MAHSANAH-MAHSANAH
HUKUM ISLAM
(keseimbangan,
kausalitas, proporsionalitas, dan
prioritas)
Oleh: Ali
Hasan Assidiqi dan Mela Zita A’yuni
1.1 Latar Belakang
Di
balik hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban syari’at yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT kepada kita, terkandung rahasia-rahasia yang mendalam dan
hikmah-hikmah yang menakjubkan, yang semuanya mencengangkan akal pikiran dan
memuaskan batin manusia. Syari’at Islam mempunyai beberapa mahsanah (keindahan)
yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi
hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Syari’at
Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa itu tidak hanya seperangkat aturan yang
menjadi sarana untuk ber-ubudiah semata, yang kita hanya diwajibkan untuk
menjalankannya dengan sebaik-baiknya tanpa harus mencari hikmah yang terkandung
di dalamnya. Ia adalah kumpulan semua kebajikan yang
sangat banyak pintunya dan amat beragam jenisnya, di samping memiliki
kaifiyat-kaifiyat tersendiri dalam menunaikannya.
Dalam
hukum Islam terdapat beberapa mahsanah
(keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan
dapat memenuhi hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat.
Syariat Islam yang mulia ini telah diturunkan oleh
Allah sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini
yang tidak dapat menjalankan syariat Islam. Sedangkan keindahan itu apabila
dipraktekkan bersama ajaran-ajaran Islam lain nicaya akan membentuk suatu umat
yang ideal yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan
dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang utama.[1]
Di antara bukti bahwa indahnya syariat Islam adalah bahwa tidak adanya bahaya
dalam syariat Islam dan Islam mengatur para pemeluknya untuk tidak menimbulkan
bahaya pada orang lain. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah
SAW bahwa beliau bersabda yang artinya, “Tidak ada bahaya dalam syariat
Islam dan tidak menimbulkan bahaya” (HR. Ibnu Majah, Daruquthni, Malik dan
Hakim, Shohih).[2]
Oleh karena itu dalam makalah kali ini penulis akan membahas tentang
mahsanah-mahsanah hukum Islam yang meliputi: Keseimbangan, kausalitas,
proporsionalitas, dan prioritas.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
mahsanah-mahsanah hukum Islam?
2.
Bagaimana macam-macam mahsanah
hukum Islam dalam hukum keseimbangan, kausalitas, proporsionalitas, dan prioritas?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian mahsanah-mahsanah hukum Islam.
2. Untuk
mengetahui macam-macam mahsanah hukum Islam dalam hukum keseimbangan, kausalitas,
proporsionalitas, dan prioritas.
2.1 Pengertian
Mahsanah Hukum Islam
Hukum
Islam memiliki beberapa maziyah (keistimewaan) dan beberapa mahsanah
(keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan
dapat memenuhi hajad manusia serta menjamin ketenangan daan kebahagiaan
masyarakat. Sedangkan keistimewaan dan keindahan itu apabila dipraktekan
bersama ajaran-ajaran Islam lain niscaya akan membentuk suatu umat yang ideal
yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan dan kehidupan
yang baik serta kemajuan yang utama.[3]
Dalam mahsanah hukum Islam secara rinci terdapat tujuh yaitu: hukum
keseimbangan, kausalitas, profesionalitas, prioritas, rasionalitas,
ketergantungan dan emansipasi.[4]
2.2 Macam-Macam
Mahsanah Hukum Islam
1. Hukum
Keseimbangan
Dalam hukum
Islam terdapat keseimbangan atau perimbangan dimana keseimbangan itu dapat
menggugah jiwa manusia untuk melaksanakan hukum itu. Dalam Surat Ar-Rahman ayat
7-9 Allah SWT berfirman:
(7). وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
(8). أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
(9). وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
(8). أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
(9). وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Artinya: “Dan
Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca itu (keadilan), supaya
kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman:
7-9).
Pada
ayat tersebut, hukum keseimbangan tidak hanya berlaku pada hukum alam (sunnatullah),
tetapi juga terjadi pada hukum Islam. Adapun
keseimbangan dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:
a.
Keseimbangan dalam ahkamul
khamsah (hukum yang lima). Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ ...
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami [Humaid bin Mas'adah] dari
[Yazid] -yaitu Ibnu Zurai'- dari [Ibnu Aun] dari [Asy Sya'bi] dari [An Nu'man
bin Basyir] ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Perkara yang halal itu telah jelas dan yang haram juga
telah jelas...
b. Hukum
keseimbangan dalam rukhshah dan azimah. Menurut az-Zuhaili, ditetapkan hukum
rukhshah adalah sebagai keseimbangan atau perbandingan dengan azimah (ketetapan
yang harus dilakukan). Misalnya
shalat lima waktu, maka boleh orang bepergian itu menqasar shalatnya.
c. Hukum Islam tidak hanya memprioritaskan formalitas (syari’ah) tetapi juga
memprioritaskan subtansial (haqiqah). Ahmad al-Khamsyakhanuwi an-Nakhsyabandi
berkata “syari’ah itu apa yang diperintahkan dan hakekat itu apa yang
dipahami syari’ah terpilih menjadi satu dengan hakekat, dan hakekat menjadi
satu dengan syari’at.” Sedang Anas bin Malik berkata “Barang siapa
berfiqh tanpa tasawuf maka ia termasuk fasiq tetapi barang siapa bertasawuf
tanpa fiqh maka ia zindiq dan barang siapa memilih kedua-duanya dialah yang
dinamakan mutahaqqih (ahli hakekat)”.[5]
d. Tuntutan
kewajiban dalam hukum Islam seimbang dengan tuntutan hak yang diperoleh,
sehingga Allah SWT tidak menyia-nyiakan semua amalan manusia. Allah SWT
berfirman dalam Surat
Al-Fatihah : 5 yang berbunyi:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya:“Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5) Dan firman allah SWT dalam Surat Az-Zalzalah: 7- 8 yang
berbunyi:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
وَمَنْ
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Artinya:“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az Zalzalah:7-8) .
Artinya:“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az Zalzalah:7-8) .
e.
Tuntutan taklif seimbang dengan
kemampuan mukallaf. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا
لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ
عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا
وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا
وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(mereka berdoa): ‘Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa
atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami
memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong
Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286).
f.
Kelapangan dalam kesempitan hukum
Islam seimbang dengan kesempitan dalam kelapangannya.[6] Sebagaimana yang telah
kita ketahui bersama, syariat Islam merupakan syariat yang paling sempurna,
mulia dan merupakan petunjuk yang paling komprehensif. Ia merupakan syariat
Allah yang menjadi penutup terhadap syariat-syariat langit sebelumnya. Oleh
karena itu, syariat Islam bersifat abadi sehingga Allah mewariskan bumi dan
isinya. Syariat Islam akan berlaku terus menerus, kuat dan kokoh sistemnya.
Syariat Islam mampu memenuhi tuntutan kehidupan manusia, baik secara
personal-individual maupun kolektif sosial.
2. Hukum
kausalitas (sebab akibat)
Setiap
perbuatan manusia tidak lepas dari khitap taklifi, baik yang bernilai positif
maupun yang berniali negatif. Hukum kausalitas dalam hukum Islam bertujuan
untuk memberikan motivasi dan penghargaan bagi mukallaf yang melaksanakan
taklif dan memberikan peringtan bagi mukallaf yang melanggarnya. Allah SWT
berfirman dalam Surat
Fusshilat ayat 46 yang berbunyi:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ
ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fusshilat : 46).
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fusshilat : 46).
Di antara kausalitas
dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:
a.
Pelanggaran terhadap memelihara
agama seperti murtad, maka dikenakan hukum bunuh. Hadits Nabi SAW yang artinya:
أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي
وَالتَّارِكُ دِينَهُ الْمُفَارِقُ
Artinya: Telah
mengabarkan kepada kami [Bisyr bin Khalid] telah menceritakan kepada kami
[Muhammad bin Ja'far] dari [Syu'bah] dari [Sulaiman], dia berkata; "Saya
mendengar [Abdullah bin Murrah] dari [Masruq] dari [Abdullah] dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: 'Tidak halal darah seorang muslim
kecuali dengan salah satu dari tiga perkara, yaitu: membunuh jiwa, janda yang
berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya." (Hadits Annasai No 4642)
b.
Pelanggaran terhadap memelihara
jiwa dikenakan hukum bunuh, yakni qishash.
Dalam hal ini dapat kita lihat pada firman Allah surah
Al-Baqarah ayat 179 yang berbunyi:
Artinya: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang berakal supaya kamu bertaqwa.
Dalam hal ini dimaksud adalah keadilan dan juga bertujuan
agar manusia takut melakukannya.
c.
Pelanggaran terhadap memelihara
akal seperti minum khamr, narkoba, dan sejenisnya dikenakan hukum cambuk.
Hadits Nabi SAW yang artinya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَال سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ
شَرِبَ الْخَمْرَ فَضَرَبَهُ بِجَرِيدَتَيْنِ نَحْوَ الْأَرْبَعِينَ وَفَعَلَهُ
أَبُو بَكْرٍ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اسْتَشَارَ النَّاسَ فَقَالَ عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ كَأَخَفِّ الْحُدُودِ ثَمَانِينَ فَأَمَرَ بِهِ عُمَرُ
قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى
هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ حَدَّ السَّكْرَانِ ثَمَانُونَ
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar], telah menceritakan kepada
kami [Muhammad bin Ja'far] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] ia berkata;
Aku mendengar [Qatadah] menceritakan dari [Anas] dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwa beliau didatangi seseorang yang telah meminum khamr, lalu beliau
memukulnya dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali, dilakukan juga
oleh Abu Bakr. Ketika Umar bermusyawarah dengan orang-orang, maka Abdurarhman
bin Auf berkata; Seperti hukuman paling ringan yaitu delapan puluh kali. Maka
Umar memerintahkannya. Abu Isa berkata; Hadits Anas adalah hadits hasan shahih,
dan menjadi pedoman amal menurut para ulama dari kalangan sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan selain mereka bahwa hukuman orang yang mabuk
adalah delapan puluh kali. (Hadits
Tirmidzi Nomor 1363)
d.
Pelanggaran terhadap memelihara keluarga,
seperti zina maka dikenakan hukum cambuk atau rajam. Firman Allah SWT Surat
An-Nur ayat 2 yang berbunyi:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ
جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا
طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.
e.
Banyak tidaknya karunia Tuhan
ditentukan oleh kreativitas manusia.[7]
Allah SWT berfirman dalam Surat
An-Najm ayat 39-40 yang berbunyi
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ(39)
Artinya: dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ
Atinya: dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan
(kepadanya).
Karena
itu Allah SWT tidak menyia-nyiakan amalan manusia, semakin banyak amalan
manusia semakin banyak pula penghargaan dari Allah SWT.
3. Hukum Proporsional (‘Adil)
Maksud
dari hukum proporsional adalah meletakkan hukum sebagaimana hirarkinya tanpa
membolak-balikannya. Hukum ini diterapkan pada hukum Islam karena pada Hukum
Islam terdapat susunan kewajiban atau larangan menurut kepentingan,
kemaslahatan serta keadilan yang dituju. Seorang mukallaf dituntut untuk
meletakkan kepentingan hukum menurut kemaslahatan yang tertinggi atau
menghilangkan kerusakan yang terendah.[8]
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Indikasi-indikasi
hukum proporsional dalam hukum Islam adalah seagai berikut:[9]
a.
Pada umumnya, kewajiban mencari nafkah kaum laki-laki lebih berat dari pada
kaum wanita. Sehingga hukum waris laki-laki mendapatkan dua persatu dari
wanita. Firman Allah SWT:
...لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ
ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ... ١١
11. ...Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan;...
b.
Mengingat ibadah haji memerlukan banyak biaya serta sulit dilaksanakan
dibanding rukun Islam lainnya, maka kewajban haji diperuntukkan bagi mukallaf
yang mempunyai syarat “Isthatho’a” (kemampuan) dan hanya sekali seumur hidup.
Firman Allah SWT:
...وَلِلَّهِ عَلَى
ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ...َ
٩٧
97 ...mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah...
c.
Kebutuhan-kebutuhan yang dloruriyah, hajjiyah maupun tahsiniyah harus
diletakkan sesuai dengan hirarkinya, demikian juga hirarki kebutuhan dlaruri
harus ditempatan pada yang lebih penting, yang mendahulukan memelihara agama
dari pada memelihara jiwa, akal maupun kehormatan.
4.
Hukum Prioritas
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ
الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan
keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Islam
sangat menekankan prioritas.[10]Sejalan
dengan prinsip dan asas hukum Islam, maka hukum Islam prioritas ditetapkan
untuk memelihara kelestarian eksistensi hukum Islam, sehingga dalam keadaan
apapun hukum Islam tetap dapat dilaksanakan oleh Mukallaf. Hukum prioritas
sejalan dengan hukum rukhsoh, yakni suatu hukum yang memberikan prioritas
keringanan dalam melakukan taklif, walaupun amalan itu tidak sesuai dengan
syarat maupun rukunnya yang lazim bagi orang sehat. Untuk mewujudkan hukum
prioritas, maka dalam hukum Islam ditetapkan hukum wajib mukhoyyar, yaitu
tuntutan mengerjakan sesuatu yang diperbolehkan memilih. Misalnya, kafarat
sumpah diperbolehkan memilih kemerdekaan budak, atau memberi makan 10 orang
miskin atau pakaiannya atau juga berpuasa selama 3 hari.[11]
Hukum
Islam memrioritaskan prinsip kemanusiaan dari pada status manusia. Misalnya
hukum perbudaaan harus dihapus karena hal itu mengingkari martabat manusia
sebagai makhluk yang dilahirkan dalam keadaan merdeka. Kiat untuk meningkatkan
status budak dalam Islam adalah memperbolehkan nikahnya sehingga ia menjadi
merdeka. Hal ini terdapat pada QS. An Nisa’ ayat 24-25.[12]
Membatalkan hukum perbudakan kecuali tawanana perang, menghilangkan sikap kasar
yang digunakan oleh para majikan, memberikan upah budak sesuai dengan
pekerjaannya.[13]
Demikian
juga, hukum Islam memprioritaskan kafir dlimmah (orang kafir yang dalam
perlindungan orang atau aturan Islam) dari pada kafir-kafir yang lain.
Disamping kemerdekaan beragama mereka jamin, hukum Islam memberikan hak yang
sama pada mereka sebagai anggota warga negara pada umumnya. Hal itu terjadi
karena kafir dlimmi telah membayar jizyah yang tidak memberatkan.[14]
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Hukum Islam memiliki beberapa
maziyah (keistimewaan) dan beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum
Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi. Jadi mahsanah hukum
Islam adalah keindahan yang terdapat dalam hukum Islam.
2.
mahsanah hukum Islam secara
rinci terdapat tujuh yaitu: hukum keseimbangan, kausalitas, profesionalitas,
prioritas, rasionalitas, ketergantungan dan emansipasi. Namun dalam makalah ini
akan menjelaskan 4 saja yang pada kesimpulannya sebagai berikut:
a.
Hukum keseimbangan atau perimbangan
dimana keseimbangan itu dapat menggugah jiwa manusia untuk melaksanakan hukum
itu, jadi antara satu dengan satunya salig bertolak dan sesuai.
b.
Hukum kaulitas dimana setiap perbuatan
manusia tidak lepas dari khitap taklifi, baik yang bernilai positif maupun yang
berniali negatif. Hukum kausalitas dalam hukum Islam bertujuan untuk memberikan
motivasi dan penghargaan bagi mukallaf yang melaksanakan taklif dan memberikan
peringtan bagi mukallaf yang melanggarnya, jadi ada sebab dan akibat.
c.
Hukum Proporsional
(‘Adil) maksudnya adalah meletakkan hukum sebagaimana hirarkinya tanpa
membolak-balikannya. Hukum ini diterapkan pada hukum Islam karena pada Hukum
Islam terdapat susunan kewajiban atau larangan menurut kepentingan,
kemaslahatan serta keadilan yang dituju.
d.
Hukum Prioritas dimana Islam
sangat menekankan prioritas.[15]Sejalan
dengan prinsip dan asas hukum Islam, maka hukum Islam prioritas ditetapkan
untuk memelihara kelestarian eksistensi hukum Islam, sehingga dalam keadaan
apapun hukum Islam tetap dapat dilaksanakan oleh Mukallaf. Hukum prioritas
sejalan dengan hukum rukhsoh, yakni suatu hukum yang memberikan prioritas
keringanan dalam melakukan taklif, walaupun amalan itu tidak sesuai dengan
syarat maupun rukunnya yang lazim bagi orang sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddiqi, Hasbi. 2001. Falsafah Hukum Islam.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Al-Jarjawi,
Ali Ahmad. 2006. Indahnya Syari’at
Islam. Jakarta: Gema Insani.
Lajnah Min
Ulama al-Azhar. 2004. Hikmah dan Filosofi Ajaran Islam, terj. Hikmat
al-Tasyri’ wa Falsafatuh. Pasuruan: OMIM-ATM PP. Sidogiri.
Sulaiman,
Abdullah. 2005. Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasny. Jakarta:
Sinar Grafika.
Tharaba,
Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’i. Malang: Dream Litra
Buana.
Usman, Mukhlis
. 2011. Hikmatus Syar’i Sebuah Konsepsi Dasar Filsafat Hukum Islam.
Malang: Unit Penerbitan dan Percetakan LBB Yan’s.
[1]
Abdullah Sulaiman, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasny, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 79.
[2]
Lajnah Min Ulama al-Azhar, Hikmah dan Filosofi Ajaran Islam, terj.
Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh, (Pasuruan: OMIM-ATM PP. Sidogiri, 2004), 67.
[3]Hasbi Ash-Shiddiqi, “Falsafah Hukum Islam”,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), 105.
[5]Mukhlis
Usman, Hikmatus Syar’i Sebuah Konsepsi Dasar Filsafat Hukum Islam, (Malang: Unit Penerbitan dan
Percetakan LBB Yan’s, 2011), 98-99
[6]
Abdullah Sulaiman, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
(Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), 84-86.
[8]Ibid, 43.
[9]Ibid, 43-44.
[10]Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’i, 300.
[12]Ibid, 44-45.
[13]Hasbi Ash-Shiddiqi, Falsafah Hukum Islam, 131.
[14]Ibid, 134.
[15]Fahim Tharaba, “Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’i”, 300.
Komentar
Posting Komentar