Makalah Hukum Islam di Era Kontemporer


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam sejarah, waktu Nabi Muhammad masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul di kalangan para sahabat dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah. Biasanya beliau memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan menyebut ayat al-Qur’an, atau menunggu jawaban wahyu dari Allah. Ketika Rasullullah tidak menemukan jawaban dari wahyu, beliau memberikan jawaban melalui pendapat beliau pribadi atau hasil musyawarah beliau dengan para sahabat. Pendapat beliau seperti itu belakangan disebut Sunnah.
Setelah Rasullulah wafat dengan demikian wahyu terputus, artinya tidak ada lagi wahyu atau hadis yang turun. Persoalan hukum tidak berhenti dengan wafatnya Nabi atau telah terputusnya wahyu, malahan makin banyak problem yang harus diselesaikan. Hal ini disebabkan karena pada zaman rasulullah, masyarakat yang ada hanyalah terbatas pada masyarakat Arab yang berada di kota Madinah dan sekitarnya, kehidupan mereka masih sederhana, mereka hanya bedagang, peternak dan sedikit bertani. Sementara pada zaman sahabat dan setelahnya, Islam telah jauh menembus luar batas jazirah Arab. Orang yang memeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab, tetapi juga orang Persia, Mesir, Yaman, dll. Tentu saja akulturasipun terjadi, sehingga persoalan kehidupan yang muncul akibat pergesekan budaya secara otomatis pasti lebih banyak dan pariatif. 
Pada periode sahabat, persoalan yang timbul dapat segera diatasi dengan baik karena mereka adalah murid-murid terbaik Rasulullah. Mereka sangat memahami al-Qur’an maupun Sunnah dan seluk beluk keduanya. Mereka mengetahui dengan baik setiap lafadz dan maksud dari setiap ungkapan yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidupan Rasulullah dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat serta Sunnah memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan Allah.[1] Bila mereka menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya mereka mencari jawabannya dalam Al-Qur’an, bila tidak menemukan jawabanya secara harfiah dalam al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam Sunnah, bila dalam Sunnah juga tidak ditemukan mereka melakukan ijtihad dengan mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan selalu mempertimbangkan pada usaha memelihara kemaslahatan umat.[2]
Persoalan pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah timbul pada masa setelah masa sahabat, dimana orang yang memeluk agama Islam bukan hanya orang Arab, tetapi juga orang luar arab (ajam) dimana mereka tidak mengerti dan memahami bahasa Arab dengan baik, karena al-Qur’an dan Sunnah tertulis dalam bahasa yang sangat tinggi nilai sastranya. Dalam posisi seperti ini, bahasa Arab merupakan suatu bidang studi yang niscaya harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenannya, para ulama berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami al-Qur-an dan Sunnah yang keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam. Selain kaidah bahasa Arab, para ulama menetapkan dan menyusun kaidah-kaidah dalam perumussan hukum dari sumbernya dengan memperhatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa untuk memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik. Disamping itu, juga memperhatikan jiwa syari’ah dan tujuan Allah menempatkan mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itu disebut ushul fiqh.[3]
Pada zaman keemasan Islam, fase ini berlangsung selama masa pemerintahan Bani Umayah dan bani Abas  para ulama giat melakukan ijtihad derhadap berbagai persoalan, sehingga sering diantara mereka berijtihad dengan mempergunakan metode sendiri, tidak terikat dengan metode istinbath yang ditemui ulama lain. Mereke inilah yang terkenal dengan imam mujtahid. Mereka giat dalam mengembangkan ilmu, khususnya dibidang ilmu fiqh dan ushul fiqh. Selain mengarang berbagai buku, mereka juga mensyarah, mengomentari, mengkritik, atau meringkas buku-buku yang sudah ada. Mereka bedah segala persoalan yang bersangkutan dengan persoalan hukum. Bukan saja persoalan-persoalan yang telah dan sedang terjadi, bahkan mereka merambah ke persoalan yang tidak membumi dan mengandai-andai, yang lebih terkenal dengan istilah fiqh iftiradhi.
Berkaitan dengan perilaku manusia dan perubahan zaman atau dikenal era kontemporer (globalisasi), di mana era globalisasi adalah sebuah masa yang dihiasi dengan nilai-nilai modernitas atau budaya modern yang menuntut perubahan  di segala aspek kehidupan. Menurut pendapat A.A. Muis era global disebabkan oleh mekarnya pluralisasi nilai, keraguan dan kebutuhan serta meluasnya pelapisan sosial. Dengan demikian perlu diadakannya perubahan atau setidaknya menggali pemikiran baru untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan baru. Seiring dengan gerak langkah era global, yang dihiasi oleh budaya modern. Kompleksitas hubungan antara agama dan masyarakat sangat sulit dihindari, sebab di suatu pihak agama ingin lebih banyak berperan untuk mengendalikan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat yang sedang berubah, agar tidak membahayakan sistem nilai umat Islam yang sudah lama mapan dan tidak membahayakan tatanan hidup beragama itu sendiri. Misalnya muncul perkembangan media masa Islam, pers Islam, bank Islam, pemasyarakatan busana muslim (sosialisasi busana muslim), teknologi, dan lainnya.[4]
Dengan hal tersebut maka perubahan zaman dalam bidang hukum pun perlu mengadakan penggalian hukum, sebab perubahan zaman menuntut perubahan masyarakat sehingga muncul permasalahan baru sebagaimana di atas. Untuk mengatasi hal itu yang tidak terjadi di masa Rasulullah dan para sahabat dan tabi’in, dan masa munculnya tokoh-tokoh ahli hukum Islam. Maka perlu menggali hukum yang belum terjawab di masa tersebut agar sesuai dengan hukum Islam sendiri.
Perubahan zaman dan kondisi saat ini menuntut perubahan hukum-hukum seolah-olah (Islam) harus beradaptasi dengan lingkungan atau kondisi sekarang yang didominasi oleh kekuatan gerakan globalisasi dan dipengaruhi oleh budaya liberalis dan rasionalisme. Budaya liberalis dan rasionalisme yang berpusat pada antroposentris[5]. Sedang agama berpusat pada theokratis[6], dengan demikian maka perlu adanya upaya-upaya menselaraskan hukum dengan budaya era kontemporer, era modern yang menuntut gerak cepat dan ekonomis. Oleh karena itu dalam menuntaskan permasalahan yang ada di era globalisasi saat ini maka perlu kita untuk memahami tentang hukum Islam, sumbernya dan juga metode dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Tujuannya selain memahaminya juga sebagai upaya untuk kita tidak mudah menentukan hukum sendiri tanpa adanya guru pembimbing atau pedoman yang telah ditetapkan. Dengan hal tersebut maka dalam penulisan makalah ini ingin menuntaskan serta menguraikan dengan jelas tentang “Metode Penetapan Hukum Islam Kontemporer”.

B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis ingin membahas secara mendalam dan detail dari sumber-sumber yang telah diakui meliputi beberapa hal berikut ini:
1.      Apa pengertian Hukum Islam?
2.      Apa tujuan mempelajari Hukum Islam?
3.      Apa sumber-sumber Hukum Islam yang digunakan pada Era kontemporer?
4.      Bagaiamana penetapan Hukum Islam di Era Kontemporer?

C.    Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini  selain sebagai suatu pengantar media atau perantara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah terdapat beberapa tujuan yang menjadi fokus pada makalah ini yang mliputi:
1.      Untuk mengetahui dan memahami tentang Hukum Islam.
2.      Untuk mengetahui dan memahami tentang tujuan mempelajari Hukum Islam.
3.      Untuk mengetahui dan memahami tentang sumber-sumber dalam Hukum Islam.
4.      Untuk mengetahui dan memahami tentang metode penetapan yang dilakuakn terhadap masalah di era Kontemporer.






























BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Hukum Islam
          Menurut Marcus Tullicus (romawi) dalam De Legibus menyatakan bahwa hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan kepada akal manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan tidak boleh. Sedangkan hukum Islam sendiri merupakan sisi atau karakteristik yang mengambarkan suatu sistem tertentu kepada hukum tersbut. [7] sedangkan dalam pendapat lain bahwa hukum Islam adalah peraturan atau patokan yang memuat batasan dalam melakukan suatu bentuk kegiatan yang berlandaskan kepada ajaran Allah dan Muhammad Saw.[8]

B.  Tujuan Hukum Islam
Hukum Islam secara umum memiliki tujuan mencapai kebahagian di dunia dan akhirat dengan cara mengambil yang bermamfaat dan menjauhi yang tidak bermamfaat yaitu yang tidak berguna baik kehidupan di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut pendapat Abu Ishaq al-Shatibi bahwa hukum Islam ada 5 tujuan yang meliputi: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta yang semua itu telah disepakati oleh ahli hukum Islam yang dikenal dengan istilah al-maqasidis syari’ah.
Sedangkan dari sisi lainnya tujuan hukum Islam ini  dapat dilihat dari dua sisi yaitu:
1.      Segi pembuat hukum Islam.
Dalam hal ini yang menjadi tujuan utama adalah Allah dan Rasullulah. Dimana Allah yang memiliki hak terbesar dan Rasullulah penyampai wahyu dari Allah yang menjadi suri tauladan bagi seluruh ummat.
2.      Segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam yang meliputi 3 hal yaitu:
a.       Memenuhi kebutuhan hidup manusia yang bersifat primer atau daruriyyah[9], sekunder atau hajiyat[10], dan tersier atau tahsiniyyat.[11]
b.      Untuk ditaati oleh manusia dalam kehidupan sehari-harinya.
c.       Untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan sebagaimana hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan hadits.[12]

C.    Sumber-Sumber Hukum Islam
Konsepsi hukum islam yang berorientasi kepada agama dengan dasar dan doktrin keyakinan dalam membentuk kesadaran hukum manusia untuk melaksanakan syariat, sumber hukumnya merupakan satu kesatuan yang berasal dari hanya firman Allah yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad. Melalui cara nabi berkata, berbuat, dan diam (takrir) dalam menghadapi manusia dengan tingkah lakunya dapat di kembangkan sesuai suasana yang dibutuhkan dalam pergaulan hidup tetapi tidak menyimpang dari sumber-sumber hukum asalnya.[13]
1.      Al-Qur’an
Yang menjadi sumber hukum Islam yang pertama dan utama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang ditutunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan perantraan malaikat Jibril dinukilkan secara mutawatir, terdiri dari 30 juz dan 114 surat, merupakan mukjizat bagi kenabian Muhammad dan bagi yang membacanya merupakan ibadah.[14]
Dalam kedudukan al-Qur’an Ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa al-Qur’an adalah sumber utama islam. Sebagai sumber utama, maka sumber ajaran islam yang lain, seperti ijma’, qiyas dan lainya, harus bermuara pada sumber utamanya yaitu al-Qur’an.
Oleh karena itu, validitas al-Qur’an sebagai hujjah adalah mutlak dan bersifat pasti benarnya, sehingga menggunakan al-Qur’an sebagai dasar hukum tidak membutuhkan bukti, alasan atau keterangan apa pun dari yang lain.
Dengan demikian, al-Qur’an adalah kalamullah yang berbahasa arab, yang berfungsi sebagai alat untuk: 
a.         Al-Furqon yaitu pembeda antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan buruk.
b.         Al-Dzikr yaitu sebagai sebagai peringatan yang diberikan olleh Allah kepada manusia.
c.         Media penulisan.
2.      Hadits
Dari sisi bahasa, kata hadis memiliki beberapa arti, diantaranya adalah:
a.         Al-jadid, artinya: “yang baru”, lawan kata al-qadim, yang lama, arti ini menunjukan adanya “waktu dekat dan singkat”
b.         Al-thariq: “jalan”, yaitu: (jalan yang di tempuh).
c.         Al-khabar: “berita”
d.        Al-sunnah: “perjalanan”, yang artinya sama dengan as-sirah
Secara istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi, sesuai dengan latar belakang keilmuan mereka masing-masing, seperti perbedaan antara ahli ushul dan ahli hadis dalam memberikan definisi hadis.
Al-Sunnah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi. Dari definisi ini dapatlah kita fahami bahwa ada tiga katagori sunnah yakni sunnah qauliyah yakni ucapan lisan Nabi yang didengan dan dinukilkan oleh sahabatnya. Sunnah fi’liyah yakni semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya. Sunnah taqririyah merupakan sikap Nabi terhadap perbuatan para shahabat. Al-Sunnah ini berkedudukan sebagai sumber dan sekaligus sebagai dalil hukum dalam hukum Islam setelah al-Qur’an.
Kedudukan hadis/sunnah kedudukanya berada di bawah tingkatan al-Qur’an karena beberapa faktor:
a.       Al-Qur’an bersetatus qath’iy, baik dilihat dari sisi ijmaly mempuyai sisi tafsily. sedangkan Hadis/sunnah berstatus qath’iy secara ijmaly namun dhanny secara tafsily. dalam hal ini yang qath’iy harus didahulukan ketimbang yang dhanny. ini berarti bahwa al-Qur’an harus didahulukan atas Hadis/sunnah.
b.      Fungsi Hadis/sunnah hanya sebagai penjelas terhadap alqur’an atau menambah hal-hal yang belum jelas ketetapanya dlam al-Qur’an. Jika sunnah sebagai penjelas, maka ia berkedudukan nomor dua setelah al-Qur’an.
3.      Ijma’
Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis[15]. Para ulama sepakat bahwa ijma dapat dijadikan argumentasi untuk menetapkan hukum syara, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siap ulama yang berhak menetapkan ijma kecuali ijma shahabat.
Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi setingkat dibawah dalil nash (al-qur’an dan sunnah). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Qur’an dan sunnah, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum syara. Dan ijma’ tersebut adalah ijma yang sharih, sementara ijma sukuti tidak dimasukkan kedalam katagori ijma yang dapat dijadikan argumentasi, demikian pendapat imam Syafi’i.[16]
Unsur-unsur yang harus ada pada ijma’ adalah: Ada kesepakatan sejumlah mujtahid pada saat terjadinya kasus, Ada sejumlah orang yang berijtihad tentang suatu kasus, sebab kesepakatan tidak mungkin terjadi tanoa adanya pandangan atau pendapat yang masing-masing yang memiliki kesamaan atau kesesuaian, Terjadinya kesepakatan para ahli setelah Nabi SAW wafat, Kesepakatan sejumlah mujtahid tersebut masih dalam satu generasi.

4.      Qiyas.
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Atau dengan perkataan lain qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illah hukum.[17]
Dengan demikian, hal-hal penting yang harus diketahui dalam hubunganya dengan aplikasi qiyas aadalah sebagai berikut:
a.       Fungsi qiyas itu sendiri, yaitu untuk menjelaskan status hukum kuasa yang belum ada kepstian hukumnya, baik dari nash maupun ijma’.
b.      Fungsi ‘illat, yaitu sebagai pedoman dasar untuk menetapkan status hukum.
c.       Fungsi pekerjaan seorang mujahid yaitu berusaha menjelaskan status hukum yang ada di dalam far’ dengan berpijak pada adanya kesamaan ‘illat di antara keduanya (asal dan far’)
Unsur-unsur Qiyas dan syarat-syaratnya:
a.         Asal (kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya, baik nash atau ijma’)
b.         Far’ (kasus baru yang sedang di carikan solusi hukumnya)
c.         Hukum asal (norma hukum yang sudah ada pada asal)
d.        ‘illat (sifat hukum yang menjadi pedoman pokok di tetapkanya hukum asal)

D.    Metode Penetapan Hukum Islam
Salah satu metode penjelasan dan pendekatan dalam memecahkan permasalahan kontemporer adalah melalui metode lintas madzhab (perbandingan Madzhab) yakni dengan mempelajari pendapat semua fuqaha dalam semua madzhab fiqh seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, Dzahiri dll beserta dalil-dalil dan qaidah-qaidah istinbath masing-masing madzhab dalam membahas sesuatu persoalan. Kemudian dibanding antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, untuk kemudian dipilih satu pendapat yang lebih benar, karena didukung oleh dalil terkuat, ataupun dengan mengetengahkan pendapat baru yang dapat digali dari al-Qur’an dan sunnah melalui metode kajian ushuli, qaidah istinbath, maqasid syari’ah dan ilmu bantu lainnya secara objektif dan terlepas dari pengaruh pendapat dan bembelaan terhadap madzhab tertentu, serta terjauh dari segala unsur subjektifitas pribadi, golongan dll. selanjutnya pendapat itu dibandingakan dengan hukum positif dengan tidak perlu mamaksakan pendapat dan pendirian pembahasnya sendiri.
Metode ini merupakan metode yang paling efektif untuk membasmi khilafiyah, mempersatukan umat, memperkenalkan hakekat syari’at Allah yang hakiki dan untuk membuktikan bahwa fiqh Islam dapat berkembang dan cocok untuk setiap tempat, dan setiap waktu.[18]
Adapun metode pembahasannya adalah dengan metode tematik yakni terfokus pada suatu permasalahan/persoalan tertentu, kemudian dibasas secara cukup luas dan mendalam, sehingga semua bidang disiplin ilmu yang berkaitan dengan permasalahan pokok ikut terlibat seperti ilmu kedokteran, kimia, fisika dll. Persoalan yang dibahas juga tidak hanya terbatas pada persoalan yang telah dibahas dalam kitab-kitab fiqh, akan tetapi meliputi pembahasan persoalan yang timbul dalam masyarakat khususnya permasalahan yang baru dan bersentuhan dengan teknologi seperti kloning, bank susu atau permasalahan-permasalahan aktual lainnya. Agar selalu aktual dan membumi tentu saja aspek sosiologis[19], antropologis[20] dan kemaslahatan selalu menjadi pertimbangan utama dalam menentukan hukum kontemporer tersebut.
            Tujuan secara praktis dilakukannya perbandingan mazhab adalah tujuan yang bisa dirasakan, baik oleh muqarin (pelaku perbandingan) atau masyarakat secara umum. Namun secara rinci tujuan perbandingan mazhab ini sebagai berikut:
1.      Untuk menimbulkan rasa saling menghormati atau toleransi dengan berbeda pendapat.
2.      Dapat mendekatkan mazhab di satu pihak, sehingga perpecahan umat dapat disatukan kembali ataupun jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga terjalin persaudaraan Islam.
3.      Memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa perbedaan adalah mesti ada namun bukan berarti menjadi perang.
4.      Dapat menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum sebagai hasil pendapat imam mazhab.
5.      Dapat menenteramkan jiwa karena membandingkan adalah jalan yang mudah untuk mengetahui cara-cara para imam dalam menentukan hukum.
6.      Dengan memperhatikan landasan berfikir para Imam Mazhab, orang yang melakukan studi perbandingan mazhab dapat mengetahui, bahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya tidak keluar dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan perbedaan interprestasi, atau mereka mengambil Qiyas, Mashalah Mursalah, Istihsab, atau prinsip-prinsip umum dalam nash-nash syariat Islam dalam menyelesaikan semua persoalan yang hidup dala masyarakat, baik ibadah maupun mu’amalah.[21]











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.             Hukum Islam adalah peraturan atau patokan yang memuat batasan dalam melakukan suatu bentuk kegiatan yang berlandaskan kepada ajaran Allah dan Muhammad Saw.[22] Sedangkan menurut lainnya adalah akal tertinggi yang mengatur boleh atau tidaknya terhadap sesuatu yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan Hadits.
2.             Tujuan Hukum Islam adalah untuk mencapai kebahagian di dunia dan akhirat dengan cara mengambil yang bermamfaat dan menjauhi yang tidak bermamfaat yaitu yang tidak berguna baik kehidupan di dunia dan akhirat. Dan menurut Abu Ishaq al-Shatibi bahwa hukum Islam ada 5 tujuan yang meliputi: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta yang semua itu telah disepakati oleh ahli hukum Islam.
3.             Sumber hukum Islam yang telah disepakati scara umum terdapat 4 hal yaitu al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas yang smua itu telah disepakati dan ditetapkan mulai dari zaman sahabat hingga saat ini. Sehingga setiap sesuatu hal yang tidak melandaskan empat hal diatas maka bisa dikatakan kurang benar.
4.             Salah satu metode penjelasan dan pendekatan dalam memecahkan permasalahan kontemporer adalah melalui metode lintas madzhab (perbandingan Madzhab) yakni dengan mempelajari pendapat semua fuqaha dalam semua madzhab fiqh seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, Dzahiri dll beserta dalil-dalil dan qaidah-qaidah istinbath masing-masing madzhab dalam membahas sesuatu persoalan. Kemudian dibanding antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, untuk kemudian dipilih satu pendapat yang lebih benar, karena didukung oleh dalil terkuat, ataupun dengan mengetengahkan pendapat baru yang dapat digali dari al-Qur’an dan sunnah melalui metode kajian ushuli, qaidah istinbath, maqasid syari’ah dan ilmu bantu lainnya secara objektif dan terlepas dari pengaruh pendapat dan bembelaan terhadap madzhab tertentu, serta terjauh dari segala unsur subjektifitas pribadi, golongan dll. Adapun metode pembahasannya adalah dengan metode tematik yakni terfokus pada suatu permasalahan/persoalan tertentu, kemudian dibasas secara cukup luas dan mendalam, sehingga semua bidang disiplin ilmu yang berkaitan dengan permasalahan pokok ikut terlibat seperti ilmu kedokteran, kimia, fisika dll.





[1]Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru, 1986, hlm. 34
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos 2003, hlm. 33
[3] Ibid, hlm 34
[4] A.A. Muis, Komunikasi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 35
[5] Antroposentris adalah kecenderungan manusia untuk menganggap diri mereka sebagai entitas pusat dan yang paling penting di alam semesta, atau penilaian realitas melalui perspektif eksklusif manusia. Jadi manusia memiliki kedudukan tertinggi daripada makhluk lainnya.
[6] Theokratis adalah sistem pemerintahan yang menjunjung dan berpedoman pada prinsip Ilahi. Jadi disini pusatnya bahwa sesuatu harus bersumber kepada Allah dalam agama Islam baik Al-Qur’an, dan Hadits.
[7] Mustofa, dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 1.
[8] Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, Yogyakarta: Ombak, 2013, hlm. 11.
[9] Primer atau daruriyyah adalah kebutuhan utama bagi manusia yang wajib dipenuhi.
[10] Sekunder atau hajiyat adalah kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai kebutuhan primer.
[11] Tersier atau tahsiniyyat adalah kebutuhan yang perlu diadakan selain dari primer dan sekunder, Misalnya: rumah dll.
[12] Mustofa, dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, hlm. 6-7.
[13] R.Abdul djamali, S.H, Hukum Islam, penerbit mandar maju, Bandung, 2002, hlm.67
[14] Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1994, hlm. 66.
[15] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Ter: Faziel Muttaqin), Jakarta: Pustaka Amani, 2003, hlm. 36.
[16] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos 1997, hal. 167.
[17] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hlm. 198.
[18]Hasan Saleh, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer. Jakarta: Rajawali Part, 2008, hlm. 78.
[19] Sosiologis adalah ilmu yang berhubungan atau pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala social.
[20] Antropologi adalah  ilmu yang mempelajari manusia mulai dari sejarah hingga saat ini yang terbagi menjadi 4 hal yaitu: antropologi biologi, antropologi sosial budaya, arkeologi, dan linguistic.
[21] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, , Jakarta: PT Rajawali Press, 2002, hlm. 22-24.
[22] Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, hlm 11.

Komentar