Makalah Teologi di Abad Modern


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia. Baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni. Merekontruksi Teologi Islam klasik merupakan sebuah keniscayaan. Karena dengan mempertahankan doktrin- doktrin teologi islam klasik yang lebih cenderung kepada teosontris atau Ketuhanan yang menjadi pembahasanm pokok teologisnya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar yaitu liberasi. Rumusan klasik di bidang teologi pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan pemikiran- pemikiran keagamaan yang tidak punya kaitan apapun dengan fakta- fakta nyata kemanusiaan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi islam  sebagaimana tercermin di masa Nabi SAW. Sangatlah emansipatif, progresif dan revolutis. Disamping itu, kita membutuhkan pembaharuan mengenai teologi kontemporer atau teologi modern untuk mengimbangi perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam pemikiran masyarakat modern , islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan. Oleh karena itu dalam pembahasan ini banyak sekali dipaparkan mengenai bagaimana kritik dalam teologi islam beserta upaya merekonstruksi teologi islam. Dijelaskan pula bagaiman kondisi teologi yang berkembang dalam negara Indonesia.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kritik mengenai teologi islam klasik?
2.      Apa upaya rekonstruksi teologi islam?
3.      Bagaimana Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Teologi Modern?
4.      Bagaimana Teologi yang ada di Indonesia?
5.      Siapa saja tokoh pemikir Teologi Islam Modern?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana kritik mengenai teologi islam klasik.
2.      Untuk mengetahui upaya yang dilakukan untuk rekonstruksi teologi islam.
3.      Untuk mengetahui sejarah kemunculan dan perkembangan teologi modern.
4.      Untuk mengetahui bagaimana teologi yang ada di Indonesia.
5.      Untuk mengetahui tokoh pemikir teologi islam modern.

















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kritik Atas The Body Of Knowladge Teologi Islam Klasik
Benih ilmu teologi islam berdasarkan realitas historis sebenarnya telah muncul sejak Nabi saw masih hidup. Fakta adanya sahabat yang bertanya kepada Nabi saw tentang “al-qadar”, sebuah tema yang pada masa selanjutnya menjadi topik pembicaraan teologi islam. Seperti yang di jelaskan oleh Louis Gardet dan Anawati bahwa teologi islam dimulai dengan adanya kajian terhadap teks al-Quran yang nantinya menjadi topik pembicaraan teologi. Namun demikian, teologi islam mulai mempunyai bentuk yang definitif sejak periode kebangunan semangat kritis masuknya filsafat Yunani dengan tuntutan rasionalnya berpengaruh besar di kalangan masyarakat muslim dan menimbulkan kehausan akan pengetahuan filosofis, kegelisahan untuk menjelaskan hal hal yang di imani, dan keinginan untuk mengkoordinasikan keseluruhan pengetahuan manusia.
            Bahwa dalam perkembangannya, teologi islam merupakan wujud respons terhadap semakin gencarnya penyebaran filsafat Yunani dan unsur-unsur ajaran luar islam yang ikut terlibat dalam perkumpulan pemikiran keislaman saat itu. Ideologi dan pemikiran-pemikiran filosofis itu sedemikian luas penyebarannya sehingga ulama merasa perlu untuk mengantisipasi kemungkinan tercemarnya akidah umat islam. Dengan kata lain, keberadaan teologi islam merupakan fakta menunjukkan adanya ulama terhadap realitas masyarakat. Pada saat itu umat islam sedang menghadapi problem perluna upaya rasionalisasi terhadap pokok-pokok akidah mereka akibat pengaruh mainstream pemikiran Yunani yang mulai merambah umat islam. Paradigma pemikiran teologi islam klasik lebih cenderung pada persoalan-persoalan al-mantiq, al-thabi’iyat dan al-illahiyat.
            Bangunan keilmuan teologi islam klasik nampaknya terus bertahan dan dikaji terus menerus tanpa mengalami perubahan orientasi. Teologi islam dalam pembahasannya hanya berkutat pada persoalan-persoalan “langit”. Kalau di lihat dalam data sejarah, kemenangan pemikiran teologi klasik atas pemikiran kritis-filosofis seperti yang terjadi di seputar kontroversi antara al-Ghazali dan Ibnu Sina, telah menjadikan pemikiran teologi sekolah sebagai sesuatu yang taken for granted sehingga tidak perlu kajian dan rumusan ulang.
Kritik Atas Paradigma Klasik perdebatan tentang definisi kalam atau teologi di kalangan umat islam (terutama Indonesia) masih berkutat pada level semantik. Perdebatan itu setidaknya menghadirkan dua pandangan besar. Pertama, kelompok yang memliki background keilmuan tradisional, mengidentikan teologi sebagai ilmu kalam; yakni suatu disiplin ilmu yang mempelajari ilmu ketuhanan yang bersifak abstrak – metafisis dan skolastik. Kedua, kelompok yang pernah mengenyam pendidikan tradisional, kemudian terdidik dalam tradisi akademik Barat, mempelajari Islam dari studi – studi akademik modern, lebih melihat teologi sebagai penafsiran terhadap realistas dalam persfektif ketuhanan.[1]
Sistematisasi kalam klasik memiliki tiga tema pokok, yaitu: Uluhiyah (ketuhanan), Nubuwwah (kenabian), dan Ma’ad (eskatologi). Nyaris seluruh perdebatan dalam wacana kalam klasik berputar pada tiga hal tersebut, yakni teoritis, abstrak, dan intelektual. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika islam mulai mengalami “encounter” dengan berbagai tradisi keagamaan lain, para mutakallimun mulai mengembangkan dari tiga tradisi besar pra-Islam, yaitu: Zoraostrianism, Yahudi, Kristen.
Dalam kondisi itu, ilmu kalam dalam bangunan pemikiran Islam Klasik menjadi sangat sentral, bahkan nyaris seluruh problem keagamaan selalu diukur dan dilihat dari sudut pandang ilmu kalam.[2] Ilmu kalam lahir dari narasi sosio – historis dan konteks politik tertentu menjadi kabur dan nyaris terlupakan. Ilmu Kalam dianggap sakral dan mutlak, dan historis. Pada tahapan ini, maka umat Islam cenderung melakukan apa yang disebut Mohammad Arkoun sebagai proses “Pensakralan pemikiran Keagamaan” (Taqdis al-afkar ad-dini) atau meminjam bahasa Fazlurahman disebut dengan ortodoksi.
Dalam narasi sejarah, ilmu Kalam mulai dibakukan sebagai disiplin ilmu mandiri pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (Memerintah 813 – 833 M), dipelopori oleh kaum Mu’tazilah dengan mengadopsi filsafat Yunani kemudian di padukan dengan logika kalam[3]. Tetapi, kalam sebagai “diskursus” telah digunakan sejak lama oleh asan al-Basri (642-728 M) dalam konteks perdebatan antara Qadariyah dan Jabariyah tentang kebebasan manusia dan taqdir. Perdebatan itu jika diruntur ke belakang adalah produk dari konlik terkait Khalifah.
Adanya relasi kalam dan filsafat Yunani bisa dibuktikan dengan melihat model argumen – argumen rasional yang dibangun oleh mutakallimun. Metode rasional  yang digunakan sangat mirip dengan model logika para filosof Yunani mazhab Stoic. Jossef Van Ess menjelaskan bahwa metode para mutakallimun dalam berargumen yang menekankan pada model drfense (bertahan) dan attack (menyerang), menggambarkan bahwa logika yang digunakan lebih condong kepada pola apologetik dan agresif.[4] Singkatnya, bahwa logika yang digunakan para mutakallimun bersifat argumentum adhominem model madzhab stoic.[5] Menurut Osman Bakar, teologi dan filsafat sama – sama menggunakan metode silogisme merupakan suatu metode pengambilan kesimpulan atau pengetahuan berdasarkan atas premis – premis.
Proses kononisasi diskursus – diskursus kalam ke dalam kitab – kitab merupakab upaya pembangunan citra “epistermologi kalam” menuju level kemapanan.[6] Terbukti belakangan, kalam menjadi suatu tema sentral yang mewarnai khazanah pemikiran islam selama berabad – abad. Kalam yang pada awalnya adalah hasil perdebatan, pergumulan dan penafsiran para mutakallimun atas wahyu Tuhan, Kemudian menjadi baku yang bersifat doktriner. Kecika wacana kalam di dominasi oleh ajaran Ahl as-sunnah wa al-jamaah.
Wacana kalam klasik bersifat teosentris dan cenderung deduktif – spekulatif. Akibatnya, kalam klasik tidak peka terhadap persoalan sosial umat dan persoalan kemanusiaan universal. Fakta inilah yang menjadi titik kritik Muhammad Iqbal, menurutnya, studi terhadap Al Quram dan aliran pemikiran kalam klasik yang dipengaruhi filsafat Yunani, memperlihatkan dengan bahwa meskipun filsafat telah memberikan sumbangan yang besar dalam perkembangan para pemikir muslim, tetapi hal itu teah mengaburkan visi mereka (ilmuan muslim) terhadap Al Quran.
Sebagai contoh apa yang disebut dengan kekaburan visi pemikir islam terhadap Al Quran, yaitu Iqbal mencontohkan bahwa diskursus kalam Asy’ariyah menggunakan filsafat dialektika Yunani untuk mempertahankan ortodoksinya. Sedangakan Mu’tazilah, terlalu jauh menggunakan akal, sehingga mereka tidak menyadari bahwa pemisahan antara pemikiran keagamaan dan pengalaman kongkrit manusia dalam wilayah pengetahuan agama merupakan sebuah kesalahan besar.
Jauh sebelum kritik Iqbal, Al Ghazali juga mengkritik terhadap ilmu kalam , sehingg ia sampai pada kesimpulan. Bahwa ilmu kalam tidak mampu mendekatkan manusia kepada tuhan.[7] Bahkan dalam  salah satu karyawan iljam al-awwam ‘an ‘ilmi al-Kalam, Ghazali mengkritik habis – habisan ilmu kalam dengan metode penalarnya yang berbelit – belit, sehingga di khawatirkan akan berdampak negatif bagi masyarakat awam.[8]
Tetapi kemudisan sangat disayangkan, al-Ghazali juga pada akhirnya terjebak dalam lingkaran kalam, ia bahkan menjadi juru bicara teologi Asy’ariyah. Pemikiran kalam Asy’ariyah merupakan salah satu sekte yang mendominasi pemikiran Islam. Hal ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh – tokoh besar dibidang fiqih semisal Imam Maliki dan Syafi’i yang secara teologis berkiblat ke Asy’ari. Sedangkan Imam Hanafi lebih dekat ke teologi Maturidiyah, dan Syiah Imamiyah dan Zaidiyah mewarisi teologi rasionalnya Mu’tazillah.
Ibnu Rusyd juga tidak ketinggalan mengkritik paradigma kalam klasik, menurutnya ta’wil – ta’wil yang dilakukan oleh Mu’tazillah dan Asy’ariyah telah memecah belah umat Islam. Bahkan secara metodologis, Ibnu Rusyd mengkritik ilmu Kalam, karena belum mampu menggunakan metode demonstratif (Burhani), terutama dalam hal ini kalam Asy’ariyah.[9] Melihat bahwa anomali dalam diskursus kalam klasik adalah memunculkan perpecahan internal umat Islam.
Maka dalam kehidupan kontemporer yang plural dan multikultural, konsepesi kalam klasik sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Apalagi umat Islam berada dalam lingkaran agama – agama, kepercayaan, ideologi, dan berbagai “isme – isme” lainnya.
Selanjutnya kritik atas teologi Islam dikemukakakn oleh seorang pemikir Mesir, Hassan Hanafi. Menurutnya, teologi Islam harus diperbaharui, karena sifatnya yang terlalu abstrak – dogmatis dan kurang membumi. Ia menawarkan teologi sebagai ilmu tentang perjuangan sosial. Menurutnya keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, ia mengusulkan untuk mentransformasi teologi Islam yang bersifat tradisional – teosentris menuju teologi antroposentris; dari tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual menuju konstektual (min al-nash ila al-waqi), dari teori kepada tindakan, dari takdir menuju kehendak bebas. Menutut Hanafi, pembaharuan ilmu Kalam memiliki dua alasan, yaitu: yang pertama, kebutuhan akan adanya sebuah teologi yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritis, namun lebih praksis yang bisa mewujudkan gerakan dalam sejarah.[10]
Dalam Konteks modern, umat Islam dituntut mampu dan harus berani mereformulasi pandangan kalam klasik. Upaya reformulasi bukanlah tindakan dosa atau melanggar normatifitas agama. Karena menurut Amin Abdullah, Ilmu Kalam adalah tidak lain dan tidak bukan, merupakan sebuah rumusan sistematis keprihatinan dan pergumulan pemikiran manusia tentang persoalan – persoalan ketuhanan yang terjadi pada era tertentu dan penggal sejarah tertentu. Meskipun sumber utama ilmu adalah “wahyu” namun konsepsi rumusan, pemikiran dan rancang bangun spistemologi keilmuannya adalah hasil kreasi manusia semata.[11]
Jika mengancu pada pendapat Amin Abdullah, maka ilmu kalam adalah ilmu yang dihsilkan oleh kreatifitas nalar manusia, bukan sesuatu yang mutlak dan datang dari langit. Meskipun sumber utama ilmu kalam adalah “wahyu” namun konsepsi rumusan, pemikiran dan rancang bangun epistemologi keilmuannya adalah hasil kreasi manusia semata.[12] Dalam Al-Qur’an surat Al-Ra’d ayat 11 juga dijelaskan sebagai berikut:
..بِأَنْفُسِهِمْمَايُغَيِّرُواحَتَّىٰبِقَوْمٍمَايُغَيِّرُلَااللَّهَإِنَّ..
“...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...” (Q.S. Al-Ra’d : 11)
Maka dari itu, di era pluralisme dan multiculturalisme, merupakan sebuah kehatusan bagi umat Islam untuk menggeser pandangan kalam klasik yang bersifat abstrak-dogmatis dan sektarian-ekslusif, menuju teologi sosial yang dialogis dan inkslusif. Mengingat umat Islam saat ini, telah tersebar dalam bingkai negara – negara bangsa dan hidup secara bersama – sama dengan komunitas agama lain. Yang harus dilakukan adalah mengembangakan teologi sosial untuk menciptakan harmoni dalam common good dalam sistem sosial masyarakat modern.
2.2 Rekonstruksi Teologi Islam dalam Kemajemukan Masyarakat Modern
2.2.1 Konsepsi Teologis Feminisme Islam
Teologi muslim sangat memprihatinkan, hanya bicara tentang konsep Tuhan dan mengabaikan masalah sosial yang ada di hadapannya. Celakanya lagi, teologi ini dianggap sudah final oleh umat islam,  tidak boleh diperbarui.[13]Padahal teologi seharusnya merupakan refleksi kritis agama terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat.Atas dasar pemikiran ini, bagi Basya, perjuangan membangun keadilan dan kesetaraan gender, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari bangunan telogis. Apalagi jika mempertimbangkan adanya pandangan yang melihat seakan beban gender perempuan adalah “kodrat” dari Tuhan..perempuan masih diposisikan sebagai kelompok lemah yang perlu diajari, dibimbing dan diamankan.
Semua itu menjadi pembenaran bahwa perempuan tidak bisa berperan di ruang public, diharuskan tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkosentrasi diwilayah domestik. Dengan kenyataannya seperti maka peran teologi Islam betul – betul akan diuji, apakah menjadi faktor yang dapat membebaskan kaum perempuan dari hijabisasi di dalam melanggengkan pemenjaraan dan penelikungan mereka ke dalam ruang domestik semata.
Dengan demikian, rasion d’etre  teolgi islam adalah tuntutan “realitas sosial”. Teks kitab suci ( Al-Quran ) harus didialogkan dengan persoalan manusia. Maka, pada masanya, telogi Islam begitu modern dan relavan dengan kebutuhan manusia.Namun disayangkan Basya, dewasa ini teologi Islam berhenti berdialg dengan “realitas sosial”.Umat Islam terjebak dengan pendekatan hermeneutics teoretis, yakni memahami teologi untuk telogi itu sendiri.Hasilnya, teologi menjadi jauh dari kebutuhan manusia.Sebab itu, sudah saatnya umat Islam mengembangkan pendekatan hermeneutika filosofis, dengan harapan dapat membebaskan telogi Islam dari kebangkrutannya.
Dengan pendekatannya ini, telogi senantiasa didialogkan dengan realitas soisalnya. Salah satu realitas sosial yang perlu disikapi adalah diskriminasi gender.Teolgi yang sejatinya memposisikan perempuan sebagai mitra laki – laki, justru disesaki kepentingan laki- laki. Dalam hal ini Basya membenarkan teologi feminis, Anne McGrew Bennet, yang menyatakna bahwa “ revolusi teologis” adalah sebuah keniscayaan jika kita menginginkan pembebasan manusia. Jadi, dialog  teolgi dengan permasalahan – permasalahan perempuan adalah suatu keniscayaan.Hasil dialog semacam ini dapat kita temukan dalam telogis feminis. Didalamnya, konsep ketuhanan yang metafisik diterjemahkan kepada persalan pembebasan dan pemberdayaan permpuan. Lebih tepatnya, telgi feminis adalah teologi yang menggali aspek – aspek teologi feminine Tuhan demi kesataraan  gender.[14]
Di Indonesia sesuatu yang melatarbelakangi munculnya teolgoi feminisme Islam adalah keprihatinan para agamawan, intelektual Musim, dan aktivis sosial,terutama yang peduli pada problem bias gender, untuk memberikan pandangan keagamaan alternative melawan struktur dan kultur yang tidak adil dan mengabaikan hak asasi perempuan. Sebab faktanya, agama seringkali dilibatkan dalampembentukan dan pelanggengan struktur hegemoni laki – laki atas perempuan, baik dalam wilayah domestic maupun publik.Dalam semangat pembebasan atas jerat agama yang digunakan untuk menindas kaum perempuan ini maka wacana teologi feminisme Islam ini menjadi sugnifikasi dan mendapatkan bentuk legitimasinya.
Dalam Al-qur’an, Tuhan digambarkan memiliki 99, atau yang disebut al-Asma al-Husna (nama – nama yang terpuji ). Ibnu Arabi membagi sifat – sifat tersebut ke dalam dua kelompok besar, yaitu sifat yang melambangkan keperkasaan  ( maskulin ) dan keindahan (feminin ). Sifat – sifat tersebut ke dalam dua kelompok besar.Sifat feminin inilah yang dieksplorasi oleh teologi feminisme. Dalam pandangan Arabi, meski sifat maskulin dan feminine Tuhan dikatakan sejajar , sebenarnya sifat feminin  Tuhan jauh lebih berperan. Proses penciptaan alam semesta secara evolusi, misalnya, merupakan cermin dari sifat feminine-Nya. Arabi menggambarkan adanya reproduksi alam semesta, seperti halnya seorang ibu yang melahirkan.
Kemudian, pemeliharaan alam juga merupakan reprentasi sifat kasih dan saying-Nya.Bahkan, sifat perkasa-Nya senantiasa didampingi oleh kekuasaan kaasih saying-Nya senantiasa didampingi oleh keluasan kasih saying-Nya.Maha pemberi hukuman diimbangi dengan maha pemberi hukuman diimbangi dengan Maha pengampun, Maha pemarah diimbangi dengan Maha penyayang, dan seterusnya.Dengan demikian aspek frminin-Nya jauh lebih terasa ketimbang aspek maskulin.
Hal inilah yang ingin dideknstruksi dari paradigma pendukung patriarki bahwa feminitas senantiasa merepresentasikan kelemahan, irasional, sensitif dan tidak bisa tidak layak berperan dalam wilayah publik.Padahal, pandangan seperti itu tidak memiliki legitimasi telogis. Perendahan terhadap kualitis feminin  perempuan bernilai sama dengan pengabaian kualitas feminine Tuhan. Atas dasar itu, diskriminasi gender sesungguhnya merupakan pengingkaran terhadap Tuhan secara utuh.Alasannya, relasi gender secara mengesankan telah direpresentasikan leh Tuhan sendiri.
Sebab itu, ada tiga hal yang harus dilakukan terhadap teologi Islam :
Pertama, membongkar mitos tentang teologi yang seolah-olah terberi (taken for granted).Hal ini diperlukan guna menyadarkan umat bahwa kemunculan teologi Islam tidak berada di ruang hampa, melainkan penuh dengan kepentingan, baik kepentingan   status quo maupun pemberontakan. Dengan begitu diharapkan tidak  ada fanatisme sempit yang mencurigai dialog teologi dan persoalan perempuan sebagai pendangkalan akidah. Kedua, mengeksplorasi aspek feminin Tuhan demi kesetaraan  gender. Ini tidak dimasukkan untuk membenturkan sifat feminin Tuhan dengan sifat maskulin-Nya.Eksplorasi lebih dimasukkan sebagai pengungkapkan bahwa sifat feminine tidak identik dengan kelemahan sebagaimana dianggap oleh pendukung patriarki.Ketiga, menjadikan teologi tidak sebatas keimanan, melainkan meneruskannya pada aksi.Ukuran kesalehan dalam knteks gagasan ini tidak diukur dari kepatuhan menjalankan ritual, tetapi pada kesalahan sosial, yakni membela hak-hak perempuan dan menegakkan kesetaraan gender.
            Dalam Al-Quran, penciptaan perempuan digambarkan dalam surah an-Nisa ( 4 )ayat 1:”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakanmu dari serang diri(nafs) , dan daripada Allah menciptakan istrinya : dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki – laki dan perempuan yang banyak”. Sebagian besar ahli tafsir ( mufassir ) seperti al-Jalalain, Ibnu Katsir, al-Qurtubi, dan Muhammad bin Jarit at-Tabari, menyamakan kata “nafs” itu dengan pandangan ini. Sebut saj, Syekh Muhammad Abduh, tokoh pembaharu dan pengarang tafsir al-Manar, dan muridnya, Qasim  Amin, berpandangan bahwa “nafs” tersebut lebih tepat diartikan sebagai “jenis”.
            Bertolak dari pandangan seperti yang dianut Abduh dan Amin ini maka para teolog feminis seperti Riffat Hasan mulai mengkaji ulang konsep dalam Al-Quran. Tema yang paling disoroti dalam kaji ulang ini adalah mengenai Adam, Hawa sebagai pasangan Adam, dan latar belakangan keterlemparan manusia dari surga , sesuatu yang pada umumnya dipandang sebagai akibat kesalaha perempuan, dalam hal ini Hawa, yang “berulah” menggoda laki – laki dengan kendali bisikan iblis, dalam hal ini Adam, untuk melanggar larangan Tuhan untuk memakan buah”khuldi” atau buah keabadiaan sehingga menjadikan keduanya terusir dari surga.
            Kajian Hassan menunjukan bahwa kata Adam dalam ayat – ayat Al-Quran bukan mengarah ke makna laki – laki namun menunjukkan kepada manusia sebagai wakil dari makhluk yang memiliki kesadaran, menguasai ilmu ilmu pengetahuan, dan secara moral bersifat otonom. Meski dari bentuknya dikatogorikan sebagai kata benda maskulin, sangat sulit untuk mengatakan bahwa kata “Adam” tersebut adalah merujuk kepada makna sebagai nama seorang laki – laki yang bernama Adam saja. Dengan kata lain, demikian Hassan, kata “Adam” ini kepada kemanusiaan secara umum. Selain itu, al-Quran ternyata tidak sekalipunmenggunakan kata atau nama “Siti Hawa “ untuk menyebut  pasangan Adam. Alih – alih, al-Quran hanya menggunakan kata “zauj”, seperti dalam QS.al – Baqarah ayat 35, yang ditilik dari bentuknya adalah kata benda maskulin, karena bentuk femininnya adalah “zaujjah”, sehingga jika kata “Adam” tidak dapat memaknai sebagai “ laki – laki “ maka “zauj”  juga dimaknai sebagai perempuan. 
            Bagi para teolog, kata “ zauj” dan “zaujah” ini bukan suatu kebetulan. Al-Quran tidak memperjelas jenis kelamin Adam dan pasangannya dengan tujuan untuk tidak mengaitkan peristiwa tertentu dengan hidup serang lak – laki dan permpuan secara bersama – sama. Selain itu, berbeda dengan injil ( kejadian 2 ayat 21-22 misalny ), al-Quran sama sekali tak pernah menyebut bahwa kata “zauj” diciptakan dari tulang rusuk Adam. Alih – alih dalam Islam, doktrin pencitaan perempuan dari tulang rusuk ini adalah ajaran yang bersumber dari tradisi Israilliyat  (baca : yahudi ).
            Pertanyaannya kemudian jika al-Quran tidak mengatakan bahwa permpuan diciptakan dari tulang rusuk laki – laki, maka bagaimana anggapan penciptaan permpuan yang demikian itu mendapat pembenaran ?pertanyaan ini dijawab, misalnya, leh Fatimma Mernissi bahwa pemahaman yang merendahkan perempuan tersebut bersumber dari Hadits. Menurut Mernissi, dalam kitab – kitab kumpulan Hadits yang dianggap shahih leh banyak kaum Muslim, terdapat beberapa Hadits yang dianggap shahih oleh banyak kaum Muslim, terdapat beberapa Hadits yang memerintahkan kaum Muslim untuk saling berpesan dalam hal kebaikan dan memberlakukan perempuan dengan baik karena permpuan ini diciptakan dari tulang rusuk, adalah bagian atasnya.
            Sebagi contoh, Hadits yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah menyebutkan : “Dan seandainya kamu (kaum Muslim ) memaksa meluruskannya, ia ( tulang rusuk yang bengkok tersebut ) akan patah. Tetapi, jika kamu membiarkannya, ia akan terus bengkok. Maka perlakukanlah mereka dengan baik”. Hadits, yang oleh kebanyakan kaum feminis Muslim, mengandung banyak kelemahan baik dari segi sanad ( perawi ) maupun matan (isi)-nya ini dinilai mengandung elemen misoginis karena menisbahkan ( mengkategorikan ) begitu saja sifat – sifat buruk kepada kaum permepuan.
            Dengan Hadits semacam ini maka muncullah ssterotip bahwa kaum perempuan adalah makhluk yang lemah secara fisik, intelektual dan bahkan, secara spiritual. Padahal, bagi kalangan feminis Muslim, stereotip semacam ini bertentangan dengan ajaran al-Quran yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuknya terbaik (fi ahsani takwin ), seperti dinyatakan dalam QS.at-Thin [95] ayat 54, termasuk soal intelektual.
2.2.2 Rekontruksi Teologi Feminisme Islam
            Kehadiran teologi feminisme dalam tradisi Islam di Indonesia dapat dilihat sebagai slah satu implikasi dari mengedepankannya. “paradigm baru teologi Islan” dalam menghadapi problem actual – eksistensial, khususnya yang berkaitan dengan munculnya berbagai bentuk diskriminasi gender. Dengan menyepakati pencermatan Nur said ini, maka penulis melihat bahwa secara epistemology wacana teologi feminisme Islam ini tidak dapat terlepas dari kemunculan gelmbang pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, terutama teologi “Islam rasional” yang di propaganda oleh Harun Nasution, arsitek dari “madzab Ciputat”, pada awal tahun 1995-an.
            Harun Nasution dalam gagasannya ini menyakini bahwa berbagai problem pembangunan nasional dan dampak – dampak yang diakibatnya, seperti posisi dan peran yang belum menguntungkan perempuan, dapat dengan mudah dihadapi dengan filsafat hidup liberal dan sikap mental rasional. Baginya, teologi atau filsafat hidup islam dalam corak liberal yang didasarkan atas ajaran yang memberi penghargaan tinggi pada akal yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Filsafat hidup inilah dianut umat Islam pada abad – abad pertama membuat mereka berhasil dalam singkat membangun masyarakat primitive Arab di Semenanjung Arabia menjadi masyarakat yang peradaban tinggi ( masayarakat madani, civil society ) dengan kta Damsyik dan Baghdad sebagai pusatnya. Salah satu cirri dalam masayarakat yang berperadaban tinggi adalah dimana terjamin hak asasi semua kompunen perempuan.
            Dengan teologi Islam rasionalnya, Nasution mencoba mendudukkan perempuan pada posisi yang “ideal” diantara wilayah public dan wilayah domestik.Atas dasar kesadaran atas realitas mdernitas, Nasution menyarankan dan sekaligus menekankan prinsip – prinsip kesataraan, misalnya dalam lembaga perkawinan yang dibangun antara sepasang laki – laki dan perempuan.
            Prinsip dasar perkawinan dalam Islam adalah terwujudnya keluarga bahagia atau istilah yang kita dengar keluarga bahagia atau istilah yang kita dengar keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.Selain itu, perkawinan dalam Islam juga dipandangan sebagai sebuah perjanjian hanya dapat tercapai antara dua pihak yang telah saling kenal dan saling tahu.Karena itu kendati tugas utamanya sebagai kepala keluarga namun seorang suami, menurut Nasution, haruas memakai prinsip musyawarah dan tidak boleh bersifat diktaktor.
            Sementara seorang istri, kendati tugas utamanya adalah sebagai kepala rumah tangga untuk memusatkan perhatian pada pengelolaan domestik keruhmatanggaan dan perhatian pendidikan anak – anaknya, namun bagi Nasution bukanlah dianggap sebagai sebuah kesalahan atau “dosa” bagi mereka untuk mencari pekerjaan di luar rumah dalam membantu perekomonian keluarga.  Sebab, kesejahteraan secara ekonomi dipandangan oleh Nasution sebagai salah satu pilar utama dalam terciptanya keluarga sakinah diatas.
            Walaupun demikian, Nasution, mengingatkan kepada kaum perempuan yang bekerja di ruang publik untuk tetap tidak meluapkan tugas aslinya sebagai ibu rumah tangga dan pendidikan anak.Tampaknya, pandangan Harun Nasutin ini sangat merepresentasikan pandangan kelolmpok feminis liberal, seperti yang telah digambarkan terdahulu.
            Kendati bukan sebagai satu – satunya faktor penyebab, baik langsung maupun tak langsung, pengungkapkan tabir rasinalitas dalam merekontruksi teologi Islam seperti yang digagas Harun Nasution di atas satunya adalah telogi transformatif dalam mendialogkan Islam dengan realitas empiric yang dihadapannya. Munculnya teologi transformatif  tidak lepas dari berkembangnya pemikiran Islam transmormatif yang mengedapan sebagai respns terhadap keberadaan ajaran Islam yang sering ditunding kurang melibatkan didi dalam menjawab berbagai tantangan problem aktual, seperti diskriminasi yang dialami kaum perempuan dalam wilayah domestic dan public.[15]
2.2.3 Rekonstruksi Teologi Islam Masyarakat Modern
Dalam agama, iman merupakan ajaran yang esensial. Sedangkan substansi keimanan terletak pada paradigma tauhid ( Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ). Islam menekankan bahwa kepercayaan pada ke Esaan Tuhan adalah meyakini dan mempercayai bahwa Tuhan adalah satu- satunya yang berhak disembah. Hal ini dipertegas oleh Al-Qur’an yang menyerukan bahwa islam dalam mempercayai-Nya sejalan dengan agama-agama lainnya. Ke-Esaan Tuhan ( Tauhid ) merupakan bagian paling asasi dari seluruh kepercayaan agama-agama seluruh manusia. Dalam konteks ini, Mukti Ali berpendapat atas dasar paradigma tauhid menjadikan kehidupan dunia ini memiliki arti yang mendalam dan luas yakni adanya ajaran yang menekankan pada “keesaan manusia” atau kesatuan seluruh umat manusia.
Di era kontemporer seperti ini tantangan teologi Islam adalah isu-isu kemanusiaan universal seperti pluralisme, demokrasi, HAM, kemiskinan dan lain sebagainya. Apabila teologi Islam klasik dengan segala rumusannya lahir sebagai jawaban atas problematika yang berkembang pada saat itu, maka pastinya ia harus mampu merespon tantangan zaman kekinian yang sedang berkembang agar tidak kehilangan peran vitalnya sebagai piranti sistem kepercayaan dalam beragama.
Oleh karena itu, perlu kiranya memahami dan menjelaskan kembali konsep-konsep atau rumusan-rumusan teologi Islam klasik itu. Upaya untuk memahami perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang ditimbulkan oleh perubahan sosial, menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar bagi teologi Islam klasik agar rumusanya tidak out of date.[16]
Formulasi ilmu kalam atau sistem teologi klasik hanya menyentuh konsep ketuhanan yang kering dengan wacana kemanusiaan dan tidak mempunyai sense terhadap problematika sosial yang muncul. Wahyu yang dalam sejarah penyelamatan umat manusia menjadi suatu cara yang diajarkan kepada nabi-Nya untuk memahami dan mengubah realitas direduksi sedemikian rupa, sehingga wacana yang diproduksi menjadi ekslusif dan apologetis. Ilmu kalam atau sistem teologi sebagai salah satu mode of thought dalam khazanah intlektual Islam mestinya membicarakan tema-tema kebebasan itu yang menyangkut praksis kehidupan sehari-hari.
Untuk itu perlu membangun teologi Islam sebagai solusi bagi kehidupan manusia, agar tercipta perdamaiaan, kesejahteraan dan anti kekerasan. Banyak pemikir yang memberikan solusi teologis yang relevan bagi kehidupan masyarakat dewasa ini. Rekontruksi merupakan pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan- bahan yang ada dan disususn kembali sebagaimana adanya.  Beberapa hal yang harus di pertimbangankan sebagai salah satu syarat perlunya merekrontruksi teologi islam dalam kemajmukan agama-agama dalam masyarakat modern yang berkaitan dengan sosiologis dan teologis dapat dilihat dari aspek-aspek pemikiran atau nalar modern sekarang ini antara lain[17]:
Pertama, Perlunya, introspeksi kedalam agama-agama atas pandangan teologinya yakni pemikiran yang sesuai dengan agama mereka masing-masing, karena dengan kesdaran teologis dari agama itu sendiri akan sampai dalam kesimpulan.
Kedua, Dari sudut pandangan esoterisme islam, maka agama-agama lain tetap dalam substansi yang lama, tetapi berbeda dalam perwujudannya sehingga mengalami pluralisme. pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok- kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan saling toleransi satu sama lain mereka hidup bersama serta memberikan hasil tanpa konflik asimilasi. Fenomena pluralitas dan multikulturalitas yang kian pesat, menuntut umat Islam untuk mereformulasi pandangan-pandangan kalam klasik yang cenderung apalogistik, menjadi pandangan yang bersifat dialogis dan inklusif. Karena dalam bingkai globalisasi, umat Islam telah menjadi warganegara global (global citizenship). Dikatakan oleh Baljon bahwa universalisme islam memandang manusia itu padasarnya muslim, yang didalamnya ada keyakinan mengenai keesaan tuhan, agama Allah adalah satu tanpa kontinuitas dan tanpa diskriminasi Nabi-nabi. Selanjutnya, Baljon mengatakan bahwa agama itu sendiri bertujuan untuk menciptakan kebahagian dan kesejahtraan manusia. Meskipun demikian, kondisi serta pola masyarakat manusia mengalami pluralisme dalam setiap tempat dan masa, bagaimanapun keadaanya, tidaklah fundamental. Substansi dari isi Al qur’an kesatuan agama, umat, keluarga, dan penyembahan.
Ketiga, berbagai kenyataan sosiologis-historis menunjukan bahwa masyarakat modern merupakan masyarakat yang sangat terbuka dalam hubungan antar bangsa, yang dibarengi dengan meningkatnya kesadaran kemanusiaan yang bersifat universal, sehingga dapat menembus dinding pemisah antar kebudayaan suatu bangsa dengan umat beragama lainnya. Hal ini akan memberikan dampak pergaulan baru bagi umat baru antar agama lainnya, seorang filosof keagamaan inggris, Edward Caird, menyatakan bahwa dengan meletakkan kepercayaan atau keyakinan dunia sebagai sebuah sistem yang dapat dipahami dan rasional, maka segala sesuatu, yang berhubungan dengan proses fisik dari alam menuju aktivitas spiritual diri manusia merupakan bagian kemampuan prinsip penjelasan yang bersifat rasional. Sebagai konsekuensinya, akal dan agama akan menuju pada tujuan yang sama dan karena itu, agama tidak lagi membutuhkan, baik wahyu yang khusus maupun hal- hal yang mistis.
Menurut Al-faruqi, tauhid sebagai inti pengalaman agama memberi pengakuan yang amat kuat terhadap pemahaman tuhan  sebagai inti kenormatifan. Tuhan beararti kekuatan yang memerintah manusia dalam seluruh gerak kesadarannya meliputi pemikiran manusia, perbuatan, dan reolitasnya. Kesadaran yang seperti itu merupakan akar yang paling dasar atau fundamental bagi kaum muslim dalam mewujudkan kesatuan islam, sekaligus merupakan kesatuan kebenaran, yang juga dimiliki oleh agama-agama besar lainnya. Dengan kata lain, kesatuan asasi dari agama-agama kesatuan dari agama-agama merupakan salah satu kesatuan ajaran islam. Oleh karena itu, konsep kesatuan adikodrati (Trans cendent unity) sebagai suatu kesadaran dapat dipergunakan untuk mencapai bentuk-bentuk kesatuan agama melalui proses batinia dan rohaniah tanpa sangka terhadapa bentuk-bentuk khusus manapun.
Menurut Arkoun, mandegnya teologi Islam dalam merespon persoalan dan tantangan zaman kekinian adalah karena ilmu ini diposisikan seolah-olah berada di luar sejarah dan di luar kemestian sosial. Rumusan teologi Islam klasik dibakukan dan dianggap sebagai parameter yang harus dipelajari dan diikuti. Tidak ada ruang untuk mendikusikannya: menjadi diskursus yang baku dan kaku, dijelmakan menjadi ukuran-ukuran yang ideal dan hukum transenden yang suci.[18]
Hasan Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam, dengan berpandangan bahwa teologi Islam klasik tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifatteosentrismenujuantroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas.[19]
Perlunya rekonstruksi pemikiran teologi Islam dari teosentrisme ke antroposentrisme,  sesungguhnya dilatari oleh tiga hal, yaitu: Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang  jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan  semata pada sisi teoritiknya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Hal ini sesuai pandangan  Farid Essack bahwa berteologi bukan berarti mengurusi urusan Tuhan semata, neraka, surga dan lain-lain. Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus, banyak mengurusi Tuhan itu adalah pekerjaaan sia-sia (mubazir). Teologi harus dipraksiskan, bukan digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan pribadi. Akan tetapi dengan mendekati dan mengasihi makhluknya, kita juga telah mengabdikan diri kepada Tuhan.[20]
Untuk pengembangan Teologi Islam, menurut M. Amin Syukur (dalam Af’idah Salmah) perlu memanfaatkan pendekatan multidisiplin dengan tujuan untuk menyusun konfigurasi iman yang diperkirakan akan mampu berbuat banyak bagi tercapainya tujuan Risalah Islam, yaitu rahmatan lil’alamin.[21]
Kuntowijoyo, juga menyebutkan dua pandangan yang berbeda mengenai gagasan pembaharuan teologi. Pertama, pandangan dari kalangan yang lebih menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normative dalam berbagai karya kalam klasik (refleksi normatif). Kedua, pandangan dari kalangan yang cenderung menekankan perlunya reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris (refleksi actual-empiris).[22]
Menurut Engineer, teologi itu haruslah membebaskan. Ada tiga ciri teologi pembebasan:Pertama: Tidak menginginkan status quo atau anti kemapanan, baik kemapaan religius maupun politik Kedua: Teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya. Ketiga: Teologi pembebasan mendorong pengembangan praksis Islam sebagai kompromi antara kebebasan manusia dan takdir.[23]
Kesadaran tauhid sebagai kesadaran transdental umat manusia telah tergambarkan dalam diri Nabi Adam yang dalam agama-agama islam diyakini sebagai manusia pertama dan rosul pertama. Namun demikian, kepercayaan itu dari waktu ke waktu selalu didiacuhkan oleh manusia, sehingga tuhan mengutus nabi-nabi lainnya untuk mengembalikan kebenaran ini bahwa nabi Adam adalah manusia pertama. Dengan mendasarkan pada paradigma tauhid, semua agama tetap dalam kesatuan islam, meskipun terdapat perbedaan dalam tatacara peribadatan maupun hukum-hukumnya. Hal ini semata mata disebabkan adanya perbedaan lingkungan, ruang dan waktu. Dengan demikian tauhid sebagai sumber ajaran islam yang paling prinsip pada dasarnya juga dipegang secara bersamaan menjadi bagian yang mendasar bagi umat agama lainnya disinilah esensi tauhid menjadi penggerak semangat persamaan, drajat, kesetiakawanan dan kebebasan sesama manusia.
Secara teologi, Hasan hanafi dengan pemikirannya merumuskan bahwa sistem kepercayaan tradisional dalam diskripsi sejarah selalu merupakan sebuah rantangan dari kesatuan menuju keanekaragaman, dari ketunggalan menjadi kebinikaan, dari satu pebuatan kearah banyak perbuatan. Hal ini dikaitkan dengan munculnya sejarah pemikran teologis pertama tentang keberadaan Adam yang diciptakan dari tanah, sedangkan setan dari api.
Pluralisme semasa jahiliyah (pra-islam) dengan kesadaran transsedental manusia digambarkan dengan sebagai prinsip persaudaraan dan keterikatan serta keutamaan dalam masyarakat yang bercorak “Tribalisme”. Dari sudut keagamaan saat itu, kelompok nestorian dan monophisit berpengaruh kuat pada zaman nabi, lebih jauh lagi nabi berjumpa dengan yahudi, kaum mazdean, sabian. Coward dengan mengutip pendapat Jacquues Waardenbu, berpendapat bahwa islam mengalami pluralisme dalam enam tahap perjumpaan agama lain sepanjang sejarah lain.
Kenyataan-kenyataan pluralistik-historis diatas pada hakikatnya merupakan yang sesuai dari Al qur’an dalam realitas kehidupan manusia yang tetap bertumpuh pada kesatuan islami dimana tauhid meletakkan kestuan manusia dan moral atau dengan redaksi lain, menurut Asghor ali, bahwa tauhid menyatakan juga kesatuan manusia dalam semua hal.

2.3 Corak Teologi Islam Berdasarkan Periode Sejarah
Lahirnya teologi Islam adalah tergolong unik. Pasalnya teologi Islam bukan lahir dari urusan agama, melainkan justru dari persoalan politik. Persoalan politik ini yang kemudian meningkat menjadi persoalan teologi. Dengan demikian persoalan teologi Islam sangat erat dengan persoalan politik.Semenjak Rasulullah wafat, umat Islam menaruh penting persoalan kepemimpinan umat Islam. Umat Islam sering terjebak dalam pertentangan mengenai sosok pemimpin yang pantas menggantikan Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW wafat, daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota itu saja, melainkan seluruh daerah semenanjung Arabia.Selanjutnya, bagaimana bentuk teologi Islam dari masing-masing periode yang pernah muncul dalam sejarah Islam? Menurut Harun Nasution, teologi Islam terbagi dalam periode atau zaman, yaitu periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern.[24]
Periode klasik (650-1250 M).
Teologi yang berkembang pada periode ini adalah teologi sunnatullah atau teologi yang berdasarkan hukum alam (natural law). Teologi natural pada prinsipnya keberimanan yang berdasarkan hanya pada rasio, teologi ini kajiannya murni filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis. Sehingga produk teologi yang dihasilkan adalah teologi yang dibangun berdasarkan argumen-argumen logis-rasional.
Ciri-ciri teologi natural (sunnatullah) ini adalah :
·         Kedudukan akal yang tinggi.
·         Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
·         Kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran Islam yang terdapat pada Al-Qur’an dan Hadits yang sedikit sekali jumlahnya.
·         Percaya akan adanya sunnatullah dan kausalitas.
·         Dinamika dalam bersikap dan berpikir.
Lahirnya teologi sunnatullah ini didukung oleh lahirnya iklim dialog antara dunia Islam dengan alam pemikiran Yunani. Ketika dunia Islam mulai bersentuhan dengan peradaban Yunani, maka rasionalisme mulai bergeliat dalam dunia Islam. Semangat rasionalisme yang ada dalam filsafat inilah yang dijadikan oleh para pemikir Islam untuk membangun teologi. Di anatara para filsof Yunani, Aristoteles adalah yang paling menarik bagi orang-orang Islam. Dari dia para pemikir muslim mengambil terutama metode berpikir sistematis dan rasional, yaitu al-Manthiq (logika formal), di samping biologi, ilmu bumi matematis dan lain-lain. Dengan logika formal yang demikian itu, bangunan teologi Islam pada masa ini penuh vitalitas rasionalisme.Sehingga pembuktian Tuhan dan proses penciptaan alam semesta mempunyai dasar argumen yang rasionalistik.

Periode klasik ini secara umum terbagi menjadi dua.
Pertama yaitu periode klasik (650-1000) yaitu periode zaman dimana daerah kekuasaan Islam mulai meluas dari kawasan Afrika utara sampai ke Spanyol di barat dan Persia sampai ke India di timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada Khalifah yang mulanya berkedudukan di Madinah.Di masa ini mulai berkembang dan maju pesat mengenai Ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. dan pada masa ini juga melahirkan ulama-ulama yang ahli dalam bidang teologi, seperti Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil Bin Atho’ Abu Huzail, Al-Nizam dan Al-Jubai.
Kedua adalah fase disintegrasi (1000-1250). Dimasa ini persatuan dan kesatuan umat Islam mengalami kemunduran. Konflik politik sering kali terjadi sehingga mempengaruhi hancurnya imperium umat Islam yang mempengaruhi Baghdad dikuasai oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.Karena semangat pemikirannya yang cenderung antrosentris itulah, teologi klasik ini disebut teologi Qadariyah. Paham ini dikenal dengan nama free will,dan free act. Artinya manusia memiliki kebebasan atau kemerdekaan dalam menentukan hidupnya atau manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

Periode pertengahan (1250-1800 M).
Periode ini telah terjadi pembalikan antara Islam dan Barat. Islam di era klasik bisa mencapai kejayaan ilmu pengetahuan dan teologi berkat berdialog dengan dunia Barat, maka di era pertengahan ini Islam justru mengalami kemunduran.
Pada periode pertengahan ini juga dibagi menjadi dua, yaitu:
Periode pertengahan I (1250-1500 M) adalah fase kemunduran. Pada fase ini bibit-bibit perpecahan antar umat Islam mulai bermunculan. Konflik antara Sunni dan Syi’ah semakin menajam. Di sisi lain secara geofrafis dunia Islam hancur berkeping-keping mnejadi pecahan-pecahan kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara umum teritori Islam terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suria, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya.
Fase kedua adalah fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Tiga kerajaan besar itu adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughal di India.Bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik dengan era pertengahan ini sangatlah jauh, karena di era pertengahan ini umat Islam masih sangat rendah dalam menanggapi ilmu pengetahuan. Karena perhatian dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan atau filsafat yang rendah, maka teologi yang berkembang pada periode pertengahan ini adalah teologi Jabariyyah. Ciri-ciri teologi ini adalah:
·         Kedudukan akal rendah.
·         Ketidak bebasan dalam kemauan dan perbuatan.
·         Kebebasan berpikir yang diikat oleh banyak dogma.
·         Ketidakpercayaan kepada Sunnatullah dan Kausalitas.
·         Terikat pada arti literal Al-Qur’an dan Hadits.
·         Statis dalam sikap dan berpikir.
Pada periode ini semangat dan aktifitas intelektual kaum Muslim menjadi berhenti total, karena pada masa ini kaum Muslim tidak lagi berfastabiqul khairat untuk berijtihad. Karena tidak adanya pemikiran logis yang mampu merenungkan keadaan alam semesta seperti yang dilakukan oleh para pemikir dan ahli filosof Muslim di era klasik, maka kreatifitas berpikir untuk merumuskan teologi-teologi baru tidaklah nampak. Umat Islam hanya percaya bahwa seluruh alam semesta ini adalah dikendalikan oleh Allah SWT.
Dalam teologi Jabariyah tentang statis dan fasilitis ini, mempunyai sebuah keyakinan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak, tidak mempunyai kekuasaan, dan tidak mempunyai pilihan. Jadi manusia dalam segala perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan dan pilihan bagi manusia itu sendiri.Dengan teologi yang demikian itu, maka produktifitas ulama-ulama pada periode ini sangatlah menurun.Di era klasik hasil karya-karya ulama bisa berkembang pesat sebagai fan keilmuan.Sedangkan di era pertengahan ini mengalami mati suri, begitu juga di bidang lain seperti ekonomi, dan industri dan pertanianyang menurun drastis. Hanya dalam bidang politik pada masa pertengahan ini yang menonjol karena pada masa ini masih dijumpai oleh tiga empirum besar, yaitu Turki Utsmani, Safawi, dan Mughal.
Periode modern (1800 dan seterusnya).
Abad modern ini merupakan semangat zaman baru yang ada di abad 19. Sebagai bentuk peradaban dan semangat zaman, modernitas ini dicirikan atas 3 hal yaitu indifidualistik, rasionalisme dan kemajuan.Memasuki abad 19 umat Islam dikejutkan oleh dunia Barat, yang mana pada era klasik kaum Barat masih dalam kegelapan dan kemunduran, kini mereka telah berkembang pesat dan justru berbalik dari umat Islam bahkan menjadi pusat peradaban dunia. Era kemajuan di Barat inilah yang akhirnya disebut sebagai era atau periode modern. Abad modern adalah peralihan dari kebudayaan teosentris menuju antroposentris. peralihan dari peradaban langit ke peradaban bumi, dari metafisika ke fisika, dari immateri ke materi.
Peradaban ini pada hakekatnya adalah hasil renaissance dan pencerahan (enleighment) yang terjadi di eropa. Era renaissance adalah era dimana lahirnya kebebasan dan keterlepasan kehidupan dari norma-norma agama. Era renaissance ini ditandai oleh munculnya pengetahuan yang didapatkan melalui intensitas observasi dan pengamatan alam semesta. Pada masa ini dunia atau alam semesta menjadi daya tarik utama untuk menghasilkan ilmu pengetahuan.Indikasi selanjutnya adalah bahwa modernitas ini juga ditandai oleh peneletian dan pengkajian terhadap teks-teks klasik yang berasal dari Yunani kuno, Islam, dan Cina. Yang menarik di sini adalah, ternyata Islam juga merupakan salah satu faktor penentu lahirnya modernistas di Barat. Memang periode klasik Islam telah melahirkan peradaban Islam, yang berpengaruh terhadap peradaban Barat. Pengaruh ini diakui oleh pengarang-pengarang Barat seperti Gustave Le Bon, Jacques Risler, Rom Landau dan Alfred Guillaume.Semangat zaman antroposentris ini akhirnya menumbuhkan berbagai sikap hidup yang salah satu diantaranya adalah sikap kritis. Sikap kritis ditujukan terhadap dogma-dogma agama yang sudah sekian tahun membatu. Sikap yang lain adalah humanisme. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya berbagai hasil karya seni seperti musik, lukis, patung atau drama yang lebih mengangkat manusia daripada eksistensi Tuhan. Seperti lukisan Leonardo Davinci tentang Monalisa. Lukisan ini merupakan pertanda terjadinya peralihan peradaban dari yang sebelumnya berbasis pada nilai teosentrisme menuju ke wilayah humanisme.
Sebelum periode modern benar-benar masuk, di Barat telah muncul beberapa ahli  Abad pertengahan adalah abad yang lebih mengunggulkan Tuhan, yang lebih membela wahyu daripada akal. Era ini ditandai atas kuatnya otoritas gereja atas segala peradaban dan kebudayaan. Dalam hal itu maka para tokoh-tokoh pemikir diambang modernitas untuk mendobrak tatanan atau sistem rezim gereja yang menindas itu.
Dengan serangan gugatan dan kritis dari para tokoh pemikir itulah akhirnya modernitas muncul. Lahirnya modernitas ini secara epistemologis ditandai oleh bangkitnya kembali rasionalitas yang sebelumnya, pada era pertengahan, telah dipasung dengan ketat.Ketika modernitas ini muncul maka umat Islam harus menyadari bahwa umat Islam telah mengalami dekadensi dan kemunduran yang sangat pesat. Akibat kemunduran itu akhirnya umat Islam menjadi objek jajahan Barat. Salah satu bukti konkretnya adalah hancurnya tiga kerajaan besar yang pada masa pertengahan masih stabil oleh ekspansi dan imperialisme bangsa Barat. Turki Utsmani yang pernah berjaya pada abad pertengahan mengalami kekalahan dalam perangnya di Eropa, kerajaan Safawi di Mesir dalam waktu tiga minggu berhasil ditaklukkan oleh Napoleon Bonaparte, dan kerajaan Mughal di India telah dihancurkan oleh Inggris.Melihat dahsyatnya imbas dari era modern ini terhadap dunia Islam, para pemikir Islam mulai terlucut untuk segera berpikir keras meluncurkan teologi yang bisa membangkitkan semangat kaum Muslim untuk mencapai kejayaan umat Islam yang telah sirna. Kemudian muncullah para mujadid baru dalam dunia Islam dengan memberikan berbagai ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketertinggalannya dari bangsa Barat. Atas semangat ini dunia Islampun mulai ikut memasuki zaman modernitas.
Diantara tokoh mujadid atau para pemikir Islam untuk mengusung isu-isu modernitas adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo, HAMKA dan sebagainya. Para pemikir dan filsof ini adalah tokoh-tokoh pembaharu yang berusaha membangkitkan umat Islam untuk kembali kepada teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah zaman klasik di kalangan ulama dan umat Islam zaman modern. Pada abad ke-19 mulailah mendirikan sekolah-sekolah modern gaya Barat di Mesir, Turki, dan India dengan tujuan untuk merealisasikan teologi tersebut. Di sekolah ini di tanamkankah semangat ilmiah. Pola berpikir yang rasional, filosofis dan ilmiah mulai dibudayakan. Namun, program dan tawaran yang ditawarkan para mujadid tidak mendapat apresiasi oleh seluruh umat muslim di dunia. Mereka justru tertutup dan tidak bersedia menyerap nilai-nilai modernitas. Namun usaha dari mujadid awal seperti Muhammad Abduh dan kawan-kawan untuk kembali kepada teologi sunnatullah tetap ada hasilnya. Dengan digaungkannya teologi sunnatullah untuk mengimbangi peradaban modern Barat itu, produktifitas dan kreatifitas umat Islam mulai meningkat kembali meskipun itu masih jauh dari Barat.Selain semangat rasionalitas yang ada pada teologi sunnatullah, unsur lain yang dibawa oleh para pemikir atau mujadid pada masa awal adalah perlunya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Sebagian dari mujadid berpendapat bahwa selain faktor politik yang sudah rapuh, salah satu mundurnya umat Islam adalah dipicu oleh kuatnya takhayul, bid’ah, dan lain sebagainya yang berkembang di umat Islam. Selama ini umat Islam terperangkap di dalam jurang mistik yang dalam sehingga umat Islam tidak bisa berpikir secara jernih dan rasional.Oleh karena itu yang dimaksud kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits adalah agar takhayul dan mitos-mitos agama.
Dari sini dapat diketahui bahwa gerakan pembaruan umat Islam untuk kembali kepada teologi sunnatullah adalah mirip dengan gerakan modernisme di Barat yang mana otoritas gereja lebih mengedepankan mistik dan dogma-dogma agama. Namun karena pola berpikir mistik dan takhayul ini sudah melekat pada diri umat Islam agaknya sulit untuk ditanggulangi. Entah karena ketakutannya atau karena sudah terlalu nyaman akan pola berpikir seperti itu, maka banyak kalangan umat Islam yang masih ragu-ragu terhadap teologi sunnatullah. Mereka yang fatalistik ini masih menganggap bahwa segala–galanya telah ditentukan secara mutlak oleh Tuhan.

2.4 Teologi Ke- indonesiaan
Dalam teologi ada beberapa hal yang saling berkaitan diantaranya yakni : kekuasaan, kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan Tuhan dan takdir serta sunnatullah, pemahaman teologi umat islam Indonesia harus mengalami perubahan karena konsep teologi yang umumnya difahami oleh masyarakat Indonesia telah menyebabkan masyarakat Indonesia lemah dan malas untuk berkarya atau produktifitas, hal ini dikarenakan pemahaman tentang konsep kekuasaan Tuhan yang absoluth yang merupakan teologi Asya’ariyah. Inilah alasan bahwa pemahaman teologi Indonesia harus dirubah yakni melalui pendekatan teologi yang dikembangkan oleh golongan Mu’tazillah, dimana menurut golongan Mu’tazillah bahwa manusia mempunyai kekuasaan dan kemajuan untuk memanfaatkan segala potensi yang dimiliknya dengan menggunakan kemampuan fikir, dan olah budi dengan alasan ini, diharapkan manusia Indonesia tidak berpangku tangan menerima nasib namun mencoba merubah nasib itu dengan usaha sungguh-sungguh, sebab manusia bisa berhasil dengan kemampuannya yaitu kemampuan untuk berfikir dan berkarya.[25]
Ada dua hal yang menjadi dasar pemikiran  Harun Nasution mengenai pembaharuan teologi islam , pertama bagaimana membawa umat islam Indonesia ke arah rasionalitas, kedua terkait dengan yang pertama bagaimana agar dikalangan umat islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapatisas manusia Qadariah.
Mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menjadi dua corak dalam teologi yang pertama adalah mereka yang menganggap bahwa akal mempunyai daya yang amat besar dan manusia bebas serta berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, sehingga kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mutlak, kedua adalah mereka yang beranggapan bahwa aku manusia memiliki keterbatasan maka tuhan memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak atas diri manusia.[26]
            Kelompok yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kekuasaan atas dirinya, ini dilatar belakangi oleh pandangan golongan Mu’tazillah, golongan ini beranggapan bahwa setelah Tuhan memberikan kekuasaan pada manusia dalam menentukan kemamuan dan kebebasannya maka Tuhan membatasi dirinnya. Selain itu menurut kaum Mu’tazillah bahwasanya Tuhan tidak bisa lagi berbuat semena- mena ia terikat dengan norma keadilan, yang apabila ia melanggar maka Tuhan dianggap tidak adil terhadap manusia, kekuasaan dan kehendak Tuhan juga dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang bersifat sunnatullah karena setiap sesuatu memiliki hukum alamnya.
Selanjutnya kelompok kaum Asya’ariyah yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat yang absoluth yang tidak bisa diganggu gugat atas segala kehendakNya dan tidak ada yang dapat menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak dilakukan Tuhan, meskipun perbuatan itu dipandnag tidak adil dan dholim bagi manusia, aliran ini menjelaskan tentang hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, Asy’ariyah memakai teori katsab dimana manusia berusaha namun hasilnya tetap ditentukan Tuhan. Dari teori ini manusia tidak mempunyai pengaruh yang efektif dalam perbuatannya.
            Harun mengatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah Asy’arisme yang sangat bersifat Jabariyah (terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan alquran yang demikian penting dan bebas. Harun mengatakan bahwa kebangkitan umat islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap- luap, tapi harus berdasarkan pemikiran yang mendalam terhadap agama islam itu sendiri. Semua itu diwujudkan dengan dibuktikan tiga langkah, yang kerap disebut sebagai “ Gebrakan Harun”. Gebrakan pertama, dia meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap islam. Menurutnya dalam islam terdapat dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absoluth dan mutlak (benar ), universal, kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat dalam alquran dan hadits mutawattir berada dalam kelompok ini. Ajaran Kedua, bersifat absoluth namun retalif, tidak universal, tidak kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah. Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini, dalam ajaram islam lanjutnya seperti ditulis dalam islam rasional Nizan, yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena itu kebenaran hasil ijtihad para ulama’ bersifat relatif dan bisa direformasi. Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya kelompok pertama itu.
Pengaruh syi’ah terhadap islam di Indonesia (atau asia tenggara pada umumnya) khususnya pada masa-masa awal penyebaran islam di kawasan ini merupakan masalah yang rumit dan bahkan mungkin kontroversional . sejumlah ahli dan pengamat sejarah, seperti M.Yunus Jamil(1983), Hamka (1974), Baroroh Baried (1976, dan Hasmyi (1983) pernah membahas masalah ini, tetapi pembahsan merekabukan hanya masih belum memadai, tetapi juga dalam segi-segi tertentu sulit diterima. Ada beberapa pembahasan yang tercakup dalam bidang ini. Pertama, pengaruh syi’ah dalam bidang politik. Kedua, pengaruh syi’ah dalam bidang sastra islam. Ketiga, pengaruh syi’ah dalam bidang keagamaan, khususnya sufisme.
M. Yunus Jamil (1968: 6-19, 37-40) dan Hasmyi (1983: 45-56) berargumen bahwa syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di nusantara. Bahkan tanpa menyodorkan referensi yang terpercaya, keduanya menyatakan bahwa kekuatan politik Sunni dan Syi’ah terlibat dalam pergumulan dan pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak masa-masa awal penyebaran islam di kawasan ini.
Menurut Yunus jamil dan Hasmyi, Kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah Kerajaan peureulak (perlak) yang, Konon didirikan pada 225H./845 M. Yang didirikan oleh para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat yang datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Sayyid Mawlana Abd al-Aziz Syah, Keturunan Arab quraisy, yang menganut paham politik syi’ah.
Namun kedua penulis, Yunus Jamil dan Hasmyi, tidak mengemukakan secara jelas historiografi atau sumber yang jelas , karena mereka hanya menggunakan sumber lokal. Yang masih harus diverifikasi, diuji kesahihannya, dibandingkan dengan sumber-sumber yang ada pada masa itu, baik sumber lokal maupun sumber asing.Dapat disimpulkan bahwa Syi’ah sebagai suatu ideology politik-Keagamaan tidak pernah berkembang apalagi berkuasa ditempat manapun di Nusantara ini.
Asumsi Jamil dan Hasmyi tentang “pergumulan” dan “Kekuasaan” syi’ah di “kesultanan perlak” dan Samudra Pasai, kelihatannya lebih bertitik tolak dari susunan tentang konflik Sunni-Syi’ah di masa-masa lebih akhir, yang kemudian diproyeksikan ke masa lebih awal. Kerangka kesadaran ideologis itu kemudian seolah mendapat “pembenaran” dari historiografi lokal, yang diterima begitu saja tanpa verifikasi dan pengujian kritis.
Salah satu argumen pokok lainnya yang sering pula dikemukakan orang tentang kemungkinan pengaruh Syi’ah terhadap Islam yang berkembang di masa awal di Nusantara adalah terdapatnya sejumlah kosakata Persia di kawasan ini. Menurut Beg (1982) yang melakukan penelitian atas sejumlah kamu bahasa Melayu yang ditulis penyusun setempat dan asing, menyimpulkan bahwa terdapat 77 kata-kata asal Persia yang beredar dan digunakan di Nusantara. 
Beberapa contoh yang palimg dikenal, misalnya kanduri (kenduri, semula berarti makan-makan untuk menghormati Fathimah), astana (istana), Bandar (pelabuhan) bedebab, biadap, bius, diwan (dewan), gandum, jadab, lasykar, nakboda, tamasya, saudagar, pasar, syahbandar, pahlawan, pesona, piala, kawin, nisan, kismis, anggur, dan sebagainya. Tetapi, sebagian kata-kata Persia itu memasuki bahasa melayu melalui bahasa Arab, misalnya “diwan” (Dewan),  “medan” (Ar.maydan), firdawus (Surga firdaus). Demikianlah, Beg mencatat, tak kurang dari 230 kata-kata Persia dipinjam bahasa arab,yang sebagiannya memasuki bahasa melayu, Beg menyimpulkan bahwa bahasa Melayu tidak pernah mengalami “persianisasi”.
Kesimpulan yang hampir sama juga dikemukakan Baried (1978). Setelah mendaftar 17 hikayat yang bercerita tentang tokoh-tokoh syi’ah, seperti Ali atau Muhammad Hanifah,  atau karakter tertentu yang bias historis atau fiktif, Barried mengakui bahwa memang terdapat unsur-unsur yang berbau syi’ah di dalam berbagai bentuk sastra Melayu-Islam Nusantara. Tetapi tidak terdapat data yang mengidentifikasikan adanya unsur-unsur paham Syi’ah yang sebenarnya. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa paham syi’ah hampir tidak tersebar di Nusantara, apalagi berpengaruh kuat.
Pengaruh kuatnya Syi’ah di Nusantara adalah “perayaan Tabut” di Pariaman (Sumatra Barat) dan Bengkulu. Tetapi dalam hal ini. Van Ronkel (1914) dengan meyakinkan telah membuktikan bahwa tradisi mengusung Tabut di Pariaman dan juga di Bengkulu bukan warisan dari pengaruh syi’ah di Nusantara Tradisi tabut tidak lebih dari sekedar Volkfeesten (keramaian rakyat). Yang tidak mempunyai muatan paham keagamaan apalagi ideologi politik syi’ah.
Sufisme tentu saja sudah dikenal sejak penyebaran awal Islam di Nusantara. Keberhasilan Guru-guru sufi pengembara dalam penyebaran Islam di Nusantara antara lain adalah para Guru-guru sufi ini termasuk Walisongo  seperti juga kaum sufi pada umumnya, bersifat unklusif; toleran dan bahkan menerima paham dan praktek-praktek di luar apa yang mereka pegangi. Karena itu, jangankan beberapa paham atau ibadah syi’ah yang mereka terima, kepercayaan dan keagamaan lokal juga cenderung mereka tolelir, sehingga pada gilirannya menimbulkan semacam “sinkretisme” keagamaan.
Adalah jelas, bahwa praktek-praktek keislaman tertentu di Nusantara yang sering diasosiasikan sementara orang dengan syi’ah, pada esensinya tinggal kemiripan belaka, yang hampa dari kerangka teologi dan ideology politik Syi’ah. Hanyalah dalam beberapa tahun terakhir ini terutama berkat penerjemahan buku-buku karya pemikir syi’ah, terutama Ali Syari’ati, Murtadha Murthahhari, Ayatullah Khomeini, Syiah sebagai paham keagamaan dan politik mulai menemukan sejumlah pendukung di Indonesia. Tetapi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan perkembangan itu, Konflik antara Sunni an Syi’ah tidaklah sebesar apa yang selama ini dianggap sementara orang.
Gerakan “pembaharuan” (tajdid) di dalam islam secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya, baik secara Individual maupun kelompok pada kurun  dan situasi tertentu, untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan praktek keislaman yang telah mapan kepada pemahaman dan pengamalan “baru”. Pembaharuan pada lazim nya bertitik tolak pada asumsi atau pandangan yang jelas dipengaruhi situasi dan lingkungan sosial bahwa islam sebagai realitas social pada lingkungan tertentu tersebut tidak sesuai atau bahkan menyimpang dari apa yang dipandang sebagai islam yang sederhana, Islam yang lebih sesuai dengan cita ideal terlepas dari bagaimanapun berbedanya persepsi tentang “islam ideal” tersebut, sesuai dengan cara pandang, pendekatan, latar belakang sisial kultural dan keagamaan individu dan kelompok pembaharu yang bersangkutan.
Tahapan gerakan-gerakan pembaharuan Islam di ndonesia dilihat dari lingkungan situasi perkembangannya yang selanjutnya mempengaruhi bentuk dan tema gerakan pembaharuan itu sendiri, sebagaimana disinggung terdahulu, dapat dibagi ke dalam dua periode besar: periode sejak perempatan kedua abad ke -11/17 sampai akhir abad 12/18; dan periode abad ke-13/19 sampai sekarang.
Pada periode pertama, Islam telah mendapatkan landasan yang cukup kuat di sebagian besar wilayah Nusantara. Namun, harus diakui bahwa pemikiran dan praktek islam khususnya di kalangan awam belum lagi islam seperti yang diidealkan oleh muhammadiyah pada abad ke -14 H./20 M., bahwa islam yang telah sampai ke Indonesia adalah islam yang telah diselimuti pandangan sufistik dan filosofis yang dalam banyak hal mengikuti tradisi ibn Arabi atau al-ajali, yang berpusat pada doktin wujudiyyah dan emanasi. Islam semacam ini kemudian dengan cepat mengakomodasi sistem, tradisi dan praktek keagamaan lokal, yang sebagiannya merupakan sisa-sisa dari Hinduisme/Buddhisme.
Dalam catatan sejarah, membuktikan bahwa bangsa Indonesia mulai dari kerajan Majapahit, Mataram, Sriwijaya, kerajaan Islam Demak dan sampai lahirnya nama Indonesia, merupakan bangsa yang kaya akan budaya, suku, bahasa, keyakinan dan kaya akan agama. Masyarakat telah menyakini banyak kepercayaan dan dianggap sebagai sesuatu yang berpengaruh dalam hidupnya yaitu kepercayaan animisme, dinamisme, dan agama Hindu dan Budha. Islam masuk dengan ajaran-ajaran pembebasan, pencerahan tidak ada perbedaan kasta, sehingga Islam mudah diterima dan tersebar di seluruh Nusantara (Indonesia).
Dari sini pertemuan antara kebudayaan yang sudah berkembang di masyarakat dengan kebudayaan yang baru datang kemudian di antaranya tidak dapat dihindari dalam artian penyatuan kebudayaan atau dengan bahasa lain keduanya saling mengisi. Manusia tidak dapat beragama tanpa budaya, karena kebudayaan merupakan kreatifitas manusia yang bisa menjadi salah satu bentuk ekspresi keragaman[27].
            Hubungan Islam dan budaya Lokal masih menyisakan prbolem serius di kalangan umat. Di antara persoalan tersebut adalah masih ditemukannya klaim negatif terhadap budaya lokal yang dianggap sebagai bagian dari bentuk kemusyrikan yang diwariskan dari agama orang tua terdahulu, sehingga menurutnya ajaran-ajaran yang terkontaminasi dengan budaya lokal harus dihilangkan. Dari upaya tersebut muncul masalah baru; apakah Islam tidak menghargai budaya lokal? jika budaya tersebut dihapus apakah manusia tidak tercerabut dari akar budayanya? Ke mana harus berkiblat? Apakah negara yang menjadi kiblat sesuai dengan budaya lokal (Indonesia)?, mampukah umat Islam menjadikannya sebagai kiblat?, dan masih banyak pertanyaan yang muncul terkait hal tersebut.
            Persoalan yang terkait hubungan agama dan budaya lokal pada titik tertentu akan berbahaya, sebab akan muncul klaim kebenaran di satu sisi dan klaim kafir di sisi lainnya. Term kafir akan mengulang sejarah kajian teologi Islam Klasik ketika Khawarij mengkafirkan seluruh umat Islam yang tidak sepaham dengannya. Dampak yang ditimbulkan adalah munculnya fenomena pembunuhan massal atas nama penyelamatan akidah sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah kelam Khawarij.
Pada dasarnya, manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan-kebiasaan, praktek, dan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan menerima “kebenaran” itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku. Individu-individu cenderung menerima dan percaya apa yang dikatakan budaya mereka.
Di saat itulah muncul apa yang disebut sebagai budaya lokal yang sering diistilahkan dengan “kearifan lokal” yang kemudian menjadi pegangan hidup bagi suatu komunitas tertentu. Kearifan lokal merupakan bagiandari konstruksi budaya. Dalam pandangan John Haba dalam Irwan Abdullah, kearifan lokal “mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuahmasyarakat dikenal, dipercayai, dan diakui sebagai elemen- elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat”.[28]Dengan demikian, keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya.
Seringkali praktek-praktek keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktek ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman (bersilaturahmi kepada yang lebih tua) adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budayadimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
            Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
            Dalam teologi klasik lebih menekanka pada pembahasan tentang Tuhan, sifat- sifat Tuhan, namun dalam Telologi Modern ini kami pemakalah membahas mengenai bagaiamana tentang qadla dan qadar. Arti qadla dan qadar di dalam Al- Qur’an memiliki banyak nama, kami hanya menyebutkan beberapa sesuai dengan kemampuan yang kami miliki.[29]

1.      Qadla memiliki arti Hukum
فَلَا اَوَرَبِّكَ لَايُؤْمِنُوْنَ حَتَّي يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَبَيْنَهُمَ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِئ اَنْفُسِهِمْ مِمَّا قَضَيْت وَتُسَلِّمَوْا_النساء_65
“ Demi Allah bahwasanya mereka tidak dianggap beriman sehingga ridla atas hukum- hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi bila terjadi perselisihan faham di antara mereka, kemudian tidak ada keberatanb sedikitpun terhadap apa engkau tetapkan  ( Nabi Hukumkah) dan mereka menyerahkan perkara itu dengn sepenuh- penuhnya.”
Dari ayat ini kita dapat juga mengambil kesimpulan bahwa mereka yang mengaku beriman :
a.       Harus mengembalikan semua perkara kepada hukum- hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi.
b.      Harus benar- benar ridla terhadap semua hukum- hukum atau kedputusan- keputusan yang telah ditetapkan oleh Nabi.
c.       Harus taat mengerjakan keputusan.

2.      Qadla dalam arti Perintah
Firman Allah :
وَقَضَى رَبُّكَ اِلَّا تَعْبُدُؤا اِلا اِيَّاه. الاءسراء_23
“Allah memerintahkan, janganlah kamu sekalian mengabdikan diri selain- Nya (Allah)”.
3.      Qadla dalam arti : mengabarkan
وَقَضَيْنَا اِلَي بَنِي اِسٍرَئِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي اْلاَرْضَ مَرَّتَيْنِ_. الاءسراء_4
“ kami telah memberitahukan kepada Bani Israil dalam kitab mereka ( Taurat) : demi Allah kamu tentu akan membuat kerusakan di bumi sehingga dua kali”.

4.      Qadla dalam arti Iradah
                                    
اِذَا قَضَي اَمْرًا فَاِنَّمَا يَقُوْلُ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ . العمران_47
“ apabila Allah berkehendak mewujudkan sesuatu yang telah dihubungkan dengan qudratnya, maka Allah hanya mengatakan :” adalah kamu” sehingga terciptalah”.

5.      Qadla dalam arti Mewujudkan sesuatu

فَقَضَهُنَّ سَبْعَ سَمَؤَاتٍ فِي يَوْمَيْن
“ Maka Allah mewujudkan langit ,zonder contoh yang mendahului dalam keadaan serapi- rapinya dalam dua masa (fase)”.
Dalam pemakaian bahasa arab, qadar itu mempunyai 3 ma’na :
1.    Ilmu yang amat luas meliputi segala apa yang akan terjadi dan semua yang berhubungan dengan itu, yang sekiranya terjadi kelak pasti sesuai dengan apa yang telah diketahui dan ditentukan sejak semula.
2.    Sesuatu yang dipastikan yang lahir dari penciptanya, dimana perwujudan itu sesuai dengan apa yang telah diketahuinya.
3.    Menertibkan = mengatur dan menentukan sesuatu menurut batas- batasannya dimana akan sampai sesuatu kapadanya, firman Allah :

وَقَد رَفِيْهَا اَقْؤَا تَهَا
“ Dan telah diatur dan ditentukan didalamnya (bumi) rizki- rizki bagi penghuni bumi”

2.5 Teologi Islam Modern
Pemikiran yang membentuk sikap dan perilaku kaum muslim berasal dari hasil pemikiran ahli tafsir Al Quran. Awalnya, pemikiran itu diterima masyarakat islam karena sesuai dengan kondisi zaman. Situasi dunia kemudian berubah sehingga muncul pembaharuan islam modern.
2.5.1 Pemikiran islam sebelum modern
Pada periode pertengahan, telah muncul pemikiran dan pembaharuan islam di kerajaan Usmani di Turki. Akan tetapi usaha itu gagal karena di tentang golongan militer dan ulama. Usaha pembaharuan itu mendapat tantangan. Tantangan pertama datang dari tentara tetap yang di sebut Janissari. Janissari mempunyai hubugan yang erat dengan tarekat bektasyi yang berpengaruh besar dalam masyarakat. Tantangan kedua, datang dari pihak ulama yang didatangkan dari pihak ulama. Ide ide baruyang di datangkan dari Eropa, itu di anggap bertentangan dengan paham tradisional yang dianut masyarakat islam setelah itu. Karena itu, usaha pembaharuan pertama dikerajaan Usmani tidak berhasil sesuai yang diharapkan.
Di India, sebelum periode modernisasi muncul juga ide dan usaha pembaharuan. Pada awal abad ke- 18 kesultanan Mogul mengalami kemunduran. Setelah pecah beberapa pertempuran akhirnya daerah kekuasaan Mogul semakin kecil. Suasana itu menyadarkan para pemimpin Islam India akan kelemahan umat Islam. Salah seorang yang menyadari hal itu ialah Syah Waliyullah dari Dalhi. Dia juga satu dari dua pemikir muslim yang muncul pada tahun tahun pertama kemunduran Islam. Salah satu penyebab kelemahan umat Islam menurut Syah Waliyullah ialah perubahan sistem permerintahan dari sistem khilafah ke sistem kerajaan. Sistem pertama bersifat demokratis, sedangkan sistem kedua bersifat otokratis. karena itu sistem kekhalifahan seperti pada masa Al Khulafaur Rasyidin perlu di hidupkan kembali. Penyebab lain adalah perpecahan di kalangan umat islam. Perpecahan yag dimaksud ialah perpecahan yang ditimbulkan oleh aliran atau mazhab yang terdapat dalam islam, seperti perpecahan antara Syiah dan Sunni, antara Arsyi dan Mutazilah.[30]
Di India, menurut Syah Waliyullah adat istiadat dan ajaran Hindu banyak masuk kedalam Islam. Jalan keluarnya mengajak umat Islam kembali ke sumber ajaran asli Islam yaitu Alquran dan Hadist. Taklid kepada pendapat ulama masa lampau juga menjadi kelemahan umat islam masyarakat bersifat dinamis karena nya ia menganjurkan ijtihad.
Di Arab Saudi juga ada usaha pembaharuan sebelum periode modern. Penyebab kelemahan umat islam saat itu ialah tauhid umat islam yang tidak lagi murni. Kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh tarekat. Umat islam menunaikan haji dan memina pertolongan kepada syekh dan wali. Ia juga menganjurkan ijtihad inti pemikirannya adalah al-qurn dan hadis langsung berajaran islam, taklid kepada ulama tidak dibenarkan dan pintu ijtihad tidak tertutup.
2.5.2 Pemikiran Modern Islam di Mesir
Muhammad Ali Pasya
Pendudukan mesir oleh napoleon dengan kemenangan perang yang amat cepat telah membuka mata Muhammad Ali Pasya tentang kelemahan umat islam. Untuk melawan tentara napoleon, Sultan salim III mengumpulkan tentara salah satunya yaitu Muhammad Ali Pasya. Dalam pentempuran dengan tentara prancis, ali menunjukkan keberanian yang luar biasa. Karena itu dia diangkkat mejadi kolonel kemudian Muhammad Ali menjadi penguasa penuh mesir ia memberi gelar Pasya kepadadirinya sendiri.
Muhamad Ali mengetahui bahwa kekuasaannya hanya dapat dipertahankan dengan kekuatan militer. Dibelakang militer ia harus ada kekuatan ekonomi. Inilah dua pemikiran pokok Muhammad Ali Pasya. Untuk memperkuat perekoomian ia memperbaiki irigasi, penanaman kapas, mendatangkan ahli pertanian dari eropa, dan membuka sekolah pertanian untuk memperkuat militer, iaa tak segan-segan mendatangan tenaga-tenaga dari prancis. Tak lama kemudian terbentuklah Nizam-i Jedid yang merupakan model baru angkatan bersenjata Muhamad Ali. Sekolah-sekolah yang dibuka Muhammad Ali semuanya berhubungan erat dengn militer dan pertanian. Dari buku-buu yang diterjemahkan oleh sekolh penerjemah itulah orang-orang mesir mengenal barat. Melalui buku-buku itupula orang mesir mengenal filsafat yunani dan ajaran tentang kebebasan berpikir.

At- Tahtawi
Rifa’ah Badawi Rafi’ at- Tahwi adalah lulusan Universitas al- Azhar di Cairo. Ia merupakan murid kesayangan Syekh Hasan al- Attar yang mempunyai hubungan baik dengan ahli- ahli sains Perancis yang datang bersama Napoleon ke Mesir. At- Tahtawi memainkan peranan penting dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya.
At- Tahtawi memang berpendapat bahwa penerjemahan buku- buku Barat ke dalam bahasa Arab penting agar umat Islam dapat mengetahuiilmu- ilmu yang membawa barat ke kemajuan. Selain, itu ia juga aktif dalam bidang penulisan. Ia menulis untuk berbagai majalah dan mengarang buku. Menurutnya, salah satu jalan menuju kesejahteraan ialah dengan berpegang teguh kepada agama dan budi pekerti yang baik. Untuk itu diperlukan pendidikan. Ia menganjurkan pendidikan universal, itu berarti untuk semua termasuk untuk kaum wanita.
Tujuan pendidikan menurut pendapatnya harus mencakup kecintaan kepada bangsa dan negaranya atau patriotisme. At- Tahwi adalah orang pesir pertama yang menganjurkan memiliki rasa patriotisme. Ia mengubah paham bahwa seluruh dunia Islam adalah tanah air setiap muslim. Ia berpendapat bahwa ulama’ harus mengetahui ilmu- ilmu modern agar mereka dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan Zaman modern. Mengenai paham fatalisme at- Tahwi mencela orang yang tidak mempercayai qada’ dan qadar. Menurutnya orang harus percaya pada kedua hal itu kepada Tuhan, sembari tetap berusaha. Disini tersirat ide dinamisme sebagai lawan statis yang umum terdapat di dalam dunia Islam.

Jamaluddin al- Afgani
Adalah pemimpin pembaruan Iskam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara ke negara lain. Di mesir, ia giat memberikan kuliah dan mengadakan diskusi- diskusi. Diantara murid- murid al- Afgani itu yang kelak menjadi tokoh ternama di Mesir yakni Muhammad Abduh dan Sa’ad  Zaghlul. Selama delapan tahun bermukim di Mesir, al- Afgani telah memberikan pengaruh yang besar disana. Al- afgani telah membangkitkan gerakan berpikir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan. Pemikiran pembaharuan al- Afgani di dasarkan atas keyakinannya bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Kalau kelihatan ada pertentangan antara ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perubahan zaman dan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan intreprestasi itu diperkuan ijtihad. Karenanya pintu ijtihad harus terbuka. Menurutnya Islam mundur karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sejati. Ia mengambil contoh paham qada’ dan qadar. Di masa silam paham inimemupuk keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam. Kini, telah dirusak dan diubah menjadi paham Fatalis.
Jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam, menurut pendapatnya ialah melenyapkan pengertian yang dianut umat Islam dengan cara kembali ke ajaran yang sebenarnya. Corak kepemimpinan otokrasi dirubah menjadi demokrasi. Menurutnya Islam menghendaki pemerintahan yang didalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kewajiban untuk tunduk dalam Undang- Undang Negara tersebut.
Muhammad Abduh
Dalam waktu dua tahun ia mampu untuk mengahfal Al- Qur’an. Menurut Abduh, sebab kemunduran umat Islam adalah kejumudan yang terdapat di kalangan umat Islam. Dalam kata Jumud terkandung pengertian membeku, statis, tidak ada perubahan.  Sikap ini, menurut Abduh, dimasukkan ke dalam Islam oleh orang- orang non- Arab yang ingin merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Abduh juga berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bidah ke dalam Islam merupakan penyebab umat Islam melupakan ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk menghilangkan bidah itu, umat Islam harus kembali ke ajaran yang sejati sebagaimana pada zaman salaf yaitu zaman sahabat dan ulama besar.
Menurutnya, al- qur’an bukan berbicara kepada hati manusia, melainkan kepada ‘Aql (akal) manusia. Abduh berpendapat bahwa iman seseorang tidak akan lengkap jika tidak berdasarkan akal. Hanya dalam islam, agama dan akal menjadi pengikat tali persaudaraan. Akal adalah pembantu paling utama dan naql menjadi sendi paling kokoh. Kepercayaannya kepada kemampuan akal membawa Abduh kepada paham kebebasan berkehendak dan bertindak.
Rasyid Rida
Rasyid Rida melihat perlunya tafsir Al- Qur’an yang modern yaitu tafsir sebagaimana yang dicetuskan oleh gurunya, Muhammad Abduh pemikiran Rida tentng pembaharuan Pendidikan menghendaki agar kurikulum pendidikan selain mencakup fikih, tafsir, hadis dan ilmu- ilmu tradisional juga beriisi teologi, pendidikan moral, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, ilmu mengatur rumah tangga dan bahasa- bahasa asing. Rida menyerukan kaum muslimin untuk membangun sekolah. Membangun sekolah menurutnya jauh lebih baik daripada membangun masjid apabila yang mengisi masjid itu orang bodoh.
Menurut Rida, sebenarnya Islam mengajarkan pada paham dinamis, karena itu umat Islam seharusnya dinamis dan aktif. Dinamis itu terkandung dalam istilah jihad dan ijtihad. Rida juga menghargai kemampuan akal, Rasyid Rida masih memegang mazhab dan masih terikat kepada pendapat Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Karena satu maxhab dengannya, Rasyid Rida juga menyokong kuat gerakan Muhammad Abdul Wahab.



2.5.3 Pemikiran Modern Islam Di Turki
Sultan mahmud II (1785 – 1839 )
Sebagaimana di Mesir. Pembaruan pemikiran di kerajaan Usmani dipelopori oleh raja. Jika di mesir oleh Muhammad Ali Pasya, maka di Turki oleh Sultan Mahmudi II. Sultan Mahmud II merasa telah tiba saatnya untuk memulai usaha pembaruan yang memang telah lama ada di dalam pikirannya. Hal pertama yang menarik perhatiannya ialah pembaruan di bidang militer. Sultan Mahmud II melihat Janissary tidak lagi diandalkan. Bahkan Janissari dianggap menghambat pembaruan di bidang militer. Karena itu pada musim semi tahun 1826. Mahmud II membentuk korp tentara baru yang diberi nama muallem ekhkinji ( pengawal Terlatih ). Korp itu dilatih oleh pelatih yang dikirim Muhammad Ali Pasya dari Mesir. Ia juga mengadakan pembaruan dalam pemerintahan Kerajaan Usmani. Menurut tradisi, kerajaan Usmani dikepelai oleh raja yang memiliki kekuasaan duniawi dengan gelar khalifah. Sultan Mahmud II juga membuat perubahan dalam bidang pendidikan. Di madrasah biasanya hanya diberikan pengetahuan agama. Untuk memberikan pengetahuan umum di madrasah masih dirasakan belum mungkin, karena itu, disamping madrasah ia mendirikan sekolah umum yang disebut sekolah pengetahuan umum. Di seklah itu diajarkan bahasa prancis di samping bahasa Arab serta pengetahuan umum lainnya. Ia juga mendirikan sekolah militer, sekolah teknik,  sekolah kedokteran, dan sekolah pembedahan. Ia juga mengirimkan siswa – siswa untuk belajar ke Eropa. Untuk menyebarkan ide pembaruannya, Sultan Mahmud II menerbitkan surat kabar Takvim-i vekayiyang terbit pertama kali pada tahun 1831. Pemabaharuan yang dilkukan oleh Sultan Mahmud II menjadi dasar bagi usaha pembaruan di kerajaan Usmani sesudahnya.

Tokoh – tokoh Tanzimat
Pelanjut usaha pembaruan yang dilakukan Sultan Mahmud II dikenal dengan nama Tazimat. Menurut P.M.Holt ( ahli Turki modern ), kita tidak mungkin dapat memahami ide – ide pembaruan di Usmani tanpa memahami gerakan Tanzimat. Pemuka utama Tanzimat ialah Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami, dan Mahmed Sadik Rifat Pasya.
Mustafa Rasyid Pasya ( 1.800 ) sependapat dengan  Mustafa Sami bahwa kemajuan Eropa disebabkan oleh keunggulan mereka dalam ilmu dan teknologi, toleransi beragama, kemampuan melepaskan diri dari ikatan agama dan karena adanya pendidikan universal bagi pria dan wanita.
Pembaruan di bidang pemerintahan diadakan dengan cara mengajak rakyat urun pendapat tentang soal – soal negara dan administrasi. Pembaruan di bidang keuangan berupa pendirian Bank Usmani ( 1840 ). Pendidikan umum dilepaskan dari kekusaan kaum ulama dan diserahkan kepada kementerian pendidikan yang dibentuk pada 1847.
Pembaruan yang dilakukan Tanzimat tidak seluruhnya dihargai. Kritik yang diajukan ialah pembaruan itu mengandung paham sekularisme dan pemuka – pemukanya bersikap prro-Barat. Sikap otoriter sultan dan para menteri dlam melaksanakan pembaruan juga mendapat kritik keras. Akan tetapi akhirnya oposisi hilang, pemerintahan bertambah absolut, sehingga hilanglah kebebasan berpikir dan bergerak. Pembaruan di kerajaan Usamani pada zaman Tanzimat dapat dikatakan kurang berhasil.

Tokoh – tokoh pemikir Usmani Muda
Zaman Tanzimat berakhir dengan wafatnya Ali Pasya pada 1871, sebagai perdana menteri, Ali Pasya tidak menentang kekuasaan absolut Sultan Abdul Aziz, malah turut menindas pemikiran bebas. Golongan intelektual kerajaan Usmani yng banyak menentang kekuasaan absolut sultan dikenal dengan nama Usmani Muda.
Salah satu pemuka Usmani Muda ialah Ziya Pasya ( 1825 – 1880 ). Menurut pemikirannya, agar dapat digolongkan sebagai negara maju, Kerajaan Usmani harus menganut pemerintahan yang konstitusional. Negara – negara Eropa maju karena di sana tidak ada lagi pemerintahan absolut, kecuali Rusia. Selanjutnya, ia menyebutkan bahwa dalam pemerintahan konstitusional itu harus ada Dewan Perwakilan Rakyat. Pihak istana justru takut akan dewan – dewan serupa ini. Mereka khawatir dewan tesebut akan menghancurkan kekuasaan sultan.

Para pemikir Turki Muda
Para pemimpin pemikir Turki Muda ialah Ahmad Riza ( 1859 – 1931 ), pangeran Sabahuddin ( 1877 – 1948 ), dan Mehmed Murad ( 1853 – 1912).Sekembalinya dari Perancis, Ahmad Riza bekerja di kementerian pertanian. Karean sensor begitu ketat, ia tidak dapat menyiarkan pemikirannya dalaam surat kabar atau buku. Karena itu ia pergi ke perancis. Disana, ia bekerja sama dengan para pemimpin pemikiran yang sudah lebih dahulu lari ke Perancis. Di paris ia menerbitkan surat kabar mesveret.
Ditanah air, gerakan golongan militer dan komite – komite rahasia mulai meningkat. Yang terkenal di antara semua komite itu ialah perkumpulan persatuan dan kemajuan. Pada 1908, Batalion II dan III mulai memberontak. Tentara di Salonika, Monastri, dan Anatolia turut memberontak. Dalam kondisi demikian, perkumpulan persatuuan dan kemajuan muncul ke permukaan secara terang – terangan. Kedudukan Turki Muda dalam pemerintahan memang tidak kuat. Kesempatan ini digunakan Sultan Abdul Hamid untuk mengembalikan kekuasaannya. Tetapi Enver Pasya dengan Batalion III masuk Instanbul dan merampas kekuasaan. Sultan Abdul Hamid jatuh pada 1909 dan digantikan oleh saudaranya Sultan Mehmed V.
Pemerintahan tiga serangkai merupakan pemerintahan militer yang ketat dan tidak mau menerima krtik. Partai – partai oposisi mereka bubarkan. Dalam perang dunia I mereka membawa kerajaan Usmani menjadi sekutu Jerman. Kekusaan mereka hancur bersamaan dengan kekalahan Jerman dalam perang itu. Perkumpulan persatuan dan kemajuan membubarkan diri, tokoh – tokohnya lari keluar negeri.
2.5.4 Pemikiran Modern Islam di India- Pakistan
Gerakan Mujahidin
Menurut Ahmad Syahid, umat islam India mundur karena mereka tidak lagi menganut ajaran Islam yang murni, melainkan Islam yang telah bercampur dengan paham dan praktek yang berasal dari persia dan India. Umat Islam India harus di bawa ke Islam yang murni . untuk mengetahui ajaran Islam yang murni itu orang harus kembali ke Al- Qur’an dan hadits. Ide Ahmad Syahid yang berpengaruh besar ialah dalam bidang politik. Wilayah India telah banyak dikuasi oleh orang non-muslim, menurut Ahmad Syahid menghadapi orang tersebut hanya ada dua pilihan yaitu melawan atau hijrah, Sayid Ahmad Syahid memilih melawan.
 Sayid Ahmad Khan
            Setelah hancurnya gerakan Mujahidin dan kesultanan Mogul, muncullah Sayid Ahmad Khan. Menurut pendapatnya, peningkatan kedudukan umat Islam India hanya dapat diwujudkan melalui kerja sama dengan Inggris. Sayid Ahmad Khan mementingkan ilmu dan teknologi, ia juga menghargai kebebasan akal. Dalam bidang teologi, ia menganjurkan untuk menganut paham qadariah. Menurut Sayid Khan pendidikan adalah salah satu jalan bagi umat Islam India Untuk mencapai kemajuan. Karena itu perhatiannya pada bidang pendidikan amat basar.
Muhammad Iqbal
            Berbeda dengan pembaharuan yang lain, iqbal adalah penyair dan filsuf. Pemikirannya mengenai kemunduran umat Islam berpengaruh pada gerakan pembaruan dalam Islam. Menurutb pendapatnya, kemunduran Islam selama 500 tahun terakhir ialah karena kebekuan dalam pemikirannya. Hukum Islam dikatakannya sudah statis. Menurut Iqbal, Islam tidak bersifat statis, melainkan dapat berubah perkembangan zaman. Karena itu ia berpendapat bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. Tokoh pertama yang menyuarakan ini adalah Ibnu Tamimiyah.
Penyebab  lain adalah runtuhnya Baghdad sebagai pusat kemajuan pemikiran umat Islam pada pertengahan abad ke- 13. Untuk mengelakkan perpecahan yang lebih parah, kaum konservatif merasa perlu mempertahankan keseragaman hidup sosial umat Islam. Karena itu, mereka menolak menganjurkan untuk berpegang teguh pada hukum- hukum yang telah ditentukan ulama terdahulu. Dengan kata lain, mereka menganggap pintu ijtihad telah tertutup.
2.5.5 Periode Pemikiran Islam Menurut Fazlur Rahman
Uraian terdahalu menjelaskan dua periode pemikiran Islam yaitu periode pra-modern dan periode modern. Fazlur Rahman membagi periode pemikiran Islam itu menjadi empat periode, yaitu (1) revivalisme pra-modernis, (2) modernisme Klasik, (3) neo-revivalisme, dan (4) neo-modernisme. Berikut ini diuraikan ciri – ciri keempat periode itu:
            Periode pertama, revivalisme pra-modernis, muncul pada abad ke-18 dan ke-19 di Turki Usmani, Arab Saudi, India, dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena pengaruh Barat ini memiliki ciri – ciri berikut: (1) adanya keprihatinan yang mendalam terhadap kemunduran sosio-moral umat silam, (2) adanya ajakan untuk kembali ke Islam sejati dengan cara ijtihad serta membuang takhayul – takhayul yang ditanamkan sufisme populer, (3) adanya ajakan untuk meninggalkan paham ajaran Jabariah, dan (4) adanya ajakan untuk melaksanakan pembaharuan lewat kekuatan senjata (jihad) jika perlu.
            Pemikiran pada periode kedua, periode modernisme klasik, mengambil alih dasar – dasar gerakan periode pertama. Ciri utama periode kedua ini ialah pemikirannya yang terpengaruh oleh ide-ide Barat. Periode ini berlangsung pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ciri yang lain, tetapi tidak mendasar, ialah adanya usaha untuk memperluas isi ijtihad seperti mengenai hubungan antara wahyu dan akal, pembaruan  dalam bidang sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan dalam bidang politik, dan bentuk – bentuk pemerintahan berperwakilan dan berkonstitusi. Semua ini disebabkan adanya kontak tokoh – tokoh pemikir periode ini dengan pemikiran masyarakat Barat.
Periode ketiga ialah periode neo-revivalisme. Pemikiran pada periode ini dipengaruhi oleh pemikiran periode kedua. Pada periode ini telah muncul dukungan terhadap gagasan demokrasi dan bentuk pendidikan Islam yang relatif modern. Mereka juga mendasari diri pada pemikiran modernisasi klasik yangmengatakan bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individu maupun kolektif. Ciri utama pemikiran periode ini ialah usaha mereka untuk membedakan diri dari Barat. Mereka tidak menerima metode atau semangat modernisme klasik (yang terpengaruhi Barat), sekalipun mereka sebenarnya belum mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya itu.
            Periode keempat ialah periode neo-modernisme. Gerakan ini muncul karena hendak menyelesaikan bengkalai pada periode ketiga. Menurut Fazlur Rahman, ada dua kelemahan gerakan modernisme klasik (periode kedua). Pertama, modernisme klasik tidak menguraikan secara tuntas metode yang digunakannya. Karena itu ia tidak mampu melakukan interpretasi secara sistematik dan menyeluruh terhadap Islam, ia hanya menginterpretasikan Islam secara ad hoc (parsial) seperti masalah demokrasi dan status wanita. Tema yanrg mereka pilih itu adalah tema yang mereka lihat di Barat, maka timbul kesan bahwa pemikiran modernisme klasik itu telah terbaratkan serta merupakan agen pembaratan. Kelemahan inilah yang menyebabkan munculnya neo-revivalisme.
            Neo-revivalisme (periode ketiga) telah menunjukkan bahwa mereka tidak menerima semangat dan metode Barat, mereka membedakan diri dari Barat. Ini berarti salah satu kelemahan modernisme klasik dapat diatasi. Tetapi mereka tak berhasil menanggulangi kelemahan pertama. Neo-revivalisme belum berhasil menemukan metode menafsirkan Al Quran agar menghasilkan pemikiran yang sistematik dan menyeluruh. Inilah tugas utama neo-modernisme.
            Neo-modernisme mengembangkan sikap kritis terhadap Barat, serta terhadap warisan kesejarahannya. Kaum muslim harus mengkaji dunia Barat serta gagasannya secara objektif, demikian pula terhadap ajaran dan gagasan dalam agamanya sendiri. Kajian haruslah dilakukan secara menyeluruh dan sistematik. Untuk itu tugas utama kaum neo-modernisme ialah mengembangkan metode yang tepat dalam mempelajari Al Quran agar menghasilkan pemikiran yang sistematik dan menyeluruh sebagai petunjuk bagi masa depan. [31]




















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberap hal. Pertama, modernisasi, pluralisme dan multikulturalisme adalah anomali bagi diskursus kalam klasik. Paradigma dogmatis-ekslusif kalam klasik mengalami kebuntuan ketika dihadapakan pada isu-isu seperti demokrasi, sekularisme, pluralisme, konsep negara dan kewarganegaraan. Sehingga dalam konteks ini, kalam klasik niscaya harus di rethinking agar tetap memiliki kontribusi bagi kehidupan. kalam klasik tidak peka terhadap persoalan sosial umat dan persoalan kemanusiaan universal. Maka dari itu di era pluralisme dan multicultarlisme,merupakan sebuah keharusan bagi umat Islam untuk menggeser pandangan kalam klasik yang bersifat abstrak-dogmatis dan sektarian-eksklusif,menuju teologi sosial yang dialogis dan inkslusif.Mengingat umat Islam saat ini,telah tersebar dalam bingkai negara-negara bangsa dan hidup secara besama-sama dengan komunitas agama lain. Yang harus dilakukan adalah menggembangkan teologi sosial untuk menciptakan harmoni dalam common good dalam sistem sosial masyarakat modern.
Perlu membangun teologi Islam sebagai solusi bagi kehidupan manusia, agar tercipta perdamaiaan, kesejahteraan dan anti kekerasan. Banyak pemikir yang memberikan solusi teologis yang relevan bagi kehidupan masyarakat saat ini.Perlunya  rekonstruksi pemikiran teologi Islam dari teosentrisme ke antroposentrisme,  sesungguhnya dilatari oleh sekurang-kurangnya tiga hal, yaitu:
Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang  jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan  semata pada sisi teoritiknya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah.Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Harun Nasution memiliki dua pemikiran mengenai pembaharuan teologi islam , pertama bagaimana membawa umat islam Indonesia ke arah rasionalitas, keduaterkait dengan yang pertama bagaimana agar dikalangan umat islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapatisas manusia Qadariah. Menurut Harun Nasution salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah Asy’arisme yang sangat bersifat Jabariyah (terlalu menyerah pada takdir).
Pemikiran yang membentuk sikap dan perilaku kaum muslim berasal dari hasil pemikiran ahli tafsir Al Quran. Awalnya, pemikiran itu diterima masyarakat islam karena sesuai dengan kondisi zaman. Situasi dunia kemudian berubah sehingga muncul pembaharuan islam modern.

3.2 Saran
Penulis berharap para pembaca mampu bersikap bijak dalam menanggapai tulisan yang disampaikan penulis, agar makalah ini bermanfaat maka penulis berharap untuk tidak mudah menafsirkan kalimat- kalimat yang dianggap menyinggung pihak lain melainkan pembaca dengan cermat menelaah serta memikirkan bagaimana semestinya menyikapi perkembangan teologi di era- modern ini.












DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 2009. “Falsafah Kalam Modern”. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Abdullah, M. Amin. 1997. “Falsafah Kalam di Era Postmodern”. Yogyakarta:
            Pustaka Belajar.
Abdullah, Irwan, dkk. 2008. “Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan
            Global”. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Belajar.
Azra, Azyumaridi. 1999. Islam Reformasi Dinamika Intelektual dan Gerakan.

            Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Dahlan, H. Abdul Aziz. 2005. “ ENSIKLOPEDIA TEMATIS DUNIA ISLAM :
            Pemikiran dan Peradaban”. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Esha, Muhammad In’am. 2008. Teologi Islam Isu- Isu Kontemporer. Jalan

Gajayana 50 Malang. UIN- Malang Press (Anggota IKAPI).

Hanafi, Ahmad. 1947. “Pengantar Teologi Islam”. Jakarta: Jayamurni.
Kotimin. 2006. “Isu – isu Islam Kontemporer”. Bandung: Citapustaka Media.
Kuntowijoyo. 2006. “Islam Sebagai Ilmu”. Yogyakarta: Tiara Wacana.                  
Kuntowijoyo. 2008. “Paradigma Islam”. Bandung: Mizan.
Masdar, Umaruddin. 1998. “ Membaca Pemilaran GUS DUR dan Amin Rais
            Tentang Demokrasi”. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Nasution, Harun. 1972. “TEOLOGI ISLAM: Sejarah Analisa Perbandingan”.
            Jakarta: UI Press.
Ridwan. AH. 1998. “Reformasi Intelektual Islam”. Yogyakarta: Ittaqa Press.
Syarif Hidayatullah. 2010. “Teologi Feminisme Islam”. Yogyakarta: Pustaka
            Belajar.








[1] Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 478.
[2]Amin Abdullah, Falsafah Kalam Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), hlm. v.
[3] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Jayamurni,1947),hlm. 14.
[4] Amin Abdullah, op. Cit, hlm. 4.
[5] Argumentum ed Homimem adalah seni berdebat yang bertujuan untuk mencari menang, bukan mencari kebenaran.
[6] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), hlm. 12.
[7] Lihat al-Ghazali, al-Munqidz min al-dalal, hlm. 16-17, dalam Muhammad Said, Jurnal Mengagas Teologi dalam Konteks Pluralisme dan Multikulturalisme. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[8] Al-Ghazali, iljam al-awwam ‘an ‘ilmi al-Kalam (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1985), hlm. 81. Dalam Loc. Cit.
[9] Ibnu Rusyd, Fasl al-Maqa I Fi ma bain al-Hikmah wa Asya Syaari’ah min al-Ittisa (Mesir: Dar al-Ma’arif).
[10] AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 44-45.
[11] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan integrative-interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006), hlm. 319.
[12]Ibid.
[13] Lihat, Basya, “Konsep Teologis Feminisme Islam,” dalam Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme Islam, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2010 ), hlm. 25.
[14] Lihat, Basya, op. Cit., hlm. 27
[15]Syarif Hidayatullah, “Teologi Feminisme Islam”, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2010 ), hal. 44.

[16]M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 42-43
[17] Chumaidi Syarif Roma, Wacana Teologi Islam Kontemporer, ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. 2000), hlm. 47.
[18]Muhammad Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hasyim Shalih (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumiy, 1990), hlm.  172-173
[19]AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogya;  Ittaqa Press, 1998), hlm. 50
[20]Lihat, Ahmad Dayan Lubis, “Teologi Pembebasan,” dalam Katimin, et. al. (ed.), Isu-Isu Islam Kontemporer, (Bandung: Citapustaka Media, 2006), hlm. 125.
[21]Af’idah Salmah (Ed.), (2003), Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif terhadap Hedonisme Kehidupan Modern (Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 19.
[22] Kuntowijoyo,  Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 286-287
[23] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1-2.
[24] Harun Nasution, Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI Press.1972),  Hal. 32-37.
[25] Muhammad Arifin, Teologi rasional ( studi analisis terhadap pemikiran harun nasution),(Banda Aceh, Arraniry press,2008),hal.40.
[26]Ibid.
[27]Umarudin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 139.
[28]Irwan Abdullah, dkk., Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global(Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar, 2008). Hlm. 7
[29]Taib Thahir Abd. Muin, Ilmu Kalam, (Yogyakarta : PT. Bumirestu, 1996),. Hlm. 223- 225.
[30] H. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 396.
[31][31]H. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 412.

Komentar

  1. As claimed by Stanford Medical, It is indeed the ONLY reason this country's women live 10 years more and weigh 42 lbs lighter than us.

    (And by the way, it is not related to genetics or some secret exercise and absolutely EVERYTHING related to "how" they eat.)

    P.S, What I said is "HOW", and not "what"...

    Tap this link to discover if this brief quiz can help you discover your true weight loss possibility

    BalasHapus

Posting Komentar