Makalah Azan Iqomat Shalat Jamaah dan Makmum Masbuq


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang mayoritas dipeluk oleh umat manusia di dunia yang dimana mereka pasti melaksanakan suatu kewajiban yang dituntut oleh agama yaitu sholat dan lain-lainnya.Sholat tersebut dilaksanakan ketika telah memasuki pada waktunya, yang dimana dalam sehari umat islam dituntut untuk melakukan sholat sebanyak lima kali yaitu magrib, isya’, shubuh, dhuhur dan ashar. Sholat wajib dilaksanakan oleh muslim yang sudah baligh,dan berakal sehat. Jika seorang muslim belum baligh dan berakal maka tidak wajib untuk melaksanakan sholat tersebut. Suatu sholat akan lebih afdhol atau utama jika dikerjakan secara bersama-sama (berjamaah) di suatu masjid. Dimana orang yang mengerjakan sholat secara berjamaah maka ia akan mendapatkan pahala sebesar dua puluh tujuh derajat dibandingkan dengan orang yang melaksanakan sholat secara sendiri atau (munfarid).
Sebelum melaksanakan sholat berjamaah di masjid, seorang muslim diharuskan melakukan adzan dan iqomah. Hal tersebut juga sangat diutamakan dalam sholat karena mengajak umat muslim yang berada di daerah sekitar masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah. Adzan dan iqomah merupakan suatu tanda bahwa telah masuknya waktu sholat, yang dimana adzan dan iqomah ini dikumandangkan oleh seorang muadzin yang memiliki suara merdu agar para umat muslim tertarik untuk datang dan melaksanakan sholat bersama-sama di masjid. Adzan dan iqomah ini dikumandangkan pertama kalinya dilakukan oleh sahabat Rosululloh SAW yaitu bernama Bilal yang memiliki suara lantang dan merdu. Sejak dulu hingga sekarang suara adzan ini selalu berkesinambungan dari satu tempat ke tempat yang lain, karena pada dasarnya suatu kota yang mengumandangkan adzan dan adzan tersebut belum selesai sudah disambung lagi oleh seruan adzan dari kota lain yang memiliki waktu sholat yang sama.
Pelaksanaan sholat, adzan dan iqomah harus dilakukan secara baik dan benar agar apa yang dilaksanakan tidak menjadi sia-sia atau tidak diterima. Maka dari itu orang yang melaksanakan suatu ibadah harus memahami dengan benar tata cara melaksanakannya, supaya apa yang dikerjakannya tidak menjadi sia-sia. Dalam penulisan makalah ini semoga dapat menambah pemahaman atau wawasan terhadap kita tentang tata cara beribadah dengan baik dan benar. Sehingga suatu ibadah yang kita kerjakan tidak menjadi sia-sia atau tidak terima.






B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja ketentuan Azan dan Iqomat?
2.      Apa saja ketentuan Sholat Berjamaah?
3.      Apa saja ketentuan Makmum Masbuq?
4.      Bagaimana caranya mengingatkan Imam yang lupa?
5.      Bagaimana caranya menggantikan Imam yang Batal?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui ketentuan Azan dan Iqomat.
2.      Untuk mengetahui ketentuan Sholat Berjamaah.
3.      Untuk mengetahui ketentuan Imam Masbuq.
4.      Untuk mengetahui cara mengingatkan imam yang lupa.
5.      Untuk mengetahui caranya menggantikan imam yang batal.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    KETENTUAN AZAN DAN IQAMAT
a.      Azan
1.1  Pengertian Azan
Azan adalah pemberitahuan tentang masuknya waktu salat dengan lafadz-lafadz tertentu.Dengan mengumandangkan azan, tercapailah seruan untuk berjamaah dan mengumandangkan syiar Islam. Hukumnya wajib atau sunnah.[1]
Qurthubi dan ulama lainnyya mengatakan “walaupun kalimat-kalimatnya tidak banyak, tetapi azan mengandung soal-soal akidah karena ia dimulai dengan lafadz takbir serta memuat wujud Allah dan kesempurnaan-Nya.Kemudian diiringi dengan tauhid dan menyingkirkan penyekutuan, lalu menetapkan kerasulan Muhammad SAW. Serta seruan untuk patuh dan taat sebagai akibat pengakuan risalah, karena ia tak mungkin dikenal kecuali dengan tuntunan Rasul.
Adzan merupakan kewajiban bagi seorang laki-laki dan tidak wajib bagi perempuan. Berdasarkan Dalil di bawah ini:

ليس على النساء اذان ولا اقامة ولا جمعة ولا اغتسال جمعة, ولا تقدمهن امراة ولكن تقوم في وسطهن.

“ Tidak diwajibkan bagi perempuan untuk azan, iqamat, dan shalat jumat, dan mandi sebelumnya. Jika salah seorang perempuan menjadi imam bagi rekan-rekannya sesame perempuan, maka ia tidak berdiri di depan mereka, melainkan berdiri di tengah-tengah mereka.” (HR Baihaqi).
jika mereka berazan untuk kalangan mereka sendiri, maka hal itu tidak dilarang selama suara mereka tidak terdengar oleh jamaah laki-laki. Disunnahkan bagi perempuan, jika mendengar azan atau iqamat, untuk menjawab seperti apa yang dilafalkan oleh muazin. Rasulullah saw bersabda, “ jika kalian mendengar seruan azan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muazin.” (HR Bukhori dan Muslim).[2]
Akan tetapi, hal itu tidak berlaku pada lafal, “hayya ‘alas-shalah” dan “hayya ‘alal-falah”, untuk kedua lafal tersebut, anda disunnahkan menjawab dengan ucapan, “ لا حول ولا قوة الا بالله”. Yang artinya “ Tiada daya dan upaya melainkan berkat pertolongan Allah semata.” (HR Muslim dan Abu Dawud)
Selain itu juga disunnahkan untuk mengucapkan shalawat kepada Rasulullah setelah azan, kemudian berdoa.Doa yang beliau ajarkan adalah:

اللهم رب هذه الدعوة اتامة والصلاة القائمة, ات محمدا الوسيلة والفضيلة , وابعثه مقاما محمودا الذي وعدته.

“ Ya Allah, Tuhan pemilik seruan sempurna dan shalat yang dilaksanakan ini. Berikanlah kepada Muhammad kemuliaan dan keutamaan, dan berikanlah kepadanya kedudukan yang terpuji seperti yang telah engkau janjikan.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i).

1.2  Kisah Azan
Adzan atau seruan sholat ini dilakukan pertama kali oleh Bilal yang dimana pada waktu itu nabi memerintahkan untuk menyerukan sholat dengan mengucapkan “Asholatu Jami’ah” maka orang-orangpun akan bergegas menuju masjid untuk melaksanakan sholat. Dan pada akhirnya ada sebuah jalan keluar yang datang melalui sebuah mimpi yang dialami oleh Abdulloh Bin Zaid dan Umar Bin Khattab.
Adapun beberapa kitab hadits menyebutkan dalam riwayatnya bahwa Abdulloh Bin Zaid memberitahukan kepada Rosululloh bahwa ia bermimpi melihat seorang laki-laki yang mengenakan dua baju berwarna hijau sambil membawa lonceng. Abdulloh meminta kepadanya agar sudi menjual lonceng tersebut.Akan tetapi orang tersebut bertanya, “apa yang kamu lakukan dengannya?” lalu Abdulloh menceritakan “akan aku gunakan untuk memanggil orang-orang mengerjakan sholat.Kemudian orang itu berkata “maukah aku tujukkan kepada yang lebih baik daripada itu?” Abdulloh kemudian berkata “tentu” kemudian laki-laki itu berkata ucapkanlah:
الله اكبر الله اكبر, الله اكبر الله اكبر
أ شهد أ ن لا اله الا الله, أ شهد أ ن لا اله الا الله
أ شهد أ نّ محمدا رسول الله, أ شهد أ نّ محمدا رسول الله
حيّ ءلي الصّلاة, حيّ ءلي الصّلاة
حيّ ءلي الفلاح, حيّ ءلي الفلاح
الله اكبر, الله اكبر
لا اله الا الله
Akhirnya Rosulullohpun merasa lega setelah mendengar cerita mimpi itu dari Abdulloh Bin Zaid. Selanjutnya beliau bersabda yang artinya “sesungguhnya ia merupakan mimpi yang benar, insya allah. Oleh karena itu, berdirilah engkau bersama bilal, lalu sampaikan kepadanya hasil mimipimu.Hendaklah ia mengumandangkan panggilan sholat dengannya (adzan), karena suara bilal itu lebih lantang dari suaramu”.[3]
Sejak itulah, tepatnya sejak tahun pertama hijriah, kalimat adzan tidak pernah berhenti selamanya. Sebelum seorang muadzin selesai mengumandangkan adzan disuatu kota yang menandakan masuknya waktu sholat, sudah disambung lagi oleh muadzin di kota berikutnya yang memasuki waktu sholat yang sama, dan demikian seterusnya. Sehingga, kumandang adzan di langit it uterus berkesinambungan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Sehingga allah benar-benar ditinggikan setiap detik dan menit. Kaum muslimin merasakan kemuliaan sesembahan mereka dan keagungan agama mereka serta kekuatan aqidah mereka.
1.3  Waktu Azan
Tentang waktu azan, maka sudah disepakati oleh semua fuqoha bahwa azan tidak boleh diucapkan sebelum masuknya waktu shalat, kecuali sholat subuh yang masih diperselisihkan oleh para fuqoha.
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’I azan untuk sholat subuh bisa diucapkan sebelum fajar.Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah tidak boleh. Fukaha lain berpendapat bahwa untuk sholat subuh apabila ada azan sebelum fajar terbit, maka harus ada azan lagi sesudah terbitnya fajar. Karena yang wajib adalah azan sesudah fajar.
Menurut Abu Muhammad bin Hazm, untuk sholat Subuh harus ada azan sesudah masuk waktu. Kalau azan diucapkan sebelum masuk waktu boleh juga, apabila antara kedua azan tersebut hanya terdapat masa yang sedikit sekali sekedar untuk turunnya muazin pertama dan naiknya muazin kedua.[4]
1.4  Syarat-syarat adzan dan muadzin
Adzan dikumandangkan dengan syarat sudah masuk waktunya sholat, ungkapan lafadz-lafadznya harus urut tanpa ada yang didahulukan atau diakhirkan, dengan jumlah yang telah ditentukan tanpa menambah dan menguranginya yang harus dikumandangkan secara berlanjut tanpa ada keterputusan dengan jeda waktu yang panjang, harus dikumandangkan oleh satu orang muslim laki-laki saja berakal dan mumayiz serta tidak boleh lebih dalam satu waktu. Adzan tidak sah jika dikumandangkan oleh seorang wanita, karena tidak ada kewajiban adzan bagi wanita dan juga tidak boleh mengeraskan suarannya seperti yang boleh dilakukan oleh kaum laki-laki.
Disunnahkan kepada muadzin agar ketika mengumandangkan adzan hendaknya dalam keadaan suci (dari hadats), berdiri, menghadap kiblat, meletakaan jari kedua tangan di telinga, menoleh kekanan ketika melafadzkan hayya alas sholah dan menoleh ke kiri ketika melafadzkan hayya alal falah.[5]
Agar seorang muadzin mendapatkan keutamaan dalam mengumandangkan adzan maka ia haruslah seorang yang bisa dipercaya, adil dan bukan seorang yang fasik, serta bersuara keras dan merdu. Demikian juga disunnahkan agar dalam mengucapkan lafadz-lafadz adzan adalah dengan cara memisahkan antara satu kalimat dengan klimat berikutnya dengan sedikit jeda waktu. Demikian juga seorang muadzin hendaknya mengetahui waktu sholat dan menjaga waktu-waktu shlolat sehingga ia mengumandangkan adzan diawal waktu setiap kali waktu sholat itu tiba. Seorang muadzin hanya meminta upah atau hanya mencari ridho allah semata, bukan mengaharap suatu imbalan pemberian dari seseorang. Jika seorang muadzin telah melakukan hal itu , maka ia telah menunaikan amanahnya. Dalam sebuah hadits dari Abu Huroiroh disebutkan bahwa Rosululloh bersabda:
الا مام ضامن والمؤذّن مؤتمن, اللهمّ أ رشد الائمّة واغفر للمؤذّ نين
“Imam adalah seorang penjamin sedangkan muadzin adalah orang yang mendapatkan kepercayaan. Ya allah, luruskanlah para imam dan berikanlah ampunan kepada para muadzin”.
b.      Iqamat
1.1  Makna dan iqomah
Tentang iqamat para fuqaha berbeda pendapatnya dalam dua hal, yaitu tentang huumnya dan tentang tata caranya. Menurut fukaha, hokum qamat adalah sunnah muakkadah dan lebih kuat daripada azan. Baik untuk orang yang shalat perseorangan maupun berjamaah.[6]
Iqomah merupakan panggilan panggilan untuk berdiri menunaikan sholat dan juga merupakan pengumuman akan segera dimualinnya pelaksanaanya sholat. Iqomah merupakan peringatan terhadap orang-orang yang melaksanakan sholat agar menyatukan pikiran mereka, menata benak mereka dan menyipkan diri untuk berdiri dihadapan allah. Iqomah memberitahukan kepada mereka bahwa sebentar lagi akn dilakukan takbirotul ikhram dan dimulainnya sholat jamaah. Iqomah dituntut untuk tetap dilaksanakan oleh orang yang akan sholat berjamaah maupun sendiri.
Iqomah dikumandangkan hanya berdasarkan perintah imam saja, karena dialah yang punya hak untuk menetapkan kapan iqomah itu dikumandangkan.Adapun jika seorang imam terlambat atau tidak hadir, maka hendaknya yang mengimami sholat berjamaah itu adalah muadzin atau yang lainnya yang memang layak untuk menjadi imam. Diriwayatkan dari Jabir bin Samuroh bahwa ia berkata: “adalah muadzin rosululloh mengumandangkan adzan, kemudian menangguhkan waktu sehingga tidak juga mengumandangkan iqomah, sampai ia melihat rosululloh datang, lalu iapun mengumandangkan iqomah ketika melihat beliau itu datang”.[7]
1.2  Tata cara iqomah
Lafadz-lafadz yang dikumandangkan dalam iqomah itu sama dengan lafadz-lafadz adzan itu sendiri, hanya saja pelaksanaanya lebih cepat dan dengan suara yang lebih rendah. Lafadz iqomah sama dengan lafadz adzan hanya saja ditambah dengan قدقامت الصلاة  setelah kedua lafadz hayya alas sholah dan hayya alal falah.
Disunnahkan bagi orang yang mengumandangkan iqomah untuk mempercepat bacaan iqomah ini dan jangan sampai diselingi dengan berbicara. Sedangkan orang yang mendengarkan iqomah disunnahkan untuk menjawabnya dengan mengulang lafadz-lafadz iqomah ini selain setelah ungkapan dua hayya alas sholah dan hayya alal falah yang dijawab dengan mengucapkan laa haula walaa kuata ila billahi.
B.     Ketentuan Sholat Berjamaah
1.1  Hukum sholat berjamaah
Sholat merupakan kewajiban seorang individu (fardhu ain), sebagian ulama mengatakan shalat berjamaah itu adalah fardhu ain, sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa shalat berjamaah itu fardhu kifayah, sebagian lagi berpendapat sunat muakad .Yang akhir inilah hukum yang lebih layak selain sholat jumat.[8]
Sholat lima waktu bagi laki-laki berjamaah di masjid lebih baik daripada shalat berjamaah di rumah, kecuali sholat sunnah. Sedangkan bagi perempuan shalat di rumah lebih baik karena lebih aman bagi mereka.Sholat jamaah juga membukakan sebuah pintu masuk untuk menggapai solidaritas atau suatu jalinan sosial. Seperti halnya telah dijelaskan dalam al quran surah al hujurat: 13 yang artinya “wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan kami telah menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku agar kamu dapat saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi allah adalah yang paling bertaqwa”
Maksud yang serupa juga dapat kita temukan dalam hadits-hadits Rosululloh SAW. Diantaranya adalah “…wajib atas kamu berjamaah, jagalah dirimu dari memisahkan diri, karena setan bersama orang yang menyendiri, ….Barang siapa ingin kehidupan surga, maka dia wajib berjamaah” (HR. Turmudzi).
Dari shalat berjamaah itu, banyak hal yang akan didapatkan, diantaranya:
1.      Menjadi syiar bagi masyarakat luas, dengan sholat berjamaah di masjid bisa menjadi sarana dakwah kepada masyarakat luas. Memberikan edukasi terkait Islam yang membuat masyarakat akan lebih paham.
2.      Memperkuat ukhuwah islamiyah, salah satu yang terpenting dan yang menjadi masalah dalam umat Islam adalah ukhuwah islamiyah (hubungan). Berbeda pendapat, berbeda pemikiran bisa merusak hubungan. Dan saat ini sangat penting adanya penguatan ukhuwah sesama muslim. Karena dengan ukhuwah tersebut Islam akan menjadi semakin kuat.
3.      Meluaskan silahturrahim, dikehidupan ini, kita disibukkan oleh berbagai masalah dan juga kegiatan. Waktu yang terbatas membuat kita sulit untuk menyambung silahturrahim. Dengan sholat berjamaah memberikan kita kesempatan untuk meluaskan dan mempererat silahturrahim dengan orang terdekat kita atau bahkan orang baru.
4.      Selalu siap menerima perbedaan, perbedaan adalah salah satu factor pemecah belah. Terkadang dalam menunaikan sholat pun ada perbedaan, contoh nyata ada di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, dimana di sana banyak orang yang datang dari berbagai negara dengan cara sholat mereka yang kita lihat berbeda. Dengan sholat berjamaah, kita harus menerima perbedaan itu.
5.      Merasakan kesetaraan kedudukan di hadapan Allah, saat melakukan shalat berjamaah, kita disatukan dengan berbagi suku, jabatan, kedudukan, harta. Tidak ada diskriminasi dalam sholat berjamaah karena mereka harus bersatu dalam shaf-shafnya. Karena dimata Allah semua sama, saat sholat pun kita harus melupakan jabatan serta kedudukan duniawi.
6.      Sarana mendisiplinkan diri, shalat berjamaan adalah salah satu cara untuk melatih disiplin. Bagaimana kita harus tepat waktu saat sholat, mengikuti gerakan imam sampai shalat berakhir.
Dalam sholat jamaah Rosululloh selalu menyerukan kepada jamaahnya untuk meluruskan dan merapatkan barisan (shaf). “susunlah shaf-shafmu, rapatkanlah antara satu dengan satu yang lain, berdiri dengan sikap tegak dan antar bahu mengena. Demi tuhan yang diriku berada ditangannya sesungguhnya aku melihat setan masuk diantara celah-celahmu dalam wujud anak kambing hitam”(HR. Abu Daud).[9]
Dalam riwayat Imam Muslim juga mengatakan bahwa “Biasanya Rosululloh SAW menepuk-nepuk bahu kami pada waktu akan sholat dan mengatakan luruskanlah shaf-shafmu dan jangan ada yang terlalu kedepan atau terlalu kebelakang, karena demikian itu dapat menimbulkan perpecahan diantara kamu.Hendaklah tegak yang ada dibelakangku (makmum terdekat) orang-orang dewasa terpandai, kemudian yang pandai dan seterusnya.”Adapun juga hadits lain dari Imam Muslim yaitu “Barang siapa sholat isya’ berjamaah seolah-olah ia telah telah sholat seperdua malam, dan barang siapa sholat shubuh berjamaah seolah-olah ia telah sholat malam seterusnya” (HR.Muslim).Dalam riwayat Imam Bukhari juga diriwayatkan bahwa “Tiada sholat yang lebih berat bagi orang-orang munafik daripada sholat shubuh dan isya’.Seandainya mereka tahu kelebihan kedua sholat itu, maka niscaya mereka akan mengerjakannya walaupun dengan merangkak” (HR. Bukhori).
1.2  Syarat-syarat sah mengikuti Iman
1)      Makmum hendaklah meniatkan mengikuti imam. Adapun imam tidak menjadi syarat berniat menjadi imam, hanya sunnah agar ia mendapat ganjaran berjamaah.
Sabda Rasulullah saw:
انما الاعمال بالنيات. رواه البخارى
“Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat.”
2)      Makmum hendaklah mengikuti imamnya dalam segala pekerjaannya. Maksudnya makmum hendaklah membaca takbiratul ihram sesudah imamnya. Makmum mengikuti gerakan yang dilakukan oleh imamnya.
3)      Keduanya (imam dan makmum) berada dalam satu tempat, umpamanya dalam satu rumah. Setengah ulama berpendapat bahwa shalat di satu tempat itu tidak menjadi syarat, hanya sunnah karena yang perlu ialah agar makmum dapat mengetahui geral-gerik perpindahan imam dari rukun ke rukun.
4)      Tempat berdiri makmum tidak boleh lebih depan dari imamnya. Yang dimaksud di sini ialah lebih depan ke pihak kiblat.
5)      Imam hendaklah jangan mengikuti yang lain. Imam itu hendaklah berpendirian tidak terpengaruh oleh yang lain; kalau ia makmum tentu ia akan mengikuti imamnya.
6)      Laki-laki tidak sah mengikuti perempuan. Berarti laki-laki tidak boleh menjadi makmum, sedangkan imamya perempuan. Adapun perempuan yang menjadi imam bagi perempuan pula, tidak berhalangan.[10]
Sabda Rasulullah saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تؤمن امراة رجلا. رواه ابن ماجه.
7)      Janganlah makmum beriman kepada orang yang diketahuinya bahwa sholat tidak sah (batal). Seperti mengikuti imam yang diketahui oleh makmum bahwa ia bukan orang Islam, atau ia berhadats atau bernajis badan, pakaian, atau tempatnya. Karena imam yang seperti itu hukumnya tidak sah dalam shalat.
C.    Ketentuan Makmum Masbuq
Masbuk ialah orang yang mengikut sholat berjamaah, kemudian ia tidak sempat membaca al-fatihah beserta imam di rakaat pertama.
Hukumnya, jika ia takbir sewaktu imam belum ruku’, hendaklah ia membaca fatihah seberapa mungkin. Apabila imam ruku’ sebelum habis alfatihahnya, maka hendaklah ia ruku’ pula mengikuti imam. Singkatnya, hendaklah ia menirukan keadaan imam sesudah takbiratul ihram.[11]
Apabila masbuq mendapati imam sebelum ruku’ atau sedang ruku’, dan ia dapat ruku’ yang sempurna bersama imam, maka ia mendapat satu rakaat, berarti shalatnya itu terhitung satu rakaat. Kemudian hendaklah ditambah kekurangan rakaatnya jika belum cukup, sesudah imam memberi salam.
Sabda Rasulullah saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا جاء احدكم الصلاة ونحن سجود فاسجدوا ولا تعدوها شيئا ومن ادرك الركوع فقد ادرك الركعة.روه البخاري ومسلم.
“ apabila seseorang di antara kamu dating untuk sholat sewaktu kami sujud, maka hendaklah kamu sujud, dan janganlah kamu hitung itu satu rakaat; dan barangsiapa yang mandapati ruku’ beserta imam, maka ia telah mendapat satu rakaat,” (HR Bukhori dan Muslim).
D.    Cara mengingatkan imam yang lupa
Syari’at Islam telah mengajarkan pada kita tata cara bergaul dengan sesama. Bahkan hingga dalam cara menegur seorang imam dalam shalat pun, kita diajarkan. Dan memang, berdasarkan tata cara yang benar dan baik, cara menegur imam dibedakan antara yang laki laki dan perempuan.
Memang sunnah bagi seorang makmum untuk menegur imam shalatnya, apabila imam itu dalam keadaan lupa atau melakukan kesalahan. Misalnya, dia meninggalkan suatu rukun atau menambahnya.
Terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal menegur imam yang melakukan kesalahan dalam shalat. Perbedaannya adalah sebagai berikut:
1.      Jika imam lupa dalam bacaan atau ayat, cara mengingatkannya adalah dengan meneruskan bacaan atau ayat tersebut yang benar. Jika imam terus saja, maka makmum hendaknya tetap mengikuti imamnya.
2.      Untuk ma’mum laki-laki, dia harus menegur imam shalatnya dengan membaca tasbih (Subhanallah). Dengan catatan, disyaratkan ketika mengucapkan “Subhanallah” itu dengan niat membaca dzikir atau membaca dzikir sekaligus menegur imam. Bila orang itu membaca “Subhanallah” dan niatnya hanya untuk menegur imam atau dia tidak berniat apa pun, shalatnya batal. Ini keterangan tentang tata cara seorang makmum laki-laki yang menegur imam dalam shalat.
3.      Adapun bagi ma’mum perempuan, bila dia mau menegur atau mengingatkan imam shalatnya, adalah dengan cara bertepuk tangan, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim : “Barang siapa yang terjadi sesuatu dalam shalatnya (kesalahan imam misalnya), ucapkanlah tasbih (Subhanallah, untuk menegurnya), adapun bertepuk tangan itu hanya dilakukan oleh perempuan (ketika ingin menegur imamnya).”
4.      Mengenai cara tepuk tangan yang benar dan disunnahkan ketika menegur imam bagi seorang wanita adalah sebagai berikut:
a.       Menepuk perut telapak tangan yang kanan (bagian dalamnya) di atas punggung telapak tangan yang kiri (bagian luarnya), atau sebaliknya, yaitu perut telapak tangan yang kiri di atas punggung telapak tangan yang kanan.
b.      Menepuk punggung telapak tangan yang kanan di atas perut telapak tangan yang kiri, atau sebaliknya.
c.       Menepuk punggung telapak tangan yang kanan di atas punggung telapak tangan yang kiri atau sebaliknya. Adapun menepuk telapak tangan yang kanan di atas perut telapak tangan yang kiri atau sebaliknya, hukumnya adalah makruh. Dan perlu diketahui, jika seorang makmum yang menepuk tangannya dengan niat main-main ketika shalat dan dia mengetahui bahwa itu adalah haram ketika dalam shalat, shalatnya batal.
5.      Apabila imam lupa dan meninggalkan rukun shalat seperti sujud dan ruku’, dan makmum telah mengingatkannya dengan tasbih, ia wajib segera melaksanakannya dan setelah itu melaksanakan sujud sahwi.
6.      Khusus pada masalah imam lupa melaksanakan tasyahud awal, bila imam terlanjur berdiri tegak sempurna ketika makmum mengingatkannya, maka imam tidak perlu kembali duduk. Namun melanjutkan shalat dan melakukan sujud sahwi.
E.     Cara mengingatkan imam yang batal
Tatacara mengganti imam yang batal adalah sebagai berikut, baik batalnya saat berdiri, rukuk, maupun sujud:
1.      Imam yang batal mundur kebelakang, tanpa membaca takbir, agar makmum tak menyangka imam telah meneruskan gerakannya.
2.      Kemudian imam memberi isyarat kepada makmum untuk menggantinya atau imam memegang salah satu pundak makmum dan mengisyaratkan untuk maju dan menggantikan posisi imam.
3.      Lalu makmum yang mengganti imam tersebut maju, menempati gerakan imam dan melanjutkan sholat.
4.      Imam  yang batal ambil wudhu dan masuk dibarisan paling belakang atau yang kosong (sesuai kondisi) untuk melanjutkan ikut imam baru secara masbuk.
Sedang orang yang paling didahulukan untuk menggantikan imam yang batal di tengah sholat urutannya sebagai berikut:
1.      Imam rotib (imam yang memiliki jadwal imam di masjid tersebut)
2.      Makmum yang dipilih oleh imam.
3.      Makmum yang dipilih oleh makmum yang lainnya.

     Ketentuan-ketentuan hukum diatas berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi radhiyallahu 'anhu, yang artinya :

"Bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi menemui Bani 'Amru bin 'Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka.Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada seorang mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau memimpin shalat berjama'ah sehingga aku bacakan iqamatnya?"Abu Bakar menjawab, "Ya."Maka Abu Bakar memimpin shalat.Tak lama kemudian datang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat.Lalu beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf.Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya.Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi isyarat yang maksudnya: 'Tetaplah kamu pada posisimu'. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji Allah atas perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maju dan melanjutkan shalat."(Shahih Bukhori, no. 684 dan Shahih Muslim, no 421).


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat kita simpulkan bahwa waktu azan sudah disepakati oleh semua fuqoha bahwa azan tidak boleh diucapkan sebelum masuknya waktu shalat.Tentang iqamat para fuqaha berbeda pendapatnya dalam dua hal, yaitu tentang huumnya dan tentang tata caranya. Menurut fukaha, hokum qamat adalah sunnah muakkadah dan lebih kuat daripada azan. Baik untuk orang yang shalat perseorangan maupun berjamaah.Sholat merupakan kewajiban seorang individu (fardhu ain). Sholat lima waktu bagi laki-laki berjamaah di masjid lebih baik daripada shalat berjamaah di rumah, kecuali sholat sunnah. Sedangkan bagi perempuan shalat di rumah lebih baik karena lebih aman bagi mereka. Masbuk ialah orang yang mengikut sholat berjamaah, kemudian ia tidak sempat membaca al-fatihah beserta imam di rakaat pertama. Hukumnya, jika ia takbir sewaktu imam belum ruku’, hendaklah ia membaca fatihah seberapa mungkin. Apabila imam ruku’ sebelum habis alfatihahnya, maka hendaklah ia ruku’ pula mengikuti imam. Singkatnya, hendaklah ia menirukan keadaan imam sesudah takbiratul ihram. tata cara yang benar dan baik, cara menegur imam dibedakan antara yang laki laki dan perempuan.






















DAFTAR PUSTAKA
Asep Muhyiddin & Asep Salahuddin.Salat Bukan Sekedar Ritual.
Ad daqqowi, Muhammad Mansur.Sholat Khusuk.
Kamal ,Abu Malik. 2007. Fiqih Sunnah Wanita.Terj. Ghozi M.Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara.
Rasjid ,Sulaiman. 1986. FIQH ISLAM. Terj. Harry Suryana.Jakarta: PT. Djaja Murni
Rusydi , Ibnu. 1990. BIDAYATUL MUJTAHID.terj. Ahmad Hanafi.Jakarta: PT Bulan Bintang
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah. Terj.Nor Hasanuddin.Jakarta: Pena Pundi Aksara.


[1]Sayyid Sabiq, terj. Nor Hasanuddin, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 153
[2] Abu Malik Kamal, terj. Ghozi M, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta Pusat, Pena Pundi Aksara, 2007), hlm. 82
[3] Muhammad Mansur ad daqqowi, Sholat Khusuk,176.
[4] Ibnu Rusydi, terj. Ahmad Hanafi, BIDAYATUL MUJTAHID, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1990), hlm. 207
[5] Muhammad Mansur ad daqqowi, Sholat Khusuk,hlm.189
[6] Ibnu Rusydi, terj. Ahmad Hanafi, BIDAYATUL MUJTAHID, (Jakarta, Pt Bulan Bintang, 1990), hlm. 211
[7] Muhammad Mansur ad daqqowi, Sholat Khusuk,190.
[8] Sulaiman Rasjid, terj. Harry Suryana, FIQH ISLAM, (Jakarta,PT. Djaja Murni, 1986), hlm.110
[9] Asep Muhyiddin,Asep Salahuddin, Salat Bukan Sekedar Ritual,hlm.278.
[10] Sulaiman Rasjid, terj. Harry Suryana, FIQH ISLAM, (Jakarta, PT. Djaja Murni, 1986), hlm.112
[11]Ibid, 116

Komentar