MAKALAH
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN KURIKULUM
(Faktor
Falsafah, Sosiologis-teknologis, Psikologis, dan Sarana
Prasarana
dan perubahan)
Makalah ini disusun
untuk menyelesaikan tugas kelompok
Mata Pengembangan
Kurikulum Semester 4
Dosen Pengampu : Siti Ma’rifatul Hasanah M,Pd.
Oleh Kelompok 5:
Ali Hasan Assidiqi (16110048)
Zuhrotun Nisa’ (16110076)
Slamet Waluyo (16110153)
KELAS B
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UIN MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
TAHUN PELAJARAN 2018
DAFTAR
ISI
Cover............................................................................................................................. i
Daftar
Isi....................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 2
C. Tujuan Masalah................................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Faktor.............................................................................................. 3
B. Faktor Falsafah................................................................................................. 3
C. Faktor Sosiologi-Teknologis............................................................................. 5
D. Faktor Psikologis............................................................................................ 11
E. Faktor Sarana Prasarana dan Perubahan......................................................... 13
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pengembangan kurikulum merupakan istilah yang
komprehensif karena didalamnya mencakup 3
hal pokok yaitu: perencanaan,
penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun
kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan
untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik.
Dan penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum merupakan usaha mentransfer
perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Sedangkan evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk
menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian
program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.[1]
Dalam
pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung
dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang
seperti: politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur-unsur
masyarakat lainnya yang berkepentingan dengan dunia pendidikan.
Keragaman
sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang
sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi,
visi, dan teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori para pengambil keputusan seringkali
dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun
dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun.
Ketika perbedaan filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses
pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut
adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang sejalan atau
bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah
konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.
Dengan
perkataan lain, pengaruh tersebut berada pada tataran yang tak boleh diabaikan
sama sekali di mana studi kurikulum memperlihatkan kerentanan, dan kemungkinan
besar kurikulum berubah atau bahkan berbeda sama sekali dengan apa yang telah
direncanakan dan diputuskan. Oleh karena itu, keragaman sosial, budaya,
ekonomi, dan aspirasi politik harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan
dipertimbangkan dalam sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum
Berdasarkan uraian
tersebut, maka timbul suatu permasalahan: faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pengembangan kurikulum? Oleh karena itu, penulis melalui makalah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pengembangan kurikulum
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian faktor?
2. Apa saja bentuk faktor-faktor falsafah yang
mempengaruhi pengembangan kurikulum?
3. Apa saja bentuk faktor-faktor sosiologis-teknologis
yang mempengaruhi pengembangan kurikulum?
4. Apa saja bentuk faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi pengembangan kurikulum?
5. Apa saja bentuk faktor-faktor sarana prasarana
yang mempengaruhi pengembangan kurikulum?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian faktor secara umum.
2. Mengetahui bentuk-bentuk faktor falsafah yang
mempengaruhi pengembangan kurikulum.
3. Mengetahui bentuk-bentuk faktor sosiologis-teknologis
yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.
4. Mengetahui bentuk-bentuk faktor psikologis
yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.
5. Mengetahui bentuk-bentuk faktor sarana
prasarana yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Faktor
Faktor
berarti hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (memengaruhi) terjadinya
sesuatu.[2]
Dengan adanya mepengaruhi disitu berarti menjadi suatu hal yang penting untuk
diketahui karena juga menyebabkan diterima atau tidaknya hal yang akan
ditentukan. Begitupula dalam kurikulum dimana faktor ini juga menjadi landasan
dalam mempengaruhi kurikulum itu sendiri untuk selanjutnya.
B. Faktor Falsafah
1.
Pengertian
Filsafat berasal daribahasa
Yunani kuno, yaitudari kata “philos” dan “shophia”. Philos, artinya cinta
yang mendalam, dan shophia adalah kearifan atau kebijaksanaan.
Dengan demikian filsafat secara harfiah dapat diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu.[3]
2.
Filsafat dan Tujuan Pendidikan di Indonesia
Filsafat negara kesatuan Republik Indonesia ialah
Pancasila yang diakui oleh bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup, yang
menjadi pedoman pergaulan sehari-hari, suatu way of life, menjadi dasar
tiap-tiap tindakan dalam bernegara.
Pancasila
terdiri dari 5 asas-asas yang meliputi:
a.
Ketuhanan Yang MahaEsa.
Agama
menjadi pokok persengketaan antara manusia,
bias kita lihat
di dalam sejarah bahwa beratas-ratus tahun
yang lalu bangsa-bangsa berperang karena perbedaan
agama. Perbedaan agama itu bias kita dapatkan
pula di Indonesia. Sebagaian terbesar bangsa Indonesia
beragama Islam, tetapi ada
pula yang beragama Kristen Protestan, Roma Katholik, Hindu Bali, Budha,
semuanya termasuk bangsa
Indonesia. Pancasila menjamin hak setiap warganegaranya mempercayai keyakinannya masing-masing.
Memilih agama sendiri adalah bebas.
Dengan pokok ini maka persoalannya disamping
Pendidikan tentang agama, juga memupuk toleransi,
pengertian dan rasa hormat
orang lain yang berbeda agamanya.
b.
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Boleh dibilang sikap, pribadi dan jiwa guru banyak banyak
di warnai oleh asas ini, dengan sendirinya juga seluruh asas yang termaktub
dalam Pancasila. Seorang pendidik hendaknya mengarahkan ketujuan Pendidikan
(lihat UU Pendidikan dan Pengajaran No. 12 tahun 1954 Bab II pasal 3), Kalau pendidik
sendiri belum meresapkan, mencamkan sampai mengamalkannya apa yang dapat ia
lakukan/kerjakan untuk mencapai tujuan itu. Ia harus pandai menimbang-nimang
dalam suatu keputusan, sehingga bersifat adil dan mempunyai peradapan yang
tinggi.
c.
Persatuan Indonesia
Kesatuan bangsa dan negara
sangat besar artinya sebab:
1) Indonesia
terdiri dari beribu-ribu pulau yang satu sama lain berjauhan jaraknya dan
terdiri pula dari berbagai-bagai suku bangsa.
2) Alat
perhubungan masih kurang, menyebabkan komunikasi antar pulau dan suku masih
kurang.
3) Dengan adanya
isolasi ini terdapat perbedaan-perbedaanadat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan
bahasa.
4) Kemungkinan
juga timbulnya rasa kedaerahan, ataupun provinsialisme
Namun pada
akhir tahun-tahun ini hal-hal diatas banyak yang dapat diatasi di samping
bendera kebangsaan, bahasa kesatuan, lagu kebangsaan, misalnya hubungan laut
interinsuler, kapal terbang, radio, televisi, surat kabar, pekan olahraga,
kunjungan aparat-aparat pemerintah ke daerah-daerah dan sebagainya. Kewajiban
daripada sekolah ialah membangkitkan dan memupukkan rasa persatuan kebangsaan
ini, menempa manusia Indonesia, membentuk warga negara yang berkepribadian
Indonesia, untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Pada hekekatnya
perwujudan daripada persatuan Indonesia bukan negara saja yang harus
mewujudkannya, tetapi manusia yang hidup dalam negara itu sendiri yang
berkewajiban.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan.
Dilihat dari segi pendidikan asas ini penting,
sebab bertalian dengan masalah hubungan orang tua dengan anak antara guru
dengan murid, antara kepala dengan bawahan. Dalam perlakuan hubungan di atas
tidak boleh bersifat memperbudak, memperulur, ataupu memperhamba sang anak,
sehingga anak hanya menerima perintah yang harus dipatuhi, ditaati, ini akan
mematikan inisiatifnya dan berpikir sendiri dibunuh. Pendidikan membuat sistem
konsepsi sendiri dalam arti murid diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya,
turut serta diajak merundingkan, diberi pekerjaan dan dalam hubungannya dengan
sekolah. Di sekolah mereka mempunyai kebebasan, tetapi mereka dibatasi oleh
kepentingan orang lain dan kepentingan bersama.
e. Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sekolah harus dapat membangkitkan hati anak, rasa
penghargaan terhadap jenis pekerjaan dan memupuk jiwa bekerja keras. Pekerjaan
tangan, berkebun, memelihara ternak, dapat kiranya dimasukkan ke dalam
kurikulum. Mereka diberi kesempatan bekerja kelompok, dalam ikhtiar untuk
kepentinga bersama.[4]
C. Faktor Sosiologis-Teknologis
Sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka dapat
berperan aktif di masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum sebagai alat dan
pedoman dalam proses pendidikan di sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat. Dengan demikian dalam konteks ini sekolah bukan hanya
berfungsi untuk mewariskan kebudayaan dan nilai-nilai suatu masyarakat, akan
tetapi juga sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik dalam kehidupan
masyarakat. Oleh karenanya, kurikulum bukan hanya berisi berbagai nilai suatu
masyarakat akan tetapi bermuatan segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakatnya.
Sehubungan dengan penentuan asas sosiologis-teknologis inilah, kita perlu mengkaji
berbagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses menyusun dan mengembangkan
suatu kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam pengembangan suatu kurikulum
a.
Kekuatan Sosial yang Dapat Mempengaruhi Kurikulum
Masyarakat
tidak bersifat statis. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
masyarakat selalu mengalami perubahan, bergerak menuju perkembangan yang
semakin kompleks. Perubahan bukan hanya terjadi pada system nilai, akan tetapi
juga pada pola kehidupan, struktur social, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat.[5]
Dalam
kehidupan social yang semakin kompleks tersebut, maka muncul pula berbagai
kekuatan kelompok yang dapat memberikan tekanan terhadap penyelenggaraan dan
praktik pendidikan termasuk di dalamnya tekanan-tekanan dalam proses
pengembangan isi kurikulum sebagai alat dan pedoman penyelenggaraan pendidikan.
Kesulitan yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum adalah manakala setiap
kelompok social itu memberikan masukan dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan
kepentingan kelompoknya, seperti misalnya tuntutan golongan agama, politik,
militer, industry, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu,
pertentangan-pertentangan pun sering terjadi sehubungan dengan cara pandang
yang berbeda tentang makna pendidikan setiap kelompok tersebut. Misalkan,
carapandang kelompok agamawan atau kelompok budayawan yang lebih menekankan
pendidikan di sekolah sebagai wadah untuk membentuk generasi manusia yang siap
pakai dengan sejumlah keterampilan teknis sesuai dengan tuntutan industry. Cara
pandang yang berbeda semacam ini tentu saja memunculkan kriteria keberhasilan
yang berbeda pula, yang pada gilirannya tolak ukur keberhasilan itu tidak
pernah memuaskan semua golongan social.
Walaupun
dirasakan sangat susah, para pengembang kurikulum mestinya memperhatikan setiap
tuntutan dan tekanan masyarakat yang berbeda itu. Oleh sebab itu, menyerap
berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat merupakan salah satu langkah
penting dalam proses penyusunan suatu kurikulum. Dalam konteks inilah
pengembang kurikulum perlu menjalankan peran evaluative dan peran kritisnya
dalam menentukan muatan kurikulum. Masih ingatkah anda bagaimana menjalankan
peran tersebut sepertinya telah dibahas di modul 1? Ya, melaksanakan peran
evaluative dan peran kritis adalah proses pengkajian secara kritis tentang apa
saja muatan kurikulum yang dianggap layak untuk dipelajari oleh anak didik.
b.
Kemajuan IPTEK sebagai Bahan Pertimbangan Penyusunan Kurikulum
Mengapa
kemajuan teknologi harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kurikulum? Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kemampuan berpikir manusia telah
membawa umat manusia pada masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.[6]
Terciptanya produk-produk teknologi semacam teknologi transportasi, misalnya
bukan hanya menyebabkan manusia bisa menjelajahi seluruh pelosok dunia, akan
tetapi manusia mampu menjelajahi ruang angkasa sebuah tempat yang dahulu
dibayangkannya sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Demikian juga halnya
dengan ditemukannya hasil teknologi informasi dan komunikasi, bukan hanya
manusia dapat berhubungan secara langsung dengan orang yang tinggal di seberang
sana, akan tetapi manusia dapat melihat berbagai peristiwa yang terjadi pada
saat yang sama di seluruh belahan dunia.
Namun
demikian, segala kemajuan yang mampu diraih oleh umat manusia itu, bukan tanpa
masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negative yang justru sangat
mencemaskan manusia itu sendiri. Diproduksinya alat-alat transportasi,
menyebabkan permasalahan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, yang setiap hari
merenggut jiwa manusia. Pembangunan pusat-pusat industry menyebabkan terjadinya
urbanisasi dengan berbagai permasalahannyaPembangunan pusat-pusat industry
menyebabkan terjadinya urbanisasi dengan berbagai permasalahannya, termasuk
munculnya berbagai jenis kejahatan dan kriminalitas. Terciptanya hasil
teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan lunturnya dan terjadinya gesekan
budaya yang pengaruhnya terhadap eksistensi kelompok masyarakat bukan main
besarnya.
Munculnya
permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan kompleksitas tugas-tugas
pendidikan yang diemban oleh sekolah. Tugas sekolah menjadi semakin berat, dan
kadang-kadang tidak mampu lagi melaksanakan tuntutan masyarakat. Sesuai dengan
perubahan zaman, tugas-tugas yang dahulu bukan menjadi tugas sekolah, kini
diserahkan kepada sekolah. Sekolah bukan hanya bertugas menanamkan dan
mewariskan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga harus memberi keterampilan
tertentu serta menanamkan budi pekerti dan nilai-nilai.
Sesuai dengan perubahan dan lompatan-lompatan yang sangat
cepat itu, maka kurikulum yang berfungsi sebagai alat pendidikan, harus
terus-menerus diperbarui menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi baik isi
maupun prosesnya. Para pengembang
kurikulum tentunya termasuk guru harus memahami perubahan itu, agar isi dan
strategi yang dikembangkan dalam kurikulum sebagai alat pendidikan tidak usang.
Hal
penting yang perlu diperhatikan dan diantisipasi oleh para pengembang kurikulum
sehubungan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat adalah mengenai
perubahan pola hidup dan perubahan social politik.[7]
1)
Perubahan pola hidup
Kemajuan di bidang teknologi memiliki andil besar dalam perubahan
pola hidup ini. Penggunaan pesawat telepon yang lebih memudahkan untuk
berkomunikasi, munculnya stasiun-stasiun siaran televisi yang menawarkan
berbagai acara selama dua puluh empat jam dari mulai bidang pendidikan,
informasi sampai hiburan dengan berbagai macam variasinya, teknologi dalam
bidang jasa seperti asuransi, jasa perbankan, teknologi di bidang kesehatan dan
lain sebagainya, merupakan factor yang mendorong terjadinya perubahan pola
hidup dan bahkan tatanan social masyarakat.
Perubahan pola hidup itu dikatakan banyak orang sebagai perubahan
pola hidup yang bersifat agraris tradisional menuju pola kehidupan industry
modern. Pola kehidupan masyarakat industry memiliki karakteristik yang berbeda
dengan pola kehidupan agraris. Perbedaan tersebut dapat dilihat. Pertama,
dari pola kerja. Pada masyarakat agraris, pola kerja sangat teratur yang
berlangsung siang hari pada waktu yang tetap. Tidak demikian halnya pada
masyarakat industry, selain masyarakat menggunakan waktu yang cukup panjang
untuk bekerja juga memiliki pola yang tidak beraturan. Apabila dilihat pada
masyarakat perkotaan keadaan ini sangat dapat dirasakan: Bagaimana kehidupan di
kota-kota besar yang tidak pernah sepi selama dua puluh empat jam. Orang sibuk
bekerja baik siang maupun malam.
Kenyataan semacam ini memiliki konsekuensi terhadap cara dan
strategi yang harus dipersiapkan oleh lembaga pendidikan. Kurikulum harus
didesain agar mampu membentuk manusia produktif yang bukan hanya dapat bekerja,
akan tetapi lebih jauh dapat mencintai pekerjaan. Manusia yang hanya dapat
bekerja berbeda dengan manusia yang mencintai pekerjaan. manusia yang hanya
sekedar dapat bekerja orientasinya biasanya ditunjukkan oleh berapa besar upah
yang dapat ia terima. Manusia semacam ini tidak lebih dari seorang buruh yang
bekerja dengan ototnya.
Kedua.
Pola hidup yang sangat tergantung kepada hasil-hasil teknologi. Pada masyarakat
industry banyak sekali jenis-jenis pekerjaan yang sangat mengandalkan
teknologi, dari mulai pekerjaan ibu-ibu rumah tangga di dapur sampai
pekerjaan-pekerjaan kantor. Ketergantungan terhadap hasil-hasil teknologi,
melenyapkan jenis-jenis pekerjaan tertentu dan memunculkan pekerjaan baru yang
menuntut keahlian tertentu. Keahlian tersebut tentu saja harus dipersiapkan oleh
lembaga-lembaga pendidikan. Seorang petani contohnya, untuk meningkatkan hasil
panennya, tidak lagi berpikir berapa kerbau yang harus dimiliki agar dapat
membajak sawah dengan cepat, akan tetapi berpikir bagaimana menggunakan traktor
dan bagaimana merawatnya dengan baik. Dengan demikian sebagai akibat
ketergantungan terhadap hasil-hasil teknologi, keterampilan memelihara kerbau
berubah menjadi keterampilan merawat mesin-mesin pertanian.
Ketiga,
pola hidup dalam system perekonomian baru. Perubahan pola hidup ini ditandai
dengan penggunaan produk jasa perbankan dan asuransi untuk kegiatan
perekonomian, seperti menabung, perkreditan, dan permodalan usaha. Demikian
juga tumbuh suburnya pusat-pusat pebelanjaan dalam gedung bertingkat
menggantikan pasar-pasar tradisional. Semuanya ini bukan saja membawa pada
hal-hal yang bersifat positif, akan tetapi juga membawa efek negative seperti
misalnya tumbuhnya pola hidup konsumtif seiring dengan progam advertensi yang
begitu gencar melalui pesawat televise, munculnya berbagai jenis kejahatan dan
lain sebagainya. Terdapatnya perubahan-perubahan semacam itu, bukan hanya
memerlukan perubahan isi kurikulum akan tetapi juga dapat merubah lingkungan
sekolah termasuk merubah bahan-bahan bacaan yang dapat memperkenalkan anak didik
terhadap fenomena-fenomena baru yang terjadi. Misalkan bagaimana cara menabung
di Bank, bagaimana cara menggunakan ATM, bagaimana cara berkomunikasi di
telepon, semuanya harus diperkenalkan lewat bahan-bahan bacaan di sekolah.
2)
Perubahan kehidupan social politik
Arus globalisasi yang bergerak sangat cepat membawa perubahan
kehidupan social politik ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali ke dalam
kehidupan social politik. Di Indonesia perubahan tersebut adalah ditandai
dengan munculnya gerakan reformasi yang menjatuhkan Orde Baru yang selama 32
tahun berkuasa. Diakui, selama berkuasanya rezim ini hampir tidak ada saluran
komunikasi yang dapat menyuarakan kebebasan. Kehidupan social politik yang
tidak pernah berkembang karena bergerak dalam pola yang kaku dan bersifat
linier. Demikian pula dengan system pendidikan yang berlaku. System pendidikan
yang sangat sentralistis seakan-akan sulit melepaskan dari kungkungan
kekuasaan. Diakui atau tidak, pendidikan telah menjadi alat politik rezim yang
berkuasa. Akibatnya, kurikulum yang berlaku pun kurang berperan sebagai alat
pembebasan dan alat pencerahan, akan tetapi digunakan untuk membentuk manusia
yang memiliki pola piker yang seragam, manusia yang tunduk dan patuh terhadap
kekuasaan; manusia yang lebih senang menjadi abdi; manusia yang lebih senang
dipekerjakan dari pada manusia yang senang membuka, menciptakan dan mencintai
pekerjaan.
Dengan munculnya era reformasi, semuanya mestinya berubah.
Pendidikan harus diarahkan untuk menciptakan manusia-manusia yang kritis dan
demokratis. Untuk itulah, perubahan ke arah transparansi harus ditangkap secara
utuh oleh para pengembang kurikulum. Kehidupan yang demokratis haruslah
menjiwai isi kurikulum. Mengutip pendapat Paulo Freire (1993), kurikulum
pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari keterbelengguan.
Produk hukum yang dapat digunakan untuk mengadakan perubahan jiwa
dan strategi pendidikan di Indonesia adalah dengan dikeluarnya Undang-Undang
Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan tentang Perimbangan Pembagian
Keuangan. Undang-Undang ini meletakkan kewenangan seluruh urusan pemerintahan
termasuk bidang pendidikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, mulai dari perencanaan,
implementasi, sampai kepada pengadilan. Ini berarti bahwa setiap daerah
memiliki kewenangan untuk mengatur isi dan strategi kurikulum sesuai dengan
kondisi social budaya masyarakatnya. Sinyal ini harus ditangkap dan dicerna
oleh para pengembang kurikulum di daerah, untuk memberdayakan pendidikan
sebagai pembentuk generasi yang andal sesuai dengan nilai dan kebutuhan
masyarakat local.
Sehubungan dengan
hal di atas, maka para pengembang kurikulum dalam melaksanakan tugasnya harus
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a)
Mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat seperti dirumuskan
dalam undang-undang, keputusan pemerintah, peraturan-peraturan pemerintah,
peraturan daerah dan lain sebagainya.
b)
Menganalisis budaya masyarakat tempat sekolah berada.
c)
Menganalisis kekuatan serta potensi-potensi daerah.
d)
Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja.
e)
Menginterpretasi kebutuhan individu dalam kerangka kepentingan
masyarakat.
Dalam konteks dasar sosiologis-teknologis hal-hal di atas merupakan
hal-hal yang sangat penting untuk dipahami oleh pengembang kurikulum.
D.
Faktor Psikologis
Secara psikologis, anak didik
memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun
potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Dengan alasan
itulah kurikulum harus memerhatikan kondisi psikologis perkembangan dan
psikologi belajar anak. Oleh karena itu pemahaman tentang anak bagi seorang
pengembang kurikulum sangtlah penting. Karena jika kesalahan persepsi atau
kedangkalan pemahaman tentang anak dapat menyebabkan kesalahan arah dan
kesalahan praktik pendidikan.[8]Menurut Sukmadinata (2006: 46)
mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari
pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi
belajar.
1.
Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan
perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat
perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas
perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan
individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan
mendasari pengembangan kurikulum.
Untuk
mengetahui tentang tahapan perkembangan maka kita mengacu pada salah satu teori
yang terkenal dan banyak digunakan adalah teori oleh piaget yang mengacu pada
intelektual (kognitif). Tahapan-tahapan perkembangan kognitif disini terbagi
menjadi 4 bagian yang meliputi:
a)
Sensorimotor yang berkembang
darin lahir sampai 2 tahun
b)
Praoperasional mulai 2 sampai 7
tahun.
c)
Operasional konkret, berkembang
dari 7 sampai 11 tahun
d)
Operasional formal yaitu
dimulai dari 11 sampai dengan 14 tahun keatas.[9]
2.
Psikologi Belajar
Psikologi belajar
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks
belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori
belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang
semuanya dapat dijadikan sebagai bahan.
Namun semua itu bertitik tumpu pada hakekat manusia yang kemudian adalam
teorinya ada dua yaitu John Loke dan Leibnitz.
Menurut
John Loke manusia itu bersifat pasif sehingga yang menentukan adalah orang yang
mengasuhnya atau mendidiknya. Ibarat kertas putih tergantung penulisnya mau
berbuat apa. Sedangkan Leibnitz menyatakan bahwa manusia bersifat aktif
sehingga bebas menentukannya namun titik pusat kebebasannya ini terletak kepada
kesadarannya sendiri.[10]
c. 5 Tipe Kompetensi
Dalam hal ini lebih kepada umum
yang meliputi:
1) Motif : sesuatu yang dimiliki
seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu
aksi.
2) Bawaan : yaitu karakteristik
fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
3) Konsep diri : yaitu tingkah laku,
nilai atau image seseorang.
4) Pengetahuan : yaitu informasi khusus
yang dimiliki seseorang.
5) Keterampilan : yaitu kemampuan
melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi
tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia
atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada
permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih
tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang.
Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan.
Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya,
kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam
konteks mulai KBK, KTSP dan K13, E. Mulyasa (dalam Sudrajat: 2008) menyoroti
tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa
sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu
diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat
kecerdasan (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik (4) kebutuhan
peserta didik dan (5) pertumbuhan dan
perkembangan kognitif.[11]
d.
Ilmu Jiwa Belajar
Yaitu
pengetahuan tentang bagaimana proses belajar itu berlangsung dalam diri
seseorang. Teori tentang proses belajar akan mempengaruhi penyusunan dan
penyajian kurikulum secara efektif dan disamping itu juga menentukan bahan yang
harus dipelajari atau disajikan.[12]
E.
Faktor Sarana Prasarana dan Perubahan
Sarana adalah segala sesuatu
yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran,
seperti: media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perelengkapan sekolah dan
lainnya. Sedangkan prasarana adalah sesuatu yang secara tidak langsung dapat
mendukung keberhasilan proses pembelajaran seperti: gedung, sekolah, ruang
kelas, jalan sekolah, kamar kecil dan lainnya. Dengan hal tersebut maka sangat
penting untuk memperhatikan hal tersebut dalam pembelajaran. Dengan
pembalajaran ini maka nantik kembali lagi kepada kurikulum yang menjadi titik
acuan pusat dalam dunia pendidikan.
Sedangkan keuntungan yang dapat
diperoleh ketika sarana dan prasarana tercukupi meliputi:
1.
Ketika sarana prasarana lengkap
maka akan menumbuhkan gairah dan motivasi guru untuk mengajar dan murid untuk
menerima pembelajaran.
2.
Sarana lengkap maka akan
memberikan pilihan pada siswa untuk belajar sesuai dengan caranya sehingga
dapat mencapai tujuan dari pembelajaran tersebut.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Faktor adalah segala sesuatu yang mempengaruhi terhadap
selanjutnya.
2.
Bentuk faktor falsafah yang mempengaruhi kurikulum di
Indonesia tercantum dalam 5 asas dari pancasila yang meliputi ketuhanan yang
maha esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan
keadilan sosial.
3.
Bentuk faktor sosiologis-teknologis yaitu kekuatan sosial
dan kemajuan IPTEK. Kekuatan sosial ini lebih kepada kebutuhan dari masyarakat
dan IPTEK lebih kepada zaman perubahan ke era yang sesuai zamannya baik pola
asuh, politik dan lainnya.
4.
Bentuk faktor psikologis yaitu psikologi perkembangan
(menyesuaikan perkembangan kognitif dari peserta didik), psikologi pendidikan
(menyesuaikan kepada bentuk tingkah laku belajar yang beorientasi pada hakikat
dari manusia sebagai peserta didik), 5 tipe nilai yang lebih bersifat umum pada
anak didik (motif, bawaan, konsep diri, pengetahuan, dan keterampilan) dan ilmu
jiwa belajar yang mana lebih kepada bahan yang akan dipeljari kepada seseorang.
5.
Bentuk faktor sarna dan prasarana yaitu sarana yang
bersifat mendukung (seperti: media pembelajaran, alat-alat pembelajaran,
perlengkapan sekolah dll) dan prasarana yang sesuatu yang mendukung walau tidak
bisa diketahui secara langsung (seperti: gedung, ruang kelas, sekolah dan lainnya).
Dari semua bentuk faktor diatas memiliki fungsi
masing-masing dalam mempengaruhi terhadap pengembangan kurikulum selanjutnya
sebagai titik acuan mencapai tujuan dari kurikulum tersebut.
[1] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktik pengambangan
kurikulum KTSP, Jakarta: Kecana, 2010,
hlm. 341-342
[2] https://www.apaarti.com/faktor.html.
[5]
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hlm. 55.
[6]Wina
Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)., hlm. 56.
[7]
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hlm. 58.
[8] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktik pengambangan
kurikulum KTSP, hlm. 48
[9] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktik pengambangan
kurikulum KTSP, hlm. 49
[10] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran:
Teori dan praktik pengambangan kurikulum KTSP, hlm. 54
[11] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 250
[12] Burhan
Nurgiyantoro, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, Yogyakarta:
BPFE, 2008, hlm. 15
[13] Soetopo,Hendyat, dkk. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bumi
Aksara, 1993, hlm.
54
Komentar
Posting Komentar