BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Diberitahukan dalam al-Qur’an bahwa Allah mempunyai
nama-nama yang indah atau yang dikenal dalam asmaul husna. Nama Allah memang
dalam al-Quran tidak berurutan sesuai yang ada pada asmaul husna dalam al-Quran
saat ini. Namun sebenarnya dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa Allah
memiliki 100 Asmaul Husna dan hanya 99 yang manusia ketahui. Dalam 99 asmaul
husna tersebut banyak hal-hal yang dapat kita ambil hikmahnya dalam kehidupan
saat ini.
Dalam dunia saat ini, banyak manusia yang sangat
faham tentang pengetahuan bumi, namun jarang atau sedikit dari kita (manusia)
memahami dan mendalami tentang ilmunya Allah melalui sifat-sifatNya. Banyak
dari kita menerima karuniaNya, tetapi kita kurang mensukurinya. Kita cepat
tertarik pada kemajuan teknologi, tetapi kita lambat membaca sinyal kekuasaan
Ilahi. Kita rajin mendengarkan infortaiment hingga mondar-mandir kesana kemari,
tetapi jarang dari kita yang mencari informasi tentang Allah dalam mensykuri
nikmat ini. Maka jangan heran semakin banyak informasi tentang kejadian di
seputar kita, semakin resah hati kita, semakin banyak kita pikirkan dunia akan
semakin tidak tenang pikiran kita, semakin banyak kita menguti gosip, semakin
bimbang perasaan kita, takut dan was was terhadap segala hal yang terjadi ini. Dan
inilah yang menjadi kewajiban bagi kita untuk terus berusaha mencaritahu
tentang Allah dan menelusuri jejak-jejak-Nya supaya kita mengenal Allah lebih
dekat dan iman kita lebih mantap serta tidak mudah rapuh dimakan rayap dunia.
Oleh
karena itu dalam makalah kali ini, penulis akan membahas tentang 10 Asmaul
Husna sebagai sebuah repretasi pengetahuan tentang Allah dalam kehidupan saat
ini. Dalam Asmaul Husna ini penulis mengambil 10 yang meliputi: al-Aziz,
al-Ghaffar, al-Basith, an-Nafi’, ar-Ra’uf, al-Barr, al-Hakim, al-Fattah,
al-‘Adl, dan al-Qayyum. Pembahasan dalam Asmaul Husna tersebut lebih kepada
maknanya, kebenarannya atas kekuasaan Allah dan perilaku orang yang
mengamalinya serta rahasia dibaliknya.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis ingin membahas
secara mendalam dan detail dari sumber-sumber yang telah diakui tentang 10 Asmaul Husna yang meliputi: al-Aziz, al-Ghaffar,
al-Basith, an-Nafi’, ar-Ra’uf, al-Barr, al-Hakim, al-Fattah, al-‘Adl, dan
al-Qayyum secara lengkap. Pembahasan tersebut seperti: maknanya, kebenarannya
atas kekuasaan Allah dan perilaku orang yang mengamalinya serta rahasia
dibaliknya.
C. Tujuan
Penulisan
Dalam makalah
ini, yaitu bertujuan sebagai suatu pengantar Media atau perantara kita untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan memperluas Ilmu terutama tentang nam-nama indah Allah yang meliputi: 10 Asmaul Husna yang meliputi: al-Aziz, al-Ghaffar,
al-Basith, an-Nafi’, ar-Ra’uf, al-Barr, al-Hakim, al-Fattah, al-‘Adl, dan
al-Qayyum sebagai bentuk ibadah dan dapat pula diambil hikmahnya untuk kita
teladani dalam kehidupan saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asmaul Husna
Dalam agama Islam, Asmaul Husna adalah
nama-nama Allah Swt yang indah dan baik. Asma berarti nama dan Husna
berarti baik atau yang indah. Jadi
Asmaul Husna adalah nama-nama milik
Allah Swt yang baik dan indah. Sedangkan Asmaul Husna secara harfiah adalah
nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung sesuai dengan
sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu
kesatuan yang menyatu dengan kebesaran dan kehebatannya milik Allah.[1]
B.
Landasan dan Keistimewaan Asmaul Husna
Asmual husna merupakan sebuah nama yang hanya
dimiliki oleh Allah. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah swt :
“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah
kepadanya dengan menyebut asmaul husna itu” (Surat Al-A’raf ayat 180).
“Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang
membentuk rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang ada di langit dan
di bumi bertasbih kepada-Nya dan Dialah yang maha perkasa, maha bijaksana” (al-Hasyr ayat 24). Bukan hannya itu tentang
keutamaan asmaul husna ini juga ada dalam beberapa hadits seperti berikut:
“Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan
nama, barangsiapa yang meng-isha’nya dia akan masuk syurga” (HR. Imam At-Tirmizi). Dari hadits diatas
bahwa untuk mendapatkan keistimewaan dari asmaul husna salah satunya tergantung
pada isha’. Dimana kata isha’ berasal dari kata ahshaa yang berarti menghitung,
namun lebih tepatnya adalah mengeksplorasi. Menurut Syaikh Abdul Qadir
Al-Manawi dalam kitab Faidh Al-Qadir yang dimaksud man akhshaahaa (orang yang
meng-iksha’) yaitu:
1.
Orang yang membaca Asmaul Husna satu demi satu dengan
tartil (betul cara mengucapkannnya) dan hafal di luar kepala.
2.
Orang yang mendalami dan memikirkan (tadabbur) makna
asmaul husna, mencaritahu hakekatnya yang dituju dan menyelidiki jejak-jejak
asmual husna sampai benar-benar menjadi nyata, lalu diyakinkan dalam hati.
3.
Orang yang mengejawentahkan dan menegakkan hak-hak asmaul
husna, mengamalkan kandungannya, menggali maknanya dan memperdayakan potensi
diri sesuai dengan yang ditunjukkannya.
Dari aspek
3 tersebut maka dapat diperinci intinya
yang meliputi: aspek bacaan dan penyebutan bilangan di luar kepala, aspek
pemahaman arti dan penujukkannya, dan aspek penerapan dan pengalamannya.[2]
C. Al-‘Aziz
1.
Arti dan maknanya
Disebutkan dalam kitab al-i’tiqad karya al-baihaqi,
al-‘aziz artinya:
a. Zat yang menang tidak terkalahkan, yang tidak bisa
ditembus.
b. Zat yang kuasa dan kuat
c. Zat yang tidak ada tandingan-Nya.[3]
Sedangkan al-Aziz menurut Ibnu Katsir artinya: Yang
Tidak Bisa Dikalahkan dan Tidak Bisa Dicegah.
Bukan hanya itu dalam Al-Quran Al-Aziz kebanyakan diartikan dengan kata
Yang Maha Perkasa. Kata al-‘aziz terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf ‘ain
dan zai, yang maknanya adalah kekukuhan, kekuatan, dan
kemantapan. Dari sini
kemudian, maknanya berkembang sesuai dengan konteks serta bentuk dasar mudhari’-nya.
Jika bentuknya ya’uzzu, maka ia berarti mengalahkan. Jika
berbentuk ya’izzu, maka maknanya yang sangat jarang atau sedikit
bahkan tidak ada samanya. Sedangkan bila bentuk katanya ya’azzu, maka
ini berarti menguatkan sehingga tidak dapat dibendung atau diraih.
Ketiga makna di atas, dapat menyifati Allah swt.
Kata al-‘aziz dan ‘aziz
terulang dalam al-Qur’an sebanyak sembilan puluh sembilan kali, antara lain
bermakna; angkuh, tidak terbendung, kasar, keras, dkungan, semangat, dan
membangkang. Allah adalah al-‘Aziz, yakni Yang Maha
mengalahkan siapa pun yang melawan-Nya dan tidak terkalahkan oleh siapa pun. Dia juga tidak ada sama-Nya, serta tidak pula dapat dibendung kekuatan-Nya atau diraih
kedudukan-Nya. Dia begitu tinggi sehingga tidak dapat disentuh oleh
keburukan dan kehinaan. Dari sini kata al-‘Aziz
biasa diartikan dengan Yang Mulia. ‘Izzah (sifat yang disandang oleh Yang ‘Aziz), menjadikan Dia bebas dari segala cela dan kerendahan yang
mengurangi kehormatan-Nya.[4]
Imam al-Ghazali menetapkan tiga syarat
yang harus terpenuhi untuk dapat menyandang sifat tersebut, yaitu: a) Peranan
yang sangat penting lagi sedikit sekali wujud yang sama dengannya, b) Sangat
dibutuhkan, dan c) Sulit untuk diraih/disentuh. Taanpa berkumpulnya
tiga hal tersebut, maka sesuatu tidak wajar dinamai ‘aziz. Tulis
al-Ghazali, “Ada saja sesuatu yang jarang wujudnya, tetapi tidak memilliki
peranan yang penting, dan tidak pula banyak manfaatnya, maka ia bukanlah
sesuatu yang ‘aziz. Demikian juga ada saja yang besar peranannya, banyak
manfaatnya, jarang samanya, tetapi tidak sulit meraihnya, maka dia pun tidak
bisa dinamai ‘aziz.” Al-Ghazali memberi contoh matahari yang dalam tata
surya kita tidak ada bandingannya, manfaatnya pun banyak bagi setiap yang
hidup, kebutuhan terhadapnya sangat besar, namun demikian ia tidak dapat
dinamai ‘aziz, karena tidak sulit bagi siapa pun untuk menyaksikannya.[5]
Setiap unsur dari ketiga syarat
diatas, mempunyai kesempurnaan dan kekurangan. Kesempurnaan menyangkut sedikitnya
unsur sesuatu seperti keesaan, karena tidak ada yang lebih sedikit dari satu.
Allah swt. dalam hal ini adalah wujud yang paling ‘Aziz/Mulia karena
sedikit wujud yang sama dengan-Nya, “Yang serupa dengan serupa-Nya pun taka
da”, sesuai firman-Nya “Laisa Kamitslihi Syai’un,” baik dalam benak
atau khayalan, apalagi dalam kenyataan. Adapun dalam hal kebutuhan pihak lain
kepadanya, maka kesempurnaannya terletak pada kebutuhan kepadanya oleh segala
sesuatu dan dalam segala hal, termasuk dalam hal wujud, kesinambungan
eksistensi dan sifat-sifat. Sesuatu yang sifatnya seperti itu, hanya wujud pada
Allah swt. sedangkan kesempurnaan dalam hal kesulitan untuk diraih, juga hanya
disandang oleh Allah swt., karena bukanlah “Tidak ada yang mengenal Allah
kecuali Allah sendiri?” Bukankah Dia yang mengherankan jika dibahas zat-Nya,
serta mengagumkan jika dianalisis perbuatan-Nya? Dari sini dapat dimengerti
mengapa al-Qur’an menyatakan bahwa, “Barang siapa yang menghendaki al-‘Izzah
(kemulian) maka kemulian seluruhnya hanya milik Allah” (QS. al-Fathir
[35]: 10).
Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya
Tuhan kalian berfirman setiap hari; Akulah al-‘Izzah (Yang Maha Mulia),
siapa yang menghendaki kemudian dunia dan akhirat, hendaklah dia taat kepada al-‘Aziz.”
Jika kemuliaan adalah milik Allah,
maka Allah pula yang menganugerahkannya kepada siapa yang dikehendakinya, dan
dalam konteks ini Allah menegaskan bahwa
kemuliaan itu dianugerahkan-Nya kepada Rasul dan orang-orang Mukmin sebagaimana
firman-Nya dalam QS. al-Munafiqun [63]: 8.[6]
Ini berarti bahwa kemuliaan manusia
tidak terletak pada kekayaan atau kedudukan sosialnya, tetapi pada nilai
hubungannya dengan Allah swt. siapa yang menghendaki kemuliaan, maka hendaklah
dia menghubungkan diri dengan Allah dan tidak mengandalkan manusia guna
meraihnya, karena; “Siapa yang mencari kemuliaan melalui satu kaum, Allah
akan menghinanya melalui mereka.”
‘Izzah
(kemuliaan)
bagi manusia berbeda dengan keangkuhan, karena kemuliaan merupakan cermin
pengetahuan manusia tentang diri dan kedudukannya sehingga dia menempatkan dirinya pada tempat yang
sewajarnya. Sedangkan keangkuhan adalah cermin dari ketidaktahuan manusia
akan diri dan kedudukannya sehingga dia menempatkan diri di atas kedudukan
sebenarnya. Agaknya inilah yang menjadi sebab sehingga pada umumnya dalam
al-Qur’an kata ‘Aziz yang menjadi sifat Allah, sering kali disusul oleh
kata Hakim, yang mengandung makna memperlakukan sesuatu dengan
bijaksana, sehingga dengannya diraih manfaat atau ditolaknya mudharat. Bahkan
dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata ‘Aziz yang menjadi sifat Allah, kecuali digandengkan
dengan salah satu-Nya yang lain, yang dipilih-Nya sesuai dengan konteks
pembicaraan, seperti al-Qawiyy, ar-Rahim, al-Hamid, al-Ghaffar, al-Ghafur,
Dzuntiqam. Sifat ‘aziz yang merupakan sifat Nabi Muhammad saw. pun
dirangkaikan dengan sifat Ra’uf ar-Rahim (sangat penyantun lagi
penyayang) (QS. at-Taubah [9]: 128). Kata ‘aziz dalam al-Qur’an yang
tidak disertai dengan sifat lain hanya tertuju kepada manusia, yakni yang
diucapkan putra-putra Nabi Ya’kub as. ketika mereka datang menemui penguasa
Mesir bermohon agar saudara mereka yang ditangkap dapat dilepaskan (QS. Yusuf
[12]: 78).[7]
2.
Perilaku orang yang mengamalkan al aziz
Imam al-Ghazali melukiskan hamba-hamba
Allah yang ‘aziz (mulia) adalah yang dibutuhkan oleh hamba-hamba Allah
dalam urusan mereka yang sangat penting, yakni menyangkut kehidupan akhirat dan
kebahagiaan abadi. Ini tidak disangkal merupakan suatu hal yang sedikit
wujudnya dan sulit meraihnya. Inilah tingkat para nabi, yakni para ahli waris
dan penerus ajaran mereka dengan tingkat kemuliaan yang sesuai dengan tingkatan
pengabdian mereka menuntun masyarakat.
Seseorang yang menghayati makna al-‘Aziz
akan memelihara diri dan menjaga kehormatannya sehingga tidak akan mengulurkan
tangan untuk mengemis, bahkan meminta, sampai-sampai menurut al-Qur’an, “Orang-orang
yang tidak tahu mengira mereka orang kaya karena memelihara diri mereka dari
meminta-minta”(QS. al-Baqarah [2]: 273). Seseorang yang ‘aziz bersedia
tampil di tengah masyarakat dengan peranan yang penting lagi bermanfaat.
Bukankah al-‘aziz adalah yang memiliki “peranan yang sangat penting lagi
sangat dibutuhkan” dan saat yang sama memiliki intregitas pribadi dan
kewibawaan yang menjadikan dirinya sangat disegani, sehingga penghormatan yang
disertai rasa kagum terpancar dari mereka yang melihat dan mengenalnya. Itulah
manifestasi yang dapat diraih manusia dari syarat ketiga yang disebut di atsa,
yakni “sulit untuk diraih/disentuh.” Selanjutnya keinginan masyarakat untuk dekat
dan mengenalnya sedemikian besar, karena tidak banyak orang semacamnya.[8]
Tidaklah termasuk seorang ‘aziz
yang merendahkan diri kepada orang lain karena harta atau kedudukan
sosialnya, “Siapa yang merendah karena kekayaan, maka dua pertiga agamanya
telah hilang,” demikian sabda Nabi saw., sebagaimana bukan seorang Muslim
yang baik bila dia memahami kemuliaan pada harta dan kedudukan. Orang-orang
munafiklah yang berpandangan demikian, tetapi mereka itu menurut al-Qur’an
tidak mengetahui (QS. al-Munafiqun [60]: 10). Ketidaktahuannya itu adalah
karena pandangan hati mereka telah tertutup sehingga seluruh kegiatan mereka
hanya tertuju untuk meraih dunia. Karena itu pula setelah menjelaskan sikap dan
sifat orang-orang munafik diatas, Allah mengingatkan, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah hartmu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari Allah.
Barangsiapa berbuat demikian , mereka itulah orang-orang yang rugi” (QS.
al-Munafiqun [63]: 9).[9]
3. Bukti Kebenaran Al-Aziz
Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, tak satu makhluk pun yang
mampu menghalangi kehendak-Nya. Hal ini terbukti bahwa tidak ada satu makhluk
pun yang dapat mempertahankan hidupnya. Apabila Allah telah menghendaki mati,
maka matilah makhluk tersebut. Hal ini sesuai firman Allah yang berbunyi “Jika Allah
mengehendaki, niscaya dia musnahkan kalian wahai manusia. Dan dia datangkan
umat yang lain sebagai pengganti bagi kalian” (QS. An-Nisa’ ayat 133).
D.
Al-Ghaffar
1. Arti dan Maknanya
` Kata al-Ghaffar
terambil dari akar kata ghafara yang berarti menutup, ada
juga yang berpendapat dari kata al-Ghafaru, yakni sejenis tumbuhan yang
digunakan untuk mengobati luka. Jika pendapat pertama yang dipilih, maka Allah
al-Ghaffar berarti antara lain. Dia menutupi dosa hamba-hamba-Nya karena
kemurahan dan anugerah-Nya. Sedang bila yang kedua, maka ini bermakna Allah
menganugerahi hamba-Nya penyesalan atas dosa-dosa, sehingga penyesalan ini
berakibat kesembuhan, dalam hal ini adalah terhapusnya dosa. Kalimat Allahummaghfir li juga dipahami dalam arti ya
Allah perbaikilah keadaanku. Demikian pendapat Ibnu al-Arabi.
Dalam al-Qur’an kata Ghaffar terulang
sebanyak lima kali, ada yang berdiri sendiri, seperti dalam QS. Nuh [71]: 10,
yang mengabadikan ucapan Nabi Nuh as. kepada kaumnya: “Beristighfarlah
kepada Tuhan-mu sesungguhnya Dia senantiasa Ghaffara” dan QS. Thaha [20]:
82: “Sesunggguhnya Aku Ghaffar bagi yang bertaubat, percaya dan beramal
saleh, lalu memperoleh hidayah.” Tiga lainnya dirangkaikan dengan sifat
‘Aziz yang mendahuluinya. Yang dirangkaikan ini, dikemukan bukan dalam konteks
pengampunan dosa. Ini memberi kesan bahwa Allah sebagai Ghaffar, bukan
hanya menutupi kesalahan dan dosa-dosa hamba-Nya, tetapi yang ditutup-Nya itu,
dapat mencakup banyak hal selain dari dosa.[10]
Allah berfirman, “Sesungguhnya
Tuhanmu sangat luas maghfirah-Nya” (QS. at-Taubah [9]: 117). Keluasan ini
tidak hanya mengantar kepada berulang-ulangnya Yang Maha Pengampun itu
mengampuni dosa, tetapi juga mengisyaratkan banyaknya cakupan dari
maghfirah-Nya. Allah tidak hanya mengampuni dosa besar atau kecil yangberkaitan
dengan pelanggaran perintah dan larangan-Nya, atau yang dinamai hukum syariat,
tetapi juga yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum moral yang boleh
jadi tidak dinilai sebagai dosa dari segi syariat, bahkan dapat mencakup pula
persoalan-persoalan yang dianggap tidak wajar dari segi cinta dan emosi. Nabi
Muhammad saw. bermohon kiranya Allah mengampuni beliau menyangkut “ketidakadilan hati dalam cinta
terhadap istri-istri beliau”, “inilah hasil upayaku (dalam cinta) menyangkut
hal yang kumampui, maka jangan tuntut aku menyangkut yang di luar kemampuanku.”
Dalam hal-hal yang semacam inilah
hendaknya dipahami maghfirah Allah kepada para nabi dan rasul-Nya,
setelah mereka pada hakikatnya terbebaskan dari aneka dosa dari segi pandangan
syariat.
Imam al-Ghazali bahkan mengarah kepada
yang lebih jauh dari pada apa yang dikemukakan di atas. Hujjatul Islam ini
menjelaskan bahwa Ghaffar adalah “Yang menempakkan keindahan dan
menutupi keburukan.” Dosa-dosa adalah bagian dari sejumlah keburukan yang
ditutupi-Nya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengenyampingkan
siksa-Nya di akhirat. [11]
Pertama yang ditutupi oleh Allah dari
hamba-Nya adalah sisi dalam jasmani manusia yang tidak sedap dipandang mata.
Ini ditutupi-Nya dengan keindahan lahiriah. Alangkah jauh perbedaan antara sisi
dalam dan sisi lahir manusia dari segi kebersihan dan kekotoran, keburukan dan
keindahan. Perhatikanlah apa yang tampak dana pa pula yang tertutupi.
Hal kedua, yang ditutupi Allah adalah
bisikan hati serta kehendak-kehendak manusia yang buruk. Tidak seorang pun
mengetahui isi hati manusia kecuali Allah dan dirinya sendiri. Seandainya
terungkap apa yang terlintas dalam pikiran atau terkuak apa yang terbetik dalam
hati menyangkut kejahatan atau penipuan, sangka buruk, dengki dan sebagainya,
maka sungguh manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Demikian kata
al-Ghazali. Penulis dapat menambahkan bahwa Allah swt. tidak hanya menutupi apa
yang dirahasiakan manusia terhadap orang lain, tetapi juga menutupi sekian
banyak pengalaman-pengalaman masa lalunya, kesedihan atau keinginannya, yang
dipendam dan ditutupi oleh Allah di bawah sadar manusia sendiri, yang kalau
ditampakkan kepada orang lain, atau dimunculkan ke permukaan hati yang
bersangkutan sendiri, maka pasti akan mengakibatkan gangguan yang tidak kecil.[12]
Yang ketiga yang ditutupi Alah selaku Ghaffar
adalah dosa dan pelanggaran-pelanggaran manusia yang seharusnya dapat
diketahui umum. Sedemikian besar anugerah-Nya sampai-sampai Dia menjanjikan menukar
kesalahan dan dosa-dosa itu dengan kebaikan jika yang bersangkutan berupaya
untuk kembali kepada-Nya.[13]
Ketika berbicara tentang mereka yang bergelimang di dalam dosa dan yang
dilipat-gandakan siksa baginya di Hari Kemudian, Allah mengecualikan: Orang
yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh, mereka itu yang digantikan Allah
kejahatan mereka dengan kebaikan” QS. al-Furqan [25]: 70).
Jika demikian itu cakupan meghfirah
Allah, maka ia tidak hanya tertuju kepada orang-orang beriman, tetapi juga
tertuju dalam kehidupan dunia ini kepada orang-orang kafir yang tidak percaya
adanya Hari Kebangkitan. QS. ar-Ra’d [13]: 6 mengisyaratkan hal tersebut,
firman-Nya: “Mereka meminta kepada-Mu supaya disegerakan (datangnya) siksa
sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh
siksa sebelum mereka. Sesungguhna Tuhanmu memiliki maghfirah bagi manusia atas
kezaliman mereka, dan sesungguhnya Tuhanmu amat pedih siksa-Nya.”[14]
Allah swt. menyambut permohonan tulus
hamba-hamba-Nya yang berdosa, betapapun besar dan banyak dosanya. “Sampaikan
kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri:
Janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua
dosa, Dialah al-Ghaffar ar-Rahim” (QS. az-Zumar [39]:53).[15]
Bahkan terbuka kemungkinan bagi yang tidak bermohon pun selama dosanya bukan
mempersekutukan Allah untuk diampuni
oleh-Nya. “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa yang mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu, dan mengampuni dosa selain dari itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya” (QS. an-Nisa’ [4]:48 dan 116).[16]
Sahabat Nabi saw. Anas ra. Berkata:
“Aku telah mendengar Rasul saw. bersabda: “Allah berfirman: Wahai putra (putri)
Adam, selama engkau berdoa kepada-Ku dan mengharapkan ampunan-Ku, Aku ampuni untukmu,
apa yang engkau telah lakukan di masa lampau dan Aku tidak peduli (betapapun
banyaknya dosamu). Wahai putra (putri) Adam, seandainya dosa-dosamu telah
mencapai ketinggian langit, kemudian engkau memohon ampunan-Ku, Aku ampuni
untukmu.seandainya engkau datang menemuiku membawa seluas wadah bumi ini
dosa-dosa dan engkau datang menjumpaiku dengantidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang
kepadamu dengan seluas wadah itu, pengampunan” (HR. at-Tirmidzi demikian juha
Ahmad dengan sanadnya Hasan).
“Tidaklah
dinamai bertekad mengulangi dosa, siapa pun yang beristighfar, walau ia
mengulangi dosa tujuh puluh kali sehari.”
Demikian
sebuah riwayat.
“walaupun
Abu Dzar keberatan, “begitu komentar Nabi saw. kepada sahabat beliau, Abu Dzar ra. Yang
terheraan-heran dan merasa keberatan dengan jawaban Nabi saw. tentang seseorang
yang berulang-ulang berdosa, kemudian berulang-ulang pula bertaubat, namun
tetap diterima Allah taubatnya.[17]
Allah swt. memerintahkan manusia agar
meneladani-Nya dalam memberi maghfirah: “Katakanlah kepada orang-orang yang
beriman agar yaghfiru, memberi maghfirah/menutupi aib.memaafkan
orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Allah” (QS. al-Jatsiyah [45]:
14). Di tempat lain dinyatakan-Nya bahwa, “Siapa yang bersabar dan
menutupi kesalahan orang lain/memaafkan, maka sungguh hal yang demikian
termasuk hal yangdiutamakan” (QS. asy-Syura [42]:43). Ketika Abu Bakar ra.
bersumpah untuk tidak memaafkan Misthah yang ikut menyebarkan fitnah terhadap
putri beliau Aisyah ra. padahal selama ini ia disantuni oleh Abu Bakar ra.
turun perintah Allah kepada orang-orang Mukmin agar memberi maaf dan berlapang
dada sambil menanyakan: “Apakah kamu tidak menyukai Allah menutupi
(kesalahan, aib, dan dosa) kamu? Sesungguhnya Allah Maha Ghafur dan Rahim”
(QS. an-Nur [24]: 22).
2.
Perilaku Orang yang Mengamalkan Al-Ghaffar.
Seseoerang yang memenuhi tuntutan ini
atau meneladani sifat Allah al-Ghaffar, akan menutupi keburukan orang
lain, tidak membeberkannya dan akan menampakkan kelebihan sesamanya, tidak
menampilkan kekurangannya. Rasul saw. menjanjikan mereka yang menutupi aib
orang lain, untuk ditutupi pula oleh Allah aibnya di hari Kemudian.
“Siapa
yang menutupi (aib) seorang Muslim, Allah menutupi aibnya di dunia dan
akhirat.”
Dalam
riwayat lain:
“Tidak
seorang manusia pun menutupi aib orang lain di dunia kecuali Allah menutupi
aibnya di hari Kemudian.” (HR.
Muslim melalui Abu Hurairah).[18]
Karena
itu, pengumpat, pendendam, pembalas kejahatan, danpembeber kesalahan pada
hakikatnya tidak menyandang sedikit pun dari sifat ini.
3. Bukti Kebenaran Al-Ghaffar
Allah swt senantiasa membuka kesempatan bertobat kepada hamba-Nya
yang terlanjur berbuat dosa. Dia akan memberi ampun kepada hamba yang
benar-benar bertobat kepada-Nya. Hal ini seuai dengan firman Allah dalam Al-Quran seperti
“Tidaklah mereka mengetahui bahwasanya Allah menerima taubat dari
hamba-hambanya” (QS At-Taubah ayat 104).
E.
Al-Baasith
1. Arti dan Maknanya
Al-Baasith artinya:
1.
Zat yang melampangkan rezeki kepada orang yang dikehendaki.
2.
Zat yang sangat sejuk dan ceria menghadapi makhluk-Nya.
3.
Zat yang melepaskan arwah kedalam jasad.
Allah Maha Melapangkan. Dialah yang meluaskan rezeki hamba-Nya yang
dikehendaki. Allah meluaskan rezekikarena kasih sayang-Nya. Siapa yang memohon
diberi, dan siapa yang sombong akan disiksa.orang yang memohon pada Allah sama
dengan orang yang berjuang,tidak seperti pengemis yang menengadahkan tangan di
perempatan jalan. Orang yang sombongan adalah orang yang tidak mau berusaha,
karena merasa dirinya mampu. Rezeki Allah hanya diberikan kepada orang-orang
yang berjuang dengan gigih, tidak diberikan pada orang-orang yang malas.
Allah Maha Melepaskan Ruh. Dialah yang meniupkan ruh. Dialah yang
melepaskan ruh berada dalam jasad. Dialah yang memberikan ruh menjadi tanda
kehidupan bagi jasad sampai tiba ajal yang sudah ditentukan. Ketika tiba
waktunya, maka ruh dicabut dan dikembalikan ke hadirat Allah. Ruh adalah usuran
Allah,maka tidak seorang pun manusia
diperbolehkan main-main dengan ruh. Membunuh sesama artinya mencabut kekuasaan
Allahuntuk mencabut ruh, maka diharamkan. Putus asa dan bunuh diri sama artinya
mencabut kekuasaan Allah, maka diharamkan. Bermain-main “jailangkung” berarti
mencampuri urusan Allah dalam masalah ruh-walaupun yang dating
sesungguhnyaadalah syetan- maka itu diharamkan di situ ada kemusyrikan dan
kepercayaan yang tidak benar.[19]
2.
Perilaku Orang yang Mengamalkan Al-Baasith
Orang yang menauladani nama Al-Baasith disebut ABDUL BAASITH, Hamba
Allah Yang Melampangkan. Yaitu orang diberikan kelapangan oleh Allah dalam
berbagai hal, lalu diapun memberikan kelapangan kepada orang lain. Dalam
berbagai kesempatan dia tidak pelit untuk memberikan infak, tetapi juga tidak
royal dan berlebih-lebihan dalam berbelanjakan
harta. Dalam urusan harta, dia
mempedomani firman Allah Surat Al-Isra’ ayat 29: Dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu (pelit,pen) dan janganlah kamu terlalu
mengeluarkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
Dalam berhubungan dengan dunia dan masyarakat secara umum, Abdul
Baasith selalu tampil dengan wajah yang ceria, sejuk dan menyenangkan. Orang
yang bertemu dengannya, sangat mungkin cepat terpikat dan tertarik, karena
diwajahnya terpancar cahaya kemilau dari bekas sujud. Allah berfirman dalam
surat Al-Fath ayat 29 :”Kamu lihatmereka rukuk dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya Tand-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud.[20]
3.
Bukti Kebenaran Sifat Al-Baasith
Bukan suatu hal yang mustahil jika Allah bisa
membangkitkan orang yang sudah meninggal dunia, pernah kita jumpai kisah dari
orang yang pernah mengalami mati suri, Allah punya alasan tersendiri mengapa Ia
memberikan kesempatan pada mereka untuk hidup kembali di dunia, memang
kedengarannya sangat tidak masuk akal, tapi kenyataan itu memang ada. Dan semua
itu adalah bentuk dari kebesaran Allah SWT. Hal ini dalam kehidupan nyata
pernah terjadi terhdap mbah rahmat yang merupakan seorang pembersih masjid yang
sangat rajin ketika bersama Sunan Ampel.
F.
An-Naafi’
1.
Arti dan Maknanya
Arti An-Naafi’ yaitu:
1.
Zat yang mendatangkan dan menyampaikan manfaat kepada orang yang
dikehendaki.
Allah Maha Memberi manfaat. Dialah sumber manfaat. Allah memberikan
manfaat apa saja kepada siapa saja yang dikehendaki semua ciptaan Allah pada
dasarnya bermanfaat bagi manusia.manfaat adalah kebalikan dari dharar (bahaya).
Orang yang dapat manfaat dari sesuatu, dari memperoleh kebiakan dari sesuatu
itu, dan berguna bagi dirinya didunia dan diakhirat. Segala sesuatu yang tidak
mendatangkan manfaat, sama dengan tidak ada artinya, bahkan sangat mungkin
mendatangkan bahaya bagi dirinya. Manfaat yang banyak berarti keberkahan.
2.
Perilaku Orang yang Mengamalkan An-Naafi’
Orang yang menauladani nama An-Naafi’ disebut ABDUN NAAFI’, Hamba
Allah Yang Maha Memberi Manfaat. Yaitu orang yang bermanfaat bagi orang lain,
dan mendapatkan manfaat dari setiap yang dilakukan. Selangkah kaki keluar
rumah, orang lain mendapat manfaat darinya, dan dia sendiri mendapat manfaat
dari perjalanannya. Apa yang ada padanya, semuanya member manfaat, ilmunya,
anak0anaknya, dan hartanya. Dialah yang
disebut Rasulullah Saw:Kharunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak.[22]
Abdun Naafi’ dsangat perhatian terhadap waktu dan kesempatan. Dia memanfaatkan
kesempatan yang dating hanya sekali dan
tidak pernah berulang. Dia menggumakan waktu dengan seefektif mungkin dan
sebaik-baiknya, karena waktuseperti kata Ali Bin Abi Thalib bagaikan pedang,
jika anda tidak pandai menggunakannya, maka anda akan terpotong olehnya.
3.
Bukti Kebenaran Sifat An-Naafi
Tidakkah kita berpikir bahwa Allah menciptakan segala sesuatu
untuk memenuhi kebutuhan kita? Hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan seluruh ciptaan
Allah di jagad raya ini, di antara tumbuh-tumbuhan banyak sekali kasiat yang
bermanfaat, sehingga bisa di jadikan obat untuk menyembuhkan penyakit yang kita
derita, atas izin-Nya pula seseorang dapat menjadi dokter yang bisa
menyembuhkan pasien-pasiennya. Dan semua itu tidak akan terjadi kecuali dengan
kebesaran Allah. Seperti firman Allah dalam Al-Quran “Dan kami tidak menciptakan langit
dan bumi, dan apa yang ada diantara keduanya tanpa hikmah” (QS. Sad ayat
27).
G. Ar-Ra’uuf
1.
Arti dan Maknanya
Al-Ra’uf adalah nama Allah.
Di dalamnya terkandung kekuatan yang sangat dasyat. Dengan nama Al-Ra’uf, Allah
tumpahkan perhatian-Nya kepada makhluk, lebih-lebih kepada manusia yang mau
ber-Tuhan kepada-Nya. Manusia diperilakukan pernah perhatian dan kasih sayang,
laksana anak-anak balita yang tidak pernah dikasari orang tuanya, yang dipenuhi
seluruh keperluannya, tidak dibentak-bentak, selalu disanjung dan dimanja.
Melalui nama Ar-Rauuf, Allah tanamkan pada setiap diri manusia rasa peduli,
perhatian dan kasih sayang, yang jika dieksplor akan menjadi kekuatan dahsyat
bagi manusia untuk kemajuan dan ketentraman hidup. Pedulilah kepada diri
sendiri, Saudara akan merasakan nikmatnya hidup. Pedulilah kepada orang lain, Anda
akan dipedulikan oleh mereka. Perhatikan orang-orang yang lebih rendah (kaum
dhuafa), berikan bimbingan, berikan kasih sayang, Anda akan mendapatkan berkah
doa mereka. Perlakukan mereka dengan lemah lembut, kita akan mendapat pembelaan
dari mereka.[23]
2.
Perilaku Orang yang Mengamalkan Ar-Ra’uuf
Orang yang menauladani nama Ar-Rauuf disebut ABDUR RAUUF, Hamba
Allah Yang Maha Pengasih. Yaitu orang yang tidak memberatkan dan tidak
memberikan beban kepada orang lain.
Dialah orang yang punya perhatian kepada orang-orang yang tidak seberuntung
dirinya, memperlakukan mereka dengan kasih sayang dan murah hati. Hatinya tidak
kaku dan tidak keras, sehingga tidak keluar dari dirinya tindakan kasar dan
tidak pula meluncur dari mulutnya kata-kata yang menyakitkan orang lain. Apa
saja yang menjadi tanggung jawabnya diambil alih dan diperlakukan dengan penuh
kelembutan. Tugas dijalankan dengan rasa senang, orang-orang yang bekerja sama
dengannya dihargai dan diposisikan sebagai mitra kerja, bukan suruhan. Dia
ramah dan sopan.[24]
3.
Bukti Kebenaran Sifat Ar-Ra’uuf
Allah menciptakan makhluk-Nya di muka bumi dengan beraneka ragam.
Ada yang besar, kecil, ada yang berjalan, merangkak, melata, ada yang terbang,
yang berenang, yang tampak oleh mata manusia dan yang tersembunyi. Semuanya
dapat menjalankan hidupnya sesuai dengan kodratnya masing-masing mereka
mendapat rezeki secara merata sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Semua
itu merupakan bukti bahwa Allah SWT. Maha Pengasih tanpa pilih
kasih, Dia tidak meminta imbalan walaupun sekedar ucapan terima kasih.
H. Al-Barr
1. Arti Maknanya
Arti dari sifat Allah Al-Barr yaitu:
a.
Zat yang menciptakan.
b.
Zat yang mengadakan pembaharuan (Tafsir Al-Qurthubi)
c.
Zat yang membebaskan. Seperti: bebasnya fulamn dari sakit
dan lepas dari hutang.
Dialah Allah yang menciptakan. Di balik
ciptaan-Nya terkandung makna, arti dan tujuan yang sangat agung. Dialah Allah
yang mengadakan pembaharuan dan mengadakan perubahan. Dialah yang membebaskan
hambanya yang beriman dari hisab di hari kiamat, membebaskan manusia dari
siksa, dan fitnah serta penyakit atau lainnya. Sedangkan dalam kekuatan
Al-Barr yaitu memiliki visi dan misi
untuk pembaharuan diamasa depan. Dan hal ini yang kemudian Allah tranfer ek
manusia walau tidak semua manusia melakukknay dengan baik.[25]
Sedangkan menurut pendapat lainnya Al-Barr
juga memiliki arti Yang Maha
Melimpahkan Kebaikan. Karena Allah maha Pengasih, Dia juga Yang Melimpahkan
Kebaikan. Sepeti dalam
Al-Quran yang berbunyi: “Maka
Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.
Sesungguhnya kami menyembah-Nya ssejak dulu. Dialah Yang Melimpahkan Kebaikan,
Maha Penyayang.” (QS At Tur:
27-28)
2. Perilaku Orang
yang Mengamalkan Al-Baar
Orang yang berdoa dengan Ya Baari
berrarti berjuang mendapatklan kekuatan untuk mengadakan perubahan dan
pembaharuan. Dengan kekuatannya dia bisa membalikkan keadaan dari susah menjadi
senang, dari menderita menjadi bahagia. Dengan kekuatan sifat Allah ini,
manusia belajar dan tidak takut dari penyakit, kemiskinan, hutang dan lainnya.
Orang yang mengadakan perbaikan dan menata ulang agar mnencapai hasil yang
lebih baik disebut Abdul Baari. Dan juga dari ini manusia juga belajar tentang
Akhlaq Allah yang membebaskan makhluk-Nya dari segala sesuatu yang
memberatkannya.
3. Bukti Kebenaran
Sifat Al-Baar
Kedermawanan Allah swt atas hamba-Nya amat jelas dan langsung oleh
semua manusia, baik muslim maupun kafir. Nikmatnya jasmani, tersedianya rezeki
(termasuk oksigen) senantiasa
tersedia walaupun manusia enggan memohon kepada-Nya.
I.
Al-Hakim
1. Arti dan Maknanya
Al-Hakim
(Maha Bijkasana) artinya:
a.
Zat yang menjadikan hikmah dalam setiap kejadian
b.
Zat yang selalu tepat dalam perbuatannya
c.
Zat yang sangat ahli dan tahu seluruh hakekat.
Allah Maha
Bijaksana, seluruh keputusan-Nya didasarkan atas kebijaksanaan. Tidak ada
ketentuan atau keputusan yang memberatkan hambanya. Segala sesuatu yang terjadi
pada manusia sudah dipertimbangkan oleh Allah dan semuanya selalu mengandung
kebaikan untuk manusia. Nama Al-Hakim dalam Al-Qur’an sering disebutkan
beriringan dengan nama Allah yang lainnya seperti dalam Al-Baqarah ayat 32 yang
beriringan dengan Al-‘Alim yang artinya : “Mereka menjawab: Mahas Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[26]
Dengan adanya tersebut menjelaskan kepada Allah sangat Maha Bijaksana dan
seuai dengan-nya. Sedangkan dalam ayat lain seperti: QS Az Zuhruf: 84 “Dan dialah Tuhan yang disembah di langit
dan Tuhan di bumi, Dialah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui.”[27]
2. Perilaku Orang
yang Mengamalkan Al-Hakim
Orang
yang menauladani nama Al-Hakim disebut Abdul Hakim, hamba Allah yang maha
bijaksana dialah orang yang mampu mengkap hikmah dari setiap kejadian.
Kepadanya Allah memberitahu rahasia yang tidak diketahuinya orang lain. Dialah orang
yang mampu membaca akibat apa yang terjadi dan akibat yang ia lakukan.
Sedangkan orang lain yang berhubungan langsung dengan keputusannya dia bisa
menerima karena memang di dalamnya ada sisi baik untuk semua pihak. Dan orang
yang tidak berlaku dzalim maka masyarakat baik kepadanya dan sebaliknya.[28]
3. Bukti Kebenaran
Sifat Al-Hakim
Petunjuk agama yang dianugrahkan kepada manusia sebagai bukti
kebijaksanaan Allah swt. Dia mengharamkan berbagai jenis perbuatan buruk karena
memang perbuatan tersebut berdampak negative (jika dilakukan manusia).
Sebaliknya, Dia mewajibkan kepada manusia beberapa perbuatan yang berdampak
positif bagi yang mentaatinya. Hal tersebut seperti mengaramkan daging babi dimana dalam penelitiannya
daging babi terdapat cacing pita yang tidak pernah mati walau dipansakan dengan
1000 Celcius. Dan yang baik seperti perintah puasa dan shalat dimana dalam
puasa terdapat banyak mamfaat dan begitupun dengan dalam shalat. Berikut
dalilnya dalam Al-Quran :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi
dan daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah” (QS. Al-Maidah ayat 3).
“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan keatasmu
berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga
kamu menjadi orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah ayat 183).
J. Al-Fattaah
1. Arti dan Maknanya
Kata al-fattah
terambil dari akar kata fataha yang pada dasarnya bermakna antonim tertutup,
karena itu ia bisa diartikan membuka. Makna kata ini kemudian
berkembang menjadi kemenangan, karena dalam kemenangan tersirat
sesuatu yang diperjuangkan menghadapi sesuatu yang dihalangi atau ditutup. Kata ini juga bermakna menetapkan hukum karena dengan
ketetapan itu, terbuka jalan penyelesaian. Air yang keluar dari bumi (mata air)
dinamai fatah, karena adanya sesuatu yang terbuka pada tanah sehingga ia
dapat memancar; ‘irfan (pengetahuan) juga dinamai demikian, karena ia
membuka tabir kegelapan. Kata al-fattah sebagaimana terbaca maknanya di
atas tidak digunakan kecuali kalau sebelumnya terdapat ketertutupan, kesulitan,
atau ketidakjelasan. bukankah sesuatu yang dibuka adalah sesuatu yang
sebelumnya tertutup? Dengan demikian al-fattah adalah terbukanya segala
sesuatu yang tertutup, baik material maupun spiritual.
Allah swt. sebagai al-Fattah adalah
Dia yang membuka dari hamba-hamba-Nya segala apa yang tertutup menyangkut
sebab-sebab perolehan yang mereka harapkan. Pintu
rezeki yang tertutup bagi seseorang dibuka-Nya, sehingga dia menjadi
berkecukupan atau kaya. Hati yang tertutup menerima sesuatu; seperti kebenaran
atau cinta, dibukanya sehingga terisi kebenaran dan terjalin cinta. Pikiran
yang tertutup menyangkut satu problem di bukanya, sehingga terselesaikan
kesulitan dan teratasi problem. Demikian seterusnya.[29]
Imam al-Ghazali mengartikan al-Fattah
sebagai “Dia yang dengan ‘inayah/pertolongan dan perhatian-Nya terbuka
segala yang tertutup, serta yang dengan idayah/petunjuk-Nya terungkap segala
yang musykil (samar dan sulit).”
Suatu saat Allah memberi kemenangan dalam peperangan memperebutkan
suatu kota. Itu adalah fatah seperti firman-Nya pada QS. al-Fath [48]:
1: “Inna Fatahna Laka Fathan Mubina/sesungguhnya Kami telah memenangkan
Engkau dengan kemenangan yang jelas).” Ayat ini turun berkaitan dengan
kemenangan yang diraih Rasul saw. di kota Mekah. Di kali lain Allah memberi
putusan yang tepat dan adil bagi yang bersengketa, putusan itu juga adalah fatah.
Di kali ketiga Allah membuka hati auliya’-Nya untuk menerima curatan ‘irfan,
(pengetahuan) yang sebelumnya samara atau sama sekali tidak mereka ketahui.
Bahkan segala rahmat yang diraih manusia, setelah sebelumnya terdapat
ketertutupan, adalah fatah. “apa-apa yang dianugerahkan Allah kepada
manusia dari rahmat, maka tidak ada yang dapat menahannya” (QS. Fathir
[35]: 2).
Seorang ilmuwan yag menghadapi
kesulitan memecahkan sesuatu yang musykil, tidak jarang tiba-tiba secara
kebetulan, memperoleh secercah cahaya petunjuk-Nya sehingga benang kusut yang
dihadapinya terurai dengan sangat mudah. Ini juga merupakan fatah.[30]
Al-Qur’an menggarisbahawi bahwa
rahasia ilm Allah, hanya tercurah kepada mereka yang tidak menyombongkan diri.
Allah berfirman: “Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang
takabbur di bumi tanpa alasan yang benar” (QS. al-A’raf [7]: 146).
Imam Syafi’I mengubah kata-kata bersayap
yang maknanya lebih kurang:
“Aku mengeluh pada guruku tentang
kelemahan hafalanku. Maka dituntunnya aku agar meninggalkan kemaksiatan. Dan
diajarakannya kepadaku bahwa ilmu adala cahaya. Sedang cahaya Allah, tidak
dianugerahi kepada si durhaka.”
Memang, ‘irfan lebih banyak berkaitan dengan nomena, bukan
fenomena. “Kebanyakan manusia tidak mengetahui yang lahir/fenomena kehidupan
duniawi, sedang mereka lali dari kehidupan akhirat” (QS. ar-Rum [30]: 6-7).
Pengetahuan tentang nomena amat sulit, ia adalah satu wilayah yang tertutup
rapat, tidak ada yang mampu membukanya, kecuali Allah swt., karena: “Di
tangan Allah kunci-kunci pembuka gaib, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia” (QS.
al-An’am [6]: 59).[31]
Kata al-Fattah hanya ditemukan
sekali dalam al-Qur’an (QS. Saba’ [34]: 26), demikian juga Khair al-Fatihin (sebaik-baik
Pemberi putusan) (QS.al-A’raf [7]: 89). Kedua ayat yang menyifati Allah dengan
sifat tersebut, berbicara tentang satu persoalan yang sejak dahulu hingga kini
amat sulit dipecahkan, terkunci rapat untuk dibuka, bahkan mustahil dapat
ditemukan putusannya oleh siapa pun yang bersengketa. Persoalan dimaksud adalah
memberi putusan kepada yang bersengketa tentang siapa yang benar dalam
perbedaan agama dan keyakinan.[32]
QS. al-A’raf [7]: 89, berbicara
tentang Nabi Syu’aib as. dan umatnya menghadapi para pemuka masyarakat yang
mempertahankan keyakinan mereka. Para pemuka itu berkata: “Sungguh kami akan
mengusir engkau wahai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersama engkau dari
negeri kami, atau kamu kembali ke agama kami.” Syu’aib menjawab: “Apakah
kamu akan mengusir kami walau kami tidak suka dengan agama kalian?” Syu’aib
kemudian menjelaskan sikapnya dan sikap kaumnya kemudian berkata: “Wasi’a
Rabbuna kulla syai’in ‘ilma ‘ala Allahi tawakalna Rabbanaftah bainana wa baina
qaumina bi al-haqq wa Anta Khair al-Fatihin/pengetahuan Tuhan kita meliputi
segala sesuatu, Kepada Allah saja kami berserah diri. Wahai tuhan kami,
putuskanlah perkara antara kami dan antara kaum kami secara haq (adil),
Engkaulah Khair al-Fatihin (sebaik-baik Pemberi putusan)” (QS. al-A’raf
[7]: 89).[33]
2.Perilaku Orang yang Mengamalkan Al-Fattah.
Orang yang
menauladani nama Al-Fattah dia disebut Abdul Fattah (Hamba tuhan yang maha
pembuka). Dialah orang yang telah dibukakan pintu kewbaikannya oleh Allah,
berbuat baik diamana-mana dan membuka kesempatan untuk orang lain juga berbuat
baik. Baginya tidak ada hari tanpa berbuat baik kepada orang lain.[34]
3.
Bukti Kebenaran Al-Fattah
Banyak manusia yang memaksimalkan usahanya, namun hasil yang
diperoleh belum atau tidak seperti apa yang diharapkan. Di sisi lain, banyak
manusia yang sederhana saja dalam berusaha, namun memperoleh hasil yang
lumayan. Manusia hanya dapat berusaha, sedangkan keberhasilan usahanya pada
kuasa dan kehendak Allah semata-mata. Dari hal tersebut disimpulkan bahwa seseorang sukses
selain berusaha harus juga berdoa atau mendekatkan diri kepada Allah.
K. Al-‘Adl
1. Arti dan Maknanya
Al-Adl artinya memuncak keadilannya, tidak
berbuat kecuali yang selayaknya diperbuat. Dan Makna adil atau maha adil yaitu
pertengahan, tegak lurus dan memihak pada kebenaran atau sesuai porsinya
(menurut orang arab).[35] Dialah
Allah yang memberikan keadilan secara mutlak. Musibah apapun yang menimpa
seseorang hamba terjadi karena atas keadilan-Nya. Siapa yang benar pasti menang
dan siapa yang salah pasti kalah.
2.
Perilaku Orang yang mengamalkan Al-‘Adl
Orang yang menauladani nama Al-Adl dan
berjuang menegakkan keadilan disebut Abdul ‘Adl (Hamba Allah yang memberikan
keadilan) yaitu orang yang selalu senangtiasa berusaha adil untuk dirinya
sendiri, keluarganya dan siapa aja yang ada disekitarnya. Seruan Allah untuk
berbuat adil disambutr dengan sunguh-sunguh karena keadilan merupakan bagian
untuk menuju ketaqwaan. Dia juga selalu menadakan evaluasi terhadap dirinya
karena sadar bahwa dia belum adil terhdap Allah.[36]
Olah keranyya dia tidak pernah berhenti untuk bisa berbuat adil kepada
semuanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:n “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan
kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.
An-Nahl : 90).[37]
3.
Bukti Kebenaran tentang Al-‘Adl
Untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan tentram, Allah membuat
aturan (agama) untuk ditaati manusia. Hukum Qisas diterapkan kepada pelaku
pembunuhan dengan sengaja. Hukum Qisas yang ditentukan Islam sesuai dengan
ungkapan utang nyawa dibalas nyawa. Adapun hukum potong tangan diterapkan
kepada pencuri yang curiannya senilai seperempat.
L. Al-Qayyum
1. Arti dan Maknanya Al-Qayyum
Al-Qayyum artinya:
a.
Zat yang tegak dan tidak pernah goyah.
b.
Zat yang berdiri sendiri, tidak memelurkan yang lain.
c.
Zat yang selalu mengawasi dan menguasai apa saja yang
bergerak di jagad raya.[38]
Dengan memperkenalkan diri-Nya sebagai
Al-Qayyum, Allah ingin menegaskan bahwa Dia yang mengatur segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan makhluk-Nya secara sempurna dan terus-menerus, tanpa
memandang makhluk yang diurus-Nya itu berterima kasih atau tidak. Dialah Allah
yang menciptakan semua yang ada di bumi dan apa yang ada di langit tanpa minta
bantuan orang lain. Hal ini sesuai firman Allah “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang
terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)/kekal.” (QS. Ali Imran 2).[39]
2.
Perilaku Orang yang Mengamalkan Al-Qayyum
Orang yang menauladani nama Al-Qayyum disebut Abdul
Qayyum, Hamba Allah yang maha mandiri. Yaitu oarang yang bisa menyelesaikan
masalah sendiri dengan memohon pertolongan Allah. Dialah orang yang tidak ingin
selalu bergantung pada apa yang ada atau orang lain. Namun ketika dia butuh
bantuan maka dia akan meminta bantuan keapda orang lain yang akhlinya, bukan
kepada dukun atau para tukang peramal. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali/penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan
alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)” (QS An-Nisa’ ayat 144).[40]
3.
Bukti Kebenaran sifat Al-Qayyum
Sejak zaman Nabi Adam sampai sekarang, bumi tetap berputar pada
porosnya dengan mengelilingi matahari. Dengan demikian, terjadilah siang dan
malam. Keadaan seperti ini berjalan terus sampai datangnya yaumus
sa’ah. Dalam mmengatur alam semesta ini, Allah tak memerlukan bantuan siapapun
dari hamba nya. Dan
setiap apapun yang Allah inginkan jika berkata “jadilah” maka akan terjadi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Asmaul
Husna adalah nama-nama Allah Swt yang indah dan baik. Asma berarti nama
dan Husna berarti baik atau yang
indah. Jadi Asmaul Husna adalah
nama-nama milik Allah Swt yang baik dan indah. Sedangkan Asmaul Husna secara
harfiah adalah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung sesuai
dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan
suatu kesatuan yang menyatu dengan kebesaran dan kehebatannya milik Allah.[41]
Salah satu Asma Allah adalah al-Aziz (yang Maha Perkasa), al-Ghaffar (Maha
Pengampun) , al-Basith (Maha Melapangkan), an-Nafi’ (Yang Maha Memberi Mamfaat),
ar-Ra’uf (Maha Pengasuh), al-Barr (Maha Melepaskan), al-Hakim (Maha Bijaksana),
al-Fattah (Maha Pembuka Rahmat), al-‘Adl (Maha Adil), dan al-Qayyum (Maa
Mandiri).
[2] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban,
keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), Jakarta: Pustaka
al-Mawardi, 2009, 24-26.
[3] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban,
keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 61
[5] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 93.
[6]
M.Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 94.
[7] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 96.
[8] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 97.
[9] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 98.
[10] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, Jakarta: Lentera Hati, 130.
[11] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 131.
[12] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 132.
[13]
Mahmudin, Rahasia di balik asmaul husna, Jakarta: Mutiara Media, 89.
[14] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 133.
[15]
Mahmudin, Rahasia di balik asmaul husna, 90.
[16] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 134.
[17] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 135.
[18] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 136.
[19] Mukjizat
Asmaul Husna Rahasia, Keajaiban, Keistimewaan, Kekuatan dan Khasiat Nama Allah
Teragung, Ust.H.Saifuddin al-Damawi,cetakan ketiga, hlm 98
[20] Mukjizat
Asmaul Husna Rahasia, Keajaiban, Keistimewaan, Kekuatan dan Khasiat Nama Allah
Teragung, Ust.H.Saifuddin al-Damawi,cetakan ketiga, hlm 99-100
[21] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban,
keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 273
[22] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban,
keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 274
[23] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna,
[24] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban,
keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 253
[25] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban,
keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 73
[26] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban,
keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 162.
[27] Ahmad Muhammad Yusuf Lc, Himpunan Dalam Al-Quran dan Hadits,
Jakarta: Senggono Madu Pustaka, 142
[28] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban,
keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 163
[29] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 34.
[30] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 35.
[31] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 36.
[32] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 37.
[33] M.
Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 38.
[34] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban,
keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 92
[35] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma
(Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 118
[36] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma
(Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 119
[37] Ahmad Muhammad Yusuf Lc, Himpunan Dalam
Al-Quran dan Hadits, Jakarta: Senggono Madu Pustaka, 143
[38] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban,
keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 211
[40] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan,
kekuatan dan khasiat nama Allah), 212
Komentar
Posting Komentar