Makalah 10 Asmaul Husna


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Diberitahukan dalam al-Qur’an bahwa Allah mempunyai nama-nama yang indah atau yang dikenal dalam asmaul husna. Nama Allah memang dalam al-Quran tidak berurutan sesuai yang ada pada asmaul husna dalam al-Quran saat ini. Namun sebenarnya dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa Allah memiliki 100 Asmaul Husna dan hanya 99 yang manusia ketahui. Dalam 99 asmaul husna tersebut banyak hal-hal yang dapat kita ambil hikmahnya dalam kehidupan saat ini.
Dalam dunia saat ini, banyak manusia yang sangat faham tentang pengetahuan bumi, namun jarang atau sedikit dari kita (manusia) memahami dan mendalami tentang ilmunya Allah melalui sifat-sifatNya. Banyak dari kita menerima karuniaNya, tetapi kita kurang mensukurinya. Kita cepat tertarik pada kemajuan teknologi, tetapi kita lambat membaca sinyal kekuasaan Ilahi. Kita rajin mendengarkan infortaiment hingga mondar-mandir kesana kemari, tetapi jarang dari kita yang mencari informasi tentang Allah dalam mensykuri nikmat ini. Maka jangan heran semakin banyak informasi tentang kejadian di seputar kita, semakin resah hati kita, semakin banyak kita pikirkan dunia akan semakin tidak tenang pikiran kita, semakin banyak kita menguti gosip, semakin bimbang perasaan kita, takut dan was was terhadap segala hal yang terjadi ini. Dan inilah yang menjadi kewajiban bagi kita untuk terus berusaha mencaritahu tentang Allah dan menelusuri jejak-jejak-Nya supaya kita mengenal Allah lebih dekat dan iman kita lebih mantap serta tidak mudah rapuh dimakan rayap dunia.
          Oleh karena itu dalam makalah kali ini, penulis akan membahas tentang 10 Asmaul Husna sebagai sebuah repretasi pengetahuan tentang Allah dalam kehidupan saat ini. Dalam Asmaul Husna ini penulis mengambil 10 yang meliputi: al-Aziz, al-Ghaffar, al-Basith, an-Nafi’, ar-Ra’uf, al-Barr, al-Hakim, al-Fattah, al-‘Adl, dan al-Qayyum. Pembahasan dalam Asmaul Husna tersebut lebih kepada maknanya, kebenarannya atas kekuasaan Allah dan perilaku orang yang mengamalinya serta rahasia dibaliknya.


B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis ingin membahas secara mendalam dan detail dari sumber-sumber yang telah diakui tentang 10 Asmaul Husna yang meliputi: al-Aziz, al-Ghaffar, al-Basith, an-Nafi’, ar-Ra’uf, al-Barr, al-Hakim, al-Fattah, al-‘Adl, dan al-Qayyum secara lengkap. Pembahasan tersebut seperti: maknanya, kebenarannya atas kekuasaan Allah dan perilaku orang yang mengamalinya serta rahasia dibaliknya.

C.  Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini, yaitu bertujuan sebagai suatu pengantar Media atau perantara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memperluas Ilmu terutama tentang nam-nama indah Allah yang meliputi: 10 Asmaul Husna yang meliputi: al-Aziz, al-Ghaffar, al-Basith, an-Nafi’, ar-Ra’uf, al-Barr, al-Hakim, al-Fattah, al-‘Adl, dan al-Qayyum sebagai bentuk ibadah dan dapat pula diambil hikmahnya untuk kita teladani dalam kehidupan saat ini.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Asmaul Husna
          Dalam agama Islam, Asmaul Husna adalah nama-nama Allah Swt yang indah dan baik. Asma berarti nama dan Husna berarti baik  atau yang indah. Jadi Asmaul Husna  adalah nama-nama milik Allah Swt yang baik dan indah. Sedangkan Asmaul Husna secara harfiah adalah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu kesatuan yang menyatu dengan kebesaran dan kehebatannya milik Allah.[1]

B.  Landasan dan Keistimewaan Asmaul Husna
Asmual husna merupakan sebuah nama yang hanya dimiliki oleh Allah. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah swt :
“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepadanya dengan menyebut asmaul husna itu” (Surat Al-A’raf ayat 180).
“Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya dan Dialah yang maha perkasa, maha bijaksana” (al-Hasyr ayat 24). Bukan hannya itu tentang keutamaan asmaul husna ini juga ada dalam beberapa hadits seperti berikut:
“Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa yang meng-isha’nya dia akan masuk syurga” (HR. Imam At-Tirmizi). Dari hadits diatas bahwa untuk mendapatkan keistimewaan dari asmaul husna salah satunya tergantung pada isha’. Dimana kata isha’ berasal dari kata ahshaa yang berarti menghitung, namun lebih tepatnya adalah mengeksplorasi. Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Manawi dalam kitab Faidh Al-Qadir yang dimaksud man akhshaahaa (orang yang meng-iksha’) yaitu:
1.    Orang yang membaca Asmaul Husna satu demi satu dengan tartil (betul cara mengucapkannnya) dan hafal di luar kepala.
2.    Orang yang mendalami dan memikirkan (tadabbur) makna asmaul husna, mencaritahu hakekatnya yang dituju dan menyelidiki jejak-jejak asmual husna sampai benar-benar menjadi nyata, lalu diyakinkan dalam hati.
3.    Orang yang mengejawentahkan dan menegakkan hak-hak asmaul husna, mengamalkan kandungannya, menggali maknanya dan memperdayakan potensi diri sesuai dengan yang ditunjukkannya.
Dari aspek 3  tersebut maka dapat diperinci intinya yang meliputi: aspek bacaan dan penyebutan bilangan di luar kepala, aspek pemahaman arti dan penujukkannya, dan aspek penerapan dan pengalamannya.[2]

C.  Al-‘Aziz
1.    Arti dan maknanya
Disebutkan dalam kitab al-i’tiqad karya al-baihaqi, al-‘aziz artinya:
a.    Zat yang menang tidak terkalahkan, yang tidak bisa ditembus.
b.    Zat yang kuasa dan kuat
c.    Zat yang tidak ada tandingan-Nya.[3]
Sedangkan al-Aziz menurut Ibnu Katsir artinya: Yang Tidak Bisa Dikalahkan dan Tidak Bisa Dicegah.  Bukan hanya itu dalam Al-Quran Al-Aziz kebanyakan diartikan dengan kata Yang Maha Perkasa. Kata al-‘aziz terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf ‘ain dan zai, yang maknanya adalah kekukuhan, kekuatan, dan kemantapan. Dari sini kemudian, maknanya berkembang sesuai dengan konteks serta bentuk dasar mudhari’-nya. Jika bentuknya ya’uzzu, maka ia berarti mengalahkan. Jika berbentuk ya’izzu, maka maknanya yang sangat jarang atau sedikit bahkan tidak ada samanya. Sedangkan bila bentuk katanya ya’azzu, maka ini berarti menguatkan sehingga tidak dapat dibendung atau diraih. Ketiga makna di atas, dapat menyifati Allah swt.
          Kata al-‘aziz dan ‘aziz terulang dalam al-Qur’an sebanyak sembilan puluh sembilan kali, antara lain bermakna; angkuh, tidak terbendung, kasar, keras, dkungan, semangat, dan  membangkang. Allah adalah al-‘Aziz, yakni Yang Maha mengalahkan siapa pun yang melawan-Nya dan tidak terkalahkan oleh siapa pun. Dia juga tidak ada sama-Nya, serta tidak pula dapat dibendung kekuatan-Nya atau diraih kedudukan-Nya. Dia begitu tinggi sehingga tidak dapat disentuh oleh keburukan dan kehinaan. Dari sini kata  al-‘Aziz biasa diartikan dengan Yang Mulia. ‘Izzah (sifat yang disandang oleh Yang ‘Aziz), menjadikan Dia bebas dari segala cela dan kerendahan yang mengurangi kehormatan-Nya.[4]
          Imam al-Ghazali menetapkan tiga syarat yang harus terpenuhi untuk dapat menyandang sifat tersebut, yaitu: a) Peranan yang sangat penting lagi sedikit sekali wujud yang sama dengannya, b) Sangat dibutuhkan, dan c) Sulit untuk diraih/disentuh. Taanpa berkumpulnya tiga hal tersebut, maka sesuatu tidak wajar dinamai ‘aziz. Tulis al-Ghazali, “Ada saja sesuatu yang jarang wujudnya, tetapi tidak memilliki peranan yang penting, dan tidak pula banyak manfaatnya, maka ia bukanlah sesuatu yang ‘aziz. Demikian juga ada saja yang besar peranannya, banyak manfaatnya, jarang samanya, tetapi tidak sulit meraihnya, maka dia pun tidak bisa dinamai ‘aziz.” Al-Ghazali memberi contoh matahari yang dalam tata surya kita tidak ada bandingannya, manfaatnya pun banyak bagi setiap yang hidup, kebutuhan terhadapnya sangat besar, namun demikian ia tidak dapat dinamai ‘aziz, karena tidak sulit bagi siapa pun untuk menyaksikannya.[5]
          Setiap unsur dari ketiga syarat diatas, mempunyai kesempurnaan dan kekurangan. Kesempurnaan menyangkut sedikitnya unsur sesuatu seperti keesaan, karena tidak ada yang lebih sedikit dari satu. Allah swt. dalam hal ini adalah wujud yang paling ‘Aziz/Mulia karena sedikit wujud yang sama dengan-Nya, “Yang serupa dengan serupa-Nya pun taka da”, sesuai firman-Nya “Laisa Kamitslihi Syai’un,” baik dalam benak atau khayalan, apalagi dalam kenyataan. Adapun dalam hal kebutuhan pihak lain kepadanya, maka kesempurnaannya terletak pada kebutuhan kepadanya oleh segala sesuatu dan dalam segala hal, termasuk dalam hal wujud, kesinambungan eksistensi dan sifat-sifat. Sesuatu yang sifatnya seperti itu, hanya wujud pada Allah swt. sedangkan kesempurnaan dalam hal kesulitan untuk diraih, juga hanya disandang oleh Allah swt., karena bukanlah “Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah sendiri?” Bukankah Dia yang mengherankan jika dibahas zat-Nya, serta mengagumkan jika dianalisis perbuatan-Nya? Dari sini dapat dimengerti mengapa al-Qur’an menyatakan bahwa, “Barang siapa yang menghendaki al-‘Izzah (kemulian) maka kemulian seluruhnya hanya milik Allah” (QS. al-Fathir [35]: 10).
          Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Tuhan kalian berfirman setiap hari; Akulah al-‘Izzah (Yang Maha Mulia), siapa yang menghendaki kemudian dunia dan akhirat, hendaklah dia taat kepada al-‘Aziz.”
          Jika kemuliaan adalah milik Allah, maka Allah pula yang menganugerahkannya kepada siapa yang dikehendakinya, dan dalam konteks ini Allah menegaskan  bahwa kemuliaan itu dianugerahkan-Nya kepada Rasul dan orang-orang Mukmin sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Munafiqun [63]: 8.[6]
          Ini berarti bahwa kemuliaan manusia tidak terletak pada kekayaan atau kedudukan sosialnya, tetapi pada nilai hubungannya dengan Allah swt. siapa yang menghendaki kemuliaan, maka hendaklah dia menghubungkan diri dengan Allah dan tidak mengandalkan manusia guna meraihnya, karena; “Siapa yang mencari kemuliaan melalui satu kaum, Allah akan menghinanya melalui mereka.”
‘Izzah (kemuliaan) bagi manusia berbeda dengan keangkuhan, karena kemuliaan merupakan cermin pengetahuan manusia tentang diri dan kedudukannya sehingga dia  menempatkan dirinya pada tempat yang sewajarnya. Sedangkan keangkuhan adalah cermin dari ketidaktahuan manusia akan diri dan kedudukannya sehingga dia menempatkan diri di atas kedudukan sebenarnya. Agaknya inilah yang menjadi sebab sehingga pada umumnya dalam al-Qur’an kata ‘Aziz yang menjadi sifat Allah, sering kali disusul oleh kata Hakim, yang mengandung makna memperlakukan sesuatu dengan bijaksana, sehingga dengannya diraih manfaat atau ditolaknya mudharat. Bahkan dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata ‘Aziz  yang menjadi sifat Allah, kecuali digandengkan dengan salah satu-Nya yang lain, yang dipilih-Nya sesuai dengan konteks pembicaraan, seperti al-Qawiyy, ar-Rahim, al-Hamid, al-Ghaffar, al-Ghafur, Dzuntiqam. Sifat ‘aziz yang merupakan sifat Nabi Muhammad saw. pun dirangkaikan dengan sifat Ra’uf ar-Rahim (sangat penyantun lagi penyayang) (QS. at-Taubah [9]: 128). Kata ‘aziz dalam al-Qur’an yang tidak disertai dengan sifat lain hanya tertuju kepada manusia, yakni yang diucapkan putra-putra Nabi Ya’kub as. ketika mereka datang menemui penguasa Mesir bermohon agar saudara mereka yang ditangkap dapat dilepaskan (QS. Yusuf [12]: 78).[7]
2.    Perilaku orang yang mengamalkan al aziz
          Imam al-Ghazali melukiskan hamba-hamba Allah yang ‘aziz (mulia) adalah yang dibutuhkan oleh hamba-hamba Allah dalam urusan mereka yang sangat penting, yakni menyangkut kehidupan akhirat dan kebahagiaan abadi. Ini tidak disangkal merupakan suatu hal yang sedikit wujudnya dan sulit meraihnya. Inilah tingkat para nabi, yakni para ahli waris dan penerus ajaran mereka dengan tingkat kemuliaan yang sesuai dengan tingkatan pengabdian mereka menuntun masyarakat.
          Seseorang yang menghayati makna al-‘Aziz akan memelihara diri dan menjaga kehormatannya sehingga tidak akan mengulurkan tangan untuk mengemis, bahkan meminta, sampai-sampai menurut al-Qur’an, “Orang-orang yang tidak tahu mengira mereka orang kaya karena memelihara diri mereka dari meminta-minta”(QS. al-Baqarah [2]: 273). Seseorang yang ‘aziz bersedia tampil di tengah masyarakat dengan peranan yang penting lagi bermanfaat. Bukankah al-‘aziz adalah yang memiliki “peranan yang sangat penting lagi sangat dibutuhkan” dan saat yang sama memiliki intregitas pribadi dan kewibawaan yang menjadikan dirinya sangat disegani, sehingga penghormatan yang disertai rasa kagum terpancar dari mereka yang melihat dan mengenalnya. Itulah manifestasi yang dapat diraih manusia dari syarat ketiga yang disebut di atsa, yakni “sulit untuk diraih/disentuh.” Selanjutnya keinginan masyarakat untuk dekat dan mengenalnya sedemikian besar, karena tidak banyak orang semacamnya.[8]
    Tidaklah termasuk seorang ‘aziz yang merendahkan diri kepada orang lain karena harta atau kedudukan sosialnya, “Siapa yang merendah karena kekayaan, maka dua pertiga agamanya telah hilang,” demikian sabda Nabi saw., sebagaimana bukan seorang Muslim yang baik bila dia memahami kemuliaan pada harta dan kedudukan. Orang-orang munafiklah yang berpandangan demikian, tetapi mereka itu menurut al-Qur’an tidak mengetahui (QS. al-Munafiqun [60]: 10). Ketidaktahuannya itu adalah karena pandangan hati mereka telah tertutup sehingga seluruh kegiatan mereka hanya tertuju untuk meraih dunia. Karena itu pula setelah menjelaskan sikap dan sifat orang-orang munafik diatas, Allah mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah hartmu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari Allah. Barangsiapa berbuat demikian , mereka itulah orang-orang yang rugi” (QS. al-Munafiqun [63]: 9).[9]
3.    Bukti Kebenaran Al-Aziz
Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, tak satu makhluk pun yang mampu menghalangi kehendak-Nya. Hal ini terbukti bahwa tidak ada satu makhluk pun yang dapat mempertahankan hidupnya. Apabila Allah telah menghendaki mati, maka matilah makhluk tersebut. Hal ini sesuai firman Allah yang berbunyi “Jika Allah mengehendaki, niscaya dia musnahkan kalian wahai manusia. Dan dia datangkan umat yang lain sebagai pengganti bagi kalian” (QS. An-Nisa’ ayat 133).

D.  Al-Ghaffar
1.    Arti dan Maknanya
`        Kata al-Ghaffar terambil dari akar kata ghafara yang berarti menutup, ada juga yang berpendapat dari kata al-Ghafaru, yakni sejenis tumbuhan yang digunakan untuk mengobati luka. Jika pendapat pertama yang dipilih, maka Allah al-Ghaffar berarti antara lain. Dia menutupi dosa hamba-hamba-Nya karena kemurahan dan anugerah-Nya. Sedang bila yang kedua, maka ini bermakna Allah menganugerahi hamba-Nya penyesalan atas dosa-dosa, sehingga penyesalan ini berakibat kesembuhan, dalam hal ini adalah terhapusnya dosa. Kalimat Allahummaghfir li juga dipahami dalam arti ya Allah perbaikilah keadaanku. Demikian pendapat Ibnu al-Arabi.
          Dalam al-Qur’an kata Ghaffar terulang sebanyak lima kali, ada yang berdiri sendiri, seperti dalam QS. Nuh [71]: 10, yang mengabadikan ucapan Nabi Nuh as. kepada kaumnya: “Beristighfarlah kepada Tuhan-mu sesungguhnya Dia senantiasa Ghaffara” dan QS. Thaha [20]: 82: “Sesunggguhnya Aku Ghaffar bagi yang bertaubat, percaya dan beramal saleh, lalu memperoleh hidayah.” Tiga lainnya dirangkaikan dengan sifat ‘Aziz yang mendahuluinya. Yang dirangkaikan ini, dikemukan bukan dalam konteks pengampunan dosa. Ini memberi kesan bahwa Allah sebagai Ghaffar, bukan hanya menutupi kesalahan dan dosa-dosa hamba-Nya, tetapi yang ditutup-Nya itu, dapat mencakup banyak hal selain dari dosa.[10]
          Allah berfirman, “Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas maghfirah-Nya” (QS. at-Taubah [9]: 117). Keluasan ini tidak hanya mengantar kepada berulang-ulangnya Yang Maha Pengampun itu mengampuni dosa, tetapi juga mengisyaratkan banyaknya cakupan dari maghfirah-Nya. Allah tidak hanya mengampuni dosa besar atau kecil yangberkaitan dengan pelanggaran perintah dan larangan-Nya, atau yang dinamai hukum syariat, tetapi juga yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum moral yang boleh jadi tidak dinilai sebagai dosa dari segi syariat, bahkan dapat mencakup pula persoalan-persoalan yang dianggap tidak wajar dari segi cinta dan emosi. Nabi Muhammad saw. bermohon kiranya Allah mengampuni beliau  menyangkut “ketidakadilan hati dalam cinta terhadap istri-istri beliau”, “inilah hasil upayaku (dalam cinta) menyangkut hal yang kumampui, maka jangan tuntut aku menyangkut yang di luar kemampuanku.”
          Dalam hal-hal yang semacam inilah hendaknya dipahami maghfirah Allah kepada para nabi dan rasul-Nya, setelah mereka pada hakikatnya terbebaskan dari aneka dosa dari segi pandangan syariat.
          Imam al-Ghazali bahkan mengarah kepada yang lebih jauh dari pada apa yang dikemukakan di atas. Hujjatul Islam ini menjelaskan bahwa Ghaffar adalah “Yang menempakkan keindahan dan menutupi keburukan.” Dosa-dosa adalah bagian dari sejumlah keburukan yang ditutupi-Nya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengenyampingkan siksa-Nya di akhirat. [11]
          Pertama yang ditutupi oleh Allah dari hamba-Nya adalah sisi dalam jasmani manusia yang tidak sedap dipandang mata. Ini ditutupi-Nya dengan keindahan lahiriah. Alangkah jauh perbedaan antara sisi dalam dan sisi lahir manusia dari segi kebersihan dan kekotoran, keburukan dan keindahan. Perhatikanlah apa yang tampak dana pa pula yang tertutupi.
          Hal kedua, yang ditutupi Allah adalah bisikan hati serta kehendak-kehendak manusia yang buruk. Tidak seorang pun mengetahui isi hati manusia kecuali Allah dan dirinya sendiri. Seandainya terungkap apa yang terlintas dalam pikiran atau terkuak apa yang terbetik dalam hati menyangkut kejahatan atau penipuan, sangka buruk, dengki dan sebagainya, maka sungguh manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Demikian kata al-Ghazali. Penulis dapat menambahkan bahwa Allah swt. tidak hanya menutupi apa yang dirahasiakan manusia terhadap orang lain, tetapi juga menutupi sekian banyak pengalaman-pengalaman masa lalunya, kesedihan atau keinginannya, yang dipendam dan ditutupi oleh Allah di bawah sadar manusia sendiri, yang kalau ditampakkan kepada orang lain, atau dimunculkan ke permukaan hati yang bersangkutan sendiri, maka pasti akan mengakibatkan gangguan yang tidak kecil.[12]
          Yang ketiga yang ditutupi Alah selaku Ghaffar adalah dosa dan pelanggaran-pelanggaran manusia yang seharusnya dapat diketahui umum. Sedemikian besar anugerah-Nya sampai-sampai Dia menjanjikan menukar kesalahan dan dosa-dosa itu dengan kebaikan jika yang bersangkutan berupaya untuk kembali kepada-Nya.[13] Ketika berbicara tentang mereka yang bergelimang di dalam dosa dan yang dilipat-gandakan siksa baginya di Hari Kemudian, Allah mengecualikan: Orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh, mereka itu yang digantikan Allah kejahatan mereka dengan kebaikan” QS. al-Furqan [25]: 70).
          Jika demikian itu cakupan meghfirah Allah, maka ia tidak hanya tertuju kepada orang-orang beriman, tetapi juga tertuju dalam kehidupan dunia ini kepada orang-orang kafir yang tidak percaya adanya Hari Kebangkitan. QS. ar-Ra’d [13]: 6 mengisyaratkan hal tersebut, firman-Nya: “Mereka meminta kepada-Mu supaya disegerakan (datangnya) siksa sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhna Tuhanmu memiliki maghfirah bagi manusia atas kezaliman mereka, dan sesungguhnya Tuhanmu amat pedih siksa-Nya.”[14]
          Allah swt. menyambut permohonan tulus hamba-hamba-Nya yang berdosa, betapapun besar dan banyak dosanya. “Sampaikan kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri: Janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa, Dialah al-Ghaffar ar-Rahim” (QS. az-Zumar [39]:53).[15] Bahkan terbuka kemungkinan bagi yang tidak bermohon pun selama dosanya bukan mempersekutukan Allah  untuk diampuni oleh-Nya. “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa yang mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, dan mengampuni dosa selain dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. an-Nisa’ [4]:48 dan 116).[16]
          Sahabat Nabi saw. Anas ra. Berkata: “Aku telah mendengar Rasul saw. bersabda: “Allah berfirman: Wahai putra (putri) Adam, selama engkau berdoa kepada-Ku dan mengharapkan ampunan-Ku, Aku ampuni untukmu, apa yang engkau telah lakukan di masa lampau dan Aku tidak peduli (betapapun banyaknya dosamu). Wahai putra (putri) Adam, seandainya dosa-dosamu telah mencapai ketinggian langit, kemudian engkau memohon ampunan-Ku, Aku ampuni untukmu.seandainya engkau datang menemuiku membawa seluas wadah bumi ini dosa-dosa dan engkau datang menjumpaiku dengantidak mempersekutukan  Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan seluas wadah itu, pengampunan” (HR. at-Tirmidzi demikian juha Ahmad dengan sanadnya Hasan).
“Tidaklah dinamai bertekad mengulangi dosa, siapa pun yang beristighfar, walau ia mengulangi dosa tujuh puluh kali sehari.”
Demikian sebuah riwayat.
“walaupun Abu Dzar keberatan,  “begitu komentar Nabi saw. kepada sahabat beliau, Abu Dzar ra. Yang terheraan-heran dan merasa keberatan dengan jawaban Nabi saw. tentang seseorang yang berulang-ulang berdosa, kemudian berulang-ulang pula bertaubat, namun tetap diterima Allah taubatnya.[17]
          Allah swt. memerintahkan manusia agar meneladani-Nya dalam memberi maghfirah: “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman agar yaghfiru, memberi maghfirah/menutupi aib.memaafkan orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Allah” (QS. al-Jatsiyah [45]: 14). Di tempat lain dinyatakan-Nya bahwa, “Siapa yang bersabar dan menutupi kesalahan orang lain/memaafkan, maka sungguh hal yang demikian termasuk hal yangdiutamakan” (QS. asy-Syura [42]:43). Ketika Abu Bakar ra. bersumpah untuk tidak memaafkan Misthah yang ikut menyebarkan fitnah terhadap putri beliau Aisyah ra. padahal selama ini ia disantuni oleh Abu Bakar ra. turun perintah Allah kepada orang-orang Mukmin agar memberi maaf dan berlapang dada sambil menanyakan: “Apakah kamu tidak menyukai Allah menutupi (kesalahan, aib, dan dosa) kamu? Sesungguhnya Allah Maha Ghafur dan Rahim(QS. an-Nur [24]: 22).
2.    Perilaku Orang yang Mengamalkan Al-Ghaffar.
          Seseoerang yang memenuhi tuntutan ini atau meneladani sifat Allah al-Ghaffar, akan menutupi keburukan orang lain, tidak membeberkannya dan akan menampakkan kelebihan sesamanya, tidak menampilkan kekurangannya. Rasul saw. menjanjikan mereka yang menutupi aib orang lain, untuk ditutupi pula oleh Allah aibnya di hari Kemudian.
“Siapa yang menutupi (aib) seorang Muslim, Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat.”
Dalam riwayat lain:
“Tidak seorang manusia pun menutupi aib orang lain di dunia kecuali Allah menutupi aibnya di hari Kemudian.” (HR. Muslim melalui Abu Hurairah).[18]
Karena itu, pengumpat, pendendam, pembalas kejahatan, danpembeber kesalahan pada hakikatnya tidak menyandang sedikit pun dari sifat ini.
3.    Bukti Kebenaran Al-Ghaffar
Allah swt senantiasa membuka kesempatan bertobat kepada hamba-Nya yang terlanjur berbuat dosa. Dia akan memberi ampun kepada hamba yang benar-benar bertobat kepada-Nya. Hal ini seuai dengan firman Allah dalam Al-Quran seperti “Tidaklah mereka mengetahui bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambanya” (QS At-Taubah ayat 104).

E.     Al-Baasith
1.    Arti dan Maknanya
Al-Baasith artinya:
1.    Zat yang melampangkan rezeki kepada orang yang dikehendaki.
2.    Zat yang sangat sejuk dan ceria menghadapi makhluk-Nya.
3.    Zat yang melepaskan arwah kedalam jasad.
          Allah Maha Melapangkan. Dialah yang meluaskan rezeki hamba-Nya yang dikehendaki. Allah meluaskan rezekikarena kasih sayang-Nya. Siapa yang memohon diberi, dan siapa yang sombong akan disiksa.orang yang memohon pada Allah sama dengan orang yang berjuang,tidak seperti pengemis yang menengadahkan tangan di perempatan jalan. Orang yang sombongan adalah orang yang tidak mau berusaha, karena merasa dirinya mampu. Rezeki Allah hanya diberikan kepada orang-orang yang berjuang dengan gigih, tidak diberikan pada orang-orang yang malas.
          Allah Maha Melepaskan Ruh. Dialah yang meniupkan ruh. Dialah yang melepaskan ruh berada dalam jasad. Dialah yang memberikan ruh menjadi tanda kehidupan bagi jasad sampai tiba ajal yang sudah ditentukan. Ketika tiba waktunya, maka ruh dicabut dan dikembalikan ke hadirat Allah. Ruh adalah usuran Allah,maka  tidak seorang pun manusia diperbolehkan main-main dengan ruh. Membunuh sesama artinya mencabut kekuasaan Allahuntuk mencabut ruh, maka diharamkan. Putus asa dan bunuh diri sama artinya mencabut kekuasaan Allah, maka diharamkan. Bermain-main “jailangkung” berarti mencampuri urusan Allah dalam masalah ruh-walaupun yang dating sesungguhnyaadalah syetan- maka itu diharamkan di situ ada kemusyrikan dan kepercayaan yang tidak benar.[19]
2.    Perilaku Orang yang Mengamalkan Al-Baasith
Orang yang menauladani nama Al-Baasith disebut ABDUL BAASITH, Hamba Allah Yang Melampangkan. Yaitu orang diberikan kelapangan oleh Allah dalam berbagai hal, lalu diapun memberikan kelapangan kepada orang lain. Dalam berbagai kesempatan dia tidak pelit untuk memberikan infak, tetapi juga tidak royal dan berlebih-lebihan dalam berbelanjakan  harta. Dalam urusan  harta, dia mempedomani firman Allah Surat Al-Isra’ ayat 29: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (pelit,pen) dan janganlah kamu terlalu mengeluarkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
Dalam berhubungan dengan dunia dan masyarakat secara umum, Abdul Baasith selalu tampil dengan wajah yang ceria, sejuk dan menyenangkan. Orang yang bertemu dengannya, sangat mungkin cepat terpikat dan tertarik, karena diwajahnya terpancar cahaya kemilau dari bekas sujud. Allah berfirman dalam surat Al-Fath ayat 29 :”Kamu lihatmereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya Tand-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.[20]
3.    Bukti Kebenaran Sifat Al-Baasith
Bukan suatu hal yang mustahil jika Allah bisa membangkitkan orang yang sudah meninggal dunia, pernah kita jumpai kisah dari orang yang pernah mengalami mati suri, Allah punya alasan tersendiri mengapa Ia memberikan kesempatan pada mereka untuk hidup kembali di dunia, memang kedengarannya sangat tidak masuk akal, tapi kenyataan itu memang ada. Dan semua itu adalah bentuk dari kebesaran Allah SWT. Hal ini dalam kehidupan nyata pernah terjadi terhdap mbah rahmat yang merupakan seorang pembersih masjid yang sangat rajin ketika bersama Sunan Ampel.

F.     An-Naafi’
1.    Arti dan Maknanya
Arti An-Naafi’ yaitu:
1.    Zat yang mendatangkan dan menyampaikan manfaat kepada orang yang dikehendaki.
2.    Zat yang menjadi sumber manfaat.[21]
Allah Maha Memberi manfaat. Dialah sumber manfaat. Allah memberikan manfaat apa saja kepada siapa saja yang dikehendaki semua ciptaan Allah pada dasarnya bermanfaat bagi manusia.manfaat adalah kebalikan dari dharar (bahaya). Orang yang dapat manfaat dari sesuatu, dari memperoleh kebiakan dari sesuatu itu, dan berguna bagi dirinya didunia dan diakhirat. Segala sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat, sama dengan tidak ada artinya, bahkan sangat mungkin mendatangkan bahaya bagi dirinya. Manfaat yang banyak berarti keberkahan.
2.    Perilaku Orang yang Mengamalkan An-Naafi’
Orang yang menauladani nama An-Naafi’ disebut ABDUN NAAFI’, Hamba Allah Yang Maha Memberi Manfaat. Yaitu orang yang bermanfaat bagi orang lain, dan mendapatkan manfaat dari setiap yang dilakukan. Selangkah kaki keluar rumah, orang lain mendapat manfaat darinya, dan dia sendiri mendapat manfaat dari perjalanannya. Apa yang ada padanya, semuanya member manfaat, ilmunya, anak0anaknya, dan hartanya.  Dialah yang disebut Rasulullah Saw:Kharunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak.[22] Abdun Naafi’ dsangat perhatian terhadap waktu dan kesempatan. Dia memanfaatkan kesempatan yang dating hanya sekali  dan tidak pernah berulang. Dia menggumakan waktu dengan seefektif mungkin dan sebaik-baiknya, karena waktuseperti kata Ali Bin Abi Thalib bagaikan pedang, jika anda tidak pandai menggunakannya, maka anda akan terpotong olehnya.
3.    Bukti Kebenaran Sifat An-Naafi
Tidakkah kita berpikir bahwa Allah menciptakan segala sesuatu  untuk memenuhi kebutuhan kita? Hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan seluruh ciptaan Allah di jagad raya ini, di antara tumbuh-tumbuhan banyak sekali kasiat yang bermanfaat, sehingga bisa di jadikan obat untuk menyembuhkan penyakit yang kita derita, atas izin-Nya pula seseorang dapat menjadi dokter yang bisa menyembuhkan pasien-pasiennya. Dan semua itu tidak akan terjadi kecuali dengan kebesaran Allah. Seperti firman Allah dalam Al-Quran “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada diantara keduanya tanpa hikmah” (QS. Sad ayat 27).

G. Ar-Ra’uuf
1.      Arti dan Maknanya
Al-Ra’uf  adalah nama Allah. Di dalamnya terkandung kekuatan yang sangat dasyat. Dengan nama Al-Ra’uf, Allah tumpahkan perhatian-Nya kepada makhluk, lebih-lebih kepada manusia yang mau ber-Tuhan kepada-Nya. Manusia diperilakukan pernah perhatian dan kasih sayang, laksana anak-anak balita yang tidak pernah dikasari orang tuanya, yang dipenuhi seluruh keperluannya, tidak dibentak-bentak, selalu disanjung dan dimanja. Melalui nama Ar-Rauuf, Allah tanamkan pada setiap diri manusia rasa peduli, perhatian dan kasih sayang, yang jika dieksplor akan menjadi kekuatan dahsyat bagi manusia untuk kemajuan dan ketentraman hidup. Pedulilah kepada diri sendiri, Saudara akan merasakan nikmatnya hidup. Pedulilah kepada orang lain, Anda akan dipedulikan oleh mereka. Perhatikan orang-orang yang lebih rendah (kaum dhuafa), berikan bimbingan, berikan kasih sayang, Anda akan mendapatkan berkah doa mereka. Perlakukan mereka dengan lemah lembut, kita akan mendapat pembelaan dari mereka.[23]
2.    Perilaku Orang yang Mengamalkan Ar-Ra’uuf
Orang yang menauladani nama Ar-Rauuf disebut ABDUR RAUUF, Hamba Allah Yang Maha Pengasih. Yaitu orang yang tidak memberatkan dan tidak memberikan beban kepada orang lain. Dialah orang yang punya perhatian kepada orang-orang yang tidak seberuntung dirinya, memperlakukan mereka dengan kasih sayang dan murah hati. Hatinya tidak kaku dan tidak keras, sehingga tidak keluar dari dirinya tindakan kasar dan tidak pula meluncur dari mulutnya kata-kata yang menyakitkan orang lain. Apa saja yang menjadi tanggung jawabnya diambil alih dan diperlakukan dengan penuh kelembutan. Tugas dijalankan dengan rasa senang, orang-orang yang bekerja sama dengannya dihargai dan diposisikan sebagai mitra kerja, bukan suruhan. Dia ramah dan sopan.[24]
3.    Bukti Kebenaran Sifat Ar-Ra’uuf
Allah menciptakan makhluk-Nya di muka bumi dengan beraneka ragam. Ada yang besar, kecil, ada yang berjalan, merangkak, melata, ada yang terbang, yang berenang, yang tampak oleh mata manusia dan yang tersembunyi. Semuanya dapat menjalankan hidupnya sesuai dengan kodratnya masing-masing mereka mendapat rezeki secara merata sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Semua itu  merupakan bukti bahwa Allah SWT. Maha Pengasih tanpa pilih kasih, Dia tidak meminta imbalan walaupun sekedar ucapan terima kasih.

H. Al-Barr
1. Arti Maknanya
Arti dari sifat Allah Al-Barr yaitu:
a.    Zat yang menciptakan.
b.    Zat yang mengadakan pembaharuan (Tafsir Al-Qurthubi)
c.    Zat yang membebaskan. Seperti: bebasnya fulamn dari sakit dan lepas dari hutang.
Dialah Allah yang menciptakan. Di balik ciptaan-Nya terkandung makna, arti dan tujuan yang sangat agung. Dialah Allah yang mengadakan pembaharuan dan mengadakan perubahan. Dialah yang membebaskan hambanya yang beriman dari hisab di hari kiamat, membebaskan manusia dari siksa, dan fitnah serta penyakit atau lainnya. Sedangkan dalam kekuatan Al-Barr  yaitu memiliki visi dan misi untuk pembaharuan diamasa depan. Dan hal ini yang kemudian Allah tranfer ek manusia walau tidak semua manusia melakukknay dengan baik.[25]
Sedangkan menurut pendapat lainnya Al-Barr juga memiliki arti Yang Maha Melimpahkan Kebaikan. Karena Allah maha Pengasih, Dia juga Yang Melimpahkan Kebaikan. Sepeti dalam Al-Quran yang berbunyi: “Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka. Sesungguhnya kami menyembah-Nya ssejak dulu. Dialah Yang Melimpahkan Kebaikan, Maha Penyayang.” (QS At Tur: 27-28)
2.    Perilaku Orang yang Mengamalkan Al-Baar
Orang yang berdoa dengan Ya Baari berrarti berjuang mendapatklan kekuatan untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan. Dengan kekuatannya dia bisa membalikkan keadaan dari susah menjadi senang, dari menderita menjadi bahagia. Dengan kekuatan sifat Allah ini, manusia belajar dan tidak takut dari penyakit, kemiskinan, hutang dan lainnya. Orang yang mengadakan perbaikan dan menata ulang agar mnencapai hasil yang lebih baik disebut Abdul Baari. Dan juga dari ini manusia juga belajar tentang Akhlaq Allah yang membebaskan makhluk-Nya dari segala sesuatu yang memberatkannya.
3.    Bukti Kebenaran Sifat Al-Baar
Kedermawanan Allah swt atas hamba-Nya amat jelas dan langsung oleh semua manusia, baik muslim maupun kafir. Nikmatnya jasmani, tersedianya rezeki (termasuk oksigen) senantiasa tersedia walaupun manusia enggan memohon kepada-Nya. 

I.     Al-Hakim
1.    Arti dan Maknanya
          Al-Hakim (Maha Bijkasana) artinya:
a.    Zat yang menjadikan hikmah dalam setiap kejadian
b.    Zat yang selalu tepat dalam perbuatannya
c.    Zat yang sangat ahli dan tahu seluruh hakekat.
          Allah Maha Bijaksana, seluruh keputusan-Nya didasarkan atas kebijaksanaan. Tidak ada ketentuan atau keputusan yang memberatkan hambanya. Segala sesuatu yang terjadi pada manusia sudah dipertimbangkan oleh Allah dan semuanya selalu mengandung kebaikan untuk manusia. Nama Al-Hakim dalam Al-Qur’an sering disebutkan beriringan dengan nama Allah yang lainnya seperti dalam Al-Baqarah ayat 32 yang beriringan dengan Al-‘Alim yang artinya : “Mereka menjawab: Mahas Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[26] Dengan adanya tersebut menjelaskan kepada Allah sangat Maha Bijaksana dan seuai dengan-nya. Sedangkan dalam ayat lain seperti: QS Az Zuhruf: 84  Dan dialah Tuhan yang disembah di langit dan Tuhan di bumi, Dialah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui.”[27]
2.    Perilaku Orang yang Mengamalkan Al-Hakim
     Orang yang menauladani nama Al-Hakim disebut Abdul Hakim, hamba Allah yang maha bijaksana dialah orang yang mampu mengkap hikmah dari setiap kejadian. Kepadanya Allah memberitahu rahasia yang tidak diketahuinya orang lain. Dialah orang yang mampu membaca akibat apa yang terjadi dan akibat yang ia lakukan. Sedangkan orang lain yang berhubungan langsung dengan keputusannya dia bisa menerima karena memang di dalamnya ada sisi baik untuk semua pihak. Dan orang yang tidak berlaku dzalim maka masyarakat baik kepadanya dan sebaliknya.[28]
3.    Bukti Kebenaran Sifat Al-Hakim
     Petunjuk agama yang dianugrahkan kepada manusia sebagai bukti kebijaksanaan Allah swt. Dia mengharamkan berbagai jenis perbuatan buruk karena memang perbuatan tersebut berdampak negative (jika dilakukan manusia). Sebaliknya, Dia mewajibkan kepada manusia beberapa perbuatan yang berdampak positif bagi yang mentaatinya. Hal tersebut seperti mengaramkan daging babi dimana dalam penelitiannya daging babi terdapat cacing pita yang tidak pernah mati walau dipansakan dengan 1000 Celcius. Dan yang baik seperti perintah puasa dan shalat dimana dalam puasa terdapat banyak mamfaat dan begitupun dengan dalam shalat. Berikut dalilnya dalam Al-Quran :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah” (QS. Al-Maidah ayat 3).
“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan keatasmu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah ayat 183).

J. Al-Fattaah
1. Arti dan Maknanya
          Kata al-fattah terambil dari akar kata fataha yang pada dasarnya bermakna antonim tertutup, karena itu ia bisa diartikan membuka. Makna kata ini kemudian berkembang menjadi kemenangan, karena dalam kemenangan tersirat sesuatu yang diperjuangkan menghadapi sesuatu yang dihalangi atau ditutup. Kata ini juga bermakna menetapkan hukum karena dengan ketetapan itu, terbuka jalan penyelesaian. Air yang keluar dari bumi (mata air) dinamai fatah, karena adanya sesuatu yang terbuka pada tanah sehingga ia dapat memancar; ‘irfan (pengetahuan) juga dinamai demikian, karena ia membuka tabir kegelapan. Kata al-fattah sebagaimana terbaca maknanya di atas tidak digunakan kecuali kalau sebelumnya terdapat ketertutupan, kesulitan, atau ketidakjelasan. bukankah sesuatu yang dibuka adalah sesuatu yang sebelumnya tertutup? Dengan demikian al-fattah adalah terbukanya segala sesuatu yang tertutup, baik material maupun spiritual.
          Allah swt. sebagai al-Fattah adalah Dia yang membuka dari hamba-hamba-Nya segala apa yang tertutup menyangkut sebab-sebab perolehan yang mereka harapkan. Pintu rezeki yang tertutup bagi seseorang dibuka-Nya, sehingga dia menjadi berkecukupan atau kaya. Hati yang tertutup menerima sesuatu; seperti kebenaran atau cinta, dibukanya sehingga terisi kebenaran dan terjalin cinta. Pikiran yang tertutup menyangkut satu problem di bukanya, sehingga terselesaikan kesulitan dan teratasi problem. Demikian seterusnya.[29]
          Imam al-Ghazali mengartikan al-Fattah sebagai “Dia yang dengan ‘inayah/pertolongan dan perhatian-Nya terbuka segala yang tertutup, serta yang dengan idayah/petunjuk-Nya terungkap segala yang musykil (samar dan sulit).”
          Suatu saat Allah memberi kemenangan dalam peperangan memperebutkan suatu kota. Itu adalah fatah seperti firman-Nya pada QS. al-Fath [48]: 1: “Inna Fatahna Laka Fathan Mubina/sesungguhnya Kami telah memenangkan Engkau dengan kemenangan yang jelas).” Ayat ini turun berkaitan dengan kemenangan yang diraih Rasul saw. di kota Mekah. Di kali lain Allah memberi putusan yang tepat dan adil bagi yang bersengketa, putusan itu juga adalah fatah. Di kali ketiga Allah membuka hati auliya’-Nya untuk menerima curatan ‘irfan, (pengetahuan) yang sebelumnya samara atau sama sekali tidak mereka ketahui. Bahkan segala rahmat yang diraih manusia, setelah sebelumnya terdapat ketertutupan, adalah fatah. “apa-apa yang dianugerahkan Allah kepada manusia dari rahmat, maka tidak ada yang dapat menahannya” (QS. Fathir [35]: 2).
          Seorang ilmuwan yag menghadapi kesulitan memecahkan sesuatu yang musykil, tidak jarang tiba-tiba secara kebetulan, memperoleh secercah cahaya petunjuk-Nya sehingga benang kusut yang dihadapinya terurai dengan sangat mudah. Ini juga merupakan fatah.[30]
          Al-Qur’an menggarisbahawi bahwa rahasia ilm Allah, hanya tercurah kepada mereka yang tidak menyombongkan diri. Allah berfirman: “Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang takabbur di bumi tanpa alasan yang benar” (QS. al-A’raf [7]: 146).
          Imam Syafi’I mengubah kata-kata bersayap yang maknanya lebih kurang:
          “Aku mengeluh pada guruku tentang kelemahan hafalanku. Maka dituntunnya aku agar meninggalkan kemaksiatan. Dan diajarakannya kepadaku bahwa ilmu adala cahaya. Sedang cahaya Allah, tidak dianugerahi kepada si durhaka.”
          Memang, ‘irfan lebih banyak berkaitan dengan nomena, bukan fenomena. “Kebanyakan manusia tidak mengetahui yang lahir/fenomena kehidupan duniawi, sedang mereka lali dari kehidupan akhirat” (QS. ar-Rum [30]: 6-7). Pengetahuan tentang nomena amat sulit, ia adalah satu wilayah yang tertutup rapat, tidak ada yang mampu membukanya, kecuali Allah swt., karena: “Di tangan Allah kunci-kunci pembuka gaib, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia” (QS. al-An’am [6]: 59).[31]
          Kata al-Fattah hanya ditemukan sekali dalam al-Qur’an (QS. Saba’ [34]: 26), demikian juga Khair al-Fatihin (sebaik-baik Pemberi putusan) (QS.al-A’raf [7]: 89). Kedua ayat yang menyifati Allah dengan sifat tersebut, berbicara tentang satu persoalan yang sejak dahulu hingga kini amat sulit dipecahkan, terkunci rapat untuk dibuka, bahkan mustahil dapat ditemukan putusannya oleh siapa pun yang bersengketa. Persoalan dimaksud adalah memberi putusan kepada yang bersengketa tentang siapa yang benar dalam perbedaan agama dan keyakinan.[32]
          QS. al-A’raf [7]: 89, berbicara tentang Nabi Syu’aib as. dan umatnya menghadapi para pemuka masyarakat yang mempertahankan keyakinan mereka. Para pemuka itu berkata: “Sungguh kami akan mengusir engkau wahai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersama engkau dari negeri kami, atau kamu kembali ke agama kami.” Syu’aib menjawab: “Apakah kamu akan mengusir kami walau kami tidak suka dengan agama kalian?” Syu’aib kemudian menjelaskan sikapnya dan sikap kaumnya kemudian berkata: “Wasi’a Rabbuna kulla syai’in ‘ilma ‘ala Allahi tawakalna Rabbanaftah bainana wa baina qaumina bi al-haqq wa Anta Khair al-Fatihin/pengetahuan Tuhan kita meliputi segala sesuatu, Kepada Allah saja kami berserah diri. Wahai tuhan kami, putuskanlah perkara antara kami dan antara kaum kami secara haq (adil), Engkaulah Khair al-Fatihin (sebaik-baik Pemberi putusan)” (QS. al-A’raf [7]: 89).[33]
2.Perilaku Orang yang Mengamalkan Al-Fattah.
          Orang yang menauladani nama Al-Fattah dia disebut Abdul Fattah (Hamba tuhan yang maha pembuka). Dialah orang yang telah dibukakan pintu kewbaikannya oleh Allah, berbuat baik diamana-mana dan membuka kesempatan untuk orang lain juga berbuat baik. Baginya tidak ada hari tanpa berbuat baik kepada orang lain.[34]



3.    Bukti Kebenaran Al-Fattah
Banyak manusia yang memaksimalkan usahanya, namun hasil yang diperoleh belum atau tidak seperti apa yang diharapkan. Di sisi lain, banyak manusia yang sederhana saja dalam berusaha, namun memperoleh hasil yang lumayan. Manusia hanya dapat berusaha, sedangkan keberhasilan usahanya pada kuasa dan kehendak Allah semata-mata. Dari hal tersebut disimpulkan bahwa seseorang sukses selain berusaha harus juga berdoa atau mendekatkan diri kepada Allah.

K. Al-‘Adl
1. Arti dan Maknanya
Al-Adl artinya memuncak keadilannya, tidak berbuat kecuali yang selayaknya diperbuat. Dan Makna adil atau maha adil yaitu pertengahan, tegak lurus dan memihak pada kebenaran atau sesuai porsinya (menurut orang arab).[35] Dialah Allah yang memberikan keadilan secara mutlak. Musibah apapun yang menimpa seseorang hamba terjadi karena atas keadilan-Nya. Siapa yang benar pasti menang dan siapa yang salah pasti kalah.
2.    Perilaku Orang yang mengamalkan Al-‘Adl
Orang yang menauladani nama Al-Adl dan berjuang menegakkan keadilan disebut Abdul ‘Adl (Hamba Allah yang memberikan keadilan) yaitu orang yang selalu senangtiasa berusaha adil untuk dirinya sendiri, keluarganya dan siapa aja yang ada disekitarnya. Seruan Allah untuk berbuat adil disambutr dengan sunguh-sunguh karena keadilan merupakan bagian untuk menuju ketaqwaan. Dia juga selalu menadakan evaluasi terhadap dirinya karena sadar bahwa dia belum adil terhdap Allah.[36] Olah keranyya dia tidak pernah berhenti untuk bisa berbuat adil kepada semuanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:n “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90).[37]
3.    Bukti Kebenaran tentang Al-‘Adl
Untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan tentram, Allah membuat aturan (agama) untuk ditaati manusia. Hukum Qisas diterapkan kepada pelaku pembunuhan dengan sengaja. Hukum Qisas yang ditentukan Islam sesuai dengan ungkapan utang nyawa dibalas nyawa. Adapun hukum potong tangan diterapkan kepada pencuri yang curiannya senilai seperempat.   

L. Al-Qayyum
1. Arti dan Maknanya Al-Qayyum
Al-Qayyum artinya:
a.    Zat yang tegak dan tidak pernah goyah.
b.    Zat yang berdiri sendiri, tidak memelurkan yang lain.
c.    Zat yang selalu mengawasi dan menguasai apa saja yang bergerak di jagad raya.[38]
Dengan memperkenalkan diri-Nya sebagai Al-Qayyum, Allah ingin menegaskan bahwa Dia yang mengatur segala sesuatu yang menjadi kebutuhan makhluk-Nya secara sempurna  dan terus-menerus, tanpa memandang makhluk yang diurus-Nya itu berterima kasih atau tidak.  Dialah Allah yang menciptakan semua yang ada di bumi dan apa yang ada di langit tanpa minta bantuan orang lain. Hal ini sesuai firman Allah “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)/kekal. (QS. Ali Imran 2).[39]
2. Perilaku Orang yang Mengamalkan Al-Qayyum
Orang yang menauladani nama Al-Qayyum disebut Abdul Qayyum, Hamba Allah yang maha mandiri. Yaitu oarang yang bisa menyelesaikan masalah sendiri dengan memohon pertolongan Allah. Dialah orang yang tidak ingin selalu bergantung pada apa yang ada atau orang lain. Namun ketika dia butuh bantuan maka dia akan meminta bantuan keapda orang lain yang akhlinya, bukan kepada dukun atau para tukang peramal. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali/penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)” (QS An-Nisa’ ayat 144).[40]
3. Bukti Kebenaran sifat Al-Qayyum
Sejak zaman Nabi Adam sampai sekarang, bumi tetap berputar pada porosnya dengan mengelilingi matahari. Dengan demikian, terjadilah siang dan malam. Keadaan seperti ini  berjalan terus sampai datangnya yaumus sa’ah. Dalam mmengatur alam semesta ini, Allah tak memerlukan bantuan siapapun dari hamba nya. Dan setiap apapun yang Allah inginkan jika berkata “jadilah” maka akan terjadi.





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
          Asmaul Husna adalah nama-nama Allah Swt yang indah dan baik. Asma berarti nama dan Husna berarti baik  atau yang indah. Jadi Asmaul Husna  adalah nama-nama milik Allah Swt yang baik dan indah. Sedangkan Asmaul Husna secara harfiah adalah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu kesatuan yang menyatu dengan kebesaran dan kehebatannya milik Allah.[41] Salah satu Asma Allah adalah  al-Aziz (yang Maha Perkasa), al-Ghaffar (Maha Pengampun) , al-Basith (Maha Melapangkan), an-Nafi’ (Yang Maha Memberi Mamfaat), ar-Ra’uf (Maha Pengasuh), al-Barr (Maha Melepaskan), al-Hakim (Maha Bijaksana), al-Fattah (Maha Pembuka Rahmat), al-‘Adl (Maha Adil), dan al-Qayyum (Maa Mandiri).




[1] Ahmad Al-Jabbar, Asmaul Husna For Entrepneur (Solo: Khazanah Sulaiman, 2010), 14-15
[2] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), Jakarta: Pustaka al-Mawardi, 2009, 24-26.
[3] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 61
[4] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, Tanggerang: Lentera Hati, 2008, 92.
[5] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 93.
[6] M.Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 94.
[7] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 96.
[8] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 97.
[9] M. Quraish Shihab, ­al-Asma’ al-Husna, 98.
[10] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, Jakarta: Lentera Hati, 130.
[11] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 131.
[12] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 132.
[13] Mahmudin, Rahasia di balik asmaul husna, Jakarta: Mutiara Media, 89.
[14] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 133.
[15] Mahmudin, Rahasia di balik asmaul husna, 90.
[16] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 134.
[17] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 135.
[18] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 136.
[19] Mukjizat Asmaul Husna Rahasia, Keajaiban, Keistimewaan, Kekuatan dan Khasiat Nama Allah Teragung, Ust.H.Saifuddin al-Damawi,cetakan ketiga, hlm 98
[20] Mukjizat Asmaul Husna Rahasia, Keajaiban, Keistimewaan, Kekuatan dan Khasiat Nama Allah Teragung, Ust.H.Saifuddin al-Damawi,cetakan ketiga, hlm 99-100
[21] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 273
[22] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 274
[23] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna,
[24] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 253
[25] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 73
[26] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 162.
[27] Ahmad Muhammad Yusuf Lc, Himpunan Dalam Al-Quran dan Hadits, Jakarta: Senggono Madu Pustaka, 142
[28] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 163
[29] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 34.
[30] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 35.
[31] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 36.
[32] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 37.
[33] M. Quraish Shihab, al-Asma’ al-Husna, 38.
[34] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 92
[35] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 118
[36] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 119
[37] Ahmad Muhammad Yusuf Lc, Himpunan Dalam Al-Quran dan Hadits, Jakarta: Senggono Madu Pustaka, 143
[38] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 211
[40] Syaifuddin Al-Damawy, Mukjizat Asmaul Uzma (Rahasia kejaiban, keistimewaan, kekuatan dan khasiat nama Allah), 212
[41] Ahmad Al-Jabbar, Asmaul Husna For Entrepneur (Solo: Khazanah Sulaiman, 2010), 91

Komentar