KONSEP TAKWIL NASKH
MURADHIF DAN MUSYTARAK
Oleh : Nur Fitriana (16110002) dan Setiawan Abdurrahman (13110239)
(Mahasiswa PAI B UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
Abstract
This article will
discuss the concept of takwil nasakh and muradif musytarak. The purpose of this
article is to find out how the process of taking Islamic law through takwil,
naskh, muradif, and musytarak. Takwil is turning a verse to another meaning
because there is a new proposition that removes the old argument. In defining
naskh there are differences of opinion between the mutaqaddimin and mutaakhirin
scholars, because etymologically naskh contains various meanings, including
replacing, deleting, canceling. Muradif is a synonym or similarity of meaning.
While musytarak is a lafadz which is formed by two or more meanings.
Abstrak
Artikel ini akan membahas
mengenai konsep takwil, nasakh dan muradhif musytarak. Adapun tujuan ditulisnya
artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pengambilan hukum Islam
melalui takwil, naskh, muradif, dan musytarak. Takwil merupakan memalingkan
suatu ayat kepada arti lain dikarenakan ada suatu dalil yang baru yang menghapus dalil lama. Sementara itu
dalam mendefinisikan naskh terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama
mutaqaddimin dan mutaakhirin, karena secara etimologi naskh mengandung arti
yang bermacam-macam, diantaranya mengganti, menghapus, membatalkan. Adapun
muradhif merupakan sinonim atau persamaan makna. Sedangkan musytarak yaitu
suatu lafadz yang dibentuk oleh dua arti atau lebih.
Kata Kunci : Takwil, Naskh,
Muradhif, dan Musytarak
A.
Pendahuluan
Sebagaimana kita
ketahui bahwa sumber utama hokum Islam ada dua yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan perantara malaikat Jibril. Sedangkan Hadits merupakan segala
perkataan, perbuatan, dan taqrir nabi Muhammad SAW. Hadits merupaan sumber
hokum kedua setelah Al-Quran.[1]
Al-Qur’an selalu sesuai dengan perkembangan
zaman, karena itu banyak ulama yang mengkaji isi kandungan Al-Qur’an ini.
Adapun dalam memahami kandungan ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat
dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan takwil, naskh, muradif, dan
musytarak. Dalam melalakukan pengkajian tentunya ulama-ulama banyak memiliki
perbedaan pendapat, dan hal tersebut merupakan suatu kewajaran. Karena
Rasulullah sendiri pernah bersabda bahwa “ikhtilaf atau perbedaan diantara
ummatku adalah suatu rahmat”. Oleh karena itu dalam menyikapi perbedaan ini
hendaknya kita saling menghormati perbedaan orang lain. Focus kajian dalam
artikel ini adalah membahas masalah konsep takwil, naskh, muradif serta
musytarak
B. Takwil
1.
Pengertian Takwil
Untuk memahami teks al-Qur’an secara mendalam tentunya membutuhkan sebuah
kajian yang mendalam pula. Selain dengan menggunakan tafsir, takwil adalah
jalan yang digunakan untuk memperdalam makan tafsir.[2]
Secara etimologis kata al-Takwil (التّأويل) berasal dari kata awwala -
yu’awwilu (أوّل
- يؤوّل) yang
berarti penjelasan, adapun arti ini sama dengan arti kata al-tafsir (التّفسير) yang artinya uraian, atau al-marja’ (المرجع) yang berarti tempat kembali atau al-jaza’ (الجزاء) artinya balasan.[3]
Sedangkan menurut terminologi, pendefinisian takwil banyak terdapat perbedaan
dikalangan ulama ahli ushul, diantaranya sebagai berikut :
a.
Menurut
al-Amidiy
التّأويل
هو حمل اللّفظ على غير مدلوله الظّاهر منه مع احتماله بدليل يعضّده
Artinya : Takwil adalah membawa
lafadz dzahir yang mempunyai probabilitas (kemungkinan) kepada arti yang lain
dengan didukung dalil.
b.
Menurut abdul
wahab khalaf
التّأويل هو صرف الّلفظ عن ظاهر بدليل
Artinya : Takwil adalah memalingkan lafadz dari arti lahiriahnya karena ada dalil.
Dari beberapa pendapat ulama ushul
tersebut dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa takwil yaitu memindahkan
suatu perkataan dari arti yang sudah jelas (dzahir) kepada arti yang tidak
jelas (lemah), karena ada kemungkinan bahwa arti yang tidak jelas ini lebih
sesuai disebabkan suatu alasan yang kuat. Takwil harus
didasarkan pada beberapa ilmu yang berhubungan dengan teks, diantaranya yaitu
tafsir. Seorang Muawwil (orang yang melakukan takwil) harus mengetahui seluk
beluk tafsir sehingga ia dapat memberikan takwil yang tepat dan dapat diterima,
yaitu takwil yang tidak menundukkan suatu teks untuk kepentingan yang sifatnya
subjektif. Inilah yang dikatakan para ulama klasik sebagai takwil yang
terlarang dan bertentangan dengan makna teks baik yang tersirat maupun yang
tersurat.[4]
2.
Syarat-Syarat Takwil
Pada dasarnya takwil berawal
dari teks dan susunan gaya bahasanya (uslub). Adapun pentakwilan suatu
teks dilakukan dengan tujuan agar para mujtahid tidak salah ketika melakukan
ijtihad bir-ra’yu (ijtihad dengan menggunakan akal). Syarat-syarat takwil
diambil dari suatu teks syariah yang sudah tersedia, sehingga akan diperoleh
hasil pentakwilan yang bisa dianggap benar dan dapat diterima. [5]Berikut
ini syarat-syarat takwil :
a.
Lafadz yang
ditakwil harus memiliki kriteria lafadz yang boleh ditakwil dan masih dalam
ranah kajiannya, seperti berikut ini:
1) Sesuai dengan tata bahasa Arab
2) Dapat dipakai sepanjang pengertian bahasa
3) Lafadz harus sesuai syara’ dan istilah yang sudah ada
sebelumnya.[6]
b.
Takwil haruslah
didasari dalil yang sahih yang mana statusnya bisa menguatkan hasil takwilnya.
Tetapi jika dalil yang sudah ada tafsir dan hukumnya sudah ditetapkan, maka
dalil tersebut tidak bisa ditakwil meskipun kelompok Hanafiyah memperbolehkan
takwil terhadap nash yang sifatnya dhahir dan semua dalil yang mengatur masalah
syariat Islam. Sebagai contoh dalam hadits riwayat Bukhari :
اِنَّ
الْمَيِّتَ يُعَقَّبُ بِبُكَاء اَهْلِهِ
Artinya: sesungguhnya mayat
disiksa dengan tangisan keluarganya.
Hadits tersebut dibantah oleh
istri Nabi saw, Siti Aisyah karena kontradiksi dengan ayat Al-Qur’an surat
Al-An’am ayat 164:
وَلاَ
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ اُخْرَى
Oleh karena itu, ketentuan
hukum yang terkandung dalam hadits tersebut
harus ditakwilkan dengan mentaqyidkan lafadz hadits dengan melihat
keadaan mayit semasa hidupnya. Dengan pentakwilan seperti itu, apa yang dimaksud
dalam ayat tersebut tidak kontradiksi dengan hadits tersebut, oleh sebab itu
kedua dalil dapat kita amalkan secara bersamaan.[7]
c.
Lafadz takwil
harus mengandung arti yang telah dihasilkan dari takwil bahasa. Adapun pentakwilan itu dilakukan dengan cara
tekstual, kontekstual, atau majaz (perumpamaan), atau
bisa juga dengan dasar yang berasal dari bahasa yang sudah dibakukan. Hal ini
dilakukan sebagai wujud realisasi maksud pembuat syariah dari sisi artinya.
Dengan itu, lafadz pembuat syariah tetap berdasarkan hasil pemahaman maksud
dari syariah yang sesuai dengan kebiasaan penggunaannya.[8]
d.
Takwil itu
tidak boleh bertentangan dengan dalil yang qath’iy (pasti). Jika tidak memenuhi
ketentuan tersebut maka takwil dianggap tidak sah, karena takwil adalah salah
satu cara ijtihad yang kehujjahannya bersifat dhanni. Sedangkan teorinya
sesuatu yang bersifat dhanni tidak bisa melawan sesuatu yang bersifat qath’iy.
Contohnya yaitu mentakwilkan cerita sejarah yang terdapat dalam Al-Qur’an
dengan cara mengubah arti dhahirnya menjadi cerita sejarah yang fiksi, hal
tersebut bertentangan dengan ayat yang qath’iy sebagai suatu realitas sejarah.[9]
e.
Arti hasil
pentakwilan nash haruslah lebih kuat daripada arti lahiriahnya dengan diperkuat
dengan dalil-dalil. Adapun berikut ini cara yang bisa dilakukan untuk
mengetahui apakah pentakwilan nash itu lebih kuat dari arti lahirnya:
1) Ibaratun nash / pemahaman yang
diperoleh secara tekstual.
2) Isyaratun nash / pemahaman yang
diperoleh secara kontekstual.
3) Dalalatun nash / pemahaman yang
diperoleh secara logis.
4) Iqtidla’/ pemahaman yang
menjadi kehendak nash itu sendiri.
Jika dalam penerapannya masih terdapat kontradiksi diantara
sempat cara tersebut, maka harus tetap mendahulukan yang ibaratun nash
dari isyaratun nash, kedua cara tersebut harus didahulukan dari dalalatun
nash kemudian baru menggunakan iqtidla’. [10]
3.
Klasifikasi Takwil
Terkadang takwil tidak memerlukan dalil, tetapi bisa berdasarkan pemhamanan
akal, teks, dan kontekstual. Berdasarkan hal tersebut, takwil dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu takwil qarib dan takwil ba’id.
a.
Takwil Qarib
Takwil qarib adalah takwil yang
pentakwilannya berdasarkan dalil terendah, yaitu pemahaman logis, tekstual, dan
kontekstual. Contoh :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Pada ayat tersebut jika kita
artikan secara lafal atau lahiriah, berarti kewajiban berwudhu itu dilakukan
setelah sholat. Nah arti ini bertentangan dengan syarat sah shalat yaitu harus
berwudhu terlebih dahulu sebelum shalat. Syarat harus didahulukan, baik menurut
pemahaman akal maupun syara’. Maka lafal
اذا
كمتم الى الصلاة harus
ditakwilkan dengan mengubah arti hakikinya (اذا فعلتم) kepada arti majazinya yaitu اذا
اردتم / اذا عزمتم .
[11]
b.
Takwil Ba’id
Takwil ba’id yaitu takwil yang
syaratnya tidak dapat dipenuhi dalam pentakwilan yang didasarkan dalil
terendah. Jika kemudian ditemukan adanya penyimpangan dari syarat tersebut maka
takwil harus ditolak. Contoh dalam QS. Al-Maidah : 89
فَكَفَّارَتُهُ
إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ
كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
Artinya : maka kafarat (sanksi)
sumpah adalah memberi makan sepuluh orang miskin
Pada ayat tersebut, lafadz nash
memberikan petunjuk adanya keharusan memberi makan fakir miskin dalam jumlah
tertentu yaitu sepuluh orang. Adapun ‘adad (bilangan sepuluh) adalah
suatu lafadz khusus yang memiliki kualitas qath’iy. Ulama ushul fiqih berbeda
pendapat dalam mentakwilkan ayat tersebut, adapun ulama tersebut antara lain:
1) Ulama kalangan Hanafiyah mentakwilkan lafadz عشرة مساكين menggunakan
arti yang tidak tercantum dalam lafadz tersebut. Adapun ulama Hanafiyahh
mentakwilkan ayat tersebut dengan arti “ memberikan makanan kepada sepuluh
orang miskin” atau “memberi makanan kepada satu orang miskin saja tetapi dengan
kadar sepuluh makanan”.
2) Ulama kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa pentakwilan
seperti diatas merupakan takwil ba’id dan dianggap batal dikarenakan beberap
sebab yaitu :
a)
Lafadz عشرة
مساكين adalah
lafadz yang khusus dan menunjukkan arti qath’iy, maka tidak perlu ditakwilkan
lagi.
b) Adapun hikmah dan sasaran diharuskannya membagi makanan
sesuai ukuran harta yang wajib dikeluarkan adalah agar kemanfaatannya dapat
dirasakan oleh orang banyak.
c)
Sedangkan
penambahan lafadz طعام jika
dimunculkan dalam nash akan menjadi :
فَكَفَّارَتُهُ
إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ
Oleh karena itu, istinbath
hukum yang dilakukan dengan cara takwil, dapat didasarkan pada pemahaman
syariat umum, nash lain, ketetapan dari ijma’ atau mengkompromikan hukum syara’
dengan menyeluruh, baik yang bersifat juziyyah, kulliyyah, dalalatun
nash ataupun maqashidnya.[12]
C. Naskh
1.
Pengertian
Secara bahasa, naskh (النسخ) dalam bahasa Arab digunakan dengan arti yang berarti menghilangkan atau meniadakan, النقل yang berarti memindah, التحويل yang berarti merubah, atau التبديل atau mengganti. Sedangkan naskh menurut
istilah yaitu:
النّسخ
رفع حكمٍ شرعيٍّ عن المكلف بحكمٍ شرعيٍّ مِثْله متأحِّر
Yang artinya “ Naskh ialah
pembatalan suatu hukum syara’ yang telah ditetapkan pada masa yang lebih dulu
dari orang mukallaf dengan hukum yang datangnya kemudian hari”.[13]
Adapun Abu Husein al-Bashri
berpendapat bahwa naskh hakikatnya yaitu menghilangkan, sedangkan pemakaiannya
dimaksudkan untuk kiasan (majazi). Abu Husein berargumen bahwa jika
naskh diartikan dengan memindahkan dalam ucapan, “saya menaskhkan buku itu”
pernyataan tersebut bermakna majazi karena hakikatnya apa yang ada di dalam
buku tersebut tidak mungkin dipindahkan karena masih tetap ada disana. [14]
Dalam mendefinisikan arti naskh
secara terminologi, para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin memiliki pendapat
yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak lain adalah bersumber pada
pengertian naskh secara etimologi yang bermacam-macam sebagaimana disebutkan
diatas. Adapun makna naskh yang ditetapkan oleh ulama mutaqaddimin meliputi: 1)
Hukum yang telah ada akan dibatalkan oleh hukum yang datangnya kemudian, 2)
pengkhususan hukum bersifat “amm oleh hukum yang datangnya kemudian yang
sifatnya lebih khusus, 3) Penjelasan atau bayan yang datangnya kemudian itu bersifat
samar. Dari beberapa pernyataan tersebut dapat kita peroleh pemahaman bahwa
makna naskh secara etimologis menurut ulama mutaqoddimin adalah dimaknai secara
luas, efeknya tidak menyebabkan suatu hukum terhapus oleh hukum lain. Adapun
naskh dalam perspektif ulama mutaqaddimin lebih seperti pembatasan,
pengkhususan, bahkan suatu pengecualian hukum. [15]
Sedangkan menurut ulama mutaakhirin,
naskh diartikan lebih sempit layaknya suatu amandemen yang mana dalil yang
datang kemudian sifatnya menggugurkan atau menghilangkan dalil hukum yang
datang lebih dulu.
Adapun unsur
yang harus ada dalam naskh ada 4, yaitu:
a.
Naskh atau
pernyataan yang menunjukkan pembatalan hukum yang sebelumnya sudah ada.
b.
Dalil naskh
yaitu dalil yang menaskh atau menghapus hukum yang telah ada dan datangnya
kemudian.
c.
Mansukh itu
adalah hukum yang kemudian dibatalkan atau dihapuskan.
d.
Mansukh ‘anhu
yaitu orang yang dibebani hukum atad dalil penaskhan tersebut.[16]
2.
Syarat-syarat Naskh
Yang perlu menjadi perhatian
disini adalah sejauh mana jangkauan dari naskh itu, apakah semua ketentuan
hukum syariat bisa dijangkau oleh naskh atau tidak? Oleh karena itu, Abu Anwar
memaparkan beberapa syarat naskh yaitu:
a.
Hukum yang
mansukh atau yang datangnya lebih dulu adalah hukum syara’. Sedangkan naskh
hanya berlaku untuk dalil yang menunjukkan adanya perintah (amr) dan larangan
(nahyu), disamping itu dalil yang mengatur akhlak, ibadah, akidah, serta janji
dan ancaman tidak bisa dinaskh.
b.
Adapun dalil
yang digunakan untuk menghapus hukum adalah dalil yang datang kemudian.
c.
Dalil yang
mansukh tidak terikat oleh waktu, karena jika terikat waktu hukum itu bisa
berakhir.
Dalam hal syarat naskh ini,
Quraish Shihab menambahkan dua syarat barulah naskh bisa dilakukan yaitu: 1)
Adanya dua dalil hukum yang saling kontradiksi sehingga tidak dapat
dikompromikan, 2) Urut-urutan turunnya ayat hukum tersebut harus diketahui
terlebih dahulu. [17]
3.
Hukum Naskh
a.
Naskh
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama yang menyatakan kebolehan
menggunakan naskh dalam Islam, semuanya sepakat akan kebolehan menaskh
al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
b.
Naskh
Al-Qur’an dengan as-Sunnah
Naskh ini terbagi menjadi dua,
yaitu:
1) Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Ahad,
Dalam menanggapi hal ini jumhur
ulama berpendapat bahwa sunnah ahad itu tidak bisa atau tidak sah jika menaskh
al-Qur’an. Alasannya adalah Al-Qur’an sudah jelas merupakan nash yang mutawatir
(qath’iy) dan hadits ahad adalah nash yang bersifat dzanni. Ulama Dzahiri
berdasarkan penukilan Ibnu Hazm sepakat akan kebolehan menaskh al-Qur’an dengan
Sunnah, baik sunnah ahad maupun sunnah mutawatirah. [18]
2) Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatirah
Dalam menanggapi naskh model
ini, para ulama memiliki pendapat yang berbeda, diantaranya Imam Malik, Imam
Abu Hanifah, serta Imam Ahmad dalam suatu riwayat memperbolehkan naskh semacam
ini dengan dasar firman Allah dalam QS. An-Najm: 4-5
وما ينطق عن الهوى، إن هو إلاّ وحيٌ يوحيَ
Artinya : Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Dapun ucapan seperti itu tidak lain hanya wahyu yang kemudian diwahyukan
kepadanya.
Sementara itu, Imam Asy-Syafi’i, Dzahiriyah, dan Imam Ahmad menolak naskh
semacam ini dengan dasar argumentasi dari firman Allah Swt dalam QS.
Al-Baqarah: 106.
ما ننسح من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثاها
Artinya : Apa saja ayat yang Kami naskhkan, atau kami melupakannya
(kepada manusia), niscaya kami datangkan yang lebih baik atau sebanding
dengannya.[19]
c.
Naskh
As-Sunnah dengan Al-Qur’an
Jumhur ulama memperbolehkan adanya naskh
semacam ini. Contoh menghadap ke arah baitul maqdis ketika sholat yang telah
ditetapkan oleh Sunnah yang kemudian dinaskh oleh ayat Al-Qur’an dalam QS.
Al-Baqarah : 144 berikut ini.
....
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ....
Artinya: …maka hadapkanlah wajahmu
menuju masjidil haram….[20]
Dalam
hal ini, Imam Syafi’I dalam salah satu qaulnya mengatakan bahwa tidak boleh
menaskh al-Qur’an dengan Sunnah dan tidak boleh menaskh Sunnah dengan
Al-Qur’an. Jika ditemukan dalil Al-Qur’an yang kelihatannya menaskh Sunnah,
maka sebenarnya disamping Al-Qur’an ada Sunnah yang menjelaskan adanya
kesersian antara Al-Qur’an dan Sunnah.
d.
Naskh
As-Sunnah dengan As-Sunnah
Contoh naskh Sunnah dengan
Sunnah terdapat dalam hadits Nabi riwayat Muslim ketika Nabi menerima sebuah
laporan bahwa ada seorang laki-laki menggauli istrinya dan tidak sampai
mengeluarkan air mani. Kemudian laki-laki tersebut bertanya kepada Nabi
tentang apa yang harus ia lakukan, kemudian Nabi bersabda:
انّماالماء
من الماء
Artinya : Sesungguhnya air
(mandi) itu adalah dari air (mani yang keluar)
Hadits tersebut menjelaskan
bahwa mandi itu wajib dilakukan jika dalam persetubuhan itu mengeluarkan mani.
Tetapi hadits tersebut dinaskh dengan hadits riwayat Bukhari Muslim:
إذا
جلسَ بين شعبها الأربع ثم جهدها فقد وجب الغسلُ
Artinya : bila seseorang telah
berada diatas tulangnya yang empat kerat dan telah berbuat diatasnya, maka
wajib mandi.
Dalam riwayat lain Muslim
menambahkan “walaupun tidak mengeluarkan mani”[21]
4.
Macam-Macam Naskh
Dilihat dari dalil yang
menaskhnya, naskh dibagi menjadi 2 yaitu:
a.
Naskh Sharih
Naskh semacam ini terjadi ketika ayat yang datang terakhir
secara jelas menghapus ayat yang terdahulu.[22]
Dicontohkan dalam QS. Al-Anfal : 65.
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
مِئَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا
يَفْقَهُونَ
Artinya : wahai Nabi,
kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika diantara kalian ada dua puluh orang yang
sabar , niscaya mereka akan mampu mengalahkan dua ratus musuh dan jika kamu
berjumlah seratus orang niscaya kamu
dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang kafir adalah kaum yang tidak
mengerti.
Ayat tersebut dinaskh oleh
surat al-Anfal:66
الْآَنَ
خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ
يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya: sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa
ada kelemahan padamu. Maka jika diantara kamu ada seratus orang sabar, niscaya
akan mampu mengalahkan dua ratus orang musuh, sedangkan jika diantara kamu ada seribu orang yang
sabar maka mereka dapat mengalahkan dua
ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang bersabar.
b.
Naskh Dzimmi
Naskh ini terjadi ketika ditemukan dua naskh yang bertentangan
dan tidak bisa dikompromikan, disisi lain keduanya membahas masalah yang sama,
serta diketahui secara jelas waktu turunnya, ayat yang datanya kemudian itu
dihapus dengan ayat yang datang lebih dulu.[23]
Contoh terdapat dalam adalah masalah wasiat kepada ahli waris yang terdapat
dalam QS. Al-Baqarah : 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ
إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya : ditetapkan atas
kamu apabila ada seseorang diantara kamu yang ajalnya hampir tiba dan jika ia
meninggalkan harta agar ia meninggalkan wasiat bagi kedua orang tua dan kerabat
menurut yang semestinya dan itu adalah kewajiban bagi orang yang bertakwa.
Ada perbedaan pendapat tentang
naskh atau pembatalnya, ada yang berpendapat ayat waris dan hadits berikut ini:
لا
وصية لوارث
Artinya : tidak ada wasiat
bagi ahli waris.[24]
Adapun dilihat dari segi hokum
yang menaskhnya, naskh dibagi menjadi 2 yaitu:
a.
Naskh kulli
Yaitu naskh yang efeknya menyebabkan
batalnya hokum secara keseluruhan, contohnya dalam QS. Al-Baqarah: 240
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ
مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Artinya: dan orang yang akan
meninggal dunia diantara kamu hendaknya berwasiat untuk istri-istrinya yaitu
diberi nafkah hingga setahun dan tidak disuruh pindah dari rumahnya.
Dari ayat tersebut dipahami bahwa iddah
istri yang ditinggal suami adalah satu tahun, tetapi ayat tersebut dinaskh
dengan QS. Al-Baqarah: 234.
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya : orang-orang yang meninggal
dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri hedaklah para istri
menangguhkan dirinya (beriddah) selama sempat bulan sepuluh hari.
b.
Naskh Juz’i
Naskh juz’I adalah naskh yang menghapus
hokum yang berlaku bagi semua individu dengan hokum yang berlaku bagi sebagian
individu saja. Atau bisa juga dikatakan menghapus hokum yang bersifat muthlaq
dengan hokum muqoyyad. Contohnya dalam QS. An-Nur : 4
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : dan orang yang menuduh
wanita yang baikbaik berbuat zina dan mereka tidak mendatngkan empat orang
saksi maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu menerima
kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang yang fasik.
Ayat tersebut dinaskh dengan QS. AN-Nur
“ 6
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ
فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الصَّادِقِينَ
Artinya: dan orang-orang yang menuduh
istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka
sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. [25]
D. Muradif
1.
Pengertian
muradhif
Muradhif
menurut bahasa artinya adalah: membonceng/ikut serta. Muradhif yang
dimaksudoleh ahli ushul fiqih adalah: “Beberapa lafaz terpakai untuk
satu makna”. Contohnya seperti kata, aman, janahu, dhimmah, salam, sulhu,
hudnah memiliki makna yang sama yaitu “damai”. Lafal muradhif adalah lafal
yang hanya mempunyai satu makna (sinonim). Jumhur Ulama mengatakan bahwa
mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu
tidak dicegah oleh syara’.[26]
Sebagaimana kaidah para jumhur Ulama:
Artinya:
Mendudukan dua muradhif itu pada tempat yang sama diperbolehkan jika
ditetapkan oleh syara’.
Hendaklah
diketahui bahwa, perbedaan ini hanyalah dalam selain Al-Qur’an, karena ia
adalah yang kita pergunakan untuk berubadah kepada Allah Swt dengan lafal-Nya
dan karena itu ada penjelasan tambahan dalam pembicaraan mengenai Al-Qur’an.[27]Al-Qur’an
semenjak diturunkannya hingga datangnya hari akhir senantiasa terjaga
sebagaimana pertamakali diturunkannya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu
dikritisi, tidak memerlukan edisi refisi, ataupun penguranga kosakata, begitu
sangat sempurna, Dialah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa,
yang telah menurunkan-Nya juga kepaa Rasulullah Saw melalui delegasi terpercaya
Malaikat Jibril as.
Maka
dari itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti
takbir shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat
tidak diperbolehkan kecuali kalimat “Allah Huakbar”, sedangkan Imam Syafi’i
hanya memperbolehkan “Allahhu akbar” atau “Allahu akbar” sedangkan Abu Hanifah
memperbolehkan semua lafal yang semisal
dengannya, misalnya kalimat “Allahul A’djom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
2.
Hukum Muradhif
Hukum
muradhif yang dimaksudkan disini adalah tentang timbulnya persoalan yang
dikarenakan adanya lafaz-lafaz muradif, dalam hal demikian, para ulama
mempersoalkan hukumnya, seperti misalnya apakah bolehsatu lafaz diganti
dengan lafaz lain yang maknanya sama. Seperti lafazجنحو
diganti
dengan lafaz هد نه. Para Ulama pada umumnya
berpendirian bahwa bacaan AlQur’an yang tidak boleh diganti dengan bersifat ta’budi
tidak boleh diganti dengan lafaz muradhif-nya karena Al-Qur’an dan
seluruh lafaz nya adalah mengandung mukjizat, sedangkan muradhif satu lafaz
dalam Al-Qur’an bukanlah teks Al-Qur’an yang dengan sendirinya tidak
mengandung mukjizat.
Sehubungan
dengan masalah muradhif, ada juga para ulama yang berselisih pendapat dalam
hal-hal tertentu seperti dalam masalah dzikir. Dalam hal masalah dzikir itupun
bagi golongan yang membenarkan muradhif, memberikan dua syarat yang harus
dipenuhi, yakni:
a.
Boleh dipakai lafaz
muradhif, bila penggantian lafaz muradhif tersebut tidak mendapatkan
halangan dari agama, baik secara jelas ataupun samar-amar.
b.
Boleh dipakai lafaz
muradhif, bila penggantian lafaz boleh dipakai lafaz muradhif-nya
itu berasal dari satu bahasa, yakni sama-sama bahasa Arab.
E. Musytarak
1.
Pengertian
musytarak
Musytarak
menurut bahasa adalah berserikat atau berkumpul. Musytarak dalam ushul fiqih
adalah: “Lafaz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang
berbeda-beda”.Dari pengertian secara bahasa ini, selanjutnya para ulama ushul
merumuskan penegertian musytarak menurut istilah. Adapun defenisi yang
diketengahkan oleh para ulama ushul adalah:
Artinya:
“Satu lafaz (kata) yang menunjukan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan
penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahsa tersebut”.
Menurut
Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul fiqih, yang menyatakan bahwa: “Satu
lafadz yang menunjukan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya
dengan jalan bergantian”.
Maksudnya
pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua
makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus
diartikan dengan arti salah satunya.[28]
Seperti kataقروء yang dalam
pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bisanya masa haid, lafazعىن bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang
memata-matai dan emas, lafaz as sanah diartikan dengan Hijriyah dan
Maladiyah (Masehi), lafaz al yad diartikan dengan tangan kanan dan
tangan kiri dan lafaz al Qursy yang diartiakan dengan sepuluh dan lima milimat
(nama uang di Mesir).[29]
2.
Sebab-sebab terjadinya
lafaz musytarak.
Sebab-sebab
terjadinya lafaz musytarak dalam bahasa Arab sangat banyak sekali, namu para
ulama ushul fiqih telah merumuskan sebab-sebab yang paling
mempangaruhi antara lain adalah:
a.
Perbedaan antara
suku-suku. Bagsa arab terdiri dari dua bangsa besar Adnan dan Qahtan. Setiap
bangsa terdiri dari suku yang bermacam-macam dan berpencar-pencar tempat
tinggalnya. Maka adakalanya satu suku mempunyai istilah dengan satu kata untuk
arti tertentu dan suku yang lain mengistilakannya untuk arti yang lain da nada
kalanya untuk kedua arti itu tidak terdapat kesesuaian sedikitpun. Ketika
bahasa Arab dikodifikasikan oleh ahli bahasa, kebanyakan mereka tidak
memperhatikan nisbah dari setiap makana kepada sukunya.
b.
Antara kedua
makana terdapat satu makna yang menyatukan keduanya, maka sesuailah kata itu
untuk mesing-masing dari keduanya, karena makna yang menyatukannya itu (al
ma’na al-jaami”). Hal inilah yang dinamakan isytirak makanawi
(homonym dalam makna). Kadang-kadang orang lupa pada makana yang menyatukan
itu, maka merekapun menduga bahwa kata itu dari jenis musytarak lafshi (homonym
dalam kata). Misalnya kata “al quru” yang dalam bahaa Arab berarti waktu
rutin, kemudian mereka mengatakan bahwa “Lil-huma qur-un” (sakit demam
ada waktunya), artinya siklus yang mentradisi dimana sakit itu muncul, “lits
tsurayya qur-un” (bintang ketika memiliki waktu) artinya waktu yang
mentradisi dimana hujan turun pada waktu itu, “Lil mar’ah qur-un”
(perempuan mempunyai waktu) artinya waktu mengalami menstruasi dan masa suci.
Seperti contoh-contoh itulah kata “an-nikah” yang dlam bahasa Arab berarti
mengumpulkan, maka dua kata yang dikumpukan satu sama lainnya disebut nikah.
Dan ini adalah teransaksi, dua tubuh dikumpulkan satu sama lainnya disebut
nikah, tetapi yang popular kata itu disebut untuk (istilah salah satu) akad.
Ulama Syafi’iyah menduga kata “nikah” merupakan (kata yang
memilki arti) hakikat (harfiyah) dan menyebutkannya sebagai berkmpulnya dua
fisik lebih jelas.Ulama Hanafi juga menduga (kata “nikah” tersebut) merupakan
bentuk harfiyah (hakikat). Pada hakikatnya kata itu homonym dalam menyatukan
kedua makana, akan tetapi yang banyak dipakai dalam bahasa Syara’ adalah untuk
arti akad sehingga tidak terdapat dalam Al-Qur’an maksud kata “nikah” selain makna
yang banyak dipakai itu, kecuali pada satu bentuk upaya yang tidak dipikir
matang secara tidak langsung.
c.
Penetapan kata
pada awalnya untuk satu makna kemudian dialihkan ke makna lain, karena ada
hubungan, kemudian hbungan ini dilupakan atau hilang. Maka timbul dugaan bahwa
kata itu ditetapkan bagi masing-masing dari kedua makna itu tanpa dilihat,
karena kesesuaian antara keduanya. Sedikit diantara ahli-ahli bahasa yang
memperhatikan antara makna-makna hakiki (harfiyah) dari kata-kata dan
makna-makna majazinya (metaphor)
d.
Peletak kata
untuk sesuatu yang memiliki makana dan diwaktu mengisyaratkannya terdapat arti
lain bersamanya. Maka ia pun diterima oleh pendengarnya tanpa memastikan
hakikat arti dari kalimat itu, sehingga dipergunakan dalam sesuatu dalam arti
yang pertama atau keduanya bersama-sama dan barangkali sesudah itu akan
terpisah dan adakalahnya merupakan dua arti yang berlawanan. Seperti kata “jun”
yang pertamakali berarti awan dan dalam awan itu ada warna putih dan hitam
sehingga ada warna putih murni itu atau hitam murni dikatakan jun.
Inilah berdasar
pada semua factor yang tampak yang istilah isytirak disimpulkan darinya dalam
(kajian) bahasa. Peletak kata untuk satu makna kemudian ditetapkan lagi untuk
arti lain tanpa adanya hubungan antara kedua arti itu atau bersamaan, maka hal
ini sesuatu yang tidak kami duga terjadinya kecuali sedikit seperti penetapan
bentuk maf’al untuk tempat dan waktu.[30]
3. Ketentuan
hukum lafaz musytarak.
Apabila
dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-sunnah terdapat lafaz yang musytarak maka
menurt kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulam ushul adalah sebagai
berikut:
a.
Apabila lafaz
terebut mengandung kebolehan terjadiya hanya musytarak antara arti bahasa dan
istilah syara, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara, kecuali ada
indikasi ang menujukan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahsa.
b.
Apabila lafaz
tersebut mengandug kebolean terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah
salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menujukan
salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah
haliayah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah disiniadalah
kata yang menyertai nash. Adapun yang dimaksud qarinah haliyah
adalah suatu keadaan/kondisi tertentu masyarakat Arab
saat turunnya nash tersebut..
c.
Jika tidak ada
qarinah yang dapat menguatkan salah-satu arti lafaz-;afaz tersebut, menurut
golongan Hanafiyah harus di mauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan
salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan
menggunakan salah satu artinya.
4. Contoh-contoh
lafaz musytarak.
Dalam
Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak yang antara lain dalam firman Allah
Swt surat al-Baqara ayat 222, yang berbunyi:
وَيَسَۡٔلُونَكَ
عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا
تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ
أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ
ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haidh; dan janganlah kamua mendekati mereka, sebelum mereka
suci.Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”
Lafadz
المحىض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula tempat
keluarnya dara haidh (makan).Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan
tempat keluarnya dara haidh.Karena adanya qarina Haliyah yaitu bahwa
orang-orang Arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli
isteri-istrinya alam waktu haidh.Sehingga yang dimaksud lafdz المحىض diatas adalah bukanlah waktu haidh, akan tetapi larangan untuk
istimta’ pada tempat keluarnya dara haidh (qubul).
Contoh
lain sebagimana yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓء
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali ,
Lafadz
quru’ dalam pemakaian bahasa Arab bisa berarti masa succi dan bisa pula berarti
masa haidh.Oleh karena itu seorang ujtahid harus mengerahkan segala
kemampuannya untuk mengetahui makna yang dimaksudkan oelh syar’I dalam ayat
tersebut.
Para
ulama berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz’ quru tersebut diatas. Sebagian
ulama yaitu Imam Syafi’I mengartikannya
dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena, adanya indikasi
tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan: tsalatsah) yang menurut kaida bahasa
Arab ma’dudnya harus muzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan
Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh.Dalam hal ini beliau
beralasan bahwa, lafadz tsalatsah adalah lafadz yang kahs yang secara dzahir
menunjukan sempurnannya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan
tambahan.Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh.Sebab jika
lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
Contoh
lain dalah surat Al-Baqarah ayat 229, yang berbunyi:
ٱلطَّلَٰقُ
مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰن
Artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma´ruf atau mencert dalam ibadah tertentuaikan dengan cara yang
baik”.
Dalam
ayat tersebut diatas lafadz al-thalaq
harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepakskan tali ikatan
hunbungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti
“melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain. “dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadz ashalah pada ayat tersebut dapat
bisa magandung arti dalamistilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam
isti;ah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu.
Berikut ini contoh lafadz ashalah yang diartikan dengan makna istilah
bahasa, yaitu dalah firman Allah Swt surat al-ahzab ayat 56, yang berbunyi:
إِنَّٱللَّهَ
وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
Artinya:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya”.
Lafadz ashalah
pada ayat tersebut bukan bermakna shaat daam ibadah tertentu, akan tetapi
mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena ashalah
dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah Swt dan kepada para
Malaikat.Sedangkan shalat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.[31]
F. Penutup
Berdasarkan
pemaparan materi diatas, dapat kita simpulan bahwa takwil merupakan pengalihan
makna dari makna yang sudah jelas kepada makna yang tidak jelas dikarenakan
adanya suatu alasan yang kuat. Adapun takwil dibagi menjadi dua macam yaitu
takwil arib dan takwil ba’id. Sedangkan naskh merupakan suatu pembatalan atau
penghapusan suatu hokum yang datang terlebih dahulu dikarenakan adanya hokum
yang datangnya kemudian. Adapun berdasarkan dalil yang menaskhnya, naskh dibagi
menjadi dua yaitu naskh sharih dan nash dzimmi, sedangkan menurut hokum yang
menaskhnya naskh dibagi menjadi dua yaitu naskh kulli dan naskh juz’i.
Berbicara masalah muradhif, muradif merupakan lafadz yang
mempunyai makna yang sama atau bisa kita sebut dengan sinonim. Sedangkan
musytarak yaitu lafadz yang mengandung lebih dari satu makna. Kata
musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata
tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah
satunya
Daftar Pustaka
Biek,
Muhammad al-khudhari. Ushul Fiqih. Jakarta:
Pustaka Amani.
Husni, Muhammad dan Fathul Wahab. Teori Nasakh Mansukh dalam Penetapan
Hukum Syari’at Islam . Annaba: Jurnal Pendidikan Islam. Volume 4 No. 2, 1
September 2018.
Khalaf, Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani
Malik, Abdul Rahman. Abrogasi
dalam Al-Qur’an: Studi Nasikh dan Mansukh. Jurnal Studi Al-Qur’an.
P-ISSN : 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614.
Razzaq,
Abdur. Studi Analisis Komparatif Antara Ta’wil dan Hermeneutika
dalam Penafsiran al-Qur’an. Wardah: Vol. 17 No. 2/ Juli-Desember
2016
Saebani,
Beni Ahmad. 2017. ilmu Ushul Fiqih. Bandung : CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta : Logos Wacana
Ilmu.
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i.
Malang: CV Dream Litera.
Ulama’i, Hasan Asyari. Konsep Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an.
Jurnal Didaktika Islamika.Volume 7 Nomor 1 Februari 2016.
Zaid,
Nasr Hamid Abu. 2016. Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta: IRCiSoD.
Zein, M.
Ma’sum. 2013. Menguasai Ilmu Ushul Fiqih.Yogyakarta:
Pustaka Pesantren.
[1] Beni
Ahmad Saebani, ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2017), 156
[2]
Abdur Razzaq, Studi Analisis Komparatif Antara Ta’wil dan Hermeneutika
dalam Penafsiran al-Qur’an, Wardah:
Vol. 17 No. 2/ Juli-Desember 2016, 96
[3] M.
Ma’sum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2013), 345
[4] Nasr
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), 293
[5] M.
Ma’sum Zein, 347
[6] M.
Ma’sum Zein, 347-348
[15] Hasan Asyari Ulama’i, Konsep Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an,
Jurnal Didaktika Islamika, Volume 7 Nomor 1 Februari 2016, 65
[19]Abdul Rahman Malik, Abrogasi dalam Al-Qur’an: Studi Nasikh dan Mansukh, Jurnal Studi
Al-Qur’an, P-ISSN : 0126-1648, E-ISSN: 2239-2614, 106-107
[22] Muhammad Husni dan Fathul Wahab, Teori Nasakh Mansukh dalam Penetapan
Hukum Syari’at Islam , Annaba: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 4 No. 2, 1
September 2018, 312
[23] Muhammad Husni dan Fathul Wahab, Teori Nasakh Mansukh dalam Penetapan
Hukum Syari’at Islam, 312
[27] Muhammad al-khudhari Biek, 307
[29]Abdul
Wahhad Khalaf, 228
Komentar
Posting Komentar