Makalah Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum

MAKALAH
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN KURIKULUM
(Faktor Falsafah, Sosiologis-teknologis, Psikologis, dan Sarana
Prasarana dan perubahan)

Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas kelompok
 Mata Pengembangan Kurikulum Semester 4
Dosen Pengampu : Siti Ma’rifatul Hasanah M,Pd.





Oleh Kelompok 5:
Ali Hasan Assidiqi       (16110048)
Zuhrotun Nisa’             (16110076)
Slamet Waluyo             (16110153)





KELAS B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN PELAJARAN 2018
DAFTAR ISI
Cover............................................................................................................................. i
Daftar Isi....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.
A.    Latar Belakang.................................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................. 2
C.     Tujuan Masalah................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Faktor.............................................................................................. 3
B.     Faktor Falsafah................................................................................................. 3
C.     Faktor Sosiologi-Teknologis............................................................................. 5
D.    Faktor Psikologis............................................................................................ 11
E.     Faktor Sarana Prasarana dan Perubahan......................................................... 13
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA           


















 BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pengembangan kurikulum merupakan istilah yang komprehensif karena didalamnya mencakup 3 hal pokok yaitu: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik.  Dan penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum merupakan usaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Sedangkan evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.[1]
Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang seperti: politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang berkepentingan dengan dunia pendidikan.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori para pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun. Ketika perbedaan filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.
Dengan perkataan lain, pengaruh tersebut berada pada tataran yang tak boleh diabaikan sama sekali di mana studi kurikulum memperlihatkan kerentanan, dan kemungkinan besar kurikulum berubah atau bahkan berbeda sama sekali dengan apa yang telah direncanakan dan diputuskan. Oleh karena itu, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum
Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kurikulum? Oleh karena itu, penulis melalui makalah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kurikulum tersebut.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian faktor?
2.    Apa saja bentuk faktor-faktor falsafah yang mempengaruhi pengembangan kurikulum?
3.    Apa saja bentuk faktor-faktor sosiologis-teknologis yang mempengaruhi pengembangan kurikulum?
4.    Apa saja bentuk faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi pengembangan kurikulum?
5.    Apa saja bentuk faktor-faktor sarana prasarana yang mempengaruhi pengembangan kurikulum?

C.    Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui pengertian faktor secara umum.
2.    Mengetahui bentuk-bentuk faktor falsafah yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.
3.    Mengetahui bentuk-bentuk faktor sosiologis-teknologis yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.
4.    Mengetahui bentuk-bentuk faktor psikologis yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.
5.    Mengetahui bentuk-bentuk faktor sarana prasarana yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Faktor
Faktor berarti hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (memengaruhi) terjadinya sesuatu.[2] Dengan adanya mepengaruhi disitu berarti menjadi suatu hal yang penting untuk diketahui karena juga menyebabkan diterima atau tidaknya hal yang akan ditentukan. Begitupula dalam kurikulum dimana faktor ini juga menjadi landasan dalam mempengaruhi kurikulum itu sendiri untuk selanjutnya.

B.  Faktor Falsafah
1.    Pengertian
Filsafat berasal daribahasa Yunani kuno, yaitudari kata “philos” dan “shophia”. Philos, artinya cinta yang mendalam, dan shophia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat secara harfiah dapat diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu.[3]
2.    Filsafat dan Tujuan Pendidikan di Indonesia
Filsafat negara kesatuan Republik Indonesia ialah Pancasila yang diakui oleh bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup, yang menjadi pedoman pergaulan sehari-hari, suatu way of life, menjadi dasar tiap-tiap tindakan dalam bernegara.
Pancasila terdiri dari 5 asas-asas yang meliputi:
a.    Ketuhanan Yang MahaEsa.
Agama menjadi pokok persengketaan antara manusia, bias kita lihat di dalam sejarah bahwa beratas-ratus tahun yang lalu bangsa-bangsa berperang karena perbedaan agama. Perbedaan agama itu bias kita dapatkan pula di Indonesia. Sebagaian terbesar bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi ada pula yang beragama Kristen Protestan, Roma Katholik, Hindu Bali, Budha, semuanya termasuk bangsa Indonesia. Pancasila menjamin hak setiap warganegaranya mempercayai keyakinannya masing-masing. Memilih agama sendiri adalah bebas. Dengan pokok ini maka persoalannya disamping Pendidikan tentang agama, juga memupuk toleransi, pengertian dan rasa hormat orang lain yang berbeda agamanya.

b.    Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Boleh dibilang sikap, pribadi dan jiwa guru banyak banyak di warnai oleh asas ini, dengan sendirinya juga seluruh asas yang termaktub dalam Pancasila. Seorang pendidik hendaknya mengarahkan ketujuan Pendidikan (lihat UU Pendidikan dan Pengajaran No. 12 tahun 1954 Bab II pasal 3), Kalau pendidik sendiri belum meresapkan, mencamkan sampai mengamalkannya apa yang dapat ia lakukan/kerjakan untuk mencapai tujuan itu. Ia harus pandai menimbang-nimang dalam suatu keputusan, sehingga bersifat adil dan mempunyai peradapan yang tinggi.
c.    Persatuan Indonesia
Kesatuan bangsa dan negara sangat besar artinya sebab:
1)   Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang satu sama lain berjauhan jaraknya dan terdiri pula dari berbagai-bagai suku bangsa.
2)   Alat perhubungan masih kurang, menyebabkan komunikasi antar pulau dan suku masih kurang.
3)   Dengan adanya isolasi ini terdapat perbedaan-perbedaanadat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan bahasa.
4)   Kemungkinan juga timbulnya rasa kedaerahan, ataupun provinsialisme
Namun pada akhir tahun-tahun ini hal-hal diatas banyak yang dapat diatasi di samping bendera kebangsaan, bahasa kesatuan, lagu kebangsaan, misalnya hubungan laut interinsuler, kapal terbang, radio, televisi, surat kabar, pekan olahraga, kunjungan aparat-aparat pemerintah ke daerah-daerah dan sebagainya. Kewajiban daripada sekolah ialah membangkitkan dan memupukkan rasa persatuan kebangsaan ini, menempa manusia Indonesia, membentuk warga negara yang berkepribadian Indonesia, untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Pada hekekatnya perwujudan daripada persatuan Indonesia bukan negara saja yang harus mewujudkannya, tetapi manusia yang hidup dalam negara itu sendiri yang berkewajiban.
d.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan.
Dilihat dari segi pendidikan asas ini penting, sebab bertalian dengan masalah hubungan orang tua dengan anak antara guru dengan murid, antara kepala dengan bawahan. Dalam perlakuan hubungan di atas tidak boleh bersifat memperbudak, memperulur, ataupu memperhamba sang anak, sehingga anak hanya menerima perintah yang harus dipatuhi, ditaati, ini akan mematikan inisiatifnya dan berpikir sendiri dibunuh. Pendidikan membuat sistem konsepsi sendiri dalam arti murid diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya, turut serta diajak merundingkan, diberi pekerjaan dan dalam hubungannya dengan sekolah. Di sekolah mereka mempunyai kebebasan, tetapi mereka dibatasi oleh kepentingan orang lain dan kepentingan bersama.
e.    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sekolah harus dapat membangkitkan hati anak, rasa penghargaan terhadap jenis pekerjaan dan memupuk jiwa bekerja keras. Pekerjaan tangan, berkebun, memelihara ternak, dapat kiranya dimasukkan ke dalam kurikulum. Mereka diberi kesempatan bekerja kelompok, dalam ikhtiar untuk kepentinga bersama.[4]

C.  Faktor Sosiologis-Teknologis
          Sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka dapat berperan aktif di masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dengan demikian dalam konteks ini sekolah bukan hanya berfungsi untuk mewariskan kebudayaan dan nilai-nilai suatu masyarakat, akan tetapi juga sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik dalam kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, kurikulum bukan hanya berisi berbagai nilai suatu masyarakat akan tetapi bermuatan segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakatnya. Sehubungan dengan penentuan asas sosiologis-teknologis inilah, kita perlu mengkaji berbagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses menyusun dan mengembangkan suatu kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan suatu kurikulum
a.    Kekuatan Sosial yang Dapat Mempengaruhi Kurikulum
Masyarakat tidak bersifat statis. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat selalu mengalami perubahan, bergerak menuju perkembangan yang semakin kompleks. Perubahan bukan hanya terjadi pada system nilai, akan tetapi juga pada pola kehidupan, struktur social, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat.[5]
Dalam kehidupan social yang semakin kompleks tersebut, maka muncul pula berbagai kekuatan kelompok yang dapat memberikan tekanan terhadap penyelenggaraan dan praktik pendidikan termasuk di dalamnya tekanan-tekanan dalam proses pengembangan isi kurikulum sebagai alat dan pedoman penyelenggaraan pendidikan. Kesulitan yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum adalah manakala setiap kelompok social itu memberikan masukan dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan kepentingan kelompoknya, seperti misalnya tuntutan golongan agama, politik, militer, industry, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, pertentangan-pertentangan pun sering terjadi sehubungan dengan cara pandang yang berbeda tentang makna pendidikan setiap kelompok tersebut. Misalkan, carapandang kelompok agamawan atau kelompok budayawan yang lebih menekankan pendidikan di sekolah sebagai wadah untuk membentuk generasi manusia yang siap pakai dengan sejumlah keterampilan teknis sesuai dengan tuntutan industry. Cara pandang yang berbeda semacam ini tentu saja memunculkan kriteria keberhasilan yang berbeda pula, yang pada gilirannya tolak ukur keberhasilan itu tidak pernah memuaskan semua golongan social.
Walaupun dirasakan sangat susah, para pengembang kurikulum mestinya memperhatikan setiap tuntutan dan tekanan masyarakat yang berbeda itu. Oleh sebab itu, menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat merupakan salah satu langkah penting dalam proses penyusunan suatu kurikulum. Dalam konteks inilah pengembang kurikulum perlu menjalankan peran evaluative dan peran kritisnya dalam menentukan muatan kurikulum. Masih ingatkah anda bagaimana menjalankan peran tersebut sepertinya telah dibahas di modul 1? Ya, melaksanakan peran evaluative dan peran kritis adalah proses pengkajian secara kritis tentang apa saja muatan kurikulum yang dianggap layak untuk dipelajari oleh anak didik.
b.   Kemajuan IPTEK sebagai Bahan Pertimbangan Penyusunan Kurikulum
Mengapa kemajuan teknologi harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kurikulum? Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kemampuan berpikir manusia telah membawa umat manusia pada masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.[6] Terciptanya produk-produk teknologi semacam teknologi transportasi, misalnya bukan hanya menyebabkan manusia bisa menjelajahi seluruh pelosok dunia, akan tetapi manusia mampu menjelajahi ruang angkasa sebuah tempat yang dahulu dibayangkannya sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Demikian juga halnya dengan ditemukannya hasil teknologi informasi dan komunikasi, bukan hanya manusia dapat berhubungan secara langsung dengan orang yang tinggal di seberang sana, akan tetapi manusia dapat melihat berbagai peristiwa yang terjadi pada saat yang sama di seluruh belahan dunia.
Namun demikian, segala kemajuan yang mampu diraih oleh umat manusia itu, bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negative yang justru sangat mencemaskan manusia itu sendiri. Diproduksinya alat-alat transportasi, menyebabkan permasalahan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, yang setiap hari merenggut jiwa manusia. Pembangunan pusat-pusat industry menyebabkan terjadinya urbanisasi dengan berbagai permasalahannyaPembangunan pusat-pusat industry menyebabkan terjadinya urbanisasi dengan berbagai permasalahannya, termasuk munculnya berbagai jenis kejahatan dan kriminalitas. Terciptanya hasil teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan lunturnya dan terjadinya gesekan budaya yang pengaruhnya terhadap eksistensi kelompok masyarakat bukan main besarnya.
Munculnya permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan kompleksitas tugas-tugas pendidikan yang diemban oleh sekolah. Tugas sekolah menjadi semakin berat, dan kadang-kadang tidak mampu lagi melaksanakan tuntutan masyarakat. Sesuai dengan perubahan zaman, tugas-tugas yang dahulu bukan menjadi tugas sekolah, kini diserahkan kepada sekolah. Sekolah bukan hanya bertugas menanamkan dan mewariskan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga harus memberi keterampilan tertentu serta menanamkan budi pekerti dan nilai-nilai.
Sesuai dengan perubahan dan lompatan-lompatan yang sangat cepat itu, maka kurikulum yang berfungsi sebagai alat pendidikan, harus terus-menerus diperbarui menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya. Para pengembang kurikulum tentunya termasuk guru harus memahami perubahan itu, agar isi dan strategi yang dikembangkan dalam kurikulum sebagai alat pendidikan tidak usang.
Hal penting yang perlu diperhatikan dan diantisipasi oleh para pengembang kurikulum sehubungan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat adalah mengenai perubahan pola hidup dan perubahan social politik.[7]
1)   Perubahan pola hidup
Kemajuan di bidang teknologi memiliki andil besar dalam perubahan pola hidup ini. Penggunaan pesawat telepon yang lebih memudahkan untuk berkomunikasi, munculnya stasiun-stasiun siaran televisi yang menawarkan berbagai acara selama dua puluh empat jam dari mulai bidang pendidikan, informasi sampai hiburan dengan berbagai macam variasinya, teknologi dalam bidang jasa seperti asuransi, jasa perbankan, teknologi di bidang kesehatan dan lain sebagainya, merupakan factor yang mendorong terjadinya perubahan pola hidup dan bahkan tatanan social masyarakat.
Perubahan pola hidup itu dikatakan banyak orang sebagai perubahan pola hidup yang bersifat agraris tradisional menuju pola kehidupan industry modern. Pola kehidupan masyarakat industry memiliki karakteristik yang berbeda dengan pola kehidupan agraris. Perbedaan tersebut dapat dilihat. Pertama, dari pola kerja. Pada masyarakat agraris, pola kerja sangat teratur yang berlangsung siang hari pada waktu yang tetap. Tidak demikian halnya pada masyarakat industry, selain masyarakat menggunakan waktu yang cukup panjang untuk bekerja juga memiliki pola yang tidak beraturan. Apabila dilihat pada masyarakat perkotaan keadaan ini sangat dapat dirasakan: Bagaimana kehidupan di kota-kota besar yang tidak pernah sepi selama dua puluh empat jam. Orang sibuk bekerja baik siang maupun malam.
Kenyataan semacam ini memiliki konsekuensi terhadap cara dan strategi yang harus dipersiapkan oleh lembaga pendidikan. Kurikulum harus didesain agar mampu membentuk manusia produktif yang bukan hanya dapat bekerja, akan tetapi lebih jauh dapat mencintai pekerjaan. Manusia yang hanya dapat bekerja berbeda dengan manusia yang mencintai pekerjaan. manusia yang hanya sekedar dapat bekerja orientasinya biasanya ditunjukkan oleh berapa besar upah yang dapat ia terima. Manusia semacam ini tidak lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan ototnya.
Kedua. Pola hidup yang sangat tergantung kepada hasil-hasil teknologi. Pada masyarakat industry banyak sekali jenis-jenis pekerjaan yang sangat mengandalkan teknologi, dari mulai pekerjaan ibu-ibu rumah tangga di dapur sampai pekerjaan-pekerjaan kantor. Ketergantungan terhadap hasil-hasil teknologi, melenyapkan jenis-jenis pekerjaan tertentu dan memunculkan pekerjaan baru yang menuntut keahlian tertentu. Keahlian tersebut tentu saja harus dipersiapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Seorang petani contohnya, untuk meningkatkan hasil panennya, tidak lagi berpikir berapa kerbau yang harus dimiliki agar dapat membajak sawah dengan cepat, akan tetapi berpikir bagaimana menggunakan traktor dan bagaimana merawatnya dengan baik. Dengan demikian sebagai akibat ketergantungan terhadap hasil-hasil teknologi, keterampilan memelihara kerbau berubah menjadi keterampilan merawat mesin-mesin pertanian.
Ketiga, pola hidup dalam system perekonomian baru. Perubahan pola hidup ini ditandai dengan penggunaan produk jasa perbankan dan asuransi untuk kegiatan perekonomian, seperti menabung, perkreditan, dan permodalan usaha. Demikian juga tumbuh suburnya pusat-pusat pebelanjaan dalam gedung bertingkat menggantikan pasar-pasar tradisional. Semuanya ini bukan saja membawa pada hal-hal yang bersifat positif, akan tetapi juga membawa efek negative seperti misalnya tumbuhnya pola hidup konsumtif seiring dengan progam advertensi yang begitu gencar melalui pesawat televise, munculnya berbagai jenis kejahatan dan lain sebagainya. Terdapatnya perubahan-perubahan semacam itu, bukan hanya memerlukan perubahan isi kurikulum akan tetapi juga dapat merubah lingkungan sekolah termasuk merubah bahan-bahan bacaan yang dapat memperkenalkan anak didik terhadap fenomena-fenomena baru yang terjadi. Misalkan bagaimana cara menabung di Bank, bagaimana cara menggunakan ATM, bagaimana cara berkomunikasi di telepon, semuanya harus diperkenalkan lewat bahan-bahan bacaan di sekolah.
2)   Perubahan kehidupan social politik
Arus globalisasi yang bergerak sangat cepat membawa perubahan kehidupan social politik ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali ke dalam kehidupan social politik. Di Indonesia perubahan tersebut adalah ditandai dengan munculnya gerakan reformasi yang menjatuhkan Orde Baru yang selama 32 tahun berkuasa. Diakui, selama berkuasanya rezim ini hampir tidak ada saluran komunikasi yang dapat menyuarakan kebebasan. Kehidupan social politik yang tidak pernah berkembang karena bergerak dalam pola yang kaku dan bersifat linier. Demikian pula dengan system pendidikan yang berlaku. System pendidikan yang sangat sentralistis seakan-akan sulit melepaskan dari kungkungan kekuasaan. Diakui atau tidak, pendidikan telah menjadi alat politik rezim yang berkuasa. Akibatnya, kurikulum yang berlaku pun kurang berperan sebagai alat pembebasan dan alat pencerahan, akan tetapi digunakan untuk membentuk manusia yang memiliki pola piker yang seragam, manusia yang tunduk dan patuh terhadap kekuasaan; manusia yang lebih senang menjadi abdi; manusia yang lebih senang dipekerjakan dari pada manusia yang senang membuka, menciptakan dan mencintai pekerjaan.
Dengan munculnya era reformasi, semuanya mestinya berubah. Pendidikan harus diarahkan untuk menciptakan manusia-manusia yang kritis dan demokratis. Untuk itulah, perubahan ke arah transparansi harus ditangkap secara utuh oleh para pengembang kurikulum. Kehidupan yang demokratis haruslah menjiwai isi kurikulum. Mengutip pendapat Paulo Freire (1993), kurikulum pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari keterbelengguan.
Produk hukum yang dapat digunakan untuk mengadakan perubahan jiwa dan strategi pendidikan di Indonesia adalah dengan dikeluarnya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan tentang Perimbangan Pembagian Keuangan. Undang-Undang ini meletakkan kewenangan seluruh urusan pemerintahan termasuk bidang pendidikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, mulai dari perencanaan, implementasi, sampai kepada pengadilan. Ini berarti bahwa setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur isi dan strategi kurikulum sesuai dengan kondisi social budaya masyarakatnya. Sinyal ini harus ditangkap dan dicerna oleh para pengembang kurikulum di daerah, untuk memberdayakan pendidikan sebagai pembentuk generasi yang andal sesuai dengan nilai dan kebutuhan masyarakat local.


            Sehubungan dengan hal di atas, maka para pengembang kurikulum dalam melaksanakan tugasnya harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
a)    Mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat seperti dirumuskan dalam undang-undang, keputusan pemerintah, peraturan-peraturan pemerintah, peraturan daerah dan lain sebagainya.
b)   Menganalisis budaya masyarakat tempat sekolah berada.
c)    Menganalisis kekuatan serta potensi-potensi daerah.
d)   Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja.
e)    Menginterpretasi kebutuhan individu dalam kerangka kepentingan masyarakat.
Dalam konteks dasar sosiologis-teknologis hal-hal di atas merupakan hal-hal yang sangat penting untuk dipahami oleh pengembang kurikulum.

D.    Faktor Psikologis
Secara psikologis, anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Dengan alasan itulah kurikulum harus memerhatikan kondisi psikologis perkembangan dan psikologi belajar anak. Oleh karena itu pemahaman tentang anak bagi seorang pengembang kurikulum sangtlah penting. Karena jika kesalahan persepsi atau kedangkalan pemahaman tentang anak dapat menyebabkan kesalahan arah dan kesalahan praktik pendidikan.[8]Menurut Sukmadinata (2006: 46) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar.
1.    Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Untuk mengetahui tentang tahapan perkembangan maka kita mengacu pada salah satu teori yang terkenal dan banyak digunakan adalah teori oleh piaget yang mengacu pada intelektual (kognitif). Tahapan-tahapan perkembangan kognitif disini terbagi menjadi 4 bagian yang meliputi:
a)    Sensorimotor yang berkembang darin lahir sampai 2 tahun
b)   Praoperasional mulai 2 sampai 7 tahun.
c)    Operasional konkret, berkembang dari 7 sampai 11 tahun
d)   Operasional formal yaitu dimulai dari 11 sampai dengan 14 tahun keatas.[9]
2.    Psikologi Belajar
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan. Namun semua itu bertitik tumpu pada hakekat manusia yang kemudian adalam teorinya ada dua yaitu John Loke dan Leibnitz.
Menurut John Loke manusia itu bersifat pasif sehingga yang menentukan adalah orang yang mengasuhnya atau mendidiknya. Ibarat kertas putih tergantung penulisnya mau berbuat apa. Sedangkan Leibnitz menyatakan bahwa manusia bersifat aktif sehingga bebas menentukannya namun titik pusat kebebasannya ini terletak kepada kesadarannya sendiri.[10]
c.    5 Tipe Kompetensi
Dalam hal ini lebih kepada umum yang meliputi:
1)   Motif : sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
2)   Bawaan : yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
3)   Konsep diri : yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang.
4)   Pengetahuan : yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang.
5)   Keterampilan : yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks mulai KBK, KTSP dan K13, E. Mulyasa (dalam Sudrajat: 2008) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik (4) kebutuhan peserta didik  dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.[11]
d.   Ilmu Jiwa Belajar
Yaitu pengetahuan tentang bagaimana proses belajar itu berlangsung dalam diri seseorang. Teori tentang proses belajar akan mempengaruhi penyusunan dan penyajian kurikulum secara efektif dan disamping itu juga menentukan bahan yang harus dipelajari atau disajikan.[12]

E.     Faktor Sarana Prasarana dan Perubahan
Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran, seperti: media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perelengkapan sekolah dan lainnya. Sedangkan prasarana adalah sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran seperti: gedung, sekolah, ruang kelas, jalan sekolah, kamar kecil dan lainnya. Dengan hal tersebut maka sangat penting untuk memperhatikan hal tersebut dalam pembelajaran. Dengan pembalajaran ini maka nantik kembali lagi kepada kurikulum yang menjadi titik acuan pusat dalam dunia pendidikan.
Sedangkan keuntungan yang dapat diperoleh ketika sarana dan prasarana tercukupi meliputi:
1.    Ketika sarana prasarana lengkap maka akan menumbuhkan gairah dan motivasi guru untuk mengajar dan murid untuk menerima pembelajaran.
2.    Sarana lengkap maka akan memberikan pilihan pada siswa untuk belajar sesuai dengan caranya sehingga dapat mencapai tujuan dari pembelajaran tersebut.[13]
























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Faktor adalah segala sesuatu yang mempengaruhi terhadap selanjutnya.
2.      Bentuk faktor falsafah yang mempengaruhi kurikulum di Indonesia tercantum dalam 5 asas dari pancasila yang meliputi ketuhanan yang maha esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial.
3.      Bentuk faktor sosiologis-teknologis yaitu kekuatan sosial dan kemajuan IPTEK. Kekuatan sosial ini lebih kepada kebutuhan dari masyarakat dan IPTEK lebih kepada zaman perubahan ke era yang sesuai zamannya baik pola asuh, politik dan lainnya.
4.      Bentuk faktor psikologis yaitu psikologi perkembangan (menyesuaikan perkembangan kognitif dari peserta didik), psikologi pendidikan (menyesuaikan kepada bentuk tingkah laku belajar yang beorientasi pada hakikat dari manusia sebagai peserta didik), 5 tipe nilai yang lebih bersifat umum pada anak didik (motif, bawaan, konsep diri, pengetahuan, dan keterampilan) dan ilmu jiwa belajar yang mana lebih kepada bahan yang akan dipeljari kepada seseorang.
5.      Bentuk faktor sarna dan prasarana yaitu sarana yang bersifat mendukung (seperti: media pembelajaran, alat-alat pembelajaran, perlengkapan sekolah dll) dan prasarana yang sesuatu yang mendukung walau tidak bisa diketahui secara langsung (seperti: gedung, ruang kelas, sekolah dan lainnya).
Dari semua bentuk faktor diatas memiliki fungsi masing-masing dalam mempengaruhi terhadap pengembangan kurikulum selanjutnya sebagai titik acuan mencapai tujuan dari kurikulum tersebut.



[1] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktik pengambangan kurikulum KTSP, Jakarta: Kecana, 2010,  hlm. 341-342
[2] https://www.apaarti.com/faktor.html.
[3]Wina Sanjaya. KurikulumdanPembelajaran. (Jakarta: Prenada Media Group), hlm. 42.
[4] Abu Ahmadi. PengantarKurikulum. (Surabaya: PT Bina Ilmu), hlm. 15-20.
[5] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hlm. 55.
[6]Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)., hlm. 56.
[7] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hlm. 58.
[8] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktik pengambangan kurikulum KTSP, hlm. 48
[9] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktik pengambangan kurikulum KTSP, hlm.  49
[10] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktik pengambangan kurikulum KTSP, hlm. 54
[11]  E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 250
[12]  Burhan Nurgiyantoro, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, Yogyakarta: BPFE, 2008, hlm. 15
[13] Soetopo,Hendyat, dkk. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 54


Komentar