MAHSANAH MAHSANAH SYARIAT ISLAM: RASIONALITAS, EMANSIPASI DAN KETERGANTUNGAN.


MAHSANAH MAHSANAH SYARIAT ISLAM: RASIONALITAS, EMANSIPASI DAN KETERGANTUNGAN.


PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam hukum Islam terdapat beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Syariat Islam yang mulia ini telah diturunkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang tidak dapat menjalankan syariat Islam. Sedangkan keindahan itu apabila dipraktekkan bersama ajaran-ajaran Islam lain nicaya akan membentuk suatu umat yang ideal yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang utama.[1]  Di antara bukti bahwa indahnya syariat Islam adalah bahwa tidak adanya bahaya dalam syariat Islam dan Islam mengatur para pemeluknya untuk tidak menimbulkan bahaya pada orang lain. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda yang artinya, “Tidak ada bahaya dalam syariat Islam dan tidak menimbulkan bahaya” (HR. Ibnu Majah, Daruquthni, Malik dan Hakim, Shohih).[2]
Di balik hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada kita, terkandung rahasia-rahasia yang mendalam dan hikmah-hikmah yang menakjubkan, yang semuanya mencengangkan akal pikiran dan memuaskan batin manusia. Syari’at Islam mempunyai beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Syari’at Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa itu tidak hanya seperangkat aturan yang menjadi sarana untuk ber-ubudiah semata, yang kita hanya diwajibkan untuk menjalankannya dengan sebaik-baiknya tanpa harus mencari hikmah yang terkandung di dalamnya. Ia adalah kumpulan semua kebajikan yang sangat banyak pintunya dan amat beragam jenisnya, di samping memiliki kaifiyat-kaifiyat tersendiri dalam menunaikannya. Oleh karena itu dalam makalah kali ini penulis akan membahas tentang mahsanah-mahsanah hukum Islam yang meliputi: Rasionalitas, Ketergantungan dan Rasionalitas.

1.2 Rumusan Masalah

1.          Apa yang dimaksud dengan mahsanah-mahsanah hukum Islam secara singkat?
2.          Apa yang dimaksud dengan hukum rasionalitas?
3.          Apa yang dimaksud dengan hukum ketergantungan?
4.          Apa yang dimaksud dengan hukum emansipasi?

1.3 Tujuan

1.          Untuk mengetahui pengertian mahsanah-mahsanah hukum Islam secara singkat.
2.          Untuk mengetahui hukum rasionalitas.
3.          Untuk mengetahui hukum ketergantungan.
4.          Untuk mengetahui hukum emansipasi.

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Mahsanah-Mahsanah Syari’ah Islam

Hukum Islam mempunyai beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat.
Syariat Islam yang mulia ini telah diturunkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang tidak dapat menjalankan syariat Islam. Sedangkan keindahan itu apabila dipraktekkan bersama ajaran-ajaran Islam lain nicaya akan membentuk suatu umat yang ideal yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang utama.
Di antara bukti bahwa indahnya syariat Islam adalah bahwa tidak adanya bahaya dalam syariat Islam dan Islam mengatur para pemeluknya untuk tidak menimbulkan bahaya pada orang lain. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda yang artinya, “Tidak ada bahaya (Dhororo) dalam syariat Islam dan tidak menimbulkan bahaya (Dhirooro).” (HR. Ibnu Majah, Daruquthni, Malik dan Hakim, Shohih).[3]
A.        Hukum Rasionalitas (Ma'quli)
Hukum Islam tidak hanya bersumber dari yang manquli saja, akan tetapi hukum Islam juga bersumber dari ma'quli. Untuk itu jika ditemukan suatu hadits yang isinya tidak cocok dengan logika akal maka hadits tersebut masih ditangguhkan dan menghindari kemungkinan hadis-hadis palsu. Ar-Razi dalam Maushul mengatakan:
كل حديث رأيته يخالف العقول ويناقض الاصول ويباين المنقول فاعلم أنه موضوع
"Tiap-tiap hadis yang engkau dapati menyalahi akal, menyalahi aqidah dan berlainan dengan yang dinukilkan dari Nabi, ketahuilah bahwa hadis yang maufhu' (palsu)." [4]
Diantara hadis-hadis yang palsu adalah hadis yang terlalu banyak menerangkan pahala amalan sunnat, atau juga hadis yang dibuat untuk menguatkan madzabnya. Misalnya:
من ثل الضحى كذا ركعة أعطى ثواب سبعين نبيا
"Barangsiapa sholat dhuhabegini rakaat maka baginya pahala tujuh puluh nabi."
من رفع يديه فى الركوع فلا صلاة له
" Barangsiapa yang mengangkat dua tangan pada ruku' maka tah (sah) sholatnya."
Syariat Islam tidak hanya beesifat ta'abudi, tetapi juga ta'aqquli (ma'qul bil makna), karena itu hukum islam membuka diri atas segala penafsiran yang ma'quli, karena dengan penafsiran model tersebut akan ditemukan rahasia yang memiliki hikmah yang tinggi, manfaat serta ruh nash.
Hukum Islam yang tidak jelas ketentuannya maka dapat dikembangkan dengan ra'yu manusia, artinya ketentuan yang konkrit diserahkan sepenuhnya pada hasil ijtihad ulama melalui ra'yu tersebut. Karena pada dasarnya hukum islam selaras dengan hukum pikir manusia selama akal manusia belum fikendalikan hawa nafsu. Ibnu Qayyum dalam At-Thuruqul Hukmiyah menyatakan sebagai berikut:
"Allah dan Rasulnya tidak menetapkan suatu hukum yang diyakini kebathilannya baik pada panca indra maupun akal. Allah tidak menetapkan hukum yang akal mengatakan alangkah lebih baiknya jika Allah tidak menetapkan hukum seperti itu. Sebenarnya hukum Allah adalah hukum-hukum yang diakui oleh akal dan nadhar tentang kebaikannya, dan terjadinya hukum itu dengan cara yang lebih baik." [5]
Jika ditemukan suatu hukum yang bertentangan dengan hukum akal, kemungkinan yang terjadi adalah akal belum dapat menjalankan rahasia hukum itu atau juga sumber hukum islam yang diambil itu merupakan sumber hukum yang lemah atau palsu sehingga hukum akal dengan hukum islam tidak menemukan titik temu. Oleh karena itu Allah SWT sangat menghargai semua aktivitas akal yang diintuisikan melalui ijtihad. Dimana barangsiapa melakukan ijtihad dan terjadi kesalahan maka baginya satu pahala, tetapi jika benar maka baginya dua pahala. Sabda Nabi SAW:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله أجران وإذا حكم فأخطأ فله أجر واحد
" Apabila hakim menetapkan hukum kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar baginya dua pahala, tetapi jika salah maka baginya satu pahala." (HR. Bukhori-Muslim dari Amer Ibn Ash).[6]

2.2 Hukum Ketergantungan

Suatu bukti yang tidak dapat disangkal lagi bahwa Islam memang benar-benar potensial dan mampu menghadapi segala persoalan hidup dan kehidupan manusia. Terbukti bahwa ajaran Islam memiliki tingkat fleksibilitas untuk segala zaman, dan dapat diterima oleh semua pihak. Sehingga Islam menjadi agama universal.
Syari’at Islam pada hakikatnya mengatur kehidupan manusia untuk menuju kesejahteraan, keharmonisan dan keselarasan hidup antara rohani dan jasmani. Islam juga mengatur tata cara hubungan antara manusia dengan Tuhannya sebagai hubungan vertical dan hubungan manusia dengan manusia sebagai hubungan horizontal. Islam bukan hanya mengatur masalah individu dan kaitannya dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur dan menghubungkan kehidupan masyarakat sebagai kehidupan yang tak terpisahkan dalam kehidupan Islam.
Keselamatan manusia itu tidak saja tergantung pada harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi harus juga sesuai hubungan antara manusia dengan manusia yang lain untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan keharmonisan hidup dalam arti integral. Dari dua aspek yang bergantung dan terkaip itulah merupakan inti kehidupan manusia yang fundamental.
Hukum tersebut ditetapkan agar tujuan ibadah manusia tepat pada sasarannya dan sesuai dengan tujuan hukum diciptakan. Hukum ketergantungan dapat diwujudkan dengan cara sebagai berikut: 
1.         Baik tidaknya atau sah tidaknya suatu ibadah ditentukan oleh niatnya, karena niat merupakan pangkal dari segala macam amalan. Seperti dalam sabda Nabi SAW.
اِنَّمَالاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
"Sesungguhnya segala amalan tergantung kepada niatnya." (HR. Perawi lima dari Umar bin Khattab).
Sedangkan kaidah fiqhiyah dinyatakan: 
الامور بمقاصدها
"Setiap urusan tergantung kepada tujuannya."
2.         Setiap hukum Islam digantungkan pada menarik kebaikan  dan menolak kerusakan.
Karena itu jika terjadi suatu kasus di mana muallaf di suruh memilihnya maka pemilihan itu digantungkan kepada kerusakan yang paling ringan atau kemaslahatan yang paling tinggi atau juga mendahulukan menolak kerusakan dari pada menarik kebaikan. Kaidah fiqhiyah dinyatakan: 
“Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada menarik kebaikan, apabila berlawanan antara yang bermafsadah dan yang mashlahah, maka didahulukan  yang mafsadah”
"Apabila dua mafsadah berlawanan maka dipelihara maka yang lebih ringan kerusakannya dengan dikerjakan yang lebih ringan madhorotnya." (Abdurrahman Asy-Syuyuti, TT: 62).[7]

2.3 Hukum Emansipasi

Hukum Islam tidak mendiskriminasikan laki-laki dengan wanita, semua mempunyai peluang sama dalam menjalankan kewajiban dan menuntut hak-haknya. Penuntutan hak dalam hukum Islam tidak berarti sama, tetapi penuntutan itu disesuaikan dengan proporsi yang ada. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’: 32
Artinya: "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. An-Nisa’: 32)
Dalam soal mencari nafkah dan memimpin laki-laki lebih berperan daripada wanita, tetapi dalam memelihara keluarga wanita lebih dominan dari laki-laki. Islam hadir untuk mengatur tugas masing-masing jenis manusia. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’: 34
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa’: 34)
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Dan laki-laki memimpin keluarganya dan ia bertanggung jawab atas pimpinannya, sedang wanita memimpin dalam rumah suaminya dan ia dimintai pertanggungjawaban atas pimpinannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
Hukum Islam mempunyai hukum khas manusiawi, sehingga hukum-hukumnya didasarkan atas kodrat manusia, karena itu ada perbedaan khusus antara wanita dan laki-laki dalam pertaklifan. Misalnya:
1.       Hukum waris laki-laki dilebihkan dari wanita, walaupun tidak menutup kemungkinan pembagian waris itu sama.
2.       Karena wanita mengalami haid dan nifas maka baginya diberikan kelonggaran meninggalkan shalat atau puasa, sedang laki-laki tidak ada udzur seperti itu.
3.       Wanita tidak diperintahkan shalat jum’at tetapi laki-laki diwajibkan.
4.       Wanita diperbolehkan memakai perhiasan emas, perak atau sutera, karena wanita itupun juga perhiasan (QS Ali Imran: 14) sedangkan laki-laki diharamkan, sebagaian ulama’ ada yang menyatakan dimakruhkan.
5.       Wanita tidak diwajibkan khitan tetapi laki-laki sebaliknya.
6.       Diwajibkan bagi wanita untuk menggunakan wali dalam nikah sedangkan laki-laki tidak.
7.       Wanita diharuskan beriddah setelah dithalak suaminya tetapi laki-laki tidak demikian.
8.       Hak thalak ditangan laki-laki, sedang wanita hanya dapat mengajukan khulu’ (takal tebus).
9.       Kewajiban menerima taklif wanita relatif lebih mudah daripada laki-laki.
10.    Bila keluar rumah diharuskan wanita untuk membawa mahramnya sehingga tidak memungkinkan terjadinya perbuatan keji, sedang laki-laki tidak.
11.    Kewajiban mencari nafkah dipihak laki-laki sedang wanita hanya membantu saja.
12.    Aurat wanita seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan sedang laki-laki antara pusar sampai lutut.
13.    Laki-laki diperbolehkan berpoligami sedangkan wanita tidak.
14.    Laki-laki diwajibkan berperang (jihad) tetapi wanita hanya dianjurkan membantu.
Perbedaan-perbedaan itu bukan berarti mendiskriminasikan wanita tetapi meletakkan hukum Islam pada proporsi yang sebenarnya yaitu sesuai dengan kodrat manusia. Peletakan taklif yang tidak sesuai dengan kodrat manusia mengakibatkan penyelewengan hukum emansipasi yang tidak sehat, pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah, dan penkhianatan terhadap tugas hidup manusia sebagai hamba dan khalifah Allah SWT.

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Syariat Islam yang mulia ini telah diturunkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang tidak dapat menjalankan syariat Islam. Di antara bukti bahwa indahnya syariat Islam adalah bahwa tidak adanya bahaya dalam syariat Islam dan Islam mengatur para pemeluknya untuk tidak menimbulkan bahaya pada orang lain.
Syari’at Islam mempunyai beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Sedangkan keindahan itu apabila dipraktekkan bersama ajaran-ajaran Islam lain nicaya akan membentuk suatu umat yang ideal yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang utama.
Di antara mahsanah-mahsanah tersebut adalah:
1.         Hukum Rasionalitas (Ma’quli)
2.         Hukum Ketergantungan
3.         Hukum Emansipasi.
Syari’at Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa itu tidak hanya seperangkat aturan yang menjadi sarana untuk ber-ubudiah semata, yang kita hanya diwajibkan untuk menjalankannya dengan sebaik-baiknya tanpa harus mencari hikmah yang terkandung di dalamnya. Ia adalah kumpulan semua kebajikan yang sangat banyak pintunya dan amat beragam jenisnya, di samping memiliki kaifiyat-kaifiyat tersendiri dalam menunaikannya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Azhar, Lajnah Min Ulama. 2004. Hikmah dan Filosofi Ajaran Islam, terj. Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh. Pasuruan: OMIM-ATM PP. Sidogiri.
Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2016. Falsafah Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Sulaiman, Abdullah. 2005. Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasny. Jakarta: Sinar Grafika.
Usman, Mukhlis. 2011. Hikmatus Syar’i Sebuah Konsepsi Dasar Filsafat Hukum Islam. Malang: Unit Penerbitan dan Percetakan LBB Yan’s.



[1] Abdullah Sulaiman, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasny, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 79.
[2] Lajnah Min Ulama al-Azhar, Hikmah dan Filosofi Ajaran Islam, terj. Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh, (Pasuruan: OMIM-ATM PP. Sidogiri, 2004), h. 67.
[3] Rumaya, Mahsanah-Mahsanah Syari’at Islam, dikutip dari situs blogger, http://lib4.blogspot.com/2010/02/mahsanah-mahsanah-syariat-islam.html?m=1, diunduh 25/04/19 jam 13.47 wib.
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra), h. 241
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 122
[6] Mukhlis Usman, Hikmatus Syar’i Sebuah Konsepsi Dasar Filsafat Hukum Islam, (Malang: Unit Penerbitan dan Percetakan LBB Yan’s, 2011), h. 45-46
[7] Mukhlis Usman, Hikmatus Syar’i Sebuah Konsepsi Dasar Filsafat Hukum Islam, h. 46-47.

Komentar