianjing laut dan babi laut, karena dalil-dalil tentang kenajisan anjing dan babi khusus untuk anjing dan babi darat, tidak mencakup anjing dan babi laut.[9]
e.      Arak
Jumhur ulama berpendapat, ia adalah najis karena berdasarkan pada firman Allah ta’ala :
“hai orang-orang  yang beriman, sesungguhnya arak, berjudi, berhala, dan mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji(najis) termasuk perbuatan setan...”(al-Maidah : 90)
            Sebagian ulama lagi berpendapat bahwa ia suci, sebab kata-kata najis pada ayat tersebut ditafsirkan sebagai najis maknawi, karena kata “najis” itu merupakan predikat dari arak serta segala yang dihubungkan dengannya. Padahal semua itu tidak dapat dikatakan najis. Allah ra’ala berfirman :
“...maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu...” (al-Hajj:30)
Ternyata berhala disini dikatakan najis, tetapi najis maknawi yang apabila disentuh tidak menyebabkan kita bernajis. Alasan lain, ayat tersebut ditafsirkan bahwa ia merupakan pekerjaan setan yang dapat menimbulkan permusuhan, saling membenci, dan menjadi penghalang untuk mengingat Allah serta melakukan shalat.[10]
f.     Segala benda cair yang keluar dari dua pintu (tempat buang air besar dan kecil).
semua itu najis selain mani, baik yang seperti tinja , urin atau yang tiada biasa seperti madzi (cairan yang keluar dari kemaluan laki-laki ketika ada syahwat yang sedikit.[11]
Adapun sabda Rasulullah SAW :
اِنَّهُ صَلَّى الله عليه وسلّمَ لَمَّاجِىءَلَهُ بِحَجَرَيْنِ وَرَوْثَةٍ لِيَسْتَنْجِىَ بِهَا,اَخَذَالحَجَرَيْنِ وَرَدَّ الرَّ وْثَتَ وَقَالَ هَذِهِ رِكْسٌ. رواه البخار
“sesungguhnya Rasulullah saw diberi dua biji batu dan sebuah fases keras untuk dipakai istinja’, beliau mengambil dua batu saja, sedangkan tinja beliau kembalikan dan berkata: “tinja ini najis” (Riwayat Bukhari).

C.    Hadats kecil dan tatacara thaharahnya (bersucinya)
1.    Hadats kecil dan sebab-sebanya
Seseorang dikatakan berhadas kecil apabila buang air besar maupun kecil, buang angin atau kentut, atau terjadinya beberapa hal yang menyebabkan batalnya wudhu. Agar seseorang bisa suci dari hadas kecil maka harus melakukan wudhu dengan menggunakan air. Akan tetapi, apabila seseorang tidak menemukan air, atau tidak boleh terkena air karena sakit, maka seseorang bisa melakukan tayamum dengan menggunakan debu. Oleh karena itu berikut hal-hal yang meyebabkan harus bersuci (thaharah) dalam hadats kecil sebagai berikut:
a.    Keluarnya sesuatu dari lubang kubul (kemaluan bagian depan) dan lubang dubur (anus), atau salah satu dari keduanya, baik itu berupa kotoran, kencing, kentut, madzi, atau yang lainnya.
b.    Hilangnya akal, baik itu karena gila, mabuk, pingsan, atau tidur yang nyenyak.
c.    Bersentuhnya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
d.   Menyentuh atau tersentuhnya kemaluan dan atau dubur dengan telapak tangan atau jari-jari secara langsung, baik itu miliknya sendiri atau orang lain (misalnya anaknya sendiri).
2.    Landasan thaharah dalam hadats kecil
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam al-quran sudah disebutkan ayat yang menjadi landasan untuk melakukan thahrah termasuk terhadap hadats kecil dan besar yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 6).[12]
Bukan hanya itu dalam hadits juga terdapat beberapa landasan seperti:
a.    Dari Ibnu Umar: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullooh saw  bersabda: Allah tidak akan menerima sholat (orang) yang tidak bersuci dan tidak menerima shodaqah dari hasil penipuan  (khianat).  (HR Muslim Bab 1 no 160)
b.    Dari Ibnu Abbas, telah bersabda Rasulullooh saw: Hanyalah aku  diperintah berwudhu', apabila aku hendak sholat. (Hadis ini  disahihkan oleh Muh.Nashiruddin Al-Albany dalam "Sahih Jaami'us Shaghiir, no. 2333). HR Abu Dawud, no. 3760; Tirmidzi, no. 1848 (Hasan-Sahih) dan Nasa'i I:73).
c.    Dari Abu Sa'id, telah bersabda Rasulullooh saw: Kunci sholat adalah bersuci, tahrimnya adalah takbir dan tahlilnya adalah salam. (Disahihkan oleh MNA-A dam "Sahih Jaami'us Shaghiir, no. 5761).  HR Abu Dawud, no.60; Tirmidzi, no.3; Ibnu Majah no.275).[13]
3.    Hadats kecil bersuci dengan wudhu
Wudhu secara bahasa berasal dari kata wadha’ah artinya adalah baik dan bersih. Sedangkan secara istilah, wudhu adalah menggunakan air untuk dibasuhkan dan diusapkan bagian tubuh tertentu yang disertai dengan niat untuk menghilangkan hadas kecil. Dan dalam istrilah syara’ ialah perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat.[14]
Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, wudhu’ diwajibkan sebelum hijrah yakni pada malam isra’ mi’raj bersamaan dengan kewajiban shalat lima waktu. Dimana pada mulanya diwajibkan hanya setiap kali hendak melalakukan shalat, tetapi kemudian kewajiban itu dikaitkan dengan dengan keadaan berkhadats.[15]
Di dalam berwudhu ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, yakni fardhu dalam wudhu, sunnah dalam wudhu, dan hal-hal yang membatalkan wudhu.
Berikut adalah fardhu atau sesuatu yang wajib atau rukun dilakukan oleh seseorang ketika berwudhu:
1)   Berniat untuk melakukan wudhu.
     Niat merupakan salah satu fardhu atau rukun wudhu’ dan merupakan bagian daripadanya. Tanpa niat berarti wudhu’ itu tidak lengkap sehingga tidak sah. Salah satu landasan tentang niat seperti dalam surat al-bayyinah ayat 5 dan hadits. Dalam al-quran surat al-Bayyinah ayat 5 menyebutkan “padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya meyembah Alllah dengan menurunkan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” dan dalam hadits dari Umar ra. Berkata rasulullah “amal itu tergantung niatnya dan sesorang itu akan mendapatkan sesuai niatnya (HR Bukhari, Muslim dan empat imam Ahli hadits).[16] Sedangkan niatnya adalah sebagai berikut:
“Saya niat wudu untuk menghilangkan hadas keci,l fardu karena Allah ta’ala”.
Namun jika ingin melakukan sunnah juga bisa yaitu berkumur, memnbasuh tangan dan telinga.
2)   Membasuh seluruh muka atau wajah (mulai tumbuhnya rambut kepala bagian atas sampai dengan dagu, dan mulai batas telinga kanan sampai batas telinga kiri atau disebut merata). Hal ini sesuai dengan dalam ayat al-quran surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi “...maka basuhlah mukamu....”
3)   Membasuh kedua tangan sampai dengan siku-siku. Hal sesuai dengan dalam ayat al-quran surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi “....dan tanganmu sampai dengan siku...”
4)   Mengusap sebagian dari rambut di kepala
     Dalam hal ini yang menjadi landasan pertama adalah ayat al-quran surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi “...dan sapulah kepalamu..”. Namun dalam ulama fiqih terdapat beberapa perbedaan dimana Imam Syafi’i mewajibkan sebagian dan mensunahkan semuanya. Beliau dalam hal ini berladaskan juga kepada hadits mughirahyang menyatakan bahwa ketika Nabi Muhammad Saw berwudhu’ beliau menyapun ubun-ubun dan sorbannya, kemudian menyapu kedua khufnya (HR. Muslim). Berbeda dengan Imam Malik yang mewajibkan menyapu seluruh kepala. Sedangkan imam Abu Hanifah batas yang wajib disapu itu adalah seperempat bagian dari kepala.
5)   Membasuh dua telapak kaki sampai dengan mata kaki. Hal ini sesuai dengan dalam ayat al-quran surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi “.....dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. Dan dalam hadits jabir mengatakan bahwa rasulullah Saw memrintahkan agar membasuh kaki bila berwudhu’.
6)   Tertib (berturut-turut, teratur, atau tidak berbalik-balik). Hal ini berdasarkan beberapa hal seperti: kesesuaiann dengan al-Quran, nabi tidak pernah berlaku tidak tertib dan wudhu’itu adalah ibadah jadi harus tertib. Sedangkan kelompok yang tidak menyatakan harus tertib yang dimana tertib itu adalah sunnah bukan wajib seperti tokoh Abu Hanifah, Sawry, Daud al-Zahiry dan sebagian ulama malikiyah.[17]
Di samping memerhatikan yang fardhu, orang yang berwudhu perlu untuk memerhatikan yang sunnah di dalam berwudhu, yakni:
1)   Memulai wudhu dengan membaca basmalah (bismillâhir-rahmânir-rahîm).
     Sumber rujukan dari pernyataan ini adalah hadits rasulullah yang berbunyi “tiap tiap pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan bismillahi al-rahman al-rahim, maka itu adalah terputus barokahnya” (HR Nasai). Dan juga dalam hadits lainnya bersabda rasulullah Saw “berwudhu’lah kamu dengan bismillah” (HR Nasai dan Ibnu Khuzairmah).
2)   Membasuh kedua telapak tangan sampai dengan pergelangan sebelum berkumur. Dalam hal ini rasullullah pernah merperlihatkan kepada beberapa sahabat, dan sahabat yang mengetahui mengerjakannya. Salah satunya adalah Usman bin Affan dan Ali bin Abi thalib. Landasannya terdapat dalam hadist yang berbunyi “jika seseorang kamu bangun dari tidurnya, janganlah ia mencelupkan tangganya ke bejana sampai dibasuh tiga kali” (HR Malik). Namun dalam hadits lain seperti riwayat muslim tidak mengatakan tiga kali hanya saya disuruh membasuhnya.
3)   Berkumur-kumur atau membersihkan mulut dan gigi dengan air (madmadah).
4)   Memasukkan air ke lubang hidung dan membersihkannya (Istinsyaq).
     Dalam hal ini landasannya adalah perbuatan Nabi Saw dalam hadits muttafaq ‘alayh yang berbunyi “barangsiapa berwudhu’ hendaklah ia menaruh air di hidungnya kemudian menghembuskannya” (HR. Muslim).
5)   Mengusap seluruh kepala dengan air.
6)   Mengusap kedua telinga, baik bagian yang luar maupun yang dalam.
     Landasan dari hal ini seperti yang diucapkan nabi melalui Abdullah ibn Zayd berkata “saya melihat Rasulullah saw, berwudhu” dan untuk menyapu telinganya beliau mengambil air lain dan bukan air yang telah ia gunakan untuk menyapu kepalanya” (HR. Hakim dan Bayhaqy)
7)   Membersihkan sela jari tangan dan kaki.
     Dalam hal ini sesuai hadits rasulullah yang isinya “Apabila engkau berwudhu’, maka sela-selailah antara jari-jari tangan dan kakim” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
8)   Menyela-nyela janggut dengan jari.
     Dalam hal ini sesuai hadits rasulullah yang berkata setelah waktu itu rasulullah mengambil air dengan telapak tangannya menaruh di bawah jenggotnya dengan itu dan berkata ‘beginilah saya diperintahkan oleh Tuhan saya (Allah)” (HR. Abu Dawud).
9)   Mendahulukan yang kanan baru kemudian yang kiri.
     Dalam hal ini sesuai hadits rasulullah yang berisi “Apabila kamu berwudhu’ maka mulailah dengan sebelah kanan” (HR Ibnu Majah dan Khuzaimah)
10)    Tiga kali membasuh atau mengusap.
     Dalam hal ini sesuai hadits rasulullah yang berisi “Bahwa rasulullah Saw berwudhu’ tiga tiga kali” (HR. Muslim). Dan hal inipula di praktekkan setiap saat oleh sahabat Ali ra. sehingga beliau berkata kepada yang lainnya selesai berwudhu’ ‘inilah cara rasulullah berwudhu’ (HR. Ibnu Majah)
11)    Membaca doa setelah berwudhu.
12)    Melakukan secara berurutan dengan tidak berselang lama (muwalah).[18]



Sedangkan hal-hal yang membatalkan wudhu adalah sebagai berikut:
1)   Keluarnya sesuatu dari lubang kubul (kemaluan bagian depan) dan lubang dubur (anus), atau salah satu dari keduanya, baik itu berupa kotoran, kencing, kentut, madzi, atau yang lainnya.
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat antara satu dengan lainnya. Menurut Imam Abu hanifah beserta muridnya (ats-Tsauri, Imam Ahmad, dan sebagian sahabat) menyatakan bahwa apapaun yang keluar dari anggota tubuh seperti darah dari hidung, darah bekam, muntah-muntah, atau dari dhubur dan kubul itu najis dan batal wuhdu’nya.[19] Sedangkan meunurut Imam Syafi’i dan pengikutnya termasuk Imam Malik dan pengikutnya bahwa yang mebatalkan wudhu’ segala sesuatu yang keluar dari dua lubang yaitu kubul dan  dubur.[20]
2)   Hilangnya akal, baik itu karena gila, mabuk, pingsan, atau tidur yang nyenyak.
Dalam hal ini ulama ada tiga pendapat yaitu: pertama mengatakan segala bentuk tidur itu membatalkan wudhu’. Kedua menurut Imam Malik bahwa semua posisi kecuali duduk baik itu mebatalkan kecuali dudukpun nyenyak. Ketiga menurut Imam Syafi’i bahwa tidur yang tidak membatlkan adalah posisi duduk yang masih tegak dan tidak bersujud.[21] Dalam perbedaan tersebut memiliki pondasi hadist masing yaitu untuk yang menyatakan tidur tidak membatalkan ketika tidak miring “sesungguhnya Nabi masuk kedalam rumah Maimunah, lalu beliau tertidur hingga berdengkur. Kemudian beliau langsung shalat tanpa berwudhu’ (HR Abu dawud, At-Tirmidzi, Ahmad dan Atthabrani).[22]  Sedangkan yang mengatakan mebatalkan adalah riwayat Abu Hurairah “Apabila salah satu diantara kalian bangun tidur maka bercuci tangan sebelum berwudhu’ di bejana”.
3)   Bersentuhnya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Dalam hal ini terdapat banyak pendapat. Pertama menurut Imam Malik bersentuhan apapun dengan lawan jenis walau tanpa syahwat itu batal. Kedua Imam Abu hanifah menganggp tidak membatalkan jika tanpa syahwat. Sedangkan Imam Syafii mengangap semuanya adalah batal baik yang disentuh ataupula yang menyentuh ketika tanpa penghalang kecuali terdesak dan tidak bisa lagi.[23]
4)   Menyentuh atau tersentuhnya kemaluan dan atau dubur dengan telapak tangan atau jari-jari secara langsung, baik itu miliknya sendiri atau orang lain (misalnya anaknya sendiri).
Dalam hal ini terdapat tiga pendapat, menurut Imam Syafii berserta muridnya, Imam Ahmad dan Dawud mengatakan membatalkan wudhu’. Sedangkan menurut Imam Abu hanifah tidak membatalkan wudhu’ dan ketiga pendapat ulama lainnya yang menyatakan jika nikmat maka batal dan jika tidak atau tidak sengaja maka tidak batal.[24] Begitupula dalam kitab lainnya kitab syafinatun najah bahwa menyentuh kemaluan itu batal ketika diniatkan kecuali tidak sengaja asal yang digunakan adalah telapak tangan yang bagian atas bukan bawah.[25]

D.    Hadats besar dan tatacara thaharahnya (bersucinya)
1.    Hadats besar dan sebab-sebanya
Hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi berhadas besar sehingga wajib mandi agar kembali menjadi suci adalah sebagai berikut:
a.         Bersetubuh atau bertemunya dua khitan antara laki-laki dan perempuan (meskipun tidak keluar air mani). Hal ini sesuai dengan hadits rasulullah yang berbunyi “Apabila bertemu dua (bekas) khitan, maka telah wajib mandi walaupun tidak keluar mani. Aisyah menambahkan “saya melakukan hal itu dengan rasulullah, kemudian kamipun mandi setelahnya” (HR. Muslim).
b.         Keluarnya air mani (disebabkan bersetubuh atau sebab lain). Dalam hadits rasulullah bersabda “Air (mani) hanyalah (wajib) karena air (mani)” (HR. Muslim)
c.         Meninggal dunia (yang bukan mati syahid); sudah barang tentu pengertian mandi di sini adalah dimandikan.
d.        Selesai haid atau menstruasi. Hadits rasulullah Saw “Apabila haid datang, maka tinggalkanlah shalat dan apabila ia telah selesai maka mandilah dan shalatlah kembali (HR. Bukhari).
e.         Setelah melahirkan.
f.          Selesai nifas (berhenti darahnya setelah melahirkan).[26]
2.    Fardhu dalam Mandi
Ketika seseorang akan melakukan mandi wajib maka harus memerhatikan hal-hal yang hukumnya fardhu atau yang harus dilakukan sebagai berikut:
a.         Berniat mandi untuk menghilangkan hadas besar. Niat ini adanya di dalam hati, namun untuk menguatkannya maka lisan dapat mengucapkan niat sebagai berikut:
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ فَرْضًا لِلّهِ تَعَالىَ
Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari fardhal lillâhi ta’âlâ.
Artinya:
“Aku berniat mandi untuk menghilangkan hadas besar fardhu karena Allah Ta’ala.”
Namun dalam hal ini niat menjadi beberapa hal seperti: niat mandi besar seperti biasa, niat mandi junub, haid, nifas, jumat dan lainnya.
b. Membasuh seluruh tubuh dengan air yang suci sampai rata, yakni dari kepala (termasuk seluruh rambut) sampai dengan ujung kaki.
c. Menghilangkan najis apabila ada yang melekat di badan.[27]
3.    Sunnah dalam Mandi
Sedangkan yang hukumnya sunnah ketika mandi untuk menghilangkan hadas besar adalah sebagai berikut:
  1. Mendahulukan untuk membasuh kotoran atau najis yang menempel di badan.
  2. Berwudhu sebelum mandi.
  3. Menghadap ke arah kiblat.
  4. Membaca basmalah (bismillâhir-rahmânir-rahîm) ketika akan memulai mandi.
  5. Mendahulukan anggota atau bagian badan yang sebelah kanan baru kemudian yang sebelah kiri.
  6. Membasuh badan sampai tiga (3) kali.
  7. Menggosok-gosok seluruh tubuh dengan tangan.
  8. Sambung-menyambung (muwalat) dalam membasuh anggota badan.
  9. Khusus bagi wanita apabila selesai mandi haid atau nifas disunnahkan memakai wangi-wangian kecuali sedang ihram.

E.     Bersuci dari najis
1.    Jenis-Jenis Najis
a.         Bangkai binatang yang tidak punya darah  dan bangkai binatang laut.
Dalam hal ini ulama fiqih berbeda pendapat. Menurut Imam Malik dan muridnya bawha bangkai yang tidak punya darah hukumnya suci termasuk binatang laut. Sedangkan Imam Syafii mengatakan bahwa semua jenis binatang baik yang ada darah atau tidak itu sama-sama najis kecuali binatang dilaut. Dalam penulikalannya khusus bianatang laut sesuai sabda rasul yang berbunyi “Laut itu thahur (suci airnya danbisa mensucikan), dan halal bangkainya” (HR Thirmidzi dan empat imam fiqih).[28]
b.         Memamfaatkan kulit bangkaila
Dalam hal ini Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah bahwa kulit binatang najis itu tetap walau disamak sedangkan yang halal jika disamak itu suci. Berbeda dengan Imam Malik yang mempunyai dua versi yaitu petama sama dengan Imam Syafi’i dan kedua semua binatang tidak bisa suci namun bisa dimamfaatkan jika sudah kering.[29]
c.         Najisnya darah binatang daratan
Semua ulama sepakat darah binatang darat itu najis. Namun berbeda tentang darah ikan dimana Imam Syafii dan Imam Malik darah ikan itu suci.[30]
d.        Najisnya air kencing dan kotoran manusia
Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa najisnya air kencing dan kotoran manusia itu najis, kecuali air kencing bayi ada dua pendapat. Pertama menurut Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah itu najis semua dan sebgaian lainnnya berpendapat suci secara mutlak.[31]
2.    Macam-macam najis dan cara menyucikannya
Macam-Macam Najis
Najis Mukhafafah (ringan)
Najis Mutawasitah (sedang)
Najis Mughallazah (berat)
 








a.       Najis Mukhafafah (ringan) adalah najis yang berasal dari kencing bayi laki-laki berumur 2 tahun belu makan kecuali air susu ibu. Cara menyucikannya dipercikan atau disiram yang terkena air lalu bersihkan.
b.      Najis Mutawasitah (sedang) adalah najis yang berasal dari dhubur dan kubul manusia dan binatang contoh air mani, barang cair memabukkan dll. Najis ini terbagi 2 yakni ainiyah (berwujud atau nampak) dan hukmiyah (tidak tanpak tapi berbau). Cara menyucikannya dengan dibasuh hingga hilang.
c.       Najis Mughallazah (berat) adalah najis terkena anjing babi dan keturunannya.  Cara membersihkannya dengan dibasuh 7X dengan air bercampur tanah.
3.    Sesuatu yang dapat digunakan untuk menghilangkan najis (benda)
Mengenai benda yang digunkan untuk menghilangkan najis, kaum muslimim sepakat bahwa air yang suci dan mensucikan dapat menghilangkan najis dari tiga tempat tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa secara khusus juga berlaku pada batu. Di luar itu para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah mengunakan benda-benda suci baik itu cair atau padat itu boleh dan selain air dan batu itu makruh.[32] Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i bahwa menghilangkan najis hanya dengan air, dan boleh batu khusus dari qubul (buang air kecil) dan cebok.[33] Dan pendapat lainnya boleh mengunkan benda yang dapat membersihkan. Serta sebagian ulama lainnya yang membatasi bahwa yang dapat membersihkan hanya batu saja (Mazhab Zhahiri).[34]

F.     Bersuci dari hadats (Tayammum)
1. Tayammum
a. Pengertian
            Tayamum menurut makna bahasa ialah “bersengaja”. Sedangakan menurut makna syar’i adalah bertujuan dan sengaja menyapukan tanah kebagian muka dan kedua tangan dengan maksud agar dapat mengerjakan shalat dan lain-lainnya[35].
b.    Syarat-syarat tayamum
Syarat-syarat tayamum ada 5, yaitu :
1)        Ada uzur, baik karena perjalanan atau sakit
Allah berfirman :
Dan kika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah. (al-Maidah :6)
2)        Masuk waktu shalat
Rasulullah bersabda :
Bumi dijadikan untukmu sebagai tempat sujud dan suci. Siapa saja diantara umatku yang mendapati waktu shalat, hendaklah dia shalat. (HR.Bukhari)
Dalam riwayat ahmad disebutkan :
Dimana saja saya mendapatkan waktu shalat, maka saya mengusap (tanah) dan shalat.
       Dua riwayat ini menunjukkan bahwa rasulullah bertayamum dan shalat jika tidak mendapatkan air setelah masuk waktu shalat.
3)        Telah berusaha mencari air, tetapi tidak didapat
4)        Ada air, tetapi sulit untuk menggunakannya (karena air yang tersedia hanya sedikit dan dibutuhkan untuk minum manusia ataupun hewan )
5)        Tersedia tanah yang suci yang mengandung debu. Jika bercampur dengan kapur atau pasir, maka tidak cukup.[36]
c.    Rukun Tayamum
Adapun rukun tayamum ada empat, yaitu :
1)        Niat
2)        Mengusap wajah
3)        Mengusap kedua tangan sampai kedu siku
4)        Tertib
Allah berfirman :
“Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dengan tanganmu dengan tanah itu”. (al-Maidah :6)
Kata فتيمموا)) maksudnya adalah menyengajalah untuk bertayamum. Ini merupakan dalil yang menunjukkan wajib niat, disertai dengan hadits “sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya”. Masud tanah yang baik itu adalah tanah yang suci.[37]
d.   Sunnah Tayamum
Sunnah tayamum ada tiga, yaitu :
1)  Mengucap basmalah.
2)  Mendahulukan bagian kanan dari bagian kiri.
3)  Dilakukan secara beruntun tanpa berhenti.[38]

G.    Jenis-jenis Air
Air Musta’mal
Jenis-Jenis Air
Air Mutlak
Air yang bernajis

Air bercampur dengan barang yang suci

 











1.      Air Mutlak
            Air mutlak dihukumkan sebagai air suci megi menyucikan. Artinya, ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi lannya. Adapun yang termasuk macam-macam air mutlak itu adalah sebagai berikut.
a.       Air hujan, salju atau es, dan air embun. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
“ ...  Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu ...” (al-Anfaal [8]: 11)
“ ... dan kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” (al-Furqaan [25]:48)
Juga berdasarkan dari hadits Abu Hurairah r.a :
            “Jika Rasulullah saw membaca takbir di dalam shalat, maka beliau diam sejenak sebelum membaca al-fatihah. Akupun bertanya, ‘Demi kedua orang-tuaku wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang engkau baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca al-fatihah ?’ Rasulullah pun menjawab, ‘Aku membaca, ‘Ya Allah, jauhkanlah diriku dari dosa-dosaku sebagaimana engkau menjauhkan Timur dari Barat. Ya Allah bersihkanlah diriku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah diriku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air, dan embun.’” (HR. Jama’ah kecuali Tirmidzi)
b.      Air laut.
c.       Air telaga (zamzam), sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali r.a artinya bahwa “ rasulullah saw meminta seember penuh dengan air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakaiannya untuk berwudhu” (HR. Ahmad)
d.      Air yang berubah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut kebiasaannya tak terpisah dari air, seperti lumut dan daun-daun kayu, maka menurut ijma’ ulama air itu tetap termasuk air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kaitan dengan unsur-unsur lain, boleh dipakai untuk bersesuci. Allah ta’ala berfirman :
“... jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayamumlah ...”(al-Ma’idah [5]:6)
2.      Air Musta’mal (Air yang telah dipakai)
            Yaitu air yang telah terpisah (telah terpakai) dari anggota-anggota orang yang berwudhu dan mandi. Hukumnya suci lagi menyucikan, bagaimana halnya air mutlak tanpa adanya perbedaan dari segi hukum sedikit pun. Hal itu mengingat bahwa asalnya yang suci dan tiada dijumpai satu alasan pun yang mengeluarkannya dari hal kesuciannya.
            Juga karena hadits Rubaiyi’ binti Mu’awwidz sewaktu menerangkan cara wudhu Rasulullah saw. Katanya, “Dan disapunya kepalanya dengan sisa wudhu yang terdapat pada kedua tangannya.”
            Juga dari riwayat Abu Hurairah r.a :
“Nabi saw. Berjumpa dengannya disalah satu jalan kota Madinah, sedangkan waktu ia dalam keadaan junub. Maka Abu Hurairah pun menyelinap pergi dari Rasulullah lalu mandi, kemudian datang kembali. Lantas Nabi saw bertanya, ‘Ke mana ia tadi ?’ sahabat lainnya menjawab,’ia datang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak menemani Baginda dalam keadaan tidak suci itu.’ Maka bersabdalah Rasulullah saw, Mahasuci Allah, orang mukmin itu tak mungkin najis ’” (HR. Jama’ah)
            Hadits ini menegaskan bahwa orang mukmin itu tidak mungkin najis. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi seseorang yang menyatakan bahwa air itu kehilangan kesuciannya semata karena bersentuhan dengan benda yang suci. Oleh karena itu bertemunya barang yang suci dengan yang suci pula tidaklah membawa pengaruh apa-apa.
            Ibnu Mundzir mengatakan,”Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, Atha’, Mak-hul, dan Nakha’i bahwa mereka berpendapat tentang orang yang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya,’Cukuplah bila ia menyapu dengan air itu.’ Ini menunjukkan bahwa air musta’mal itu menyucikan, dan demikian pula pendapatku.”
            Madzhab ini adalah salah satu pandapat yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi’i. Dan, menurut Ibnu Hazm juga merupakan pendapat Sufyan as-Sauti, Abu Tsaur, dan semua ahli zahir.
3.      Air yang Bercampur dengan barang yang suci
            Misalnya dengan sabun, lumut, tepung dan lain-lain yang biasanya terpisah dari air. Hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tak dapat lagi dikatakan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, dan tidak meyucikan bagi lainnya.
            Ummu Athiyah berkata :
“Rasulullah saw masuk ke ruangan kami pada hari ketika putrinya-zainab-wafat. Lalu beliau berkata, ‘mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih banyak lagi jika kalian mau, dengan air yang dicampur dengan daun bidara. Setelah itu, campurlah air itu dengan kapur barus atau sedikit darinya. Jika telah selesai beritahukanlah padaku.’setelah selesai memandikan, kami pun memberitahukan kepada nabi. Kemudian beliau menyerahkan kain kafan untuknya seraya bersabda,’balutkanlah kain ini pada rambutnya!’” (HR. Jamaah)
            Sebagaimana yatng tekah diketahui, mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang suci lagi menyucikan untuk orang yang hidup.
            Menurut riwayat Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Khuzaimah dari hadits Ummu Hani’,
“ Nabi saw mandi bersama Maimunah dari sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang didalamnya ada sisa tepung.”
            Jadi, di dalam kedua hadits tersebut terdapat percampuran, tetapi tidak sampai menyebabkan percampuran tersebut bukan air mutlak.
4.      Air yang bernajis
            Adapun jenis air yang bernajis dalam hal ini, terdapat dua keadaan, yaitu sebagai berikut.
            Pertama, bila najis itu mengubah salah satu dai rasa, warna, atau baunya. Berdasarkan kondisi ini maka para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Mulqin.
            Kedua, bila air tetap dalam keadaan mutlak. Dengan arti kata lain, salah satu diantara sifatnya yang tiga tadi tidak berubah. Hukumnya ia adalah suci dan menyucikan, baik kadar air tersebut sedikit maupun banyak. Alasannya adalah hadits dari Abu Hurairah r.a :
“seorang badui bediri lalu kencing di Masjid. Orang-orangpun langsung berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Nabi saw,’biarlah dai!cukuplah kalian menuangkan pada kencingnya itu setimba  atau seember! Kamu dibangkitkan adalah untuk memberikan kemudahan bukan untuk menyukarkan”. (HR. Jama’ah kecuali Muslim)
Ini juga merupakan pendapat dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnu Musayyab, Ikrimah, Ibnu Abu Laila, Tsauri, Dawuh azh-Zhahiri, Nakah’i, Malik, dan lain-lain. Al-ghazali berkata, “ saya berharap kiranya madzhab syafi’i mengenai air akan akan sama dengan madzhab Maliki
Adapun Haditsnya :
“abdulallah binUmar r.a behwasayanya Nabi saw pernah bersabda,’jika air sampai dua kulah maka ia tidaklah mengandung najis”. (HR. Bukhari Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i) maka ia adalah hadits mudhtharib, artinya haditsnya tidak jelas, biak dari segi sanad maupun matannya.
            Ibnu Abdil Barr di dalam kitab al-Tahmid mengatakan “pendirian Syafi’i mengenai hadits dua kulah adalah madzhab yang lemah dari segi penyelidikan dan tidak berdasarkan kepada alasan yang kuat.

H. Haid
            Darah haid ialah darah yang keluar dari rahim wanita bukan karena penyakit dan bukan pula karena persalinan. Allah telah menetapkan hal itu atas wanita sebagai cara untuk memelihara keturunan dan mengetahui kesucian rahim.[39]
            Haid tidak akan dimulai sebelum wanita mencapai usinya 9 tahun. Karena itu, jika seorang wanita melihat darah keluar sebelum usia tersebut, itu bukan darah haid, tetapi darah penyakit. Demikain juga darah yang keluar dari rahim wanita diatas usia enam puluh tahun, itu bukan darah haid, melainkan darah penyakit. Lamanya haid paling sedikit adalah sehari semalam, paling lama 15 hari-15 malam. Kebiasaanya enam hari enam malam atau tujuh hari tujuh malam suci anatara dua haid paling sedikit 15 hari-15 malam, sebanyak-banyaknya tidak ada batas karena sebagian perempuan hanya satu kali haid haid selama hidupnya. Keterangannya menurut pemeriksaan ulama-ulama masa dahulu, ialah yang dinamakan “istiqra’”.[40]

I.     Nifas
1.    Definisi Nifas
            Nifas adalah darah yang keluar dari rahim perempuan yang disebabkan melahirkan anak, walaupun hanya diakibatkan keguguran.[41] Masa nifas sedikitnya sekejap, kebanyakan perempuan keluar darah nifas selama 40 hari, dan selama-lamanya 60 hari melahirkan anak.[42]
2.    Hal-hal yang terlarang bagi perempuan Haid dan Nifas
Perempuan-perempuan yang haid dan nifas sama kedudukannya dengan orang junub. Dengan kata lain, setiap perkara yang dilarang kepada orang junub, maka ia juga diberlakukan kepada perempuan haid dan nifas.
Disamping itu, masing-masing dari ketiga golongan ini dikategorikan orang berhadas besar. Selain larangan tersebut, terdapat beberapa larangan atas perempuan haid dan nifas, yaitu seperti berikut :
1.      Puasa, perempuan haid dan nifas tidak dibolehkan berpuasa.
2.      Bersenggama, hal ini diharamkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin, dalil al-Quran dan dalil Sunnah. Oleh sebab itu, tidak boleh menyetubuhi istri yang sedang haid dan ketika dalam keadaan nifas hingga mereka suci.[43]

J. Istihadah
1.    Definisi Istihadah
Istihadah adalah darah yang keluar secara terus-menerus dan mengalir bukan pada waktunya.
2.    Keadaan perempuan Istihadah
Perempuan yang istihadah itu mengalami salah satu di antara tiga hal berikutnya :
a.    Jangka waktu haid telah diketahuinya sebelum terjadinya istihadah. Dalam keadaan seperti ini, jangka waktu yang telah diketahui itu mesti dianggap sebagai masa haid, sedangkan selebihnya dianggap sebagai istihadah. Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah,
b.    Darahnya mengalir berkepanjangan dan tidak mempunyai hari-hari yang telah diketahuinya ada kalanya karena tidak ingat lagi akan kebiasaannya atau ia mencapai baligh dalam keadaan istihadhah sehigga tidak dapat membedakan darah haid dengan darah selainnya. Dalam keadaan seperti itu, hitungan dari haidnya dianggap selama enam atau tujuh hari, karena melihat pada kebiasaan kaum perempuan haid.
c.    jika ia tidak mempunyai kebiasaan, tetapi dapat membeda-bedakan darah gaid dengan darah lainnya, maka dalam keadaan seperti ini, hendaklah ia berbuat sesuai dengan perbedaannya itu.[44]
3.    Hukum-hukumnya
Perempuan yang istihadah mempunyai ketentuan yang dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.    Ia tidak wajib mandi ketika ingin melakukan shalat apapun dan pada waktu manapun, kecuali hanya satu kali, yaitu pada saat haidnya telah putus. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, baik dari golongan salaf (terdahulu) maupun khalaf(kemudian).
2.    Ia wajib berwudhu pada setiap kali ingin mengerjakan shalat.
3.    Hendaklah ia mencuci kemaluannya sebelum berwudhu dan kemudian ditutup dengan kain atau kapas untuk menahan atau mengurangi najis.
4.    Menurut mayoritas ulama, perempuan yang beristihadhah tidak boleh wudhu sebelum masuk waktu shalat karena kesuciannya itu adalah karena keadaan darurat. Oleh karena itu, ia tidak boleh memajukan wudhu sebelum tiba waktu shalat yang diperlukan
5.    Tidak ada halangan bagi suaminya menyetubuhinya pada saat darahnya keluar. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama karena tidak ditemukan satu dalil pun yang mengharamkannya. Ibnu Abbas mengatakan, “perempuan istihadhah boleh disetubuhi oleh suaminya, sebab jika ia sudah dibolehkan mengerjakan sholat tentunya hukum boleh menyetubuhi pun adalah lebih diutamakan” (HR. Bukhari)
6.    Hukum perempuan istihadhah adalah sama seperti perempuan-perempuan suci lainnya. Oleh sebab itu, ia boleh mengerjakan sholat, berpuasa, i’tikaf, membaca al-Quran, menyembuhkan dan membawa mushaf serta melakukan semua ibadah. Ini adalah berdasrakan ijma’ ulama.[45]


K. Adab Istinja’ (Cebok)
Menurut pra ulama ahli fiqih sebagian besar tentang adab istinja’ atau cebok dan masuk WC cenderung bersifat sunnat atau anjuran. Hal itu dapat diketahui dari as-sunnah. Contohnya seperti jika ingin membuang air sebaiknya menjauhkan diri dan tidak berbicara, larangan cebok dengan tangan kanan, tidak boleh menyentuh kemaluan dengan tangan kanan dan lainnya seperti yang disebutkan dalam hadits.
Dalam konteks ini, para ulama hanya beda berpendapat dalam satu hal saja yakni tentang terhadap membelakangi kiblat bagi orang yang sedang buang air besar dan kecil.  Dalam hal ini ada 3 pendapat yaitu 1) bagi orang yang buang air besar atau kecil ia tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat di manapun tempatnya.[46] 2) hal itu tidak boleh secara mutlak.[47] 3) hal itu boleh dilakukan di dalam bangunan-bangunan atau kota kota (ada penghalang) dan diluar itu tidak boleh.[48] Hal ini sesuai dengan 2 hadits yang sedikit bertentangan dalam artian walau sama-sama shahih yaitu: 1) hadits abu ayyub al-ashari sesunguhnya Nabi Muhammad Saw bersabda “Apabila kalian buang air janganlah menghadap atau membelakangi kiblat. Tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat”  (HR Bukhari Muslim)[49] dan 2) Hadits Abdullah bin Umar sesunguhnya ia berkata “Aku naik ke atas rumah kakaku Hafsah, daan aku melihat Rasulullah Saw dalam posisi duduk berjongkok sedang buang air besar menghadap ke arah Syiria dan membelakangi kiblat”.[50] Berdasarkan 2 hadits tersebut ada  3 pendapat di kalangan ulama’ namun kebanyakan mengambil bahwa mereka cenderung mengartikan hadits Abu Ayyub Al-Ashari tersebut dalam buang air kecil atau besar di tanah lapang dan mengartikan hadits ibnu umar dalam kasus buang air besar ini ada sekat atau penghalang.[51] Berikut beberapa adab dalam buang hajat atau buang kecil berikut ini:
1.      Dianjurkan bagi orang yang akan masuk ke WC membaca doa. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
Dari Ali bahwa nabi bersabda “pembatas antara jin dengan aurat bani adam hawa manakala seorang di antara mereka masuk WC adalah agar ia mengucapkan basmalah” (Shahih: Shahih Jamius Shaghir no. 3611, Tirmidzi jilid 2 no 603). Dan dari riwayat lainnya yaitu dari Anas “rasullullah ketika masuk dalam WC mengucapkan: Allahumma inni a’uudzubika minal  khubutsi wal khabaits” (Mutafaqun ‘alaih: Fathul Bhari 1 no 145, Muslim jilid 1 no 378, Ibnu Majah jilid 1 no 298 dll)
2.      Apabila keluar dari WC dianjurkan mengucapkan”Ghufatanaka”. Hal ini berdasarkan hadits rasulullah dari Aisyah ia berkata “adalah Nabi Muhammad Saw apabila keluar dari WC mengucapkan Ghufranaka” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no 4714, Tirmidzi jilid 1 Bab 7 no 7, dan Ibnu Majah Bab 110 no 300 dll).
3.      Dianjurkan mendahulukan kaki kiri ketika akan masuk WC dan keluar dengan kaki kanan.[52]

L. Khuf (Mengusap Sepatu)
1. Pengertian
Khuf merupakan salah satu kemudahan Islam, ketika seorang muslimah berada dalam keadaan suci tak berhadats atau telah berwudhu dan mengenakan kaos kaki lalu berhadats maka saat berwudhu kembali seorang muslimah diperbolehkan untuk tidak melepaskannya saat wudhu. Demikian juga lelaki muslim, boleh melakukan hal tersebut. Ini juga berlaku bagi yang memakai sepatu atau penutup kaki lainnya.
2. Landasan
a.       Al-mughirah bin Syu’bah menuturkan “aku pernah bersama rasulullah dalam sebuah perjalanan. Aku pun turun untuk melepas kedua sepatu rasulullah dan beliau bersabda, ‘Biarkan sepatu itu karena aku memakainya dalam keadaan suci’” (HR Bukhari).
b.      Hudzaifah bin Al Yaman mengatakan “Aku bersama rasulullah dalam sebuah perjalanan. Beliau buang air kecil kemudian berwudhu’ dan mengusap sepatu.” (HR. Bukhari. Ini disampaikan singakat).[53]
3.    Cara Mengusap atau melakukan.
Tata cara mengusapnya tentu bukan dengan mencolek atau sebatas menempel/meletakkan tangan saja. Para ulama telah menjelaskan dengan sederhana. Begitu mudah.
Syaikh Shalih ibn Fauzan menjelaskan caranya:
  1. Meletakkan telapak –sekaligus jari- yang telah dibasahi dengan air di atas jari-jari kaki.
  2. Tangan kanan diletakkan di atas jemari kaki kanan. Tangan kiri diletakkan di atas kaki kiri.
  3. Kedua tangan digerakkan atau disapukan hingga bagian atas yaitu punggung pergelangan kaki atau betis.
  4. Pengusapan dilakukan sekali saja. Tak perlu diulang[54].
Dan menurut Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin mengungkapkan bahwa sebagian ulama menyatakan usapan pada kaki kanan dan kiri dilakukan bersamaan. Sebagian yang lain menyatakan bahwa ini dilakukan bergantian. Usapan kaki kanan didahulukan sebelum kaki kiri. Beliau juga menyatakan bahwa permasalahan ini “waasi’un” artinya diberi kelapangan dalam memilih, tak terlalu dipermasalahkan. sedangkan menurut  pendapat para ulama pada catatan ini, Ibnu Rusyd rahimahullah dalam kitabnya yang fenomental yaitu Bidayatul Mujtahid menyebutkan ikhtilaf ulama ada 3 meliputi: a) Bagian yang wajib diusap adalah bagian atas khuf. Mengusap bawahnya adalah mustahab. Pendapat ini dipegang oleh Malik, as-Syafi’i dan yang lain. b) Bagian yang wajib diusap adalah bagian atas dan bawahnya sekaligus. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ibnu Nafi’ dan sahabat Malik. c) Bagian yang wajib diusapkan adalah bagian atas saja. Bagian bawah tidak diusap dan tidak pula disunnahkan. Inilah pendapat yang dipegang oleh imam Abu Hanifah, Daud, Sufyan dan lain-lain. Namun sekalipun banyak pendapat dalam kesepakatan kebanyakan ulama’ memilih yang ketiga karena dasarnya lebih banyak seperti:
a) Sahabat Al-Mughirah menuturkan:
رأيت رسول الله مسح على ظهر الخفين
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas Khuf.”
b) Sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه لقد رايت رسول الله يمسح على ظاهر خفيه
“Sekiranya agama ini adalah dengan akal semata maka tentu bagian bawah khuf lah yang lebih utama untuk diusap disbanding bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas khufnya.(HR. Abu Dawud)”.[55]
4.    Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf
Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).
Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,
فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub (HR. Ahmad).”[56]

5.    Hikmah Mengusap Khuf
Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung.[57]

M. Siwak
Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan mendapatkan keridhoan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ (رواه أحمد)
Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rob”. (Hadits shohih riwayat Ahmad, irwaul golil no 66). (Syarhul mumti’ 1/120 dan taisir ‘alam 1/62)
Oleh karena itu Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda :
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَّلاَةٍ
Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat”. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70).[58]
Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Allah, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ أَكَلَ الثَّوْمَ أَوِ الْبَصَالَ أَوِ الْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا لإَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ بَنُوْ آدَمَ
Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam tergaanggu dengannya” (Taisir ‘alam 1/63)
Dan ternyata Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak hanya bersiwak ketika akan sholat saja, bahkan beliau juga bersiwak dalam berbagai keadaan. Diantaranya ketika dia masuk kedalam rumah…
رَوَى شُرَيْحٌ بْنُ هَانِئِ قَالَ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا بِأَيِّ شَيِءٍ يَبْدَأُ النَّبِيُّ إِذَا دَخَلَ بَيِتَهُ ؟ قَالَتْ : بِالسِّوَاكِ
Telah meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata :”Aku bertanya kepada ‘Aisyah : “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Rosulullah jika dia memasuki rumahnya ?” Beliau menjawab :”Bersiwak”. (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 72).  Dari hal ini menjelaskan bahwa bersiwak itu sangatlah bagus dan dianjurkan oleh rasulullah Saw.[59]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.             Thaharah berarti bersih (nadlafah), suci (nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas). Sedangkan menurut syara’ thaharah itu adalah mengangkat (menghilangkan penghalang yang timbul dari hadats atau najis.[60]
2.             Najis adalah kotoran yang setiap muslim wajib untuk menyucikan diri darinya dan menyucikan setiap sesuatu yang terkena kotoran najis tersebut. Dan macam-macam najis ada 3 macam yaitu: najis mukhalladoh, mukhaffafah dan mutawatsithah.
3.             Hadats kecil adalah ketika keluarnya sesuatu dari tubuh atau lainnya seperti buang air kecil, besar, kentut, bersentuhan antara bukan mahram dll. Cara untuk bersucinya adalah wudhu’. Berbeda dengan hadats besar yang disebabkan oleh hal tertentu seperti bersetubuh, keluarya mani, meninggal dunia dll dan cara menyucikannya mandi terlebih dahulu lalu berwudhu’.
4.             Tayamum menurut makna bahasa ialah “bersengaja”. Sedangakan menurut makna syar’i adalah bertujuan dan sengaja menyapukan tanah kebagian muka dan kedua tangan dengan maksud agar dapat mengerjakan shalat dan lain-lainnya.[61]
5.             Darah haid ialah darah yang keluar dari rahim wanita bukan karena penyakit dan bukan pula karena persalinan. Allah telah menetapkan hal itu atas wanita sebagai cara untuk memelihara keturunan dan mengetahui kesucian rahim[62].
6.             Khuf merupakan salah satu kemudahan Islam, ketika seorang muslimah berada dalam keadaan suci tak berhadats atau telah berwudhu dan mengenakan kaos kaki lalu berhadats maka saat berwudhu kembali seorang muslimah diperbolehkan untuk tidak melepaskannya saat wudhu.
7.             Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain.
Dalam hal ini penulis bersumber dari buku dan kitab terkenal. Bukan hanya itu dalam pembahasan makalah ini bertujuan sebagai media informasi kepada khalayak umum untuk dapat meiliki pegetahuan dan perkembangan yang luas. Oleh karena itu Bab thahara dalam makalah ini mengkonsep secara keseluruhan untuk menjadi bahan rujukan dalam belajar.





[1] Assyaikh Muhammad Jamaluddin Alqasimi, Kitab Muizatul Mukminin,  Bandung: Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro, 32-33
[2] Lahmudin Nasution, Fiqih 1, Logos, 9
[3] Imam Abu Zakariyya Yahya, Raudhatuth Thalibin, Jakarta: Pustaka Azama, 2007, 12
[4][4]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar  Imam Hasan al-banna, Jakarta: pena pundi askara,  2006, 22
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1996 , 32
[6] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar  Imam Hasan al-banna, Jakarta: p ena pundi askara., 2006,  22
[7] Sulaiman rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1990,  32
[8] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar  Imam Hasan al-banna., Jakarta: p ena pundi askara.  2006, 28
[9] Muhammad Jawab Mughniyah., Fiqh al-Imam Ja’far Ash-Shadiq ‘Ardh wa Istidlal(juz 1&2), Jakarta: Penerbit lentera. 2009, 54
[10] Sayyid Sabiq,  Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar  Imam Hasan al-banna, Jakarta: Pena pundi askara, 2006,  2
[11] Sulaiman rasjid, Fiqh Islam,  Bandung,:Sinar Baru, 1990, 32
[12] Imam Syafii, Kitab Al Umm, 32
[13] Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Duro Jauhar,  11-14
[14] Lamuddin Nasution, Fiqih 1, Logos, 10
[15] Lamuddin Nasution, 10
[16] Lamuddin Nasution, Fiqih 1, Logos,  11-12
[17] Lamuddin Nasution, 12-16
[18] Lamuddin Nasution, Fiqih 1, Logos 17-23
[19] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid, Jakarta: Aksara Media,  43.
Keterangan: pendapat ini dapat dilihat juga di Tuhfatul Al Fuqaha 1/22, pendapat Imam Abu Hanifah, Al-Mughni 1/184 pendapat Imam ahmad dan ulama lainnya seperti Ibnu Abbas, Umar ra, Sa’id, Atha, Qatadah dan An-Nawawi di Nail al-Authar 1/221.
[20] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid, Jakarta 44
Keterangan: pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama’ lihat di ar-Raudhah 1/73, al-Majmu’ 2/91.
[21]  Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid, Jakarta: Aksara Media,  46.
Keterangan: semua ini bisa dilihat di Qawanin al-Ahkam asy-Syari’iyah hal. 27, Al-Mughni 1/150, ar-Raudhah 1/74.
[22] Lihat sunan Abi dawud 1/242
[23] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid,  48-49.
Keterangan: pendapat Imam malik lihat di Qawanin al-Ahkam asy-Syariyah hal 27. Imam Abu Hanifah lihat di Bada’i ash-Shana 1/148 dan Imam Syafii lihat di al-Majmu’ 2/26,27.
[24] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid,  50-51
Keterangan: menurut Imam Syafii dkk lihat di al-Majmu’ 2/37,38, al-Mughni 1/178,179, al-muhalla 1/325. Imam Abu Hanifah lihat di Tuhfah al-Fuqaha 1/35.
[25] Safinatun Najah, Miftah Surabaya , 5.
[26] Lamuddin Nasution, Fiqih 1, Logos 31-33
[27] Lamuddin Nasution, Fiqih 1, Logos, 29
[28] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid, Jakarta: Aksara Media, 100-101
Keterangan: Imam Malik lihat di Qawanin al-Akhkam asy-Syari’ah, hal. 36 dan Imam Syafii lihat di Al-Majmu 1/17 dan al-Mughni 1/42 yang menegaskan bahwa semua binatang tidak memiliki darah dan binatang laut tidak najis.
[29] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid, 103
[30] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid, 104
Keterangan: dalam veris asli Imam syafii ada yang bilang najis namun kebanyakan menganggap ikan itu suci sesuai di majmu 2/115, Bada’ ash-Shana 1/216.
[31] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid, 105-106
Keterangan; Imam Syaffi dkk lihat di al-Majmu 2/502, Tuhfah al-Fuqaha 1/96. Dan ulama lainnya  yang mengatakan suci lihat di al-Majmu 2/502 menguti dari Ibnu Hazm.
[32] Keterangan: ini pendapat Imam Abu Hanifah dan muridnya, serta Abu yusuf. Lihat Tuhfah al-Fuqaha 1/25
[33] Keterangan Lihat Qawanin al-Ahkam asy Syar’iyyah hal 22, al-majmu 1/140, al-mughni 1/9.
[34] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, 109-110
[35] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar  Imam Hasan al-banna, 2006, Jakarta: Pena pundi askara, 2006, 99
[36] Musthafa diib al-Bugha, Fiqh Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi’i. Surakarta.: Media Zikir, 2009, 63
[37] Musthafa diib al-Bugha, Fiqh Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi’i, 2009,  64
[38] Musthafa diib al-Bugha, 65
[39] Muhammad Jawab Mughniyah., Fiqh al-Imam Ja’far Ash-Shadiq ‘Ardh wa Istidlal(juz 1&2), Jakarta: Penerbit lentera, 2009,  124
[40] Sulaiman rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1990,  56
[41] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar  Imam Hasan al-banna, Jakarta: Pena pundi askara. 2006, 116
[42] Sulaiman rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1990,  56
[43] Sayyid Sabiq,  Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar  Imam Hasan al-banna, Jakarta: Pena pundi askara, 2006, 115-117
[44] Sayyid Sabiq,  Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar  Imam Hasan al-banna, 119-122
[45] Sayyid Sabiq,  Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar  Imam Hasan al-banna, 122-123
[46] Keterangan: ini pendapat yang dikutip dari Imam Ahmad, Mujahid, Ibrahim an-Nakha’i, ats-Tsauri dan Abu Tsaur, lihat kitab al-mughni.
[47] Keterangan: ini pendapat dawud  azh zhahiri dan Rabi’ah guru Imam Malik.
[48] Ini pendapat Imam Malik dan Imam Syafii, Imam Ahmad. Dalam Fath Al-Bahri mengaku mayoritas ulama dan cenderung kepada hal ini. Lihat juga al-Mugni 1/164.
[49] Lihat kitab Nail al-Authar 1/97
[50] Lihat kitab Nail al-Authar 1/98
[51] Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, 115-116
[52] Abdul Azhim bin Badawi, Al-wajiz fi fiqsis sunnah wal kitabil aziz, Jakarta: Pustaka as-sunah, 74-76
[53] Syaikh Abdul Ghani Al Maqoisi, Umdatul Hikmah, Hadits Bukhari Muslim Pilihan (penerjemah: Abu Ahmad Abdullah), Media Hidayah, 26
[54] syaikh Shalih ibn Fauzan , kitab Mulakhkhas al-Fiq-hiyy karya, Dar A’lam as-Sunnah, Riyadh, 130
[55] Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud no. 162, Daruquthniy no. 73 dan Baihaqiy 2/111. Lihat Irwa’ no. 103
[56] HR. Ahmad 4/239. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa penjelasan mengenai mengusap khuf dalam hadits ini dinilai shahih lighoirihi (dilihat dari jalur lain). Sedangkan sanad ini hasan dilihat dari jalur ‘Ashim.
[57] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/262.
[58] Syaikh Abdul Ghani Al Maqoisi, Umdatul Hikmah, Hadits Bukhari Muslim Pilihan (penerjemah: Abu Ahmad Abdullah), Media Hidayah, 23-24
[59] Syaikh Abdul Ghani Al Maqoisi, Umdatul Hikmah, Hadits Bukhari Muslim Pilihan (penerjemah: Abu Ahmad Abdullah), Media Hidayah, 27
[60] Lahmudin Nasution, Fiqih 1, Logos, 9
[61] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 1 pengantar  Imam Hasan al-banna, 2006, Jakarta: Pena pundi askara, 2006, 99
[62] Muhammad Jawab Mughniyah., Fiqh al-Imam Ja’far Ash-Shadiq ‘Ardh wa Istidlal(juz 1&2), Jakarta: Penerbit lentera, 2009,  124

Komentar