DENGAN
POLITIK DAN BUDAYA
(study
library research era pra kemerdekaan sampai era reformasi)
Ali Hasan
Assidiqi, Layli Nur Azizah
(Mahasiswa
PAI-B Semester 4 UIN Maliki Malang)
Abstract
The
reviewing history of Indonesia independence several decades ago, certainly not
separated from religion. One of wich is its association with existing politics
and culture. We already know that in the begininning journey of Islam is always
related to the existing culture in Indonesia society. And from that also then
sice the colonial era, Islam provides assistance to fiht with varios efforts
including with politics. After succesfully harboring the colonization of
existing religion and the national community in proclamastion independence of Indonesia. In this regime sytem emerges
various arguments about politics and culture related to the growing parties
that effect the world of goverment and culture the exists. Of the many that
evidently in everybgoverment or era there are some differences and developments
significantly so that the authours diccused in the material of this journal.
Abstrak
Meninjau histori kemerdekaan
Indonesia beberapa puluh tahun silam, tentu tidak lepas dari agama. Salah
satunya adalah keterkaitannya dengan politik dan budaya yang ada. Kita sudah
mengetahui bahwa dalam perjalanan awal yaitu Islam selalu berkaitan dengan
budaya yang ada pada masyarakat Indonesia. Dan dari itu pula maka sejak zaman
penjajahan, Islam memberikan bantuan untuk melawan dengan berbagai upaya
termasuk dengan politik. Setelah berhasil memendam penjajah bersama agama yang
ada serta masyarakat nasional maka di proklamasikanlah kemerdekaan Indonesia.
Dalam sistem pemerintahan inilah munculah berbagai argument tentang politik dan
budaya yang berkaitan dengan agama hingga pada era reformasi. Bukan hanya hal
tersebut tentang agama dalam politik ini juga berkaitan dengan partai-partai
yang semakin berkembang sehingga memperngaruhi dunia pemerintahan dan budaya
yang ada. Dari sekian yang berkembang ternyata dalam setiap pemerintahan atau
era terdapat beberapa perbedaan dan perkembangan secara signifikan sehingga hal
tersebutlah penulis bahas dalam materi jurnal ini.
Kata
Kunci: Hubungan Agama, Politik, dan Budaya
Pendahuluan
Membicangkan
relasi agama dan politik di Indonesia tidak dapat lepas dari proses resiprokal antara
satu dengan lainnya. Kedua entitas diatas memiliki proses tarik menarik dalam
hal kepentingan. Agama memiliki peran strategis mengkonstruksi dalam memberikan
kerangka nilai dan norma untuk membangun struktur negara dan kedisplinan
masyarakat. Sedangkan, negara menggunakan agama sebagai legitimasi untuk
mengikat warga negara secara keseluruhan untuk mematuhi negara. Adanya hubungan
timbal balik itulah yang kemudian menimbulkan hubungan dominasi atau
keterkaitan antar kedua entitas tersebut. Selain hal tersebut juga yang tak
kalah penting adalah budaya dimana kita ketahui setiap politik dan agama pasti
tidak lepas dari budaya yang ada walaupun tidak terlalu terpengaruh secara
keseluruhan.
Di Indonesia
sendiri antara kontkes hubungan agama dan juga politik tidak dapat dipisahkan
oleh perjalanan waktu yang dimulai dengan masuknya Islam (Rusli 1999: 19).
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Sejak dulu konversi agama kepada Islam
telah ditandai oleh motif komersial dan politik. Kemudian pada abad ke 13
orang-orang Gujarat membawa Islam yang bercorak “sufisme” dengan
menyesuaikan budaya dan lingkungannya sehingga mudah diterima.(Howell 1982: 157-8).
Menurut
Mintz, Islam di Indonesia tidak dapat disamakan dengan Islam di negara manapun.
Sebagai sebuah unsur tambahan dari agama-agama yang telah ada, disamping
mempersatukan umat Islam di Indonesia merupakan sebuah kekuatan fleksibel dan
dinamis, tidak kaku dalam adaptasinya terhadap kehidupan modern. Faktor inilah
yang menyebabkan Islam memainkan peran penting sebagai kendaraan bagi
nasionalisme dan pembangunan sosial dan politik di Indonesia (Mintz 1965: 173).
Di
samping itu kedatangan bangsa-bangsa penjajah
yang mempunyai kepentingan sendiri juga turut mewarnai corak perwujudan
Islam di Indonesia. Penjajah telah mengunakan kekuasaannya untuk menghancurkan
peran politik Islam. Islam hanya berfungsi sebagai agama ritual yang serba
pasif. Namun dengan demikian menurut Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers, Islam
telah memainkan peranan penting sekaligus sebagai simbol untuk menentang
penjajah dan sebagai alternatif dari pandangan dunia. Bahkan menurutnya pula,
Indonesia merupakan bangsa beragama tetapi tidak menjadikan kepercayaan manapun
sebagai agama resmi dan wajib negara (Rusli 1999: 20).
Fenomena
keagamaan di Indonesia jauh lebih rumit daripada keberadaan lima agama resmi
yang diakui oleh negara, karena suku-suku kecilpun mempunyai kebiasaan dan kepercayaan agama yang
berbeda-beda, sedangkan Islam telah mengakomodasi berbagai tradisi lokal.
Disamping itu ciri-ciri pencampuran tersebut baik hindu dan budha lebih
bercorak sekular. Nilai-nilai sosial budaya Jawa yang “partenalistik”
juga mempersubur hubungan “patron-klien” dalam perilaku politik para pemegang
kekuasaan. Persoalan ini makin memperumit hubungan agama dan politik. Oleh
karenanya agar memudahkan maka dalam hal ini terbagi menjadi 4 tahapan masa
yaitu tahap pertama (tahun 1912 sampai proklamasi kemerdekaan), tahap kedua
(tahun era orde lama), tahap ketiga (tahun era orde baru) dan tahap keempat (Tahap
Era Reformasi hingga saat ini) (Rusli
1999: 21). Dengan
adanya pemaparan diatas pula maka dalam jurnal ini penulis akan membahas apa
yang dimaksud dengan agama, politik dan budaya, faktor yang mempengaruhinya dan
hubungannya antra agama dan politik serta budaya di masing-masing eranya.
Pengertian Agama
Agama
secara etimologi berasal dari bahasa sanserkerta yang mana terdiri dari dua
kata A dan Gama. Dimana A mempunyai arti tidak dan Gama mempunyai arti kacau,
jadi jika digabung kedua kata tersebut maka menjadi tidak kacau (Bashori
2002:22). Hal ini menegaskan bahwasannya agama merupakan suatu peraturan yang
mengatur hidup manusia agar tidak berantakan. Selain itu ada pula yang
berpendapat bahwa pengertian agama disamakan dengan kata dari bahasa Inggris
yaitu religion dan dalam bahasa Belanda religie yang mana kedua kata tersebut asalnya dari
bahasa latin religio religio yang mempunyai arti mengikat (Dadang Kahmad
2002:13). Sedangkan dalam islam agama merupakan terjemahan dari Ad-din, yang
mana agama disini tidak hanya ditujukan untuk suatu agama saja melainkan yang
dimaksud Ad-din adalah agama seluruhnya yang ada didunia atau agama bersifat
umum.
Dalam
pandangan sosiologi agama merupakan masyarakat di dunia yang memiliki gejala
sosial yang umum. Agama merupakan bagian dari kehidupan sosial dan juga bagian
dari sistem sosial yang ada pada suatu masyarakat (Dadang Kahmad 2002:14).
Unsur kebudayaan masyarakat merupakan cara melihat agama, akan tetapi ada juga
unsur lain seperti kesenian, bahasa, mata pencaharian, dan sistem organisasi
sosial.
Pengertian Politik
Politik
secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “polis” yang mana dalam
bahasa Inggris disebut “politics”, keduanya merujuk pada arti yang sama
yaitu kebijaksanaan. Selain itu dapat
juga diartikan sebagai usaha agar dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Dimana hal ini disebutkan oleh Plato dan Aristoteles sebagai “en dam onia”
atau biasa disebut “good life”yang mana dalam bahasa Indonesia disebut
kehidupan yang baik (Komarudin Said 2011:4). Dalam perkembangannya analisis
politik tidak hanya mengulas tentang makna literal saja karena analisis ini
memiliki cakupan yang luas. Selain itu batasan tentang politik juga beragam,
yang mana keberagaman itu tergantung pada siapa yang membuat batasan melalui
sudut pandang sebelah mana.
Politik merupakan disiplin ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri, akan tetapi terkadang juga disebut sebagai
seni karena banyak politikus mahir berpolitik tapi tidak melewati pendidikan
politik tetapi hal itu merupakan bawaan lahir. Disisi lain politik memiliki
objek, subjek, terminologi, ciri, teori, filosofis, dan metodologis yang khas
dan spesifik yang mana dapat diterima seluruh golongan, hal ini merupakan sebab
politik dikatakan sebagai ilmu. Ilmu politik memiliki kesamaan objek bahasan
dengan ilmu pemerintahan, administrasi publik, hukum tata negara dan ilmu
negara yang mana ilmu ini sama-sama membahas tentang negara. Akan tettapi
ilmu-ilmu ini dapat dibedakan melalui sudut pandang berbeda yang berada
disetiap ilmu (Inu Kencana Syafiie dan Azhari 2009:7).
Di
bawah ini merupakan pengertian politik dan ilmu politik yang dikemukakan oleh
para ahli, diantaranya yaitu:
a. Menurut
Roger H. Soltau, ilmu politik untuk kedepannya akan dianggap ilmu yang
mempelajari tentang negara, maksud dan tujuan negaranya, hubungan anatar
negara, serta apa yang dipikirkan oleh warganya, dari penyebutan dan
pengumpulan kepentingan.
b. Menurut
Aristoteles, politik merupakan cara mendapatkan sesuatu yang di inginkan.
c. Menurut
Johan Kaspar Bluntschli, ilmu politik adalah ilmu yang memperhatikan masalah
kenegaraan, dimana berusaha keras untuk mengerti kondisi dan situasi sebuah
negara, memiliki sifat yang penting dalam berbagai bentuk manifestasi
pembangunan.
d. Menurut
Joice Mitchel, politik ialah pemungutan suatu keputusan secara bersama-sama
atau pemungutan kebijakan umum seluruh masyarakat.
e. Menurut Raymond G. Gettel, ilmu politik
merupakan ilmu yang berasal dari suatu negara, hal ini berlaku antar
seseorang dengan orang lain yang telah
tersentuh hukum , hubungan kelompok ataupun perorangan dengan negara, serta
hubungan negara dengan negara.
Pengertian Budaya
Kebudayaan
dari pendapat Koentjaraningrat yaitu
dari kata budhayah yang asalnya dari bahasa sanserkerta yang mana
merupakan bentuk jamak dari budhi yang artinya “budi” atau “akal”. Dalam hal
ini kebudayaan diartikan sebagai hal yang berhubungan dengan akal (Munandar
Soelaeman 2002:22). Kebudayaan seringkali disebut dengan istilah culture
yang mana istilah ini berasal dari bahasa latin colore yang memiliki
arti mengolah atau mengerjakan. Sedangkan menurut E B Tylor kebudayaan
merupakan kelompok yang mencakup kepercayaan, pengetahuan, kesenian, moral,
hukum, adat, kemampuan dan juga kebiasaan yang di peroleh manusia dalam suatu
masyarakat. Pada dasarnya budaya memiliki kaitan erat dengan pengetahuan dan
juga apa yang di percaya serta dianut di dalam suatu masyarakat. Sehingga hal
itu menimbulkan ciri khas pada tindakan yang tercermin dari nilai-nilai sosial
yang ada. Jadi dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan
adalah hasil yang diperoleh sekelompok masyarakat yang berasal dari kebiasaan
di lingkungannya.
Manusia
memiliki dua sisi kehidupan yaitu berupa sisi materiil dan sisi spiritual.
Dimana pada sisi materil ini manusia dapat menghasilkan karya yang berupa benda-benda ataupun hal lain yang
berwujud. Sedangkan pada sisi spiritual manusia mampu menghasilkan ilmu
pengetahuan, kehendak yang membuahkan hasil berupa kepercayaan , kesopanan,
hukum, kesusilaan, dan juga rasa yang menghasilkan keindahan. Karena intinya
manusia berupay untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan melalui etika serta mendapatkan keindahan dari estetika.
Faktor Menjadikan Agama Erat engan Politik di
Indonesia
a. Faktor
garis keturunan, dimana kedudukan orangtua dapat membawa anaknya pada kedudukan
yang hampir sama. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa tidak jarang ketika
ayahnya memerintahkan pada entah ketika ayah baru pensiun atau berhenti yang
menggantikannya adalah anak atau sanak keluarganya sendiri.
b. Faktor
banyaknya kenalan yang berpengaruh. Dalam hal ini dapat dilihat dari para
anggota yang dimana kadang dalam sebuah pemerintahan atau lembaga apapun tidak
jarang dari mereka adalah teman kenalan sendiri yang dapat memudahkan kerjasama
antara pihak atasan dan bawahan.
c. Faktor
kecakapan dalam berkomunikasi dengan sesama. Hal ini lebih kepada sifat
memajukannya atau menjadi berbagai pihak yang bisa mewujudkan sesuatu.
Hubungan Agama dengan Politik dan
Budaya di Indonesia
a. Tahap
Pertama ( 1912 sampai proklamasi kemerdekaan)
Pada
mulanya tahap ini dalam dunia politik Islam dimulai pada tahun 1912 yang
bermula lahirnya Sarekat Islam yang merupakan organisasi yang bermotif untuk
memperbaiki ekonomi dari semua kalangan yang telah dijajah oleh beberapa
kelompok portugis atau non pribumi dan lainnya (Rusli 1999: 21).
Bukan hanya itu berdirinya organisasi ini juga ditujukan untuk memperbaiki
posisi umat Islam di Indonesia dalam berperan membantu dan membangkitkan
masyarakat atau penduduk pribumi. Kemudian pada tahun ini pula disusul juga
dengan berdirinya Muhammadiyah yang dengan semangat pembaharuannya terhadap
prinsip kehidupan. Sedangkan dalam dunia umum partai pertama yang muncul adalah
Indische Bond sebagai kaum organisasi kaum indonesia dan eropa yang berada di
Indonesia. Organisasi ini muncul dan diresmikan pada 25 Desember 1912 oleh E.
Douwes Dekker. Namun partai ini hancur karena bersifat mengancam publick
akhirnya partai ini terlarang dan dibubarkan. Kemudian seiring berjalannya
waktu beberapa tahun kemudian Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) sebagai partai Islam pertama. Sedangkan Muhammaddiyah terus
berkembang menjadi organiasi kemasyarakatan yang memberikan prinsip masyarakat
modern, pendidikan dan amal sosial.
Bukan
hanya itu saja pada tahun ini pula juga mulai munculnya kembali partai baru
yaitu Indische Sosial Democratische Vereeneging (ISDV) oleh JA. Brandsteder, W.
Dekker, dan Begsma pada 9 Mei 1914. Karena organisasi ini kurang diterima oleh
masyarakat akhirnya bekerjasama dengan beberapa orang yang berpengaruh di
Insulinde akhirnya mereka menyusup ke PSII dan berhasil menghasut beberapa orang
seperti Semaun dan Darsono.
Dalam
perkembangan selanjutnya sejak tahun 1920an umat Islam semakin melibatkan diri
dalam kegiatan politik untuk menentang penjajah yang semakin ada. Bahkan ISDV
yang semakin menurun akhirnya menganti namanya dengan menjadi partai Komunis
Indonesia yang diketuai oleh Semaun. Namun PKI pada 13 November 1926 berani
keluar untuk memberontak walaupun terdapat tokoh belum siap di Jakarta, Jatim,
Jabar dan lainnya akhirnya partai ini dibubarkan. Dan tokoh-tokohnya pun ada
yang ditahan, kembali pada semula dan ada yang kabur ke beberapa luar jawa.
Setelah jatuhnya PKI maka Ir. Soekarno dengan mengumpulkan beberapa tokoh
membuat Partai Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927 yang
bertujuan bekerja untuk kemerdekaan Indonesia dengan asas percaya diri (artinya
memperbaikikeadaan politik, ekonomi, sosial dan lainnya). Pada tanggal 17-18
Desember 1927 diadakan rapat besar yang dihadiri PNI, PSII, Kaum Betawi, Budi
Utomo dan tokoh lainnya membentuk suatu federasi yaitu Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) serta gerakan
pemuda Indonesia (setelahnya) yang penutupannya tanggal 28 Oktober 1928
diucapkan sebagai sumpah pemuda.
Pada
tahun 1930an partai Islam masih tetap bebas dan tidak dilarang oleh Belanda
walau beberapa partai umum telah dibubarkan. Dan pada tahun ini pula menurut
Vander Kroef, kontribusi gerakan Islam sangat besar dalam memberikan sebuah
landasan sosial baru bagi negara Indonesia karena berdiri di tengah-tengah
perjuangan sosial yang beragam yang semboyangnya unruk menentang adat istiadat
kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan juga ajaran liberalis yang
ingin selalu memberontak kepada perdaimaian melalui unsur bertahap dan
termasukpula kaum abangan (Islam jawa) (Rusli 1999: 22).
Aktivitas
perjuangan Islam ini semakin membaik dan tampak ketika menjelang proklamasi
lebih-lebih ketika zaman penjajahan jepang. Dimana hal ini dapat dilihat dari
ketika pemimpin Islam masuk dalam tokoh BPUPKI tahun 1945 sebagai bentuk
melakukan perjuangan lebih baik lagi seperti menjadikan Islam sebagai dasar
negara. Namun tuntutan itu menimbulkan rekasi keras dari kelompok nasionalis,
abangan dan kristen yang kebetulan mayoritas di BPUPKI. Oleh karena itu Jepang
membentuk Panitia Sembilan sebagai penengah dan pada akhirnya yang menjadi
dasar pancasila adalah pancasila dengan makna tertentu. Dalam peristiwa ini
umat Islam mengalah demi kedudukan dan perdaimaan karen adalam hal ini lebih
dikuasi kelompok non Islam sehingga menurut Emmerson inilah pertama kali umat
Islam kecewa karena mereka minoritas walau mereka mayoritas (Rusli 1999: 23).
Pada
era ini (1945-1955) sarana pejuang politik umat Islam adalah Masyumi. Namun
akhirnya partai ini yang semula kuat menjadi menurun karena pecah menjadi dua
partai yaitu NU yang mebentuk partai sendiri tahun 1952. Pada pemilu 1955
masyumi meraih suara 20,9 %, NU 16,4% dengan total 44%. Dan lebih dari 35%
memilih PNI dan PKI sebagai pemenangnya. Hal ini tentu membuat semua pihak
terkejut tentang hasil pemilu tersebut.
b. Tahap
kedua Orde Lama (1957-1965)
Melanjutkan pembahasan dari masa
proklmasi maka ketika masuknya masa Orde Lama ini lebih banyak mengingat
tentang pemberontakan PKI yang dimulai ketika selesai pemilu yang dimana
ternyata masyarakat lebih percaya kepada PKI. Pemilu tahun 1955 ini melahirkan
empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi
pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung kurang
lebih selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
1. Gerakan separatis (tahun
1957).
2. Konflik ideologi antara
Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan
Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena itu konflik antara
Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam
kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, sehingga terjadilah Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra.
Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata
Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat
diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru yang menjadikan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Pada perang revolusi yang berlangsung antara tahun
1960-1965 yang juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun
1965 telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau
terdapat kerugian yang sangat tinggi. Pada puncak kejayaan orde lama ini pula
terdapat beberapa hal menarik lainnya yang sampai saat ini masih digunakan oleh
bangsa Indonesia sebagai suatu bukti sejarah seperti: Nasakom (Nasional Agama
dan Komunis), Jas Merah (Jangan Lupakan Sejarah), Tavip (Tahun Vievere Veri
Coloso) dll (Inu Kencana Syafiie dan Azhari
2009: 43).
c. Tahap
Ketiga Masa Orde Baru (1966-1998)
Peristiwa
yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partain Komunis Indonesia
(G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1
Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang
memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu
untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai
Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian
wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah
sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang
dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI
berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI
sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI
ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke
pulau luar jawa.
Hal menariknya pada masa orde baru
selain dikenal dengan sebutan Orde Pembangunan juga terdapat beberapa pandangan
tersendiri terhadap orde baru ini. Salah satunya menurut Nasution didasarkan
pada tuntunan nyata yang dialami bangsa Indonesia ketika itu yaitu keadaan
ekonomi yang sangat memperihatinkan dan perbaikan menyeluruh pelaksanaan UUD
1945 yang telah diselewengkan oleh Orde Lama (Rusli 1999: 42).[1] Dengan
kata lain orientasi pembangunan Orde Baru mestilah diarahkan unruk membangun
ekonomi dan menciptakan kestabilan politik. Strategi pembangunan mengalamai
perubahan menyeluruh.
Orde baru bukan saja baru dalam orientasi dan
peperancangan pembangunannya tetapi orang-orang yang terlibat pun juga baru.
Seperti telah dikemukakan, satu kekuatan baru memainkan peran penting adalah
dari kalangan tentara, ABRI. Menurut Danoon, Soeharto sendiri ketika itu
menempati peringkat ke 10 dalam hierarki ABRI. Tetapi, dengan kecerdasannya ia
muncul menjadi orang yang paling berpengaruh. Dari sinilah ia mempunyai
kekuasaan mengangkat ABRI sesuai dengan tujuan yang telah digariskannya. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, banyak tentara yang dilibatkan ke
dalam politik dengan alasan untuk menjaga stabilitas politik ini bisa dilihat
dalam jumlah ABRI yang dilantik dalam tiga kabinet pertama Orde Baru: Kabinet
Ampera sebanyak 48 persen, Kabinet Pembangunan 1,29 persen, dan kabinet
pembangunan II 21 persen (Rusli 1999: 42).
Soeharto berhasil memilih kebijakan yang tepat
untuk memperkuat kedudukannya, yaitu menciptakan kerangka kelembagaan untuk
membuat satu permufakatan baru dan bukan dengan membangun “koalisi” dengan
partai-partai yang sudah ada (Mas’oed 1983: 167-168). Dasar ini jelas
mengurangi “medan” politik kalngan sipil karena terjadi proses “javanisasi”
yaitu dominasi elit oleh kelompok jawa (Mulder 1996).
Masih konteks dominasi elite politik, dimana
dalam hal ini menarik sekali berkitan dengan politik dan budaya serta agama
yaitu pengangkatan dua pembantu dekatnya yang apling pengaruh pada fase awal
Orde Baru yaitu Sultan Hamengkubuwono IX (Raja Yogyakarta) untuk urusan ekonomi
dan Adam Malik bekas tokoh partai Murba untuk urusan luar negeri. Bahkan
menurut Neher dalam bukunya dengan tegas menyatakan bahwa Adam Malik adalah
orang “marxis-kiri Sultan Hamengkubuwono IX yang nasionalis abangan sekular dan
Sumitro Djojohadikusumo yang sosialis (Rusli
1999: 43)[2].
Soeharto sendiri pada awalnya juga penganut
setia aliran kepercayaan. Menurut Husnie Thamrin dalam wawancara dengan
penulis, para menteri yang setia kepada Soeharto mestilah menyesuaikan diri
dengannya tersebut. Dari sinilah hampir semua pengamat politik Indonesia
berkesimpulan bahwa tentara elit Orde Baru yang direkrut oleh Soeharto pada
umumnya adalah kelompok abangan dan bahkan menurut Hamka Islam lebih bahaya
dari pada PKI (Rusli 1999: 43).
Dominannya perpaduan unsur Jawa-Abangan ini bisa
dilihat dalam tokoh yang paling dominan di sekeliling Seharto yang Jenkins disebut
“inner circle” : Ali Moertopo, Yoga Sugama, Sudomo, dan Benny Murdani
yang ditambah dengan Amirmachmud sebagai kelompok pragmatik. Sedangkan
jenderal-jenderal yang berada di outhor circle adalah: Panggawebean, Widodo, M.
Jusuf, Sutopo Juwono dan Darjatmo. Konon diantara banyak tentara yang ikut
dalam politik hanya alamsyakh saja yang berkepedulian dengan umat Islam secara
keseluruhan sehingga dikenal jenderal dakwah (Rusli
1999: 44). Oleh karena itu segera disingkirkandari kabinet menjadi kedutaan
besar untuk negara Belanda.
Untuk merealisasikan cita-cita pembangunan
tersebut Soeharto telah mengangkat banyak “tekbokrat” yaitu pakar ekonomi yang semuanya dalah orang
sosialis. Dan dari sinilah pembangunan ekonomi dan pelestrian politik dalam
kelilingan Soeharto lebih dominan kepada tentara abangan, nasionalis, dan
teknokrat dan katholik. Sedangkan tokoh Islam yang berperan aktif seperti
santri dan mahasiswa walau tidak bisa menenmpati posisi terpenting dalam kabinet.
Alasan tersebut berdasrkan karena pemimpin bukan dari kalngan santri dan
keterbatasan jumlah penduduk santri dan mahasiswa yang siap dan mampu terjun
secara langsung.
Sedangkan tentang pasca pemilu tahun
1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian karena
partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas. Dengan adanya
pernyataan gagasan tersebut maka timbullah sikap Pro dan Kontra karena dianggap
membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya
kedalam golongan nasional, spiritual dan karya. Pada tahun 1973 konsep
penyederhanaan partai (Konsep Fusi) yang telah dipaparkan diatas sudah dapat
diterima oleh partai-partai yang ada dan disahkan melalui Undang-Undang No.
3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan. Sistem fusi ini berlangsung hingga
lima kali Pemilu dalam pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan
1997). Partai yang disahkan dan diakui yang merupakan penyerdehanaan partai
terdapat 3 partai yaitu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan
gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI, Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katholik, Partai Murba, IPKI dan
Pakindo dan Partai Golongan Karya (GOLKAR). Semua penyederhanaan tersebut
bertujuan agar pada masa orde baru ini dapat menciptakan stabilitas kehidupan
berbangsa dan bernegara yang baik. Sedangkan hasil dari pemilu pada masa orde
baru ini dapat dilihat pada rincian berikut ini:
1. Pemilu
1971
a) Pejabat negara harus bersikap netral
dan hal ini sangat berbeda dengan pemilu 1955 dimana pejabat negara termasuk
perdana menteri dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
b) Organisasai politik yang dapat ikut
pemilu adalah parpol yang diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
c) Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 pemilih
dengan tujuan untuk memilih 460 orang anggota DPR (360 orang anggota dipilih
dan 100 orang diangkat).
d) Pemilu ini diikuti oleh 10 partai
yaitu Partai Golongan Karya menghasilkan 236 kursi, Partai Nahdlatul Ulama
menghasilkan 58 kursi, Partai Muslimin Indonesia menghasilkan 24
kusi, Partai Nasional Indonesia menghasilkan 20 kursi, Partai Kristen Indonesia
menghasilkan 7 kursi, Partai Katolik menghasilkan 3 kursi, Partai Islam Perti
menghasilkan 2 kursi, Partai Murba dan Partai IPKI menghasilkan tidak ada
satupun kursi.
2. Pemilu
1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977
pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai
penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai
politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 menghasilkan 232
kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3. Pemilu
1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada
tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional
meningkat karena sekalipun Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di
Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP.
Golkar memperoleh 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.
4. Pemilu
1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada
tanggal 23 April 1987 dengan hasil:
a) PPP memperoleh 61 kursi mengalami
pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 yang disebabkan adanya larangan penggunaan asas Islam
(pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan
diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
b) Sementara Golkar memperoleh tambahan
53 kursi dan menjadi 299 kursi.
c) PDI memperoleh kenaikan 40 kursi
karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh
Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5. Pemilu
1992
Pemilu tahun 1992 dilaksanakan pada 9
Juni 1992 dengan hasil Golkar menurun (299 kursi menjadi 282 kursi), PPP
memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6. Pemilu
1997
Pemilu keenam ini dilakukan pada 29
Mei 1997 dengan hasil:
a) Golkar memperoleh suara 74,51 %
dengan perolehan kursi 325 kursi.
b) PPP mengalami peningkatan sebesar
5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
c) PDI mengalami kemerosotan yang
mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan
terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur
selama Orde Baru diatas terkesan menimbulkan bahwa demokrasi di Indonesia
sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh
asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu
diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang
selalu mencolok memenangkan sejak pemilu 1971 sampai 1997. Kemenangan Golkar
yang selalu mendominasi untu menang dalam pemilu tersebut ternyata sangat
menguntungkan pemerintah dimana terjadi keseimbangan suara di MPR dan DPR.
Keseimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia
selama enam periode pemilihan. Selain itu setiap Pertangungjawaban, Rancangan
Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan
dari MPR dan DPR tanpa catatan walau sekecil apapun.
d. Tahap
Keempat (Masa reformasi sampai sekarang)
Reformasi merupakan suatu perubahan
tatanan kehidupan lama dengan tatanan kehidupan baru yang secara hukum menuju
ke arah perbaikan. Gerakan reformasi pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan
untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang
politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang ada di Indonesia. Situasi
politik dan kondisi ekonomi di Indonesia pada akhir Orde Baru semakin tidak
terkendali yang membuat rakyat menjadi semakin kritis dengan menyatakan
pemerintah Orde Baru tidak berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang
makmur, adil, dan sejahtera. Oleh karena itu, munculnya gerakan reformasi
bertujuan untuk memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Bukan
Era reformasi, yang mendukung demokrasi secara substantif, memberikan kebebasan
warga untuk berekspresi dan berasosiasi sebagai bagian dari partisipasi
politik, termasuk kritik dan oposisi terhadap pemerintah. Jika pada masa Orde
Baru, oposisi itu dianggap sebagai bertentangan dengan ideologi negara, maka
pada era reformasi opisisi ini justru dianggap sebagai suatu keniscayaan dalam
sebuah demokrasi, karena pemerintah harus selalu dikontrol agar tidak melakukan
kesalahan-kesalahan dan penyalahguna an kekuasaan. Tentu saja, oposisi yang
dimaksud bukan lah oposisionalisme melainkan opisisi loyal. Oposisionalisme,
yang lazimnya bersifat destruktif, meng gunakan prinsip bahwa setiap persoalan
yang ber asal dari pemerintah pasti dianggap salah dan oleh karena nya harus
ditolak. Sebaliknya, oposisi loyal dan konstruktif menggunakan prinsip bahwa
jika kebijakan pemerintah yang diputuskan itu sejalan dengan aspirasi
politiknya untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, ia harus
dianggap benar.
Dalam sejarah sendiri Odre Reformasi
ini dimulai pada 1 Mei 1998 yang dimana
pak Harto (presiden kedua) mengundurkan diri sebagai presiden RI yang disambut
oleh masyarakat karena pada waktu itu kestabilan di masyarakat tidak membaik.
Namun pergantian resmi ini terjadi pada tanggal 21 Mei 1998 jam 10.00 WIB yang bertempat
di Istana Negara. Presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai presiden di
hadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah Agung dan menunjuk Wakil
Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya menjadi presiden. Pelantikannya sendiri
dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu
Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang
ke-3 di negara Indonesia.
Dalam
sejarah sendiri presiden BJ Habibie memerintah selama 1 tahun mulai dari 21 Mei
1998 sampai 20 Oktober 1999. Ketika awal penyerahan kekuasaan ini dalam kubu masyarakat
terutama mahasiswa terdapat tiga bagian yaitu ada yang tidak menerima karena
merupakan produk orde baru, bersikap netral karena kekosongan pemimpin dan juga
ada yang berpendapat sah dan setuju.
Dalam
melakukan reformasi di bidang politik, BJ Habibie memberi kebebasan kepada
seluruh masyarakat Indonesia untuk membentuk partai dengan tujuan untuk
memajukan negara. Namun semua itu tetap sesuai peraturan dan tidak
melanggarnya. Bukan hanya itu dalam hal ini pula BJ Habibie membebaskan dua
tokoh narapidana politik yaitu Sri Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan yang
ditahan ketika zaman presiden kedua.
Sedangkan dalam politik Islam pada
masa ini banyak dilakukan, seperti keikut aktifan para tokoh Islam melalui
mendukung partai (NU mendukung partai PKB) tahun 1999. Bergitupula dengan
Muhammadiyah dan generasi Masyumi yang
turut berperan andil dalam kampanye pemilu yang mendukung PAN dan PKB. Dalam pemilu sendiri terdapat 48 partai dan
pada hasil pemilu 1999 ini maka menghasilkan beberapa keputusan yaitu akhir
jabatan Bj Habibie dan di alihkan kepemimpinan kepada KH. Andurrahmah Wahid
dengan wakil Megawati Soekarno Putri. Untuk mengetahui perbedaan antara
hubungan agama dalam dunia politik dalam setiap pemilu dapat kita telurusi dari
perbandingan antara partai agama termasuk Islam dengan partai nasionalis atau
nasional.
Pemilu tahun 1999
partai-partai Islam memperoleh dukungan yang cukup besar dari umat, yaitu: PKB
mendapatkan 12,61%
suara, PPP mendapatkan 10,71%, PAN mendapatkan 7,12%, PBB 1,94%, dan PK mendapatkan 1,36%. Sedangkan partai
nasionalis mendapatkan suara
sedikit
lebih besar dari pada partai Islam, yakni PDIP memperoleh 33,74% dan Golkar memperoleh
22,44%. Namun dalam Pemilu
tahun 2004 dukungan itu semakin
berkurang,
yakni PKB mendapatkan 10,67% suara, PPP mendapatkan 8,15%, PKS 7,34%, PAN
mendapatkan 6,44%,
PBB mendapatkan 2,62%, sedangkan partai nasionalis: Golkar memperoleh 21,58%
suara, PDIP memperoleh
18,53%, dan PD memperoleh 7,45%.
Dalam hal agama dan budaya serta politik pada masa gusdur
memang terbilang tetap bergejolak. Hal ini dikarenakan karena masih adanya
beberapa kelompok yang tidak menerima terhadap keputusan presiden yang tidak menginginkan
Islam menjadi dasar negara Indonesia sehingga menimbulkan beberapa kericuhan
antar etnis dan agama seperti: kerusuhan antar agama di poso dan lombok,
kerusuhan etnis madura dan etnis dayak di kalimantan tengah dan juga beberapa
bom.
Berlanjut pada pemilu tahun 2004 (presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden) ini sedikit berbeda
dimana dalam hal ini antara calon presiden dan wakil presiden sudah menjadi
satu kesatuan sehingga memudahkan masyarakat dalam memilihnya tanpa melihat
status kaya atau miskin. Pada pemilu ini terdapat 24 partai saja.
Dan pada pemilu tahun 2009 (presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi
pemenangnya) dukungan umat Islam terhadap partai Islam semakin mengecil. Hasil
pada pemilu ini meliputi: PKS mendapatkan 7,88% suara, PAN mendapatkan 6,01%,
PPP mendapatkan 5,3%, dan PKB mendapatkan 4,94%, sedangkan partai nasionalis: PD
memperoleh 20,35% suara, Golkar memperoleh 14,45%, PDI-P memperoleh 14,03%,
Gerindra memperoleh 4,46%, dan Hanura memperoleh 3,77%.
Begitupula
dengan hasil pemilu tahun 2014 yang menhasilkan PKS mendapat 6,79%, PAN
mendapat 7,59%, PPP mendapat 6,53%, PKB mendapat 9,04% dan NASDEM mendapat
6,72%. Sedangkan partai nasionalis: PDI mendapat 18,95%, P.Golkar mendapat
14,75%, Gerindra mendapat 11,81%, Demokrat mendapat 10,19% dan Hanura mendapat
5,26%. Dari hasil pemilihan umum serta pemilihan kepala daerah yang telah
berlangsung diatas menunjukkan bahwa partai-partai Islam pada saat ini kurang
mendapatkan dukungan yang besar dari umat. Berkurangnya dukungan terhadap
partai-partai Islam itu disebabkan oleh beberapa faktor, baik internal maupun
eksternal yang meliputi: Pertama, mayoritas umat tidak lagi memahami Islam sebagai
ideologi politik sebagai hasil dari kebijakan deidelogisasi politik pada masa
Orde Baru. Kedua, ada perubahan karakteristik pemilih menjadi lebih rasional dari
pada emosional, dan lebih pragmatis dari pada idealis termasuk adanya geajala
politik uang (money politics). Ketiga, keuangan dan kepemimpinan
partai-partai nasionalis relatif lebih kuat dibandingkan dengan partai-partai
Islam. Keempat, munculnya konflik internal partai Islam yang berakhir pada pemecatan
atau pemisahan diri pihak-pihak yang berbeda pendapat, meski konflik semacam
ini juga terjadi pada partai-partai nasionalis. Kelima, partai-partai
nasionalis mengakomodasi aspirasi dan kepentingan umat Islam. Keenam, partai-partai
nasionalis juga mengakomodasi sejumlah pemimpin Islam masuk ke dalam
partai-partai nasionalis.
Penutup
Berdasarkan
analisis study library research pada permaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa bahwa ketika Islam masuk di Indonesia sudah dimulai dengan adanya
keselarasan untuk menyesesuiakan dengan budaya. Penyebaran tersebut pula juga
memalui sistem politik. Namun semua itu tidak ditujukan pada kepentingan
pribadi karena Islampun juga membantu dalam memecahkan keruntuhan atau
permusuhan seperti mengusir para penjajah bersama para pejuang nasionalis dan
agama lainnya.
Begitupula
dengan hubungan agama dengan politik dan budaya dari era pra kemerdekaan sampai
era reformasi. Walaupun terbilang berbeda dalam setiap era tetapi semua itu
tidak lepas dari sistem politik dan budaya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan
adanya partai-partai dan juga adanya kesepihakan untuk membela dan mengrekrut
agama atau etnis sejenisnya. Oleh karena itu dari pemaparan penjelasan pada
penulisan jurnal ini menyimpulkan bahwa dalam setiap era di Indonesia dalam
hubungan agama dengan politik dan budaya sangatlah dominan dan saling berkitan.
Daftar Pustaka
Karim,
M Rusli. 1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik “suatu kajian mengenai
keberadaan Islam politik di Indonesia”. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Howell,
J D. 1978. Modernizing religion reform and the far eastern religion in
twentieth
century Indonesia (Edisi Penerjemah M. Yusuf). Jakarta: Dian Rakyat
Mintz,
J S. 1989. Marxism in Indonesia (Edisi Penerjemah Ali Taha). Stanford:
Stanford
University Press.
Abdillah, Masykuri. Hubungan Agama
dan Negara dalam Konteks Modernisasi Politik di
Sahid,Komarudin. 2011. Memahami
sosiologi politik.. Bogor. Ghalia Indonesia.
Kencana, inu syafiie dan azhari. 2009.Sistem
politik indonesia.Bandung. PT Refika Aditama.
Bashori.2002.Ilmu Perbandingan Agama
(suatu pengantar).Malang.Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri
Malang.
Kahmad,Dadang.2002. Sosiologi Agama.
Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
[1] Keterangan lebih lengkap bisa
dilihat di (Nasution 1989: 193 dan 1993: 17, Denoon 1971, Ramli 1922: 43-46)
[2]
Keterangan bisa dilihat lebih jelas di (Neher 1981, Cady 1974: 288-297)
Komentar
Posting Komentar