KONSEP TAKWIL NASKH MURADHIF DAN MUSYTARAK


KONSEP TAKWIL NASKH MURADHIF DAN MUSYTARAK
Oleh : Nur Fitriana (16110002) dan Setiawan Abdurrahman (13110239)
(Mahasiswa PAI B UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

Abstract
                This article will discuss the concept of takwil nasakh and muradif musytarak. The purpose of this article is to find out how the process of taking Islamic law through takwil, naskh, muradif, and musytarak. Takwil is turning a verse to another meaning because there is a new proposition that removes the old argument. In defining naskh there are differences of opinion between the mutaqaddimin and mutaakhirin scholars, because etymologically naskh contains various meanings, including replacing, deleting, canceling. Muradif is a synonym or similarity of meaning. While musytarak is a lafadz which is formed by two or more meanings.

Abstrak
                Artikel ini akan membahas mengenai konsep takwil, nasakh dan muradhif musytarak. Adapun tujuan ditulisnya artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pengambilan hukum Islam melalui takwil, naskh, muradif, dan musytarak. Takwil merupakan memalingkan suatu ayat kepada arti lain dikarenakan ada suatu dalil yang baru  yang menghapus dalil lama. Sementara itu dalam mendefinisikan naskh terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin, karena secara etimologi naskh mengandung arti yang bermacam-macam, diantaranya mengganti, menghapus, membatalkan. Adapun muradhif merupakan sinonim atau persamaan makna. Sedangkan musytarak yaitu suatu lafadz yang dibentuk oleh dua arti atau lebih.

Kata Kunci : Takwil, Naskh, Muradhif, dan Musytarak

A.      Pendahuluan
       Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber utama hokum Islam ada dua yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril. Sedangkan Hadits merupakan segala perkataan, perbuatan, dan taqrir nabi Muhammad SAW. Hadits merupaan sumber hokum kedua setelah Al-Quran.[1]
        Al-Qur’an selalu sesuai dengan perkembangan zaman, karena itu banyak ulama yang mengkaji isi kandungan Al-Qur’an ini. Adapun dalam memahami kandungan ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan takwil, naskh, muradif, dan musytarak. Dalam melalakukan pengkajian tentunya ulama-ulama banyak memiliki perbedaan pendapat, dan hal tersebut merupakan suatu kewajaran. Karena Rasulullah sendiri pernah bersabda bahwa “ikhtilaf atau perbedaan diantara ummatku adalah suatu rahmat”. Oleh karena itu dalam menyikapi perbedaan ini hendaknya kita saling menghormati perbedaan orang lain. Focus kajian dalam artikel ini adalah membahas masalah konsep takwil, naskh, muradif serta musytarak

B.       Takwil
1.        Pengertian Takwil
                                Untuk memahami teks al-Qur’an secara mendalam tentunya membutuhkan sebuah kajian yang mendalam pula. Selain dengan menggunakan tafsir, takwil adalah jalan yang digunakan untuk memperdalam makan tafsir.[2] Secara etimologis kata al-Takwil (التّأويل) berasal dari kata awwala - yu’awwilu   (أوّل - يؤوّل) yang berarti penjelasan, adapun arti ini sama dengan arti kata al-tafsir (التّفسير)  yang artinya uraian, atau al-marja’ (المرجع)  yang berarti tempat kembali atau al-jaza’ (الجزاء)  artinya balasan.[3] Sedangkan menurut terminologi, pendefinisian takwil banyak terdapat perbedaan dikalangan ulama ahli ushul, diantaranya sebagai berikut :
a.        Menurut al-Amidiy
التّأويل هو حمل اللّفظ على غير مدلوله الظّاهر منه مع احتماله بدليل يعضّده
Artinya : Takwil adalah membawa lafadz dzahir yang mempunyai probabilitas (kemungkinan) kepada arti yang lain dengan didukung dalil.
b.        Menurut abdul wahab khalaf
التّأويل هو صرف الّلفظ عن ظاهر بدليل
                Artinya : Takwil adalah memalingkan lafadz dari arti lahiriahnya      karena ada dalil.
                                Dari beberapa pendapat ulama ushul tersebut dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa takwil yaitu memindahkan suatu perkataan dari arti yang sudah jelas (dzahir) kepada arti yang tidak jelas (lemah), karena ada kemungkinan bahwa arti yang tidak jelas ini lebih sesuai disebabkan suatu alasan yang kuat. Takwil harus didasarkan pada beberapa ilmu yang berhubungan dengan teks, diantaranya yaitu tafsir. Seorang Muawwil (orang yang melakukan takwil) harus mengetahui seluk beluk tafsir sehingga ia dapat memberikan takwil yang tepat dan dapat diterima, yaitu takwil yang tidak menundukkan suatu teks untuk kepentingan yang sifatnya subjektif. Inilah yang dikatakan para ulama klasik sebagai takwil yang terlarang dan bertentangan dengan makna teks baik yang tersirat maupun yang tersurat.[4]

2.        Syarat-Syarat Takwil
Pada dasarnya takwil berawal dari teks dan susunan gaya bahasanya (uslub). Adapun pentakwilan suatu teks dilakukan dengan tujuan agar para mujtahid tidak salah ketika melakukan ijtihad bir-ra’yu (ijtihad dengan menggunakan akal). Syarat-syarat takwil diambil dari suatu teks syariah yang sudah tersedia, sehingga akan diperoleh hasil pentakwilan yang bisa dianggap benar dan dapat diterima. [5]Berikut ini syarat-syarat takwil :
a.        Lafadz yang ditakwil harus memiliki kriteria lafadz yang boleh ditakwil dan masih dalam ranah kajiannya, seperti berikut ini:
1)       Sesuai dengan tata bahasa Arab
2)       Dapat dipakai sepanjang pengertian bahasa
3)       Lafadz harus sesuai syara’ dan istilah yang sudah ada sebelumnya.[6]
b.        Takwil haruslah didasari dalil yang sahih yang mana statusnya bisa menguatkan hasil takwilnya. Tetapi jika dalil yang sudah ada tafsir dan hukumnya sudah ditetapkan, maka dalil tersebut tidak bisa ditakwil meskipun kelompok Hanafiyah memperbolehkan takwil terhadap nash yang sifatnya dhahir dan semua dalil yang mengatur masalah syariat Islam. Sebagai contoh dalam hadits riwayat Bukhari :
اِنَّ الْمَيِّتَ يُعَقَّبُ بِبُكَاء اَهْلِهِ
Artinya: sesungguhnya mayat disiksa dengan tangisan keluarganya.
Hadits tersebut dibantah oleh istri Nabi saw, Siti Aisyah karena kontradiksi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 164:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ اُخْرَى
Oleh karena itu, ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits tersebut  harus ditakwilkan dengan mentaqyidkan lafadz hadits dengan melihat keadaan mayit semasa hidupnya. Dengan pentakwilan seperti itu, apa yang dimaksud dalam ayat tersebut tidak kontradiksi dengan hadits tersebut, oleh sebab itu kedua dalil dapat kita amalkan secara bersamaan.[7]
c.        Lafadz takwil harus mengandung arti yang telah dihasilkan dari takwil bahasa.  Adapun pentakwilan itu dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual, atau majaz (perumpamaan), atau bisa juga dengan dasar yang berasal dari bahasa yang sudah dibakukan. Hal ini dilakukan sebagai wujud realisasi maksud pembuat syariah dari sisi artinya. Dengan itu, lafadz pembuat syariah tetap berdasarkan hasil pemahaman maksud dari syariah yang sesuai dengan kebiasaan penggunaannya.[8]
d.        Takwil itu tidak boleh bertentangan dengan dalil yang qath’iy (pasti). Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut maka takwil dianggap tidak sah, karena takwil adalah salah satu cara ijtihad yang kehujjahannya bersifat dhanni. Sedangkan teorinya sesuatu yang bersifat dhanni tidak bisa melawan sesuatu yang bersifat qath’iy. Contohnya yaitu mentakwilkan cerita sejarah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan cara mengubah arti dhahirnya menjadi cerita sejarah yang fiksi, hal tersebut bertentangan dengan ayat yang qath’iy sebagai suatu realitas sejarah.[9]
e.        Arti hasil pentakwilan nash haruslah lebih kuat daripada arti lahiriahnya dengan diperkuat dengan dalil-dalil. Adapun berikut ini cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui apakah pentakwilan nash itu lebih kuat dari arti lahirnya:
1)       Ibaratun nash / pemahaman yang diperoleh secara tekstual.
2)       Isyaratun nash / pemahaman yang diperoleh secara kontekstual.
3)       Dalalatun nash / pemahaman yang diperoleh secara logis.
4)       Iqtidla’/ pemahaman yang menjadi kehendak nash itu sendiri.
       Jika dalam penerapannya masih terdapat kontradiksi diantara sempat cara tersebut, maka harus tetap mendahulukan yang ibaratun nash dari isyaratun nash, kedua cara tersebut harus didahulukan dari dalalatun nash kemudian baru menggunakan iqtidla’. [10]

3.        Klasifikasi Takwil
Terkadang takwil tidak memerlukan dalil, tetapi bisa berdasarkan pemhamanan akal, teks, dan kontekstual. Berdasarkan hal tersebut, takwil dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu takwil qarib dan takwil ba’id.
a.        Takwil Qarib
Takwil qarib adalah takwil yang pentakwilannya berdasarkan dalil terendah, yaitu pemahaman logis, tekstual, dan kontekstual. Contoh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Pada ayat tersebut jika kita artikan secara lafal atau lahiriah, berarti kewajiban berwudhu itu dilakukan setelah sholat. Nah arti ini bertentangan dengan syarat sah shalat yaitu harus berwudhu terlebih dahulu sebelum shalat. Syarat harus didahulukan, baik menurut pemahaman akal  maupun syara’. Maka lafal اذا كمتم الى الصلاة   harus ditakwilkan dengan mengubah arti hakikinya (اذا فعلتم)  kepada arti majazinya yaitu اذا اردتم / اذا عزمتم . [11]
b.        Takwil Ba’id
Takwil ba’id yaitu takwil yang syaratnya tidak dapat dipenuhi dalam pentakwilan yang didasarkan dalil terendah. Jika kemudian ditemukan adanya penyimpangan dari syarat tersebut maka takwil harus ditolak. Contoh dalam QS. Al-Maidah : 89
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
Artinya : maka kafarat (sanksi) sumpah adalah memberi makan sepuluh orang miskin
Pada ayat tersebut, lafadz nash memberikan petunjuk adanya keharusan memberi makan fakir miskin dalam jumlah tertentu yaitu sepuluh orang. Adapun ‘adad (bilangan sepuluh) adalah suatu lafadz khusus yang memiliki kualitas qath’iy. Ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam mentakwilkan ayat tersebut, adapun ulama tersebut antara lain:
1)       Ulama kalangan Hanafiyah mentakwilkan lafadz  عشرة مساكين menggunakan arti yang tidak tercantum dalam lafadz tersebut. Adapun ulama Hanafiyahh mentakwilkan ayat tersebut dengan arti “ memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin” atau “memberi makanan kepada satu orang miskin saja tetapi dengan kadar sepuluh makanan”.
2)       Ulama kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa pentakwilan seperti diatas merupakan takwil ba’id dan dianggap batal dikarenakan beberap sebab yaitu :
a)        Lafadz عشرة مساكين adalah lafadz yang khusus dan menunjukkan arti qath’iy, maka tidak perlu ditakwilkan lagi.
b)       Adapun hikmah dan sasaran diharuskannya membagi makanan sesuai ukuran harta yang wajib dikeluarkan adalah agar kemanfaatannya dapat dirasakan oleh orang banyak.
c)        Sedangkan penambahan lafadz طعام  jika dimunculkan dalam nash akan menjadi :
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ
Oleh karena itu, istinbath hukum yang dilakukan dengan cara takwil, dapat didasarkan pada pemahaman syariat umum, nash lain, ketetapan dari ijma’ atau mengkompromikan hukum syara’ dengan menyeluruh, baik yang bersifat juziyyah, kulliyyah, dalalatun nash ataupun maqashidnya.[12]
C.      Naskh
1.        Pengertian
                Secara bahasa, naskh (النسخ)  dalam bahasa Arab digunakan dengan arti  yang berarti menghilangkan atau meniadakan, النقل yang berarti memindah, التحويل yang berarti merubah, atau التبديل  atau mengganti. Sedangkan naskh menurut istilah yaitu:
النّسخ رفع حكمٍ شرعيٍّ عن المكلف بحكمٍ شرعيٍّ مِثْله متأحِّر
Yang artinya “ Naskh ialah pembatalan suatu hukum syara’ yang telah ditetapkan pada masa yang lebih dulu dari orang mukallaf dengan hukum yang datangnya kemudian hari”.[13]
                                Adapun Abu Husein al-Bashri berpendapat bahwa naskh hakikatnya yaitu menghilangkan, sedangkan pemakaiannya dimaksudkan untuk kiasan (majazi). Abu Husein berargumen bahwa jika naskh diartikan dengan memindahkan dalam ucapan, “saya menaskhkan buku itu” pernyataan tersebut bermakna majazi karena hakikatnya apa yang ada di dalam buku tersebut tidak mungkin dipindahkan karena masih tetap ada disana. [14]
                                Dalam mendefinisikan arti naskh secara terminologi, para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin memiliki pendapat yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak lain adalah bersumber pada pengertian naskh secara etimologi yang bermacam-macam sebagaimana disebutkan diatas. Adapun makna naskh yang ditetapkan oleh ulama mutaqaddimin meliputi: 1) Hukum yang telah ada akan dibatalkan oleh hukum yang datangnya kemudian, 2) pengkhususan hukum bersifat “amm oleh hukum yang datangnya kemudian yang sifatnya lebih khusus, 3) Penjelasan atau bayan yang datangnya kemudian itu bersifat samar. Dari beberapa pernyataan tersebut dapat kita peroleh pemahaman bahwa makna naskh secara etimologis menurut ulama mutaqoddimin adalah dimaknai secara luas, efeknya tidak menyebabkan suatu hukum terhapus oleh hukum lain. Adapun naskh dalam perspektif ulama mutaqaddimin lebih seperti pembatasan, pengkhususan, bahkan suatu pengecualian hukum. [15]
          Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, naskh diartikan lebih sempit layaknya suatu amandemen yang mana dalil yang datang kemudian sifatnya menggugurkan atau menghilangkan dalil hukum yang datang lebih dulu.
Adapun unsur yang harus ada dalam naskh ada 4, yaitu:
a.        Naskh atau pernyataan yang menunjukkan pembatalan hukum yang sebelumnya sudah ada.
b.        Dalil naskh yaitu dalil yang menaskh atau menghapus hukum yang telah ada dan datangnya kemudian.
c.        Mansukh itu adalah hukum yang kemudian dibatalkan atau dihapuskan.
d.        Mansukh ‘anhu yaitu orang yang dibebani hukum atad dalil penaskhan tersebut.[16]
2.        Syarat-syarat Naskh
Yang perlu menjadi perhatian disini adalah sejauh mana jangkauan dari naskh itu, apakah semua ketentuan hukum syariat bisa dijangkau oleh naskh atau tidak? Oleh karena itu, Abu Anwar memaparkan beberapa syarat naskh yaitu:
a.        Hukum yang mansukh atau yang datangnya lebih dulu adalah hukum syara’. Sedangkan naskh hanya berlaku untuk dalil yang menunjukkan adanya perintah (amr) dan larangan (nahyu), disamping itu dalil yang mengatur akhlak, ibadah, akidah, serta janji dan ancaman tidak bisa dinaskh.
b.        Adapun dalil yang digunakan untuk menghapus hukum adalah dalil yang datang kemudian.
c.        Dalil yang mansukh tidak terikat oleh waktu, karena jika terikat waktu hukum itu bisa berakhir.
Dalam hal syarat naskh ini, Quraish Shihab menambahkan dua syarat barulah naskh bisa dilakukan yaitu: 1) Adanya dua dalil hukum yang saling kontradiksi sehingga tidak dapat dikompromikan, 2) Urut-urutan turunnya ayat hukum tersebut harus diketahui terlebih dahulu. [17]
3.        Hukum Naskh
a.        Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama yang menyatakan kebolehan menggunakan naskh dalam Islam, semuanya sepakat akan kebolehan menaskh al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
b.        Naskh Al-Qur’an dengan as-Sunnah
Naskh ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1)       Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Ahad,
Dalam menanggapi hal ini jumhur ulama berpendapat bahwa sunnah ahad itu tidak bisa atau tidak sah jika menaskh al-Qur’an. Alasannya adalah Al-Qur’an sudah jelas merupakan nash yang mutawatir (qath’iy) dan hadits ahad adalah nash yang bersifat dzanni. Ulama Dzahiri berdasarkan penukilan Ibnu Hazm sepakat akan kebolehan menaskh al-Qur’an dengan Sunnah, baik sunnah ahad maupun sunnah mutawatirah. [18]
2)       Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatirah
Dalam menanggapi naskh model ini, para ulama memiliki pendapat yang berbeda, diantaranya Imam Malik, Imam Abu Hanifah, serta Imam Ahmad dalam suatu riwayat memperbolehkan naskh semacam ini dengan dasar firman Allah dalam QS. An-Najm: 4-5
وما ينطق عن الهوى، إن هو إلاّ وحيٌ يوحيَ
Artinya : Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Dapun ucapan seperti itu tidak lain hanya wahyu yang kemudian diwahyukan kepadanya.
Sementara itu, Imam Asy-Syafi’i, Dzahiriyah, dan Imam Ahmad menolak naskh semacam ini dengan dasar argumentasi dari firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah: 106.
ما ننسح من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثاها
Artinya : Apa saja ayat yang Kami naskhkan, atau kami melupakannya (kepada manusia), niscaya kami datangkan yang lebih baik atau sebanding dengannya.[19]
c.        Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an
 Jumhur ulama memperbolehkan adanya naskh semacam ini. Contoh menghadap ke arah baitul maqdis ketika sholat yang telah ditetapkan oleh Sunnah yang kemudian dinaskh oleh ayat Al-Qur’an dalam QS. Al-Baqarah : 144 berikut ini.
.... فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ  ....
Artinya: …maka hadapkanlah wajahmu menuju masjidil haram….[20]
                                Dalam hal ini, Imam Syafi’I dalam salah satu qaulnya mengatakan bahwa tidak boleh menaskh al-Qur’an dengan Sunnah dan tidak boleh menaskh Sunnah dengan Al-Qur’an. Jika ditemukan dalil Al-Qur’an yang kelihatannya menaskh Sunnah, maka sebenarnya disamping Al-Qur’an ada Sunnah yang menjelaskan adanya kesersian antara Al-Qur’an dan Sunnah.
d.        Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah
Contoh naskh Sunnah dengan Sunnah terdapat dalam hadits Nabi riwayat Muslim ketika Nabi menerima sebuah laporan bahwa ada seorang laki-laki menggauli istrinya dan tidak sampai mengeluarkan air mani. Kemudian laki-laki tersebut bertanya kepada Nabi tentang apa yang harus ia lakukan, kemudian Nabi bersabda:
انّماالماء من الماء
Artinya : Sesungguhnya air (mandi) itu adalah dari air (mani yang keluar)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa mandi itu wajib dilakukan jika dalam persetubuhan itu mengeluarkan mani. Tetapi hadits tersebut dinaskh dengan hadits riwayat Bukhari Muslim:
إذا جلسَ بين شعبها الأربع ثم جهدها فقد وجب الغسلُ
Artinya : bila seseorang telah berada diatas tulangnya yang empat kerat dan telah berbuat diatasnya, maka wajib mandi.
Dalam riwayat lain Muslim menambahkan “walaupun tidak mengeluarkan mani”[21]
4.        Macam-Macam Naskh
Dilihat dari dalil yang menaskhnya, naskh dibagi menjadi 2 yaitu:
a.        Naskh Sharih
        Naskh semacam ini terjadi ketika ayat yang datang terakhir secara jelas menghapus ayat yang terdahulu.[22] Dicontohkan dalam QS. Al-Anfal : 65.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
Artinya : wahai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang.  jika diantara kalian ada dua puluh orang yang sabar , niscaya mereka akan mampu mengalahkan dua ratus musuh dan jika kamu berjumlah seratus orang  niscaya kamu dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti. 
Ayat tersebut dinaskh oleh surat al-Anfal:66
الْآَنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya: sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika diantara kamu ada seratus orang sabar, niscaya akan mampu mengalahkan dua ratus orang musuh, sedangkan  jika diantara kamu ada seribu orang yang sabar  maka mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang bersabar.
b.        Naskh Dzimmi
       Naskh ini terjadi ketika ditemukan dua naskh yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, disisi lain keduanya membahas masalah yang sama, serta diketahui secara jelas waktu turunnya, ayat yang datanya kemudian itu dihapus dengan ayat yang datang lebih dulu.[23] Contoh terdapat dalam adalah masalah wasiat kepada ahli waris yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah : 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya : ditetapkan atas kamu apabila ada seseorang diantara kamu yang ajalnya hampir tiba dan jika ia meninggalkan harta agar ia meninggalkan wasiat bagi kedua orang tua dan kerabat menurut yang semestinya dan itu adalah kewajiban bagi orang yang bertakwa.
Ada perbedaan pendapat tentang naskh atau pembatalnya, ada yang berpendapat ayat waris dan hadits berikut ini:
لا وصية لوارث
Artinya : tidak ada wasiat bagi ahli waris.[24]

Adapun dilihat dari segi hokum yang menaskhnya, naskh dibagi menjadi 2 yaitu:
a.        Naskh kulli
Yaitu naskh yang efeknya menyebabkan batalnya hokum secara keseluruhan, contohnya dalam QS. Al-Baqarah: 240
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Artinya: dan orang yang akan meninggal dunia diantara kamu hendaknya berwasiat untuk istri-istrinya yaitu diberi nafkah hingga setahun dan tidak disuruh pindah dari rumahnya.
Dari ayat tersebut dipahami bahwa iddah istri yang ditinggal suami adalah satu tahun, tetapi ayat tersebut dinaskh dengan QS. Al-Baqarah: 234.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya : orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri hedaklah para istri menangguhkan dirinya (beriddah) selama sempat bulan sepuluh hari.
b.        Naskh Juz’i
Naskh juz’I adalah naskh yang menghapus hokum yang berlaku bagi semua individu dengan hokum yang berlaku bagi sebagian individu saja. Atau bisa juga dikatakan menghapus hokum yang bersifat muthlaq dengan hokum muqoyyad. Contohnya dalam QS. An-Nur : 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : dan orang yang menuduh wanita yang baikbaik berbuat zina dan mereka tidak mendatngkan empat orang saksi maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu menerima kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang yang fasik.
Ayat tersebut dinaskh dengan QS. AN-Nur “ 6
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya: dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. [25]
D.      Muradif
1.        Pengertian muradhif
Muradhif menurut bahasa artinya adalah: membonceng/ikut serta. Muradhif yang dimaksudoleh ahli ushul fiqih adalah: “Beberapa lafaz terpakai untuk satu makna”. Contohnya seperti kata, aman, janahu, dhimmah, salam, sulhu, hudnah memiliki makna yang sama yaitu “damai”. Lafal muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna (sinonim). Jumhur Ulama mengatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’.[26] Sebagaimana kaidah para jumhur Ulama:
Artinya: Mendudukan dua muradhif itu pada tempat yang sama diperbolehkan jika ditetapkan oleh syara’.
Hendaklah diketahui bahwa, perbedaan ini hanyalah dalam selain Al-Qur’an, karena ia adalah yang kita pergunakan untuk berubadah kepada Allah Swt dengan lafal-Nya dan karena itu ada penjelasan tambahan dalam pembicaraan mengenai Al-Qur’an.[27]Al-Qur’an semenjak diturunkannya hingga datangnya hari akhir senantiasa terjaga sebagaimana pertamakali diturunkannya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu dikritisi, tidak memerlukan edisi refisi, ataupun penguranga kosakata, begitu sangat sempurna, Dialah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa, yang telah menurunkan-Nya juga kepaa Rasulullah Saw melalui delegasi terpercaya Malaikat Jibril as.
Maka dari itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kalimat “Allah Huakbar”, sedangkan Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahhu akbar” atau “Allahu akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolehkan semua  lafal yang semisal dengannya, misalnya kalimat “Allahul A’djom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
2.        Hukum Muradhif
Hukum muradhif yang dimaksudkan disini adalah tentang timbulnya persoalan yang dikarenakan adanya lafaz-lafaz muradif, dalam hal demikian, para ulama mempersoalkan hukumnya, seperti misalnya apakah bolehsatu lafaz diganti dengan lafaz lain yang maknanya sama. Seperti lafazجنحو diganti dengan lafaz هد نه.  Para Ulama pada umumnya berpendirian bahwa bacaan AlQur’an yang tidak boleh diganti dengan bersifat ta’budi tidak boleh diganti dengan lafaz muradhif-nya karena Al-Qur’an dan seluruh lafaz nya adalah mengandung mukjizat, sedangkan muradhif satu lafaz dalam Al-Qur’an bukanlah teks Al-Qur’an yang dengan sendirinya tidak mengandung mukjizat.
Sehubungan dengan masalah muradhif, ada juga para ulama yang berselisih pendapat dalam hal-hal tertentu seperti dalam masalah dzikir. Dalam hal masalah dzikir itupun bagi golongan yang membenarkan muradhif, memberikan dua syarat yang harus dipenuhi, yakni:
a.        Boleh dipakai lafaz muradhif, bila penggantian lafaz muradhif tersebut tidak mendapatkan halangan dari agama, baik secara jelas ataupun samar-amar.
b.        Boleh dipakai lafaz muradhif, bila penggantian lafaz boleh dipakai lafaz muradhif-nya itu berasal dari satu bahasa, yakni sama-sama bahasa Arab.
E.       Musytarak
1.        Pengertian musytarak
Musytarak menurut bahasa adalah berserikat atau berkumpul. Musytarak dalam ushul fiqih adalah: “Lafaz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda”.Dari pengertian secara bahasa ini, selanjutnya para ulama ushul merumuskan penegertian musytarak menurut istilah. Adapun defenisi yang diketengahkan oleh para ulama ushul adalah:
Artinya: “Satu lafaz (kata) yang menunjukan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahsa tersebut”.
Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul fiqih, yang menyatakan bahwa: “Satu lafadz yang menunjukan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”.
Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya.[28] Seperti kataقروء yang dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bisanya masa haid, lafazعىن bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, lafaz as sanah diartikan dengan Hijriyah dan Maladiyah (Masehi), lafaz al yad diartikan dengan tangan kanan dan tangan kiri dan lafaz al Qursy yang diartiakan dengan sepuluh dan lima milimat (nama uang di Mesir).[29]
2.        Sebab-sebab terjadinya lafaz musytarak.
Sebab-sebab terjadinya lafaz musytarak dalam bahasa Arab sangat banyak sekali, namu para ulama ushul fiqih telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempangaruhi antara lain adalah:
a.        Perbedaan antara suku-suku. Bagsa arab terdiri dari dua bangsa besar Adnan dan Qahtan. Setiap bangsa terdiri dari suku yang bermacam-macam dan berpencar-pencar tempat tinggalnya. Maka adakalanya satu suku mempunyai istilah dengan satu kata untuk arti tertentu dan suku yang lain mengistilakannya untuk arti yang lain da nada kalanya untuk kedua arti itu tidak terdapat kesesuaian sedikitpun. Ketika bahasa Arab dikodifikasikan oleh ahli bahasa, kebanyakan mereka tidak memperhatikan nisbah dari setiap makana kepada sukunya.
b.        Antara kedua makana terdapat satu makna yang menyatukan keduanya, maka sesuailah kata itu untuk mesing-masing dari keduanya, karena makna yang menyatukannya itu (al ma’na al-jaami”). Hal inilah yang dinamakan isytirak makanawi (homonym dalam makna). Kadang-kadang orang lupa pada makana yang menyatukan itu, maka merekapun menduga bahwa kata itu dari jenis musytarak lafshi (homonym dalam kata). Misalnya kata “al quru” yang dalam bahaa Arab berarti waktu rutin, kemudian mereka mengatakan bahwa “Lil-huma qur-un” (sakit demam ada waktunya), artinya siklus yang mentradisi dimana sakit itu muncul, “lits tsurayya qur-un” (bintang ketika memiliki waktu) artinya waktu yang mentradisi dimana hujan turun pada waktu itu, “Lil mar’ah qur-un” (perempuan mempunyai waktu) artinya waktu mengalami menstruasi dan masa suci. Seperti contoh-contoh itulah kata “an-nikah” yang dlam bahasa Arab berarti mengumpulkan, maka dua kata yang dikumpukan satu sama lainnya disebut nikah. Dan ini adalah teransaksi, dua tubuh dikumpulkan satu sama lainnya disebut nikah, tetapi yang popular kata itu disebut untuk (istilah salah satu) akad.
          Ulama Syafi’iyah menduga kata “nikah” merupakan (kata yang memilki arti) hakikat (harfiyah) dan menyebutkannya sebagai berkmpulnya dua fisik lebih jelas.Ulama Hanafi juga menduga (kata “nikah” tersebut) merupakan bentuk harfiyah (hakikat). Pada hakikatnya kata itu homonym dalam menyatukan kedua makana, akan tetapi yang banyak dipakai dalam bahasa Syara’ adalah untuk arti akad sehingga tidak terdapat dalam Al-Qur’an maksud kata “nikah” selain makna yang banyak dipakai itu, kecuali pada satu bentuk upaya yang tidak dipikir matang secara tidak langsung.
c.        Penetapan kata pada awalnya untuk satu makna kemudian dialihkan ke makna lain, karena ada hubungan, kemudian hbungan ini dilupakan atau hilang. Maka timbul dugaan bahwa kata itu ditetapkan bagi masing-masing dari kedua makna itu tanpa dilihat, karena kesesuaian antara keduanya. Sedikit diantara ahli-ahli bahasa yang memperhatikan antara makna-makna hakiki (harfiyah) dari kata-kata dan makna-makna majazinya (metaphor)
d.        Peletak kata untuk sesuatu yang memiliki makana dan diwaktu mengisyaratkannya terdapat arti lain bersamanya. Maka ia pun diterima oleh pendengarnya tanpa memastikan hakikat arti dari kalimat itu, sehingga dipergunakan dalam sesuatu dalam arti yang pertama atau keduanya bersama-sama dan barangkali sesudah itu akan terpisah dan adakalahnya merupakan dua arti yang berlawanan. Seperti kata “jun” yang pertamakali berarti awan dan dalam awan itu ada warna putih dan hitam sehingga ada warna putih murni itu atau hitam murni dikatakan jun.
   Inilah berdasar pada semua factor yang tampak yang istilah isytirak disimpulkan darinya dalam (kajian) bahasa. Peletak kata untuk satu makna kemudian ditetapkan lagi untuk arti lain tanpa adanya hubungan antara kedua arti itu atau bersamaan, maka hal ini sesuatu yang tidak kami duga terjadinya kecuali sedikit seperti penetapan bentuk maf’al untuk tempat dan waktu.[30]
3.     Ketentuan hukum lafaz musytarak.
Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-sunnah terdapat lafaz yang musytarak maka menurt kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulam ushul adalah sebagai berikut:
a.        Apabila lafaz terebut mengandung kebolehan terjadiya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara, kecuali ada indikasi ang menujukan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahsa.
b.        Apabila lafaz tersebut mengandug kebolean terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menujukan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliayah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah disiniadalah kata yang menyertai nash. Adapun yang dimaksud qarinah haliyah adalah suatu keadaan/kondisi tertentu masyarakat Arab saat turunnya nash tersebut..
c.        Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah-satu arti lafaz-;afaz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus di mauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
4.     Contoh-contoh lafaz musytarak.
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak yang antara lain dalam firman Allah Swt surat al-Baqara ayat 222, yang berbunyi:
وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamua mendekati mereka, sebelum mereka suci.Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”
Lafadz المحىض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula tempat keluarnya dara haidh (makan).Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya dara haidh.Karena adanya qarina Haliyah yaitu bahwa orang-orang Arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli isteri-istrinya alam waktu haidh.Sehingga yang dimaksud lafdz المحىض diatas adalah bukanlah waktu haidh, akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya dara haidh (qubul).
Contoh lain sebagimana yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓء
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali ,
Lafadz quru’ dalam pemakaian bahasa Arab bisa berarti masa succi dan bisa pula berarti masa haidh.Oleh karena itu seorang ujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui makna yang dimaksudkan oelh syar’I dalam ayat tersebut.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz’ quru tersebut diatas. Sebagian ulama yaitu Imam Syafi’I  mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena, adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan: tsalatsah) yang menurut kaida bahasa Arab ma’dudnya harus muzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh.Dalam hal ini beliau beralasan bahwa, lafadz tsalatsah adalah lafadz yang kahs yang secara dzahir menunjukan sempurnannya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan.Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh.Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
Contoh lain dalah surat Al-Baqarah ayat 229, yang berbunyi:
ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰن
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau mencert dalam ibadah tertentuaikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat tersebut diatas lafadz  al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepakskan tali ikatan hunbungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain. “dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadz ashalah pada ayat tersebut dapat bisa magandung arti dalamistilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam isti;ah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadz ashalah yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalah firman Allah Swt surat al-ahzab ayat 56, yang berbunyi:
إِنَّٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
             Lafadz ashalah pada ayat tersebut bukan bermakna shaat daam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena ashalah dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah Swt dan kepada para Malaikat.Sedangkan shalat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.[31]
F.       Penutup
       Berdasarkan pemaparan materi diatas, dapat kita simpulan bahwa takwil merupakan pengalihan makna dari makna yang sudah jelas kepada makna yang tidak jelas dikarenakan adanya suatu alasan yang kuat. Adapun takwil dibagi menjadi dua macam yaitu takwil arib dan takwil ba’id. Sedangkan naskh merupakan suatu pembatalan atau penghapusan suatu hokum yang datang terlebih dahulu dikarenakan adanya hokum yang datangnya kemudian. Adapun berdasarkan dalil yang menaskhnya, naskh dibagi menjadi dua yaitu naskh sharih dan nash dzimmi, sedangkan menurut hokum yang menaskhnya naskh dibagi menjadi dua yaitu naskh kulli dan naskh juz’i. Berbicara masalah muradhif, muradif merupakan lafadz yang mempunyai makna yang sama atau bisa kita sebut dengan sinonim. Sedangkan musytarak yaitu lafadz yang mengandung lebih dari satu makna. Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya
Daftar Pustaka
Akademia.edu. https://buc.kim/d/50WIVs2kOrTw?pud=link. Diakses pada 26 April 2019.
Biek, Muhammad al-khudhari. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani.
Husni, Muhammad dan Fathul Wahab. Teori Nasakh Mansukh dalam Penetapan Hukum Syari’at Islam . Annaba: Jurnal Pendidikan Islam. Volume 4 No. 2, 1 September 2018.
Khalaf, Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani
Malik,  Abdul Rahman. Abrogasi dalam Al-Qur’an: Studi Nasikh dan Mansukh. Jurnal Studi Al-Qur’an. P-ISSN : 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614.
Razzaq, Abdur. Studi Analisis Komparatif Antara Ta’wil dan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an. Wardah: Vol. 17 No. 2/ Juli-Desember 2016
Saebani, Beni Ahmad. 2017. ilmu Ushul Fiqih. Bandung : CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i. Malang: CV Dream Litera.
Ulama’i, Hasan Asyari. Konsep Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an. Jurnal Didaktika Islamika.Volume 7 Nomor 1 Februari 2016.
Zaid, Nasr Hamid Abu. 2016. Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta: IRCiSoD.
Zein, M. Ma’sum. 2013. Menguasai Ilmu Ushul Fiqih.Yogyakarta: Pustaka Pesantren.



[1] Beni Ahmad Saebani, ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2017), 156
[2] Abdur Razzaq, Studi Analisis Komparatif Antara Ta’wil dan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an,  Wardah: Vol. 17 No. 2/ Juli-Desember 2016, 96
[3] M. Ma’sum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), 345
[4] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), 293
[5] M. Ma’sum Zein, 347
[6] M. Ma’sum Zein, 347-348
[7] M. Ma’sum Zein, 348
[8] M. Ma’sum Zein,348
[9] M. Ma’sum Zein, 349
[10] M. Ma’sum Zein, 349
[11] M. Ma’sum Zein, 350
[12] M. Ma’sum Zein, 251-352
[13] M. Ma’sum Zein, 364
[14] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), 213
[15] Hasan Asyari Ulama’i, Konsep Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an, Jurnal Didaktika Islamika, Volume 7 Nomor 1 Februari 2016, 65
[16] M. Ma’sum Zein, 365
[17] Hasan Asyari Ulama’i, Konsep Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an, 66-67
[18] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, 240
[19]Abdul Rahman Malik, Abrogasi dalam Al-Qur’an: Studi Nasikh dan Mansukh,  Jurnal Studi Al-Qur’an, P-ISSN : 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614, 106-107
[20] Abdul Rahman Malik, Abrogasi dalam Al-Qur’an: Studi Nasikh dan Mansukh,  107
[21] Amir Syarifuddin, 239
[22] Muhammad Husni dan Fathul Wahab, Teori Nasakh Mansukh dalam Penetapan Hukum Syari’at Islam , Annaba: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 4 No. 2, 1 September 2018, 312
[23] Muhammad Husni dan Fathul Wahab, Teori Nasakh Mansukh dalam Penetapan Hukum Syari’at Islam, 312
[24] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i, (Malang: CV Dream Litera, 2016), 248
[25] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i, 246-247
[26] Muhammad al-khudhari Biek, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Amani),  306
[27]  Muhammad al-khudhari Biek, 307
[28]Abdul Wahhad Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Pustaka Amani: Jakarta), 227
[29]Abdul Wahhad Khalaf, 228
[30]  Muhammad al-Khudahari Biek, Ushul Fiqih, (Pustaka Amani: Jakarta), 310
[31] Akademia.edu https://buc.kim/d/50WIVs2kOrTw?pud=link. Diakses pada 26 April 2019.

Komentar