HIKMAH-HIKMAH SYARIAH ISLAM: Hikmah Munakahat, Hikmah Waris dan Hikmah Jinayat


HIKMAH-HIKMAH SYARIAH ISLAM: Hikmah Munakahat, Hikmah Waris dan Hikmah Jinayat


PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah melalui nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam sebagai pembawa rahmat bagi semua alam. Syariat islam ada karena di dalamnya banyak mengandung hikmah dari pensyariatan tersebut. Islam  sangat menjaga dan melindungi jiwa, agama, keturunan, harta, dan harga diri sesama makhluk. Bahkan dalam haditsnya nabi Muhammad secara jelas mengatakan bahwa tujuan pengutusannya adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Jinayat ialah diantara syariat islam yang di dalamnya mengandung banyak himah-hikmah. Seorang muslim satu dengan lainnya diibaratkan bagaikan sesosok tubuh dimana bila satu anggota merasakan sakit maka anggota badan yang lainnya akan merasakan sakit juga. Tidak ada seorangpun didunia ini yang mau dilahirkan sebagai seorang budak, seorang pelayan, seorang buruh kasar, seorang yang teraniaya, seorang yang beragama nasrani, yahudi, majusi. Seandainya manusia boleh memilih ketika akan dilhirkan, niscaya akan memilih dilahirkan dan ditakdirkan sebagai orang yang sukses didunia maupun diakhirat.
Islam juga telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta bendadengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai hikmah yang yang tersendiri yang ada di dalamnya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan mengupas mengenai hikmah dari diterapkan syariat jinayat, waris dan pernikahan.

1.2 Rumusan masalah

1.       Apa Hikmah dari di syariatkannya jinayat?
2.       Apa saja Hikmah dari di syariatkannya waris?
3.       Apa saja Hikmah dari di syariatkannya pernikahan?

1.3 Tujuan 

1.       Untuk mengetahui hikmah dari pensyariatan jinayat.
2.       Untuk mengetahui hikmah dari pensyariatan waris.
3.       Untuk mengetahui hikmah dari pensyariatan pernikahan.

PEMBAHASAN

2.1 Jinayat

1.         Pengertian jinayat
Kata “jinayat”, menurut bahasa Arab, adalah bentuk jamak dari kata “jinayah”, yang berasal dari “ (جَنَى الذَنْبَ – يَجْنِيْهِ جِنَايَةً), yang berarti melakukan dosa. Sekalipun merupakan isim mashdar (kata dasar), tetapi kata “jinayat” dipakai dalam bentuk jamak, karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa, karena ia kadang mengenai jiwa dan anggota badan, secara disengaja ataupun tidak. Kata ini juga berarti menganiaya badan, harta, atau kehormatan.
Adapun menurut istilah syariat, jinayat (tindak pidana) artinya menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash, membayar diyat atau kafarah.  An nafsi menurut bahasa adalah jiwa. Jadi janayat an nafsi adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan nyawa orang.[1]
2.         Klasifikasi Jinayat (Tindak Pidana)
Jinayat (tindak pidana) terhadap badan terbagi dalam dua jenis yaitu:
Jenis pertama, jinayat terhadap jiwa (jinayat an-nafsi). Yaitu, jinayat yang mengakibatkan hilangnya nyawa (pembunuhan). Pembunuhan jenis ini terbagi tiga:
1)       Pembunuhan sengaja, yaitu perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dengan indikasi kesengajaan dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh. Para imam madzhab sepakat bahwa seseorang yang membunuh orang islam yang sama-sama merdeka, dan yang dibunuh itu bukan anaknya, maka ia wajib menerima balasan qishas. Kecuali apabila dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan membayar diyat (denda) atau dimaafkan sama sekali.  Al Hadawiyyah, Syafi’I, Maliki, dan Ahmad berpendapat bahwa orang merdeka tidak diqishash apabila membunuh budak, berdasakan firman Allah, “Orang merdeka dengan orang merdeka”. (QS Al Baqarah: 178), dan di awal ayat, “diwajibkan atas kamu qishash.”. menegaskan harus berdasarkan persamaan status.
2)       Tidak sengaja, Misalnya seseorang melontarkan suatu barang yang tidak disangka akan kena orang lain sehingga menyebabkan orang itu mati, atau seseorang terjatuh menimpa orang lain sehingga orang yang ditimpanya itu mati. Para imam madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang membunuh orang lain dengan tidak sengaja, memukul dengan sesuatu yang menurut kebiasaannya tidak mematikan, meninjunya dengan kepala tangan, atau menamparnya dengan keras. Menurut  pendapat Hanafi  dan Syafi’I: orang tersebut dikenai diyat saja. Namun menurut pendapat Syafi’I: jika pukulan itu berulang-ulang kali yang mengakibatkan kematian maka ia dikenai hukum bunuh pula. Sedang menurut pendapat Maliki: wajib dikenai hukum bunuh pula.  Firman Allah Surat An Nisa’: 92, “dan barang siapa membunuh orang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga siterbunuh itu.”  
3)       Pembunuhan semi sengaja, yaitu sengaja memukul orang, tetapi dengan alat yang enteng (biasanya tidak untuk membunuh orang) misalnya dengan cemeti, kemudian orang itu mati dengan cemeti itu. Dalam hal ini tidak wajib qishash, hanya diwajibkan membayar diyat yang berat atas keluarga yang membunuh, diangsur dalam tiga tahun.[2]
Jenis kedua, Jinâyat kepada badan selain jiwa (Jinâyat dûnan-Nafsi/al-Athraf) adalah penganiayaan yang tidak sampai menghilangkan nyawa.
Jinâyât seperti ini terbagi juga menjadi tiga:
1)       Luka-luka (الشُجَاجُ وَالْجَرَاحُ)
2)       Lenyapnya kegunaan anggota tubuh (إِتْلاَفُ الْمَنَافِعِ)
3)       Hilangnya anggota tubuh (إِتْلاَفُ الأَعْضَاءِ)
Demikianlah Fikih jinâyât mencakup kedua jenis jinâyât ini, sehingga nampak jelas perhatian Islam terhadap keselamatan jiwa dan anggota tubuh seorang Muslim. Dengan dasar ini jelaslah kesalahan orang yang mudah menumpahkan darah kaum Muslimin.
3.         Hukuman Bagi Pembunuh
a.         Pembunuhan dengan sengaja ( Qadlul ‘Amdi )
Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja di kenakan hukuman qisas, hukuman pengganti dan hukuman tambahan. Hukuman qisas (dibunuh kembali) diberlakukan jika ada unsur rencana dan tipu daya sertatidak ada maaf dari pihak keluarga si korban (terbunuh). Jika keluarga korban memaafkan, hukuman penggantinya adalah diat, kemudian apabila sanksi qisas atau diat dimaafkan, hukuman penggantinya adalah ta’zir. 
b.         Pembunuhan Semi Sengaja ( Qatlu Syibhul “Amdi)
Hukuman bagi pembunuhan semi sengaja adalah tidak wajib qisas, hanya diwajibkan membayar diyat yang berat atas keluarga pembunuh. Dalam kasus yang demikian, haram bagi keluarga untuk menghukum qisas, mengingat ketidak sengajaan seseorang membunuh atau menghilngkan nyawa orang. Oleh karena itu, alternatif hukumnya adalah hukum diat (ganti rugi). Berkaitan hal tersebut. Rasuluallah saw, bersabda:
اَلَا وَاِنَّ قَتِيْلَ اْلخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَاْلعَصَامِائَةٌ مِنَ اْلاِبِلِ اَرْبَعُوْنَ فِي بُطُوْنِهَا اَولاَدُهَا
Artinya: “Ingat, sesungguhnya pembunuhan karena salah yang menyerupai kesengajaan dengan alat cambuk dan tongkat (diatnya) adalah 100 unta, empat puluh diantarannya sedang hamil.” ( H.R an-nisa’ dari Abduallah: 4711)
c.         Pembunuhan Bersalah (Qatlul Khata’)
Sebagaimana halnya pembunuhan menyerupai (semi) kesengajaan, pembunuhan karena kesalahan ini tidak wajib qisas, namun mengakibatkan dua konsekuensi, yaitu membayar diat yang dibebankan pada keluarga si pembunuh dan membayar kafarat. Menurut imam syafi’i, kafarat pembunuhan boleh di ganti dengan memberi makan 60 orang dengan satu mud makanan (beras) per orang, bilamana orang yang terkena kafarat tidak mampu malakukannya karena sudah tua (ketuaan) dan sakit. Berkaitan dengan masalah pembunuhan karena kesalahan , Allah swt, berfirman dalam surat an-nisa’ ayat 92.

…وَمَنْ قَتَلَ مُؤْ مِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌاِلَي اَهْلِهِ اِلاَّاَنْ يَصَدَّقُوْا…
Artinya : “barang siapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran (QS. An-nisa’/4:92).[3]
4.              Hikmah Larangan Membunuh
a.          Menjaga dan menyelamatkan kelangsungan hidup manusia
b.          Menempatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia
c.          Membatasi kemauan manusia untuk berbuat semena-mena terhadap jiwa manusia
d.          Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan
e.          Mengangkat dan menolong orang yang teraniaya
f.           Menunjukkan sikap patuh terhadap hukuman Allah
g.          Menciptakan kehidupan yang damai sepanjang masa.[4]

2.2 Hikmah Waris

1.          Pengertian Waris
Syariat Islam telah menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islamjuga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, baik dari jenis laki-laki dan perempuan.[5]
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.[6]
Kata waris berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan nonharta benda. Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa uang (harta), tanah, atau apa saja berupa hak milik legal secara syar’i.[7]
Dalam literatur fiqih Islam, kewarisan (al-muwaris kata tunggalnya al-miras) lazim juga disebut dengan fara’id}, yaitu jamak dari kata faridah diambil dari kata fard yang bermakna “ ketentuan atau takdir“. Al-fard dalam istilah syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.[8] Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Pengertian tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[9]
Di Indonesiapenyebutan fiqih al-mawaris(ilmu waris) disebut juga hukum kewarisan islam,hukum warisan, hukum kewarisan dan hukum waris, yang sebenarnya terjemahan bebas dari kata mawaris. Bedanya, fiqih al-mawaris menunjukkan identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan memiliki konotasi umum, bisa mencangkup hukum waris adat atau hukum waris yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata.

2.          Sebab-sebab adanya hak Waris
Seseorang tidak bisa mewarisi harta orang lain kecuali dengan sebab-sebab berikut ini :
a.         kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab)
Seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman dan seterusnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ
…Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi)…” (Al-Ahzaab: 6)
b.         Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’I antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun suaminya belum menggauli dan berduaann dengannya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggal-kan oleh isteri-isterimu…” (An-Nisaa’: 12)
c.          Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapatkan kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah Subhanahu Wata’alla menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budaj yang dibebaskan, bila budak itu memilki ahli waris yang hakiki baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena tali pernikahan.
3.          Rukun Waris
Rukun waris ada tiga:[10]
a.         Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
b.         Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
c.          Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
4.          Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:[11]
a.         Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
b.         Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
c.          Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
5.          Penggugur Hak Waris
Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:[12]
a.         Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
b.         Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
c.          Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya: "Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
6.          Hikmah Pensyariatan Waris
Sebuah kemustahilan Allah menurunkan syari’at waris kepada umat Islam tanpa adanya suatu keadaan yang melatar belakanginya. Sebagaimana syari’at lainnya,syari’at waris diturunkan untuk memberikan pengaturan bagi manusia dan memberikan rasa adil. Diantara hikmahnya yaitu:[13]
a.         Teraturnya kewajiban dan hak keluarga mayit dan dihormati.Kewajiban untuk mengurus hak-hak adami mayit: mengurus jenazah, melaksanakan wasiat dan menyelesaikan utang piutang. Serta hak keluarga mayit yakni menerima harta warisan.
b.         Menghindari perselisihan antar ahli waris atau keluargamayit yang ditinggalkan. Menjaga silaturahmi keluarga dari ancaman perpecahan yang disebabkan harta warisan serta memberikan rasa aman dan adil.
c.          Terjaganya harta warisan hingga sampai kepada individu yang berhak menerima harta warisan. Memberikan legalitas atas kepemilikan harta warisan.
d.         Terciptanya ketentraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis
e.          Mencegah terjadinya pertumpahan darah akibat proses pembagian harta warisan
f.          Memberikan rasa keadilan bagi para penerima hak warisan
g.          Mendistribusikan harta peninggalan secara adil dan merata kepada para pihak anggota keluarga yang menjadi ahli waris.
h.         Menghindarkan diri dari perselisihan dan perpecahan, bahkan pertengkaran akibat rebutan harta peninggalan.
i.           Dapat memahami hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan.
j.           Terhindar adanya kelangkaan orang yang faham dalam pembagian harta warisan di suatu tempat.

2.3 Pernikahan (Munakahat)

1.         Pengertian Pernikahan (Munakahat)
Nikah menurut bahasa al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama bahwa kata nikahun yang merupakan masdar dari kata dari kata kerja (fi’il madhi) nakaha, sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan sebagai perkawinan.[14]
Istilah kawin digunakan secara umum, sehingga digunakan istilah nikah karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama. Nikah dapat diartikan sebagai akad atau ikatan bisa juga diartikan sebagai bersetubuh.[15]
2.         Tujuan Pernikahan
Pernikahan dalam Islam bukan semata demi memenuhi nafsu seksualitas semata, akan tetapi mempunyai tujuan utama sebagaimana dalam surat Ar-Rum ayat 21, Allah berfirman: Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Dari ayat di atas, paling tidak ada tiga tujuan utama dari menikah. Pertama, untuk menenangkan dan menenteramkan jiwa (litaskunu ilaiha). Ketenangan jiwa dan pikiran merupakan hal yang sangat penting bagi keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Seseorang akan mempunyai peluang yang sangat besar untuk maju dan berhasil manakala hati, pikiran dan jiwanya sudah tenang. Dengan menikah, bayangan-bayangan dan khayalan-khayalan masa muda, tertumpah sudah. Bahkan, karena kini dia sudah mempunyai "tempat" khusus, gejolak itu tidak akan terlalu membludak manakala melihat wanita lain yang menggoda.
Kedua, dengan menikah juga untuk menimbulkan rasa mawaddah, cinta kasih kepada keluarga. Setiap manusia memiliki keinginan untuk mencintai dan mengasihi orang yang didambakannya. Manakala cinta kasihnya ini tidak disalurkan kepada orang tertentu, maka ia akan mencari benda lain atau hal lain untuk menumpahkan cinta kasihnya itu.
Ketiga, dengan menikah juga untuk menimbulkan rasa kasih sayang, rahmah. Sebagaimana rasa mawaddah, manusia juga mempunyai naluri untuk menyayangi sesamanya. Sayang, rahmah, tidak sama dengan mencintai. Sayang, rahmah, jauh di atas mencintai. Rasa sayang biasanya muncul dari lubuk hati yang paling dalam. Ia lahir bukan karena dorongan nafsu seksual, kebutuhan biologis atau hal-hal lahiriyah lainnya. Ia betul-betul tumbuh dari dalam jiwa setelah bergaul dan lama mengenal pasangannya. Naluri rasa sayangnya ini akan ditumpahkan untuk keluarganya terutama untuk istri dan anak-anaknya.
3.          Hikmah dan Manfaat Pernikahan
Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewab jantan betina begitu pula tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Hikmanya ialah supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, hidup dia sejoli, hidup suami istri, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Pernikahan memiliki banyak hikmah, mengingat manfaatnya yang tak terhingga untuk individu yang menjalankannya dan untuk manusia secara umum. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah:
a.          Menjaga orang yang melaksanakannya dari perbuatan haram. Itu karena pernikahan adalah solusi terbaik yang paling sesuai dengan fitrah manusia untuk memenuhi kebutuhan seksual. Cara lain selain menikah pada dasarnya akan membawa dampak negative terhadap individu (baik jasmani maupun rohani) dan membuat kehidupan masyarakat hancur serta menderita.
b.          Melestarikan keturunan manusia melalui pernikahan.
c.          Melestarikan nasab dan membangun keluarga besar yang dapat menciptakan masyarakat makmur sentosa. Di dalamnya juga akan tercipta sikap saling menolong dan bahu-membahu antar anggotanya. Allah SWT berfirman Qs. Al-Mu‟minuun (23): 5-7 yaitu: Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.”(Qs. An-Nisa: 1)
d.          Untuk menjaga keturunan dan memperjelas tanggung jawab, siapa yang merawat, membesarkan, dan mendidik mereka, itulah tugas dan tanggung jawab ayah dan ibu, dibantu saudara dan seluruh anggota keluarga, dalam hal ini semuanya punya peran dan tanggung jawab masing-masing.
e.          Memberikan ketenangan dan ketentraman jiwa yang pada gilirannya akan membuat bahagia semua pihak. Rasa itu tercermin dalam kehidupan saling mencintai, menyayangi, dan melindungi antar anggota keluarga. Masih dalam kaitan hikmah perkawinan atau pernikahan yaitu untuk melangsungkan hidup dan membentuk keturunan, serta menjaga kehormatan diri, dan bisa terhindar dari hal-hal yang diharamkan dan perasaan tenang saat melakukan hubungan sex. Betapa banyak orang yang terus membujang hidupnya selalu mondar-mandir diliputi kegelishan. Disamping itu, para pembujang saat memperoleh kejayaan dan keberhasilan usaha, ternyata apa yang diperolehnya dihambur-hamburkan, karena tidak adanya seseorang yang dapat dipercaya untuk menyimpan atau mengembangkan harta kekayaannya. Sebaliknya pada saat menghadapi kesusahan atau permasalahan-permasalahan yang rumit, tidak ada seseorang yang diajak bermusyawarah, hidupnya selalu diliputi kesepian, tidak ada penolong yang bisa dipercaya dengan tulus hati, begitulah hidup orang yang tidak kawin. Tidak demikain bagi seorang yang sudah beristri. Cara hidupnya menjadi berubah, keadaaan sudah tenang, dihormati dan ada penolong sejati yang dapat diandalkan kepercayaannya. Rasa kasih sayang yang selama ini beku, tak tersalurkan, kini dapat diadukan kepada istrinya. Istripun berbuat begitu, sehingga timbul rasa kasih saying antara keduanya secara timbal balik, yang pada gilirannya akan menumbuhkan ketenangan hidup bersama. Selain itu, dengan jalan demikian memudahkan datangnya rizki sebab rizki terkadang berada di tangan saudaranya. Firman Allah QS. Ar-Rum: 21 yang artinya: “Dan sebagian tanda-tanda kebesarannya, bahwa dia menciptaka isteri- isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram padanya. Dan dijadikkan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu, benar- benar terdapat tanda- tanda bagi kamu yang mau berfikir”.[16]


[1]      Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan Jinayat, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2010), hal.22
[2]    Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan Jinayat, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2010), hal.22
[3]     Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan Jinayat, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2010), hal.27
[4]      Ibid, hlm. 28
[5]     Achris Achsanudtaqwin, Thesis: Wawasan Al-Qur’an Tentang Waris (Telaah Ayat-ayat Waris Dalam Perspektif Muhammad Syahrur). (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2015) hal. 18
[6]     Muhammad Ali Al-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, ter. A.M Basamalah (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 33
[7]    Ibid.
[8]     Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2005) edisi revisi, hal. 109
[9]      Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1983), hal. 13
[10]   Muhammad Ali Al-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, ter. A.M Basamalah (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 39
[11]   Ibid
[12]   Muhammad Ali Al-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, ter. A.M Basamalah (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 41
[13]   Achris Achsanudtaqwin, Thesis: Wawasan Al-Qur’an Tentang Waris (Telaah Ayat-ayat Waris Dalam Perspektif Muhammad Syahrur). (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2015) hal. 41
[14]  Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 7.
[15]   Ibid, hlm. 8                                                                                                        
[16] Zainal Abidin , Fiqih Madzhab Syafi'i .(PT Pustaka Setia: Bandung, 2000)., hal. 251

Komentar