MAHSANAH-MAHSANAH HUKUM ISLAM


MAHSANAH-MAHSANAH HUKUM ISLAM
(keseimbangan, kausalitas, proporsionalitas, dan prioritas)
Oleh: Ali Hasan Assidiqi dan Mela Zita A’yuni

1.1 Latar Belakang

Di balik hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada kita, terkandung rahasia-rahasia yang mendalam dan hikmah-hikmah yang menakjubkan, yang semuanya mencengangkan akal pikiran dan memuaskan batin manusia. Syari’at Islam mempunyai beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Syari’at Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa itu tidak hanya seperangkat aturan yang menjadi sarana untuk ber-ubudiah semata, yang kita hanya diwajibkan untuk menjalankannya dengan sebaik-baiknya tanpa harus mencari hikmah yang terkandung di dalamnya. Ia adalah kumpulan semua kebajikan yang sangat banyak pintunya dan amat beragam jenisnya, di samping memiliki kaifiyat-kaifiyat tersendiri dalam menunaikannya.
Dalam hukum Islam terdapat  beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Syariat Islam yang mulia ini telah diturunkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang tidak dapat menjalankan syariat Islam. Sedangkan keindahan itu apabila dipraktekkan bersama ajaran-ajaran Islam lain nicaya akan membentuk suatu umat yang ideal yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang utama.[1]  Di antara bukti bahwa indahnya syariat Islam adalah bahwa tidak adanya bahaya dalam syariat Islam dan Islam mengatur para pemeluknya untuk tidak menimbulkan bahaya pada orang lain. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda yang artinya, “Tidak ada bahaya dalam syariat Islam dan tidak menimbulkan bahaya” (HR. Ibnu Majah, Daruquthni, Malik dan Hakim, Shohih).[2] Oleh karena itu dalam makalah kali ini penulis akan membahas tentang mahsanah-mahsanah hukum Islam yang meliputi: Keseimbangan, kausalitas, proporsionalitas, dan prioritas.

1.2 Rumusan Masalah

1.       Apa pengertian mahsanah-mahsanah hukum Islam?
2.       Bagaimana macam-macam mahsanah hukum Islam dalam hukum keseimbangan, kausalitas, proporsionalitas, dan prioritas?

1.3    Tujuan Penulisan

1.     Untuk mengetahui pengertian mahsanah-mahsanah hukum Islam.
2.     Untuk mengetahui macam-macam mahsanah hukum Islam dalam hukum keseimbangan, kausalitas, proporsionalitas, dan prioritas.

2.1 Pengertian Mahsanah Hukum Islam

Hukum Islam memiliki beberapa maziyah (keistimewaan) dan beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi hajad manusia serta menjamin ketenangan daan kebahagiaan masyarakat. Sedangkan keistimewaan dan keindahan itu apabila dipraktekan bersama ajaran-ajaran Islam lain niscaya akan membentuk suatu umat yang ideal yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang utama.[3] Dalam mahsanah hukum Islam secara rinci terdapat tujuh yaitu: hukum keseimbangan, kausalitas, profesionalitas, prioritas, rasionalitas, ketergantungan dan emansipasi.[4]

2.2 Macam-Macam Mahsanah Hukum Islam

1.    Hukum Keseimbangan
Dalam hukum Islam terdapat keseimbangan atau perimbangan dimana keseimbangan itu dapat menggugah jiwa manusia untuk melaksanakan hukum itu. Dalam Surat Ar-Rahman ayat 7-9 Allah SWT berfirman:
(7). وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
(8).
أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
(9).
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Artinya: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca itu (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman: 7-9).
Pada ayat tersebut, hukum keseimbangan tidak hanya berlaku pada hukum alam (sunnatullah), tetapi juga terjadi pada hukum Islam. Adapun keseimbangan dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:
a.     Keseimbangan dalam ahkamul khamsah (hukum yang lima). Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ ...
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami [Humaid bin Mas'adah] dari [Yazid] -yaitu Ibnu Zurai'- dari [Ibnu Aun] dari [Asy Sya'bi] dari [An Nu'man bin Basyir] ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perkara yang halal itu telah jelas dan yang haram juga telah jelas...
b.     Hukum keseimbangan dalam rukhshah dan azimah. Menurut az-Zuhaili, ditetapkan hukum rukhshah adalah sebagai keseimbangan atau perbandingan dengan azimah (ketetapan yang harus dilakukan) Misalnya shalat lima waktu, maka boleh orang bepergian itu menqasar shalatnya.
c.     Hukum Islam tidak hanya memprioritaskan formalitas (syari’ah) tetapi juga memprioritaskan subtansial (haqiqah). Ahmad al-Khamsyakhanuwi an-Nakhsyabandi berkata “syari’ah itu apa yang diperintahkan dan hakekat itu apa yang dipahami syari’ah terpilih menjadi satu dengan hakekat, dan hakekat menjadi satu dengan syari’at.” Sedang Anas bin Malik berkata “Barang siapa berfiqh tanpa tasawuf maka ia termasuk fasiq tetapi barang siapa bertasawuf tanpa fiqh maka ia zindiq dan barang siapa memilih kedua-duanya dialah yang dinamakan mutahaqqih (ahli hakekat)”.[5]
d.     Tuntutan kewajiban dalam hukum Islam seimbang dengan tuntutan hak yang diperoleh, sehingga Allah SWT tidak menyia-nyiakan semua amalan manusia. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Fatihah : 5 yang berbunyi:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya:“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)  Dan firman allah SWT dalam Surat Az-Zalzalah: 7- 8 yang berbunyi:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ                                                                                
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Artinya:“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.”
(QS. Az Zalzalah:7-8) .
e.     Tuntutan taklif seimbang dengan kemampuan mukallaf. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): ‘Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286).
f.      Kelapangan dalam kesempitan hukum Islam seimbang dengan kesempitan dalam kelapangannya.[6] Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, syariat Islam merupakan syariat yang paling sempurna, mulia dan merupakan petunjuk yang paling komprehensif. Ia merupakan syariat Allah yang menjadi penutup terhadap syariat-syariat langit sebelumnya. Oleh karena itu, syariat Islam bersifat abadi sehingga Allah mewariskan bumi dan isinya. Syariat Islam akan berlaku terus menerus, kuat dan kokoh sistemnya. Syariat Islam mampu memenuhi tuntutan kehidupan manusia, baik secara personal-individual maupun kolektif sosial. 
2.    Hukum kausalitas (sebab akibat)
Setiap perbuatan manusia tidak lepas dari khitap taklifi, baik yang bernilai positif maupun yang berniali negatif. Hukum kausalitas dalam hukum Islam bertujuan untuk memberikan motivasi dan penghargaan bagi mukallaf yang melaksanakan taklif dan memberikan peringtan bagi mukallaf yang melanggarnya. Allah SWT berfirman dalam Surat Fusshilat  ayat 46 yang berbunyi:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu Menganiaya hamba-hambaNya.”
(QS. Fusshilat : 46).

Di antara kausalitas dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:
a.     Pelanggaran terhadap memelihara agama seperti murtad, maka dikenakan hukum bunuh. Hadits Nabi SAW yang artinya:
أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالتَّارِكُ دِينَهُ الْمُفَارِقُ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami [Bisyr bin Khalid] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ja'far] dari [Syu'bah] dari [Sulaiman], dia berkata; "Saya mendengar [Abdullah bin Murrah] dari [Masruq] dari [Abdullah] dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: 'Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara, yaitu: membunuh jiwa, janda yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya." (Hadits Annasai No 4642)
b.     Pelanggaran terhadap memelihara jiwa dikenakan hukum bunuh, yakni qishash.
Dalam hal ini dapat kita lihat pada firman Allah surah Al-Baqarah ayat 179 yang berbunyi:
Artinya: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang berakal supaya kamu bertaqwa.
Dalam hal ini dimaksud adalah keadilan dan juga bertujuan agar manusia takut melakukannya.
c.     Pelanggaran terhadap memelihara akal seperti minum khamr, narkoba, dan sejenisnya dikenakan hukum cambuk. Hadits Nabi SAW yang artinya:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَال سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَضَرَبَهُ بِجَرِيدَتَيْنِ نَحْوَ الْأَرْبَعِينَ وَفَعَلَهُ أَبُو بَكْرٍ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اسْتَشَارَ النَّاسَ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ كَأَخَفِّ الْحُدُودِ ثَمَانِينَ فَأَمَرَ بِهِ عُمَرُ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ حَدَّ السَّكْرَانِ ثَمَانُونَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar], telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ja'far] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] ia berkata; Aku mendengar [Qatadah] menceritakan dari [Anas] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau didatangi seseorang yang telah meminum khamr, lalu beliau memukulnya dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali, dilakukan juga oleh Abu Bakr. Ketika Umar bermusyawarah dengan orang-orang, maka Abdurarhman bin Auf berkata; Seperti hukuman paling ringan yaitu delapan puluh kali. Maka Umar memerintahkannya. Abu Isa berkata; Hadits Anas adalah hadits hasan shahih, dan menjadi pedoman amal menurut para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selain mereka bahwa hukuman orang yang mabuk adalah delapan puluh kali.  (Hadits Tirmidzi Nomor 1363)
d.     Pelanggaran terhadap memelihara keluarga, seperti zina maka dikenakan hukum cambuk atau rajam. Firman Allah SWT Surat An-Nur ayat 2 yang berbunyi:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
e.     Banyak tidaknya karunia Tuhan ditentukan oleh kreativitas manusia.[7] Allah SWT berfirman dalam Surat An-Najm ayat 39-40 yang berbunyi
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ(39)
Artinya: dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ
Atinya: dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).
Karena itu Allah SWT tidak menyia-nyiakan amalan manusia, semakin banyak amalan manusia semakin banyak pula penghargaan dari Allah SWT.
3.    Hukum Proporsional (‘Adil)
Maksud dari hukum proporsional adalah meletakkan hukum sebagaimana hirarkinya tanpa membolak-balikannya. Hukum ini diterapkan pada hukum Islam karena pada Hukum Islam terdapat susunan kewajiban atau larangan menurut kepentingan, kemaslahatan serta keadilan yang dituju. Seorang mukallaf dituntut untuk meletakkan kepentingan hukum menurut kemaslahatan yang tertinggi atau menghilangkan kerusakan yang terendah.[8]
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Indikasi-indikasi hukum proporsional dalam hukum Islam adalah seagai berikut:[9]
a.          Pada umumnya, kewajiban mencari nafkah kaum laki-laki lebih berat dari pada kaum wanita. Sehingga hukum waris laki-laki mendapatkan dua persatu dari wanita. Firman Allah SWT:
...لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ... ١١
11. ...Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;...
b.          Mengingat ibadah haji memerlukan banyak biaya serta sulit dilaksanakan dibanding rukun Islam lainnya, maka kewajban haji diperuntukkan bagi mukallaf yang mempunyai syarat “Isthatho’a” (kemampuan) dan hanya sekali seumur hidup. Firman Allah SWT:
...وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ...َ ٩٧
97 ...mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah...
c.          Kebutuhan-kebutuhan yang dloruriyah, hajjiyah maupun tahsiniyah harus diletakkan sesuai dengan hirarkinya, demikian juga hirarki kebutuhan dlaruri harus ditempatan pada yang lebih penting, yang mendahulukan memelihara agama dari pada memelihara jiwa, akal maupun kehormatan.
4.    Hukum Prioritas
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Islam sangat menekankan prioritas.[10]Sejalan dengan prinsip dan asas hukum Islam, maka hukum Islam prioritas ditetapkan untuk memelihara kelestarian eksistensi hukum Islam, sehingga dalam keadaan apapun hukum Islam tetap dapat dilaksanakan oleh Mukallaf. Hukum prioritas sejalan dengan hukum rukhsoh, yakni suatu hukum yang memberikan prioritas keringanan dalam melakukan taklif, walaupun amalan itu tidak sesuai dengan syarat maupun rukunnya yang lazim bagi orang sehat. Untuk mewujudkan hukum prioritas, maka dalam hukum Islam ditetapkan hukum wajib mukhoyyar, yaitu tuntutan mengerjakan sesuatu yang diperbolehkan memilih. Misalnya, kafarat sumpah diperbolehkan memilih kemerdekaan budak, atau memberi makan 10 orang miskin atau pakaiannya atau juga berpuasa selama 3 hari.[11]
Hukum Islam memrioritaskan prinsip kemanusiaan dari pada status manusia. Misalnya hukum perbudaaan harus dihapus karena hal itu mengingkari martabat manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dalam keadaan merdeka. Kiat untuk meningkatkan status budak dalam Islam adalah memperbolehkan nikahnya sehingga ia menjadi merdeka. Hal ini terdapat pada QS. An Nisa’ ayat 24-25.[12] Membatalkan hukum perbudakan kecuali tawanana perang, menghilangkan sikap kasar yang digunakan oleh para majikan, memberikan upah budak sesuai dengan pekerjaannya.[13]
Demikian juga, hukum Islam memprioritaskan kafir dlimmah (orang kafir yang dalam perlindungan orang atau aturan Islam) dari pada kafir-kafir yang lain. Disamping kemerdekaan beragama mereka jamin, hukum Islam memberikan hak yang sama pada mereka sebagai anggota warga negara pada umumnya. Hal itu terjadi karena kafir dlimmi telah membayar jizyah yang tidak memberatkan.[14]

 

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1.              Hukum Islam memiliki beberapa maziyah (keistimewaan) dan beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi. Jadi mahsanah hukum Islam adalah keindahan yang terdapat dalam hukum Islam.
2.              mahsanah hukum Islam secara rinci terdapat tujuh yaitu: hukum keseimbangan, kausalitas, profesionalitas, prioritas, rasionalitas, ketergantungan dan emansipasi. Namun dalam makalah ini akan menjelaskan 4 saja yang pada kesimpulannya sebagai berikut:
a.       Hukum keseimbangan atau perimbangan dimana keseimbangan itu dapat menggugah jiwa manusia untuk melaksanakan hukum itu, jadi antara satu dengan satunya salig bertolak dan sesuai.
b.       Hukum kaulitas dimana setiap perbuatan manusia tidak lepas dari khitap taklifi, baik yang bernilai positif maupun yang berniali negatif. Hukum kausalitas dalam hukum Islam bertujuan untuk memberikan motivasi dan penghargaan bagi mukallaf yang melaksanakan taklif dan memberikan peringtan bagi mukallaf yang melanggarnya, jadi ada sebab dan akibat.
c.        Hukum Proporsional (‘Adil) maksudnya adalah meletakkan hukum sebagaimana hirarkinya tanpa membolak-balikannya. Hukum ini diterapkan pada hukum Islam karena pada Hukum Islam terdapat susunan kewajiban atau larangan menurut kepentingan, kemaslahatan serta keadilan yang dituju.
d.       Hukum Prioritas dimana Islam sangat menekankan prioritas.[15]Sejalan dengan prinsip dan asas hukum Islam, maka hukum Islam prioritas ditetapkan untuk memelihara kelestarian eksistensi hukum Islam, sehingga dalam keadaan apapun hukum Islam tetap dapat dilaksanakan oleh Mukallaf. Hukum prioritas sejalan dengan hukum rukhsoh, yakni suatu hukum yang memberikan prioritas keringanan dalam melakukan taklif, walaupun amalan itu tidak sesuai dengan syarat maupun rukunnya yang lazim bagi orang sehat.


DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddiqi, Hasbi. 2001. Falsafah Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Al-Jarjawi, Ali Ahmad. 2006.  Indahnya Syari’at Islam. Jakarta: Gema Insani.
Lajnah Min Ulama al-Azhar. 2004. Hikmah dan Filosofi Ajaran Islam, terj. Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh. Pasuruan: OMIM-ATM PP. Sidogiri.
Sulaiman, Abdullah. 2005. Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasny. Jakarta: Sinar Grafika.
Tharaba, Fahim. 2016.  Hikmatut Tasyri’  Wa Hikmatus Syar’i. Malang: Dream Litra Buana.
Usman, Mukhlis . 2011. Hikmatus Syar’i Sebuah Konsepsi Dasar Filsafat Hukum Islam. Malang: Unit Penerbitan dan Percetakan LBB Yan’s.


[1] Abdullah Sulaiman, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasny, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 79.
[2] Lajnah Min Ulama al-Azhar, Hikmah dan Filosofi Ajaran Islam, terj. Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh, (Pasuruan: OMIM-ATM PP. Sidogiri, 2004),  67.
[3]Hasbi Ash-Shiddiqi, “Falsafah Hukum Islam”, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), 105.
[4] Fahim Tharaba, “Hikmatut Tasyri’  Wa Hikmatus Syar’i”, (Malang: Dream Litra Buana, 2016),  298.
[5]Mukhlis Usman, Hikmatus Syar’i Sebuah Konsepsi Dasar Filsafat Hukum Islam, (Malang: Unit Penerbitan dan Percetakan LBB Yan’s, 2011), 98-99
[6] Abdullah Sulaiman, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),  84-86.
[7] Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syari’at Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2006),  110-111.
[8]Ibid, 43.
[9]Ibid, 43-44.
[10]Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’  Wa Hikmatus Syar’i, 300.
[11] Muchlis Usman, Hikmatus Syar’i Sebuah Konsepsi Dasar Filsafat Hukum Islam, 44.
[12]Ibid, 44-45.
[13]Hasbi Ash-Shiddiqi, Falsafah Hukum Islam, 131.
[14]Ibid, 134.
[15]Fahim Tharaba, “Hikmatut Tasyri’  Wa Hikmatus Syar’i”, 300.

Komentar