DAOUBLE MOVEMENT FAZLURRAHMAN (PEMIKIRAN PADA KONSEP POLIGAMI)


DAOUBLE MOVEMENT FAZLURRAHMAN (PEMIKIRAN PADA KONSEP POLIGAMI)
Oleh:Layli Nur Azizah (16110082) dan Batul Islamiyyah (16110141)
(Mahasiswa PAI-B UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
Abstract
                This article discusses Fazlur Rahman's double movement theory of polygamy. This is due to the growing problems that have arisen at this time which have led to the need for ijtihad to obtain Islamic law that is able to answer and resolve it in the context of the current problem. One of the newest thinkers who has high insight and knowledge is Fazlur Rahman. He himself is a thinker and reformer in the very productive circles of modernist thinkers. On September 21, 1919 Fazlur Rahman was born in the State of Pakistan right in the northwest region, with the tradition of the Hanafi school. The Hanafi School is a Sunni school that is more rational than the other three schools of thought (Maliki, Hambali and Shafi'i). Fazlur Rahman in a religious family, Fazlur Rahman since childhood has been included as an intelligent child as evidenced by the age of ten Fazlur Rahamn has been able to recite the Koran. One of the things he did was put forward the theory of double movement. Fazlurrahman has a view of the Qur'an's content review. According to Rahman, the problem in the Qur'an study lies in the problem of understanding not the original problem or not. Rahman argues that understanding the Qur'an by using the right method is the most important thing, because basically the Qur'an is likened to a floating iceberg, where nine-tenths are under the sea and only one-tenth is visible . As above, there is also a discussion of polygamy. Where in his mind the situation of men and women that are very different from the Arab community at the time made it possible to conduct a review of permits to conduct polygamy to reach four wives, it could even be said that it was strictly prohibited. Often polygamists translate the Qur'an arbitrarily so that the aim of polygamy for humanity is to cause more harm than its usefulness. This was evidenced by his wife and child being displaced when the husband committed polygamy.
Abstrak
                Artikel ini membahas tentang teori double movement Fazlur Rahman tentang poligami. Hal ini dikai mengingat maraknya permasalahan yang muncul pada saat ini yang menyebabkan perlunya dilakukan ijtihad untuk memperoleh hukum Islam yang mampu menjawab dan mengatasinya sesuai konteks permasalahan saat ini. Salah satu pemikir terbaru yang memiliki wawasan dan ilmu yang tinggi adalah Fazlur Rahman. Beliau sendiri adalah seorang pemikir dan pembaharu di dalam kalangan pemikir neomodernis yang sangat produktif. Pada tanggal 21 September 1919 Fazlur Rahman dilahirkan di Negara Pakistan tepat di daerah barat laut, dengan tradisi mazhab Hanafi. Mazhab Hanafi merupakan mazhab sunni yang lebih becorak pada rasionalistis yang jika dibandingkan dengan tiga mazhab yang lain (Maliki, Hambali dan Syafi’i). Fazlur Rahman dalam keluarga yang religius, Fazlur Rahman sejak kecil sudah termasuk anak yang cerdas terbukti pada saat usia sepuluh tahun Fazlur Rahamn sudah dapat mengahafalkan Al-Quran. Salah satu hal yang beliau lakukan adalah mengemukakannya teori double movement. Fazlurrahman memiliki pandangan terhadap kajian kandungan Al-Qur’an. Menurut Rahman masalah yang ada dalam studi Qur’an terletak pada masalah pemahamannya  tidak pada masalah asli tidaknya. Rahman berpendapat bahwa memahami Al-qur’an dengan menggunakan metode yang tepat merupakan hal yang paling penting, karena pada dasarnya Al-qur’an diibaratkan seperti gunung es yang mengapung, dimana Sembilan per sepuluhnya berada  dibawah laut dan yang tampak hanya satu per sepuluh saja. Sebagaimana hal diatas juga terdapat dalam pembahasan poligami. Dimana dalam pemikirannya situasi laki-laki dan perempuan yang sangat berbeda dengan masyarakat Arab pada saat itu memungkinkan untuk dilakukan pengkajian ulang terhadap izin untuk melakukan poligami hingga mencapai empat istri bahkan dapat juga dikatakan bahwa hal itu sangat dilarang. Seringkali para pelaku poligami menerjemahkan Al-Qur’an dengan seenaknya sehingga tujuan poligami untuk kemanusian menjadi lebih banyak memunculkan kerugian dari pada adanya kemanfaatannya. Hal itu dibuktikan dengan istri dan anak menjadi terlantar ketika sang suami melakukan poligami.
A.      Pendahuluan
Maraknya permasalahan yang muncul pada saat ini menyebabkan perlunya dilakukan ijtihad untuk memperoleh hukum Islam yang mampu menjawab dan mengatasinya. Dimana hasil ijtihad yang dilakukan oleh beberapa ulama’ madzhab mempunyai keistimewaan sendiri, karena dalam ijtihadnya mereka berada pada konsisi sosial masyarakat yang berbeda. Agar hukum islam mampu mengikuti perkembangan zaman sekarang terdapat lima prinsip yang harus diterapkan yaitu ijma’, qiyas, maslahah mursalah, ‘urf dan perubahan hukum disesuaikan dengan perubahan masa.[1]
Selain prinsip diatas penafsiran tekstual Al-Qur’an harus disesuaikan dengan masa sekarang karena dari awal mula Al-Qur’an diturunkan sampai hari akhir nanti ia selalu memberikan pengajaran moral ideal bagi manusia. Karena hakikatnya Al-Qur’an berisi semangat moral. Dimana dalam hukum Islam seringkali tidak dinyatakan secara langsung melainkan dinyatakan secara bertahap. Dalam pengungkapan makna Al-Qur’an, Fazlur Rahman yang menjadi pemikir neomodernis menawarkan pemikirannya mengenai penafsiran Al-Qur’an dengan metode gerak ganda atau biasa dikenal dengan sebutan teori Double Movement. Rahman mempunyai keingin untuk membuka tujuan yang hendak disampaikan oleh al-Qur’an. Sehingga pesan tersebut dapat digunakan pada masa sekarang juga.
Pemikiran-pemikiran neomodernis Fazlur Rahman yang berupa teori double movement memadukan hermeneutika barat kontemporer dan tradisionalis muslim. Dalam pemikiran Fazlur Rahman mengenai konsep neomodernisme adalah masyarakat harus mengembangkan sikap kritis tentang tradisi barat. Fazlur Rahman menekankan kepada kaum muslim harus mengkaji gagasan-gagasan, dan ajaran-ajaran dunia barat secara obyektuf dalam sejarah keagamaannya.[2]
Selanjutnya dalam perkembangan zaman teori double movement yang di usulkan oleh Fazlur Rahman jika diterapkan pada kasus poligami, namun pada kenyataan dilapangan banyak sekali pro dan kontra mengenai kasus ini jika digabungkan denga teori double movement Fazlur Rahman. Masalah poligami tidak lagi merupakan masalah yang baru melainkan masalah ini sudah ada mengiringi peradaban manusia. Jika kita membaca kembali sejarah masa lalu akan ditemukan bagaimana seorang raja atau penguasa selalu identik mempunyai banyak istri dan selir yang sangat banyak. Pada masa itu posisi perempuan diibaratkan seperti barang yang mana dapat digunakan oleh laki-laki yang telah berhasil mendapatkannya. Akan tetapi dengan berkembangnya peradaban wanita telah diberi posisi yang mulia terutama dalam agama Islam. Dalam artikel ini, penulis berusaha memaparkan mengenai biografi, teori double movement oleh Fazlur Rahman dan penerapan teori double movement terhadap kasus poligami.
B.       Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman adalah seorang pemikir dan pembaharu, di dalam kalangan pemikir neomodernis yang sangat produktif. Pada tanggal 21 September 1919 Fazlur Rahman dilahirkan di Negara Pakistan tepat di daerah barat laut, dengan tradisi mazhab Hanafi keluarga membesarkan dan mendidik Fazlur Rahman.[3] Mazhab Hanafi merupakan mazhab sunni yang lebih becorak pada rasionalistis yang jika dibandingkan dengan tiga mazhab yang lain (Maliki, Hambali dan Syafi’i). Dibesarkan dalam keluarga yang religius, Fazlur Rahman sejak kecil sudah termasuk anak yang cerdas terbukti pada saat usia sepuluh tahun Fazlur Rahamn sudah dapat mengahafalkan Al-Quran.[4]
Kecerdasan yang dimiliki oleh Fazlur Rahman jelas sangat dipengaruhi oleh Ayah dan Ibunya, pengajaran nilai-nilai kasih sayang, kesetiaan, serta kebenaran diperoleh Fazlur Rahman dari Ibunya dengan penuh cinta. Sedangkan watak Fazlur Rahman diwarisi oleh Ayahnya Maulana Syahab al-Din, yang mendapatkan pola pendidikan Islam tradisional dan menjadi seorang sarjana Agama. Akan tetapi sebagai seorang ulama atau tokoh Agama ayah Maulana Syahab tidak seperti kebanyakan ulama lain pada masa itu yang mempunyai pandangan bahwa pendidikan modern adalah racun yang buruk bagi keimanan dan moralitas, namun ayah Fazlur Rahman justru berpandangan bahwa pendidikan modern adalah menjadi racun yang baik bagi moralitas dan keimanan manusia. Salah satu pemikiran Maulana Syahab yang mempengaruhi Fazlur Rahman sebagai pemikir yang kritis adalah bahwa ayah Rahman memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan zaman dan juga kesempatan.[5]
Di masa kecilnya, Fazlur Rahman sering mendapatkan pelajaran hadits dari ayahnya selain itu ilmu syari’ah juga diperoleh dari ayahnya. Namun, timbullah keraguan-keraguan Rahman terhadap hadits. Fazlur Rahman berpendapat bahwa hadits-hadits yang ada pada saat masa awal sejarah Islam sebagian besar tidak bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut terjadi bukan karena hadits Rasululloh sedikit jumlahnya, namun Hadits-hadits yang ada menurutnya bersumber pada generasi stelah wafatnya Rasululloh yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’in tabi’at.[6]
“Kota Taman dan Perguruan Tinggi” adalah kota yang menjadi tempat tinggal para leluhur Fazlur Rahman, dan pada tahun 1933 bersama dengan kedua orang tuanya Fazlur Rahman juga menetap disana. Pendidikan formal ditempuh oleh Fazlur Rahman di salah satu sekolah modern. Selain pendidikan formal, pendidikan tradisional juga diperoleh oleh Fazlur Rahman dalam suatu kajian keislaman seperti saat ia menerima pelajaran tradisional di perguruan Deoband.[7]
Departemen Ketimuran Universitas Punjab menjadi pilihan Fazlur Rahman untuk melanjutkan pendidikannya setelah menamatkan pendidikan menengah, hingga melanjutkannya mengikuti program master dan dalam bidang Sastra Arab berhasil meraih gelar MA pada tahun 1942. Dalam rangka menelusuri dan mempelajari literatur –literatur keislaman para orientalis, Fazlur Rahman juga mendalami filsafat Islam dan bahasa-bahasa barat.[8] Berguru kepada para orientalis tidak membuat Fazlur Rahman tidak menguranginya untuk berpemikiran positif terhadap pandangan-pandangan barat yang menyangkut dengan agama Islam dan umat Islam pada khusunya.[9]
Tidak puas dengan pendidikan program masternya, tahun 1946 Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengikuti program doktor di University Oxford Inggris berfokus pada bidang filsafat dan tertarik dengan pemikiran filsafat Ibnu Sina serta pada tahun 1949 berhasil meraih gelar doktor (Ph.D).[10] Setelah menempuh pendidikan di University Oxford Inggris ia tidak langsung pulang ke Pakistan, tetapi Fazlur Rahman memilih untuk mengajar di Durham University Inggris pada Tahun 1950-1958 menjadi dosen di bahasa Persia dan Filsafat Islam.[11]
Keputusannya untuk melanjutkan pendidikan di University Oxford Inggris dikarenakan rendahnya kualitas pendidikan tinggi di India. Al-Azhar Mesir juag tidak membutanya tertarik karena menurut Fazlur Rahman pendidikan yang ada di Al-Azhar Mesir sama halnya dengan pendidikan tinggi di India.[12] Fazlur Rahman mengambil keputusan yang sangat berani ketika memilih melanjutkan pendidikan di University Oxford karena akan di anggap sangat aneh ketika sorang muslim pergi ke Barat untuk mempelajari agama Islam dan jika ada seseorang yang berani melakukan hal tersebut maka seseorang tersebut harus siap jika tidak lagi diterima di negerinya sendiri. Maka jelas sangat wajar jika kecemasan pelajar muslim jika belajar ke barat maka akan mengalam penindasan dan pengucilan oleh masyarakat.[13]
Pada saat Fazlur Rahman mempelajari filsafat barat,sangat bertolak belakang dengan pendidikan berbasis tradisional di negaranya. Hal ini menjadi pertentangan yang serius didalam batin Fazlur Rahman. Karena ketertarikannya terhadap pemikiran Ibnu Sina Fazlur Rahman sempat menerjemahkan kitab karya Ibnu Sina dengan menggunakan bahasa Inggris yaitu kitab yang fenomena kitab al-Najat.[14] Selain itu, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durhaim University Inggris dan Fazlur Rahman menjabat sebagai seorang Associate Professor of Phlilosophy.[15]
Di awal tahun 1960 Fazlur Rahman memutuskan untuk kembali ke Negeri asalnya Pakistan dan kemudian menjabat sebagai staf senior Institute of Islamic Research, dua tahun kemudian 1962 Fazlur Rahman menjadi direktur  lembaga riset tersebut. Tak sampai disitu, Fazlur Rahman juga menjadi anggota AdvisoryCouncil of Islamic Ideology pada pemerintah Pakistan ditahun 1964. Tugas pekerjaan Fazlur Rahman di Pakistan adalah mengelola lembaga riset yang ada sehingga melalui lembaga tersebut dapat berfungsi untuk menafsirkan Islam dalam istilah-istilah ilmiah dan rasional guna membantu memenuhi kehidupan masyarakat yang modern dan progresif.[16]
Sedangkan untuk menyelaraskan hukum yang akan dan telah dibuat dengan Al-Quran dan Sunnah serta mengajukan rekomendasi kepada pemerintah provisi atau prmerintahan pusat mengenai aturan menjadi muslim yang baik adalah tugas dari Dewan Penasehat Ideologi Islam. Maka jelas kedua lembaga yang dikelola oleh Fazlur Rahman adalah saling berhubungan dengan tujuan yang sama msyarakat yang modern.[17]
Sebagai Direktur Lembaga Riset Islam ataupun sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam gagasan yang dikemukakan  mewakili pandangan modernis pada kenyataannya selalu mendapat tentangan keras dari masyarakat dan ulama dari kalangan fundamentalis dan tradisionalis. Sehingga terjadilah kontroversi pemikiran dan gagasan Fazlur Rahman dengan kelompok masyarakat, selain itu kontroversi dari gagasan Fazlur Rahman juga hingga kepada rasa ketidaksenangan di kalangan pemerintahan yang menganggapnya sebagai borok politik.[18]
Karya-karya Fazlur Rahman yang dipublikasikan dalam bentuk buku adalah diantaranya : Avicenna’s Pshychology (1952), Islami (1966), Major Themes of The Quran (1980), Islam and Modernity : Transformasi of Intellectual Tradision (1982), Revival and Reform in Islam (2000).
C.      Teori Double Movement
                Fazlurrahman memiliki pandangan terhadap kajian kandungan Al-Qur’an. Menurut Rahman masalah yang ada dalam studi Qur’an terletak pada masalah pemahamannya, tidak pada masalah asli tidaknya. Untuk itu secara tidak langsung Rahman telah mengakui keotentikan Al-Qur’an. Rahman berpendapat bahwa memahami Al-qur’an dengan menggunakan metode yang tepat merupakan hal yang paling penting., karena pada dasarnya Al-qur’an diibaratkan seperti gunung es yang mengapung, dimana Sembilan per sepuluhnya berada  dibawah laut dan yang tampak hanya satu per sepuluh saja. [19]
                Rahman mempunyai perhatian yang hebat terhadap Al-qur’an. Dimana ketika memaknai sebuah firman ia menggunakan berbagai sumber referensi klasik kemudian melakukan percobaan untuk menemukan kesesuaian dengan masalah-masalah yang terjadi saat ini. Rahman berfikir bahwa kebutuhan dalam mengembangkan beberapa metode ilmiah dirasa sangat penting agar ilmu tafsir mengalami kemajuan. Untuk itu Rahman berfikir bahwa para ahli tafsir haruslah mempunyai metode yang benar-benar dikuasai. Diantara metode tersebut yaitu seorang ahli tafsir tidak hanya harus memahami Bahasa Arab saja, melainkan is harus memahami ungkapan atau kata majemuk dalam Bahasa Arab yang digunakan pada zaman Nabi, selain itu ahli tafsir harus mengetahui suatu hal yang menyebabkan ayat Al-Qur’an tersebut turun karena hal itu merupakan alat untuk memahami makna ayat Al-qur’an dengan tepat, dan yang terakhir yaitu pemahan seorang ahli tafsir tentang tradisi historis isinya tentang pemahaman kaum nabi saat itu pada perintah yang ada dalam Al-Qur’an yang mana setelah pemahaman tersebut barulah ahli tafsir dapat menggunakan nalar yang dimilikinya.[20]
                Fazlurrahman mempunyai ide tentang sebuah metode penafsiran Al-Qur’an yang berawal dari pemahaman terhadap kondisi sejarah yang meletarbelakangi adanya ayat Al-Qur’an tersebut. Hal itu merupakan bagian yang penting untuk memahami maksud yang ada pada ayat Al-Qur’an, apa yang menjadi penyebab turunnya serta bagaimana sikap kaum pada zaman tersebut dalam menangkap maksud dari ayat tersebut. Pentingnya memahami kondisi sejarah ini berada pada kenyataan bahwa sebagian besar isi yang terkandung dalam Al-Qur’an terkait dengan konteks keyakinan, keagamaan, serta pendangan dunia dan adat istiadat masyarakat dimana ayat tersebut diturunkan. Rahman memiliki ide untuk membuat Al-Qur’an menjadi universal dan fleksibel agar Al-Qur’an tidak dipahami secara teliti saja akan tetapi Al-Qur’an harus dipahami sebagai suatu kesatuan agar mampu melahirkan makna yang berharga.
                Dalam hal ini Rahman memberikan gagasan tentang suatu metode yang bersifat masuk akal, responsif, dan menyeluruh yaitu Double Movement. Metode Double Movement adalah sebuah teori untuk menafsirkan Al-Qur’an yang disusun menggunakan konsep teoritik tentang apa yang akan di ambil dari Al-Qur’an bukan tentang makna apa yang ada didalamnya melainkan tentang pendapat mengenai pandangan kehidupan dunia saat ini. Metode Double Movement mampu menghasilkan penafsiran yang mampu menjawab persoalan-persoalan yang terjadi dimasa sekarang. [21]
                Metode yang digagas oleh Rahman terdiri dari dua gerak ganda. Gerak pertama pada metode ini terdiri dari dua langkah, langkah yang pertama yaitu pemahaman teks Al-Qur’an serta hubungan social dengan sejarahnya. Dimana ketika berada dalam tahap ini jika dalam suatu ayat ada pernyataan dapat dipahami dengan melakukan analisis mengenai kondisi atau permasalahan historis, atau secara tidak langsung makna Al-Qur’an dapat dipahami sebagai sesuatu universal yang didalamnya terdapat batas ajaran yang khusus untuk merespon kondisi yang khusus pula. Langkah yang kedua merupakan penyamarataan, dimana upaya penyamarataan pada tahap ini ditujukan agar pernyataan yang spesifik juga memiliki tujuan moral sosial yang umum. Selanjutnya pada gerak kedua yaitu masa pada Al-Qur’an diturunkan ke masa saat ini. Dimana pada tahap ini suatu pandangan yang umum dijadikan pandangan yang khusus kembali yang kemudian diwujudkan dan disesuaikan dengan konteks yang ada dimasa sekarang. Selanjutnya jika pada gerak kedua juga terjadi proses editing pada hasil pemahaman dari gerak pertama. Untuk itu jika pada gerak pertama terjadi kegagalan dalam konteks pemahaman pada masa kini maka telah gagal juga dalam penafsiran pada situasi yang terjadi kini.[22]
                Kemudian Rahman mencoba memahami Bahasa atau logat text, penulis, dan pembaca. Dimana seorang penulis menurut Rahman tidak memaksakan teks bicara sesuai dengan keinginan si penulis, akan tetapi dalam hal ini penulis menginginkan teks untuk berbicara sendiri. Agar sebuah teks mampu berbicara maka harus ditelusuri sejarah adanya teks tersebut. Yang dimaksudkan Rahman dalam hal in bukan asbabun nuzul suatu ayat, melainkan yang dimaksudkan sejarah dalam hal ini yaitu kondisi social masyarakat Arab pada saat Al-Qur’an turun ditengah-tengah mereka. Tujuan utama dari memahami sejarah teks tersebut yaitu untuk menggali nilai keuniversalan yang disebut moral yang ideal oleh Rahman. Dimana suatu pesan moral dalam Al-Qur’an tidak berubah sepanjang masa. Penerapan moral yang ideal atau sesuai harus melihat dan mempertimbangkan adanya pembaca. Secara tidak langsung motode Double Movement yang di gagas oleh Rahman ini tidak hanya terdiri dari satu unsur, melainkan terdiri dari tiga unsur yang saling terkait dan berpengaruh yaitu teks, penulis, dan pembaca.[23]
D.      Poligani dalam Teori Double Movement
                Sebelum datangnya Islam beraba-abad yang lalu, masyarakat didunia telah mengetahui dan mempraktikkan poligami. Salah satunya yaitu masyarakat Arab, dimana sebelum datangnya agama Islam poligami telah dipraktikkan tanpa dibatasi. Menurut pendapat Masyarakat Timur kuno poligami dianggap sebagai perbuatan yang suci dikarenakan para penguasa atau raja terdahulu juga melakukan poligami. Penyebab terjadinya poligami saat itu dilator belakangi adanya perbudakan pada wanita saat itu. Akan tetapi ketika agama Islam hadir ditengah-tengah mereka poligami tidak langsung dihapuskan nabi, tetapi diadakannya perubahan sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 3 yang didalamnya menerangkan tentang batasan jumlah istri yaitu empat, selain itu terdapat syarat yang harus dipenuhi seorang laki-laki yang hendak berpoligami yaitu ia harus mampu berlaku adil. Akan tetapi Rahman berpendapat bahwa “berlaku adil” yang tercantum pada ayat tersebut dianggapnya mustahil untuk dipenuhi oleh para laki-laki.[24]
                Awalnya masyarakat paada jaman itu melakukan praktik poligami dikarenakan adanya pengaruh sosial budaya yang ada pada jaman itu. Beberapa sahabat Nabi yang melakukan poligami disebabkan karena praktik poligami pada saat itu dianggap wajar bahkan dibanggakan. Untuk itu banyaknya orang yang melakukan poligami membuat monogami dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa dan jarang dilakukan. Untuk menanggapi masalah poligami tersebut, Rahman menggunakan metode penafsiran Al-Qur’an Double Movement. Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini yaitu:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’[4]: 3)
                Poligami diartikan sebagai suatu pernikahan dimana salah satu pihak (sang suami) menikahi istri lebihdari satu pada waktu yang sama, jadi maksudnya istri yang sebelumnya dinikahi oleh laki-laki tersebut masih berada dalam tanggungannya dan tidak diceraikan (istri secara sah). Selain itu terdapat juga istilah poliandri dimana ini merupakan suatu pernikahan dimana pihak istri memiliki suami lebih dari satu  dengan waktu yang sama. Kenyataannya praktik poliandri lebih sedikit daripada poligami. Dimana poliandri dapat kita temukan pada suatu suku tertentu saja. Sedangkan lawan dari poligami adalah monogami. Monogami diartikan sebagai suatu pernikahan yang mana sang suami hanya diijinkan mempunyai seorang istri saja. Praktik monogami ini kenyataannya banyak digunakan dalam kehidupan, hal itu dikarenakan monogami dianggap sebagai sesuatu yang sesuai dengan tradisi atau watak manusia.[25]
                Di dalam hukum keluarga islam, poligami merupaka salah satu masalah yang seringkali muncul. Pandangan ulama Pakistan mengenai diperbolehkannya poligami dalam Islam dan toleransi yang diberikan oleh Al-Qur’an sampai sebanyak empat orang istri menimbulkan kecaman terhadap ajaran Islam, yaitu menempatkan wanita secara tidak adil dengan diperbolehkannya poligami. Kecaman ini seringkali disangkutpautkan dengan Nabi yang memiliki IStri yang berjumlah Sembilan orang. Dari pandangan ini Rahman mengumukakan bahwa hal ini mampu mengurangi moral yang ideal yang ada dalam Al-Qur’an. Selain itu praktik poligami dianggap tidak sesuai karena pada dasarnya wanita memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an. Untuk itu pembolehan Al-Qur’an akan praktek poligami hendaknya dipahami secara menyeluruh.
                Untuk memahami ayat diatas Rahman juga menghubungkan dengan ayat lainnya yaitu QS. An-nisa’ayat 2:
وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا 
Artinya:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwasannya Al-Qur’an mengutuk wali anak yatim yang menyalah gunakan harta kekayaan anak yatim tersebut. Pada saat itu banyak sekali anak yatim karena sering terjadi peperangan yang kemudian menyababkan anak yatim terus bertambah jumlahnya. Untuk itu pemikiran Rahman yaitu agar tidak terjadi penyalahgunaan harta yang dimiliki oleh anak yatim maka seorang wali boleh menikahi sampai empat orang anak yatim, dan tidak lupa dengan syarat mampu berlaku adil. Jadi dalam ayat tersebut adanya poligami dikarenakan kondisi perenpuan yang menjadi yatim. Spesifiknya Rahman mengemukakan pendapat mengenai ayat tersebut bahwa terdapat moral ideal yang dipertahankan dalam suatu masyarakat hal itu dikarenakan poligami tidak semudah itu untuk dihilangkan. Selain itu karena sifat adil ketika beristri empat merupakan hal yang mustahil dimana diketahui bahwa izin poligami hanya dapat digunakan sementara waktu dan hanya untu tujuan tertentu saja. Sepertinya suatu izin untuk melakukan poligami merupakan suatu hukum, dimana sanksinya yaitu jika dilakukan poligami maka tujuan moral ideal yang diperjuangkan oleh masyarakat tidak dapat tercapai.[26]
Dari pemikiran Rahman jika disambungkan dengan konteks kehidupan pada saat ini merupakan suatu kebijakan yang ada dalam Al-Qur’an yang sesuai dengan kondisi ideal masyarakat saat itu untuk mencapai moral ideal. Untuk itu kondisi masyarakat pada saat ini sangat berbeda. Dimana ketika Al-Qur’an turun masyarakat Arab merupakan masyarakat yang sangat Jahiliyah. Diantara buktinya yaitu adanya ketidak setaraan antara status laki-laki dan perempuan yang mana untuk itu Al-Qur’an turun untuk merubah moral masyarakat tersebut menuju ideal dengan cara berangsur-angsur. Adanya kebijakan tentang pembatasa istri yang bisa dinikahi dalam Al-Qur’an pada saat itu membuat masyarakat Arab kaget. Dimana masyarakat Arab pada saat itu kebiasaan memiliki banyak istri sudah mandarah daging dalam trasidi kehidupan mereka. Jadi pada dasarnya terdapat tujuan sempurna yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an, meskipun tujuan tersebut tidak diungkapkan secara jelas bahwasannya pernikahan sempurna yang dikehendaki Al-Qur’an adalah monogami.
Jadi dalam masyarakat saat ini yang mana mereka memiliki kesadaran tentang Hak Asasi Manusia, serta kondisi dan situasi laki-laki dan perempuan yang sangat berbeda dengan masyarakat Arab pada saat itu memungkinkan untuk dilakukan pengkajian ulang terhadap izin untuk melakukan poligami hingga mencapai empat istri bahkan dapat juga dikatakan bahwa hal itu sangat dilarang. Seringkali para pelaku poligami menerjemahkan Al-Qur’an dengan seenaknya sehingga tujuan poligami untuk kemanusian menjadi lebih banyak memunculkan kerugian dari pada adanya kemanfaatannya. Hal itu dibuktikan dengan istri dan anak menjadi terlantar ketika sang suami melakukan poligami, adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang berupa kekerasan fisik ataupun kekerasan mental.[27]
E.       Penutup
                Dari pemaparan materi diatas dapat disimpulkan bahwa Fazlur Rahman adalah seorang pemikir dan pembaharu, di dalam kalangan pemikir neomodernis yang sangat produktif. Pada tanggal 21 September 1919 Fazlur Rahman dilahirkan di Negara Pakistan tepat di daerah barat laut, dengan tradisi mazhab Hanafi keluarga membesarkan dan mendidik Fazlur Rahman. Kemudian fazlurrahman mencetuskan ide tentang metode penafsiran Al-Qur’an yang dikenal dengan sebutan teori Double Movement. Dari teri tersebut Rahman mengemukakan pendapatnya mengenai penafsiran QS. An’Nisa’ ayat 3 yang membahas tentang poligami. Menurut Rahman pembatasa wanita yang boleh dinikahi pada Al-Qur’an dilator belakangi oleh keadaan masyarakat Arab pada masa itu yang kebanyakan merupakan anak yatim yang ditinggalkan perang oleh keluarganya. Dari penafsiran Rahman tersebut tujuan pembatasan yang ingin disampaikan oleh ayat tersebut yaitu pernikahan yang sempurna yaitu monogami. Karena poligami yang dipraktikkan pada masa sekarang seringkali menimbulkan kerugian daripada manfaatnya.

DAFTAR PUSTAKA
Fazlurrahman. 1996, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: PUSTAKA.
Damsyik, Daud. “Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlurrahman”, Jurnal Al-‘Adalah, Volume  XI Nomor 2, 2 Juli 2013.
Nadia, Zunly. “Membaca Ayat Poligami Bersama FAzlurrahman”, Jurnal Studi Islam, Volume 2 Nomor 1 Desember 2017.
Sifa’, Moh Agus dan Muhammad Aziz. “Telaah Kritis Pemikiran Hermeneutika “Double Movement” Fazlurrahman (1919-1988)” Jurnal Studi Keislaman, Volume 8 Nomor 1,  Maret 2018.
Ulyati, Fahmi. “Pemikiran Fazlurrahman dalam Q.S. An-Nisa’ [4]:3 Tentang Poligami”, Jurnal Syariati Vol III No. 1, Mei 2017.
Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsudin. 2002. Studi Al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Kurdi dkk. 2010. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: ELSAQ PRESS.
Iqbal, Abu Muhammad. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Amal, Taufik Adan. 1993. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung: Mizan.
Tarantang, Jefry. 2018. Teori dan Aplikasi Pemikiran Kontemporer dalam Pembaharuan Hukum Keluarga Islam, Jurnal Transformatif, Volume 2 Nomor 1, April 2018.
               


[1] Jefry Tarantang, teori dan Aplikasi Pemikiran Kontemporer dalam Pembaharuan Hukum Keluarga Islam, Jurnal Transformatif volume 2 Nomor 1, April 2018, hlm. 27-28
[2] Taufik Adan Amal,Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman,(Bandung : Mizan, 1993),hlm.20
[3]Ibid, hlm.20
[4] Abu Muhammad Iqbal,Pemikiran Pendidikan Islam,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar),hlm.591
[5] Ibid, hlm. 591
[6] Abdul Mustaqim,Epistemologi tafisr Kontemporer,(Yogyakarta : Printing Cemerlang,2012),hlm.88
[7] Abu Muhammad Iqbal, op.chit., hlm.591
[8] Abdul Mustaqim, op.chit.,  hlm.89
[9] Ibid, hlm.89
[10] Ibid, hlm.90
[11] Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: ELSAQ PRESS, 2010) hlm. 63
[12] Abu Muhammad Iqbal, op.chit., hlm.592
[13]Ibid, hlm.592
[14] Ibid, hlm.593
[15] Abdul Mustaqim, op.chit., hlm.91
[16] Taufik Adan Amal,Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman,(Bandung : Mizan, 1993),hlm.13
[17] Ibid, hlm.14
[18] Ibid, hlm.16
[20] Fahmi Ulyati, “Pemikiran Fazlurrahman dalam Q.S. An-Nisa’ [4]:3 Tentang Poligami”, Jurnal Syariati Vol III No. 1, 2017, hlm. 18-19
[21] Moh. Agus Sifa’ dan Muhammad Aziz, “Telaah Kritis Pemikiran Hermeneutika “Double Movement” Fazlurrahman (1919-1988)”, Jurnal Studi Keislaman, vol.8 No.1, 2018, hlm. 120
[22] Zunly Nadia, “Membaca Ayat Poligami Bersama FAzlurrahman”, Jurnal Studi Islam, Vol.2 No.1, 2017, hlm.210
[23] Moh. Agus Sifa’ dan Muhammad Aziz, “Telaah Kritis Pemikiran Hermeneutika “Double Movement” Fazlurrahman (1919-1988)” Jurnal Studi Keislaman, Vol.8 no, 1, 2018, hlm. 121
[25]Zunly Nadia, Op.chit., hlm.212
[27] Ibid, hlm.214-222

Komentar