BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungannya
dengan manusia. Baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan
penyelidikan akal murni. Merekontruksi Teologi Islam klasik merupakan sebuah keniscayaan.
Karena dengan mempertahankan doktrin- doktrin teologi islam klasik yang lebih
cenderung kepada teosontris atau Ketuhanan yang menjadi pembahasanm pokok
teologisnya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar
yaitu liberasi. Rumusan klasik di bidang teologi pada hakikatnya tidak lebih
dari sekumpulan pemikiran- pemikiran keagamaan yang tidak punya kaitan apapun
dengan fakta- fakta nyata kemanusiaan. Padahal, semangat awal dan misi paling
mendasar dari gagasan teologi islam sebagaimana
tercermin di masa Nabi SAW. Sangatlah emansipatif, progresif dan revolutis.
Disamping itu, kita membutuhkan pembaharuan mengenai teologi kontemporer atau
teologi modern untuk mengimbangi perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam pemikiran masyarakat modern , islam harus
mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan. Oleh karena
itu dalam pembahasan ini banyak sekali dipaparkan mengenai bagaimana kritik
dalam teologi islam beserta upaya merekonstruksi teologi islam. Dijelaskan pula
bagaiman kondisi teologi yang berkembang dalam negara Indonesia.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kritik mengenai teologi islam klasik?
2.
Apa
upaya rekonstruksi teologi islam?
3.
Bagaimana
Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Teologi Modern?
4.
Bagaimana
Teologi yang ada di Indonesia?
5.
Siapa
saja tokoh pemikir Teologi Islam Modern?
1.3
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana kritik mengenai teologi islam klasik.
2.
Untuk
mengetahui upaya yang dilakukan untuk rekonstruksi teologi islam.
3.
Untuk
mengetahui sejarah kemunculan dan perkembangan teologi modern.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana teologi yang ada di Indonesia.
5.
Untuk
mengetahui tokoh pemikir teologi islam modern.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kritik Atas The Body Of Knowladge Teologi Islam Klasik
Benih ilmu teologi islam berdasarkan realitas historis sebenarnya
telah muncul sejak Nabi saw masih hidup. Fakta adanya sahabat yang bertanya
kepada Nabi saw tentang “al-qadar”, sebuah tema yang pada masa selanjutnya
menjadi topik pembicaraan teologi islam. Seperti yang di jelaskan oleh Louis
Gardet dan Anawati bahwa teologi islam dimulai dengan adanya kajian terhadap
teks al-Quran yang nantinya menjadi topik pembicaraan teologi. Namun demikian,
teologi islam mulai mempunyai bentuk yang definitif sejak periode kebangunan
semangat kritis masuknya filsafat Yunani dengan tuntutan rasionalnya
berpengaruh besar di kalangan masyarakat muslim dan menimbulkan kehausan akan
pengetahuan filosofis, kegelisahan untuk menjelaskan hal hal yang di imani, dan
keinginan untuk mengkoordinasikan keseluruhan pengetahuan manusia.
Bahwa dalam
perkembangannya, teologi islam merupakan wujud respons terhadap semakin
gencarnya penyebaran filsafat Yunani dan unsur-unsur ajaran luar islam yang
ikut terlibat dalam perkumpulan pemikiran keislaman saat itu. Ideologi dan
pemikiran-pemikiran filosofis itu sedemikian luas penyebarannya sehingga ulama
merasa perlu untuk mengantisipasi kemungkinan tercemarnya akidah umat islam.
Dengan kata lain, keberadaan teologi islam merupakan fakta menunjukkan adanya
ulama terhadap realitas masyarakat. Pada saat itu umat islam sedang menghadapi
problem perluna upaya rasionalisasi terhadap pokok-pokok akidah mereka akibat
pengaruh mainstream pemikiran Yunani yang mulai merambah umat islam. Paradigma
pemikiran teologi islam klasik lebih cenderung pada persoalan-persoalan
al-mantiq, al-thabi’iyat dan al-illahiyat.
Bangunan keilmuan
teologi islam klasik nampaknya terus bertahan dan dikaji terus menerus tanpa
mengalami perubahan orientasi. Teologi islam dalam pembahasannya hanya berkutat
pada persoalan-persoalan “langit”. Kalau di lihat dalam data sejarah,
kemenangan pemikiran teologi klasik atas pemikiran kritis-filosofis seperti
yang terjadi di seputar kontroversi antara al-Ghazali dan Ibnu Sina, telah
menjadikan pemikiran teologi sekolah sebagai sesuatu yang taken for granted
sehingga tidak perlu kajian dan rumusan ulang.
Kritik Atas Paradigma Klasik perdebatan tentang definisi kalam atau
teologi di kalangan umat islam (terutama Indonesia) masih berkutat pada level
semantik. Perdebatan itu setidaknya menghadirkan dua pandangan besar. Pertama,
kelompok yang memliki background keilmuan tradisional, mengidentikan teologi
sebagai ilmu kalam; yakni suatu disiplin ilmu yang mempelajari ilmu ketuhanan
yang bersifak abstrak – metafisis dan skolastik. Kedua, kelompok yang pernah
mengenyam pendidikan tradisional, kemudian terdidik dalam tradisi akademik
Barat, mempelajari Islam dari studi – studi akademik modern, lebih melihat
teologi sebagai penafsiran terhadap realistas dalam persfektif ketuhanan.[1]
Sistematisasi kalam klasik memiliki tiga tema pokok, yaitu:
Uluhiyah (ketuhanan), Nubuwwah (kenabian), dan Ma’ad (eskatologi). Nyaris
seluruh perdebatan dalam wacana kalam klasik berputar pada tiga hal tersebut,
yakni teoritis, abstrak, dan intelektual. Dalam perkembangan selanjutnya,
ketika islam mulai mengalami “encounter” dengan berbagai tradisi keagamaan
lain, para mutakallimun mulai mengembangkan dari tiga tradisi besar pra-Islam,
yaitu: Zoraostrianism, Yahudi, Kristen.
Dalam kondisi itu, ilmu kalam dalam bangunan pemikiran Islam Klasik
menjadi sangat sentral, bahkan nyaris seluruh problem keagamaan selalu diukur
dan dilihat dari sudut pandang ilmu kalam.[2]
Ilmu kalam lahir dari narasi sosio – historis dan konteks politik tertentu
menjadi kabur dan nyaris terlupakan. Ilmu Kalam dianggap sakral dan mutlak, dan
historis. Pada tahapan ini, maka umat Islam cenderung melakukan apa yang
disebut Mohammad Arkoun sebagai proses “Pensakralan pemikiran Keagamaan” (Taqdis
al-afkar ad-dini) atau meminjam bahasa Fazlurahman disebut dengan ortodoksi.
Dalam narasi sejarah, ilmu Kalam mulai dibakukan sebagai disiplin
ilmu mandiri pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (Memerintah 813 – 833
M), dipelopori oleh kaum Mu’tazilah dengan mengadopsi filsafat Yunani kemudian
di padukan dengan logika kalam[3].
Tetapi, kalam sebagai “diskursus” telah digunakan sejak lama oleh asan al-Basri
(642-728 M) dalam konteks perdebatan antara Qadariyah dan Jabariyah tentang
kebebasan manusia dan taqdir. Perdebatan itu jika diruntur ke belakang adalah
produk dari konlik terkait Khalifah.
Adanya relasi kalam dan filsafat Yunani bisa dibuktikan dengan
melihat model argumen – argumen rasional yang dibangun oleh mutakallimun.
Metode rasional yang digunakan sangat
mirip dengan model logika para filosof Yunani mazhab Stoic. Jossef Van Ess
menjelaskan bahwa metode para mutakallimun dalam berargumen yang
menekankan pada model drfense (bertahan) dan attack (menyerang), menggambarkan
bahwa logika yang digunakan lebih condong kepada pola apologetik dan agresif.[4]
Singkatnya, bahwa logika yang digunakan para mutakallimun bersifat
argumentum adhominem model madzhab stoic.[5]
Menurut Osman Bakar, teologi dan filsafat sama – sama menggunakan metode
silogisme merupakan suatu metode pengambilan kesimpulan atau pengetahuan
berdasarkan atas premis – premis.
Proses kononisasi diskursus – diskursus kalam ke dalam kitab –
kitab merupakab upaya pembangunan citra “epistermologi kalam” menuju level
kemapanan.[6]
Terbukti belakangan, kalam menjadi suatu tema sentral yang mewarnai khazanah
pemikiran islam selama berabad – abad. Kalam yang pada awalnya adalah hasil
perdebatan, pergumulan dan penafsiran para mutakallimun atas wahyu
Tuhan, Kemudian menjadi baku yang bersifat doktriner. Kecika wacana kalam di
dominasi oleh ajaran Ahl as-sunnah wa al-jamaah.
Wacana kalam klasik bersifat teosentris dan cenderung deduktif –
spekulatif. Akibatnya, kalam klasik tidak peka terhadap persoalan sosial umat
dan persoalan kemanusiaan universal. Fakta inilah yang menjadi titik kritik
Muhammad Iqbal, menurutnya, studi terhadap Al Quram dan aliran pemikiran kalam
klasik yang dipengaruhi filsafat Yunani, memperlihatkan dengan bahwa meskipun
filsafat telah memberikan sumbangan yang besar dalam perkembangan para pemikir
muslim, tetapi hal itu teah mengaburkan visi mereka (ilmuan muslim) terhadap Al
Quran.
Sebagai contoh apa yang disebut dengan kekaburan visi pemikir islam
terhadap Al Quran, yaitu Iqbal mencontohkan bahwa diskursus kalam Asy’ariyah
menggunakan filsafat dialektika Yunani untuk mempertahankan ortodoksinya.
Sedangakan Mu’tazilah, terlalu jauh menggunakan akal, sehingga mereka tidak
menyadari bahwa pemisahan antara pemikiran keagamaan dan pengalaman kongkrit
manusia dalam wilayah pengetahuan agama merupakan sebuah kesalahan besar.
Jauh sebelum kritik Iqbal, Al Ghazali juga mengkritik terhadap ilmu
kalam , sehingg ia sampai pada kesimpulan. Bahwa ilmu kalam tidak mampu
mendekatkan manusia kepada tuhan.[7]
Bahkan dalam salah satu karyawan iljam al-awwam
‘an ‘ilmi al-Kalam, Ghazali mengkritik habis – habisan ilmu kalam dengan metode
penalarnya yang berbelit – belit, sehingga di khawatirkan akan berdampak
negatif bagi masyarakat awam.[8]
Tetapi kemudisan sangat disayangkan, al-Ghazali juga pada akhirnya
terjebak dalam lingkaran kalam, ia bahkan menjadi juru bicara teologi
Asy’ariyah. Pemikiran kalam Asy’ariyah merupakan salah satu sekte yang
mendominasi pemikiran Islam. Hal ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran
tokoh – tokoh besar dibidang fiqih semisal Imam Maliki dan Syafi’i yang secara
teologis berkiblat ke Asy’ari. Sedangkan Imam Hanafi lebih dekat ke teologi
Maturidiyah, dan Syiah Imamiyah dan Zaidiyah mewarisi teologi rasionalnya
Mu’tazillah.
Ibnu Rusyd juga tidak ketinggalan mengkritik paradigma kalam
klasik, menurutnya ta’wil – ta’wil yang dilakukan oleh Mu’tazillah dan
Asy’ariyah telah memecah belah umat Islam. Bahkan secara metodologis, Ibnu
Rusyd mengkritik ilmu Kalam, karena belum mampu menggunakan metode demonstratif
(Burhani), terutama dalam hal ini kalam Asy’ariyah.[9]
Melihat bahwa anomali dalam diskursus kalam klasik adalah memunculkan
perpecahan internal umat Islam.
Maka dalam kehidupan kontemporer yang plural dan multikultural,
konsepesi kalam klasik sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Apalagi umat Islam
berada dalam lingkaran agama – agama, kepercayaan, ideologi, dan berbagai “isme
– isme” lainnya.
Selanjutnya kritik atas teologi Islam dikemukakakn oleh seorang
pemikir Mesir, Hassan Hanafi. Menurutnya, teologi Islam harus diperbaharui,
karena sifatnya yang terlalu abstrak – dogmatis dan kurang membumi. Ia
menawarkan teologi sebagai ilmu tentang perjuangan sosial. Menurutnya keimanan
berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.
Karena itu, ia mengusulkan untuk mentransformasi teologi Islam yang bersifat
tradisional – teosentris menuju teologi antroposentris; dari tuhan kepada
manusia (bumi), dari tekstual menuju konstektual (min al-nash ila al-waqi),
dari teori kepada tindakan, dari takdir menuju kehendak bebas. Menutut Hanafi,
pembaharuan ilmu Kalam memiliki dua alasan, yaitu: yang pertama, kebutuhan akan
adanya sebuah teologi yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai
ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritis,
namun lebih praksis yang bisa mewujudkan gerakan dalam sejarah.[10]
Dalam Konteks modern, umat Islam dituntut mampu dan harus berani
mereformulasi pandangan kalam klasik. Upaya reformulasi bukanlah tindakan dosa
atau melanggar normatifitas agama. Karena menurut Amin Abdullah, Ilmu Kalam
adalah tidak lain dan tidak bukan, merupakan sebuah rumusan sistematis
keprihatinan dan pergumulan pemikiran manusia tentang persoalan – persoalan
ketuhanan yang terjadi pada era tertentu dan penggal sejarah tertentu. Meskipun
sumber utama ilmu adalah “wahyu” namun konsepsi rumusan, pemikiran dan rancang
bangun spistemologi keilmuannya adalah hasil kreasi manusia semata.[11]
Jika mengancu pada pendapat Amin
Abdullah, maka ilmu kalam adalah ilmu yang dihsilkan oleh kreatifitas nalar
manusia, bukan sesuatu yang mutlak dan datang dari langit. Meskipun sumber utama ilmu kalam adalah “wahyu”
namun konsepsi rumusan, pemikiran dan rancang bangun epistemologi keilmuannya
adalah hasil kreasi manusia semata.[12]
Dalam Al-Qur’an surat Al-Ra’d ayat 11 juga dijelaskan sebagai berikut:
..بِأَنْفُسِهِمْمَايُغَيِّرُواحَتَّىٰبِقَوْمٍمَايُغَيِّرُلَااللَّهَإِنَّ..
“...Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri...” (Q.S. Al-Ra’d : 11)
Maka dari itu, di era pluralisme dan multiculturalisme, merupakan
sebuah kehatusan bagi umat Islam untuk menggeser pandangan kalam klasik yang
bersifat abstrak-dogmatis dan sektarian-ekslusif, menuju teologi sosial yang
dialogis dan inkslusif. Mengingat umat Islam saat ini, telah tersebar dalam
bingkai negara – negara bangsa dan hidup secara bersama – sama dengan komunitas
agama lain. Yang harus dilakukan adalah mengembangakan teologi sosial untuk
menciptakan harmoni dalam common good dalam sistem sosial masyarakat
modern.
2.2
Rekonstruksi Teologi Islam dalam Kemajemukan Masyarakat Modern
2.2.1 Konsepsi Teologis Feminisme Islam
Teologi muslim sangat memprihatinkan, hanya bicara tentang konsep Tuhan
dan mengabaikan masalah sosial yang ada di hadapannya. Celakanya lagi, teologi ini dianggap sudah final oleh umat islam, tidak boleh diperbarui.[13]Padahal
teologi seharusnya merupakan refleksi kritis agama terhadap permasalahan yang
dihadapi masyarakat.Atas dasar pemikiran ini, bagi Basya, perjuangan membangun
keadilan dan kesetaraan gender, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari bangunan
telogis. Apalagi jika mempertimbangkan adanya pandangan yang melihat seakan
beban gender perempuan adalah “kodrat” dari Tuhan..perempuan masih diposisikan
sebagai kelompok lemah yang perlu diajari, dibimbing dan diamankan.
Semua itu
menjadi pembenaran bahwa perempuan tidak bisa berperan di ruang public, diharuskan
tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkosentrasi diwilayah domestik. Dengan
kenyataannya seperti maka peran teologi Islam betul – betul akan diuji, apakah
menjadi faktor yang dapat membebaskan kaum perempuan dari hijabisasi di dalam
melanggengkan pemenjaraan dan penelikungan mereka ke dalam ruang domestik
semata.
Dengan
demikian, rasion d’etre teolgi
islam adalah tuntutan “realitas sosial”. Teks kitab suci ( Al-Quran ) harus
didialogkan dengan persoalan manusia. Maka, pada masanya, telogi Islam begitu
modern dan relavan dengan kebutuhan manusia.Namun disayangkan Basya, dewasa ini
teologi Islam berhenti berdialg dengan “realitas sosial”.Umat Islam terjebak
dengan pendekatan hermeneutics teoretis, yakni memahami teologi untuk telogi
itu sendiri.Hasilnya, teologi menjadi jauh dari kebutuhan manusia.Sebab itu,
sudah saatnya umat Islam mengembangkan pendekatan hermeneutika filosofis,
dengan harapan dapat membebaskan telogi Islam dari kebangkrutannya.
Dengan
pendekatannya ini, telogi senantiasa didialogkan dengan realitas soisalnya. Salah satu realitas sosial yang perlu disikapi adalah diskriminasi
gender.Teolgi yang sejatinya memposisikan perempuan sebagai mitra laki – laki,
justru disesaki kepentingan laki- laki. Dalam hal ini Basya membenarkan teologi
feminis, Anne McGrew Bennet, yang menyatakna bahwa “ revolusi teologis” adalah sebuah keniscayaan jika kita menginginkan pembebasan
manusia. Jadi, dialog teolgi dengan
permasalahan – permasalahan perempuan adalah suatu keniscayaan.Hasil dialog
semacam ini dapat kita temukan dalam telogis feminis. Didalamnya, konsep
ketuhanan yang metafisik diterjemahkan kepada persalan pembebasan dan
pemberdayaan permpuan. Lebih tepatnya, telgi feminis adalah teologi yang
menggali aspek – aspek teologi feminine Tuhan demi kesataraan gender.[14]
Di Indonesia
sesuatu yang melatarbelakangi munculnya teolgoi feminisme Islam adalah keprihatinan para agamawan,
intelektual Musim, dan aktivis sosial,terutama yang peduli pada problem bias
gender, untuk memberikan pandangan keagamaan alternative melawan struktur dan
kultur yang tidak adil dan mengabaikan hak asasi perempuan. Sebab faktanya, agama
seringkali dilibatkan dalampembentukan dan pelanggengan struktur hegemoni laki
– laki atas perempuan, baik dalam wilayah domestic maupun publik.Dalam semangat
pembebasan atas jerat agama yang digunakan untuk menindas kaum perempuan ini
maka wacana teologi feminisme Islam ini menjadi sugnifikasi dan mendapatkan
bentuk legitimasinya.
Dalam
Al-qur’an, Tuhan digambarkan memiliki 99, atau yang disebut al-Asma al-Husna
(nama – nama yang terpuji ). Ibnu Arabi membagi sifat – sifat tersebut ke
dalam dua kelompok besar, yaitu sifat yang melambangkan keperkasaan ( maskulin ) dan keindahan (feminin ). Sifat
– sifat tersebut ke dalam dua kelompok besar.Sifat feminin inilah yang
dieksplorasi oleh teologi feminisme. Dalam pandangan Arabi, meski sifat
maskulin dan feminine Tuhan dikatakan sejajar , sebenarnya sifat feminin Tuhan jauh lebih berperan. Proses penciptaan
alam semesta secara evolusi, misalnya, merupakan cermin dari sifat
feminine-Nya. Arabi menggambarkan adanya reproduksi alam semesta, seperti
halnya seorang ibu yang melahirkan.
Kemudian,
pemeliharaan alam juga merupakan reprentasi sifat kasih dan saying-Nya.Bahkan,
sifat perkasa-Nya senantiasa didampingi oleh kekuasaan kaasih saying-Nya
senantiasa didampingi oleh keluasan kasih saying-Nya.Maha pemberi hukuman
diimbangi dengan maha pemberi hukuman diimbangi dengan Maha pengampun, Maha
pemarah diimbangi dengan Maha penyayang, dan seterusnya.Dengan demikian aspek
frminin-Nya jauh lebih terasa ketimbang aspek maskulin.
Hal inilah
yang ingin dideknstruksi dari paradigma pendukung patriarki bahwa feminitas
senantiasa merepresentasikan kelemahan, irasional, sensitif dan tidak bisa
tidak layak berperan dalam wilayah publik.Padahal, pandangan seperti itu tidak
memiliki legitimasi telogis. Perendahan terhadap kualitis feminin perempuan bernilai sama dengan pengabaian
kualitas feminine Tuhan. Atas dasar itu, diskriminasi gender sesungguhnya
merupakan pengingkaran terhadap Tuhan secara utuh.Alasannya, relasi gender
secara mengesankan telah direpresentasikan leh Tuhan sendiri.
Sebab itu,
ada tiga hal yang harus dilakukan terhadap teologi Islam :
Pertama,
membongkar mitos tentang teologi yang seolah-olah terberi (taken for
granted).Hal ini diperlukan guna menyadarkan umat bahwa kemunculan teologi
Islam tidak berada di ruang hampa, melainkan penuh dengan kepentingan,
baik kepentingan status quo maupun
pemberontakan. Dengan begitu diharapkan tidak
ada fanatisme sempit yang mencurigai dialog teologi dan persoalan
perempuan sebagai pendangkalan akidah. Kedua, mengeksplorasi aspek feminin
Tuhan demi kesetaraan gender. Ini tidak
dimasukkan untuk membenturkan sifat feminin Tuhan dengan sifat
maskulin-Nya.Eksplorasi lebih dimasukkan sebagai pengungkapkan bahwa sifat
feminine tidak identik dengan kelemahan sebagaimana dianggap oleh pendukung
patriarki.Ketiga, menjadikan teologi tidak sebatas keimanan, melainkan
meneruskannya pada aksi.Ukuran kesalehan dalam knteks gagasan ini tidak diukur
dari kepatuhan menjalankan ritual, tetapi pada kesalahan sosial, yakni membela
hak-hak perempuan dan menegakkan kesetaraan gender.
Dalam
Al-Quran, penciptaan perempuan digambarkan dalam surah an-Nisa ( 4 )ayat 1:”Hai
sekalian manusia, bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakanmu dari
serang diri(nafs) , dan daripada Allah menciptakan istrinya : dan daripada
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki – laki dan perempuan yang banyak”.
Sebagian besar ahli tafsir ( mufassir ) seperti al-Jalalain, Ibnu Katsir,
al-Qurtubi, dan Muhammad bin Jarit at-Tabari, menyamakan kata “nafs” itu dengan
pandangan ini. Sebut saj, Syekh Muhammad Abduh, tokoh pembaharu dan pengarang
tafsir al-Manar, dan muridnya, Qasim
Amin, berpandangan bahwa “nafs” tersebut lebih tepat diartikan sebagai
“jenis”.
Bertolak
dari pandangan seperti yang dianut Abduh dan Amin ini maka para teolog feminis
seperti Riffat Hasan mulai mengkaji ulang konsep dalam Al-Quran. Tema yang
paling disoroti dalam kaji ulang ini adalah mengenai Adam, Hawa sebagai
pasangan Adam, dan latar belakangan keterlemparan manusia dari surga , sesuatu
yang pada umumnya dipandang sebagai akibat kesalaha perempuan, dalam hal ini
Hawa, yang “berulah” menggoda laki – laki dengan kendali bisikan iblis, dalam
hal ini Adam, untuk melanggar larangan Tuhan untuk memakan buah”khuldi” atau
buah keabadiaan sehingga menjadikan keduanya terusir dari surga.
Kajian
Hassan menunjukan bahwa kata Adam dalam ayat – ayat Al-Quran bukan mengarah ke
makna laki – laki namun menunjukkan kepada manusia sebagai wakil dari makhluk
yang memiliki kesadaran, menguasai ilmu ilmu pengetahuan, dan secara moral
bersifat otonom. Meski dari bentuknya dikatogorikan sebagai kata benda
maskulin, sangat sulit untuk mengatakan bahwa kata “Adam” tersebut adalah
merujuk kepada makna sebagai nama seorang laki – laki yang bernama Adam saja.
Dengan kata lain, demikian Hassan, kata “Adam” ini kepada kemanusiaan secara
umum. Selain itu, al-Quran ternyata tidak sekalipunmenggunakan kata atau nama
“Siti Hawa “ untuk menyebut pasangan
Adam. Alih – alih, al-Quran hanya menggunakan kata “zauj”, seperti dalam QS.al
– Baqarah ayat 35, yang ditilik dari bentuknya adalah kata benda maskulin,
karena bentuk femininnya adalah “zaujjah”, sehingga jika kata “Adam” tidak
dapat memaknai sebagai “ laki – laki “ maka “zauj” juga dimaknai sebagai perempuan.
Bagi
para teolog, kata “ zauj” dan “zaujah” ini bukan suatu kebetulan. Al-Quran
tidak memperjelas jenis kelamin Adam dan pasangannya dengan tujuan untuk tidak
mengaitkan peristiwa tertentu dengan hidup serang lak – laki dan permpuan
secara bersama – sama. Selain itu, berbeda dengan injil ( kejadian 2 ayat 21-22
misalny ), al-Quran sama sekali tak pernah menyebut bahwa kata “zauj”
diciptakan dari tulang rusuk Adam. Alih – alih dalam Islam, doktrin pencitaan
perempuan dari tulang rusuk ini adalah ajaran yang bersumber dari tradisi Israilliyat
(baca : yahudi ).
Pertanyaannya
kemudian jika al-Quran tidak mengatakan bahwa permpuan diciptakan dari tulang
rusuk laki – laki, maka bagaimana anggapan penciptaan permpuan yang demikian
itu mendapat pembenaran ?pertanyaan ini dijawab, misalnya, leh Fatimma Mernissi
bahwa pemahaman yang merendahkan perempuan tersebut bersumber dari Hadits.
Menurut Mernissi, dalam kitab – kitab kumpulan Hadits yang dianggap shahih leh
banyak kaum Muslim, terdapat beberapa Hadits yang dianggap shahih oleh banyak
kaum Muslim, terdapat beberapa Hadits yang memerintahkan kaum Muslim untuk
saling berpesan dalam hal kebaikan dan memberlakukan perempuan dengan baik
karena permpuan ini diciptakan dari tulang rusuk, adalah bagian atasnya.
Sebagi
contoh, Hadits yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah menyebutkan : “Dan
seandainya kamu (kaum Muslim ) memaksa meluruskannya, ia ( tulang rusuk yang
bengkok tersebut ) akan patah. Tetapi, jika kamu membiarkannya, ia akan terus
bengkok. Maka perlakukanlah mereka dengan baik”. Hadits, yang oleh
kebanyakan kaum feminis Muslim, mengandung banyak kelemahan baik dari segi
sanad ( perawi ) maupun matan (isi)-nya ini dinilai mengandung elemen misoginis
karena menisbahkan ( mengkategorikan ) begitu saja sifat – sifat buruk kepada
kaum permepuan.
Dengan
Hadits semacam ini maka muncullah ssterotip bahwa kaum perempuan adalah makhluk
yang lemah secara fisik, intelektual dan bahkan, secara spiritual. Padahal,
bagi kalangan feminis Muslim, stereotip semacam ini bertentangan dengan ajaran
al-Quran yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuknya terbaik (fi
ahsani takwin ), seperti dinyatakan dalam QS.at-Thin [95] ayat 54, termasuk
soal intelektual.
2.2.2 Rekontruksi Teologi Feminisme Islam
Kehadiran
teologi feminisme dalam tradisi Islam di Indonesia dapat dilihat sebagai slah
satu implikasi dari mengedepankannya. “paradigm baru teologi Islan” dalam
menghadapi problem actual – eksistensial, khususnya yang berkaitan dengan
munculnya berbagai bentuk diskriminasi gender. Dengan menyepakati pencermatan
Nur said ini, maka penulis melihat bahwa secara epistemology wacana teologi
feminisme Islam ini tidak dapat terlepas dari kemunculan gelmbang pembaruan
pemikiran Islam di Indonesia, terutama teologi “Islam rasional” yang di
propaganda oleh Harun Nasution, arsitek dari “madzab Ciputat”, pada awal tahun
1995-an.
Harun
Nasution dalam gagasannya ini menyakini bahwa berbagai problem pembangunan
nasional dan dampak – dampak yang diakibatnya, seperti posisi dan peran yang
belum menguntungkan perempuan, dapat dengan mudah dihadapi dengan filsafat
hidup liberal dan sikap mental rasional. Baginya, teologi atau filsafat hidup
islam dalam corak liberal yang didasarkan atas ajaran yang memberi penghargaan
tinggi pada akal yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Filsafat hidup inilah
dianut umat Islam pada abad – abad pertama membuat mereka berhasil dalam
singkat membangun masyarakat primitive Arab di Semenanjung Arabia menjadi
masyarakat yang peradaban tinggi ( masayarakat madani, civil society )
dengan kta Damsyik dan Baghdad sebagai pusatnya. Salah satu cirri dalam
masayarakat yang berperadaban tinggi adalah dimana terjamin hak asasi semua
kompunen perempuan.
Dengan
teologi Islam rasionalnya, Nasution mencoba mendudukkan perempuan pada posisi
yang “ideal” diantara wilayah public dan wilayah domestik.Atas dasar kesadaran
atas realitas mdernitas, Nasution menyarankan dan sekaligus menekankan prinsip
– prinsip kesataraan, misalnya dalam lembaga perkawinan yang dibangun antara
sepasang laki – laki dan perempuan.
Prinsip
dasar perkawinan dalam Islam adalah terwujudnya keluarga bahagia atau istilah
yang kita dengar keluarga bahagia atau istilah yang kita dengar keluarga sakinah
mawaddah wa rahmah.Selain itu, perkawinan dalam Islam juga dipandangan
sebagai sebuah perjanjian hanya dapat tercapai antara dua pihak yang telah
saling kenal dan saling tahu.Karena itu kendati tugas utamanya sebagai kepala
keluarga namun seorang suami, menurut Nasution, haruas memakai prinsip
musyawarah dan tidak boleh bersifat diktaktor.
Sementara
seorang istri, kendati tugas utamanya adalah sebagai kepala rumah tangga untuk
memusatkan perhatian pada pengelolaan domestik keruhmatanggaan dan perhatian
pendidikan anak – anaknya, namun bagi Nasution bukanlah dianggap sebagai sebuah
kesalahan atau “dosa” bagi mereka untuk mencari pekerjaan di luar rumah dalam
membantu perekomonian keluarga. Sebab,
kesejahteraan secara ekonomi dipandangan oleh Nasution sebagai salah satu pilar
utama dalam terciptanya keluarga sakinah diatas.
Walaupun
demikian, Nasution, mengingatkan kepada kaum perempuan yang
bekerja di ruang publik untuk tetap tidak meluapkan tugas aslinya sebagai ibu
rumah tangga dan pendidikan anak.Tampaknya, pandangan Harun Nasutin ini sangat
merepresentasikan pandangan kelolmpok feminis liberal, seperti yang telah digambarkan
terdahulu.
Kendati
bukan sebagai satu – satunya faktor penyebab, baik langsung maupun tak
langsung, pengungkapkan tabir rasinalitas dalam merekontruksi teologi Islam
seperti yang digagas Harun Nasution di atas satunya adalah telogi transformatif
dalam mendialogkan Islam dengan realitas empiric yang dihadapannya. Munculnya
teologi transformatif tidak lepas dari
berkembangnya pemikiran Islam transmormatif yang mengedapan sebagai respns
terhadap keberadaan ajaran Islam yang sering ditunding kurang melibatkan didi
dalam menjawab berbagai tantangan problem aktual, seperti diskriminasi yang
dialami kaum perempuan dalam wilayah domestic dan public.[15]
2.2.3 Rekonstruksi Teologi Islam Masyarakat Modern
Dalam
agama, iman merupakan ajaran yang esensial. Sedangkan substansi keimanan
terletak pada paradigma tauhid ( Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ). Islam
menekankan bahwa kepercayaan pada ke Esaan Tuhan adalah meyakini dan
mempercayai bahwa Tuhan adalah satu- satunya yang berhak disembah. Hal ini
dipertegas oleh Al-Qur’an yang menyerukan bahwa islam dalam mempercayai-Nya
sejalan dengan agama-agama lainnya. Ke-Esaan Tuhan ( Tauhid ) merupakan bagian
paling asasi dari seluruh kepercayaan agama-agama seluruh manusia. Dalam
konteks ini, Mukti Ali berpendapat atas dasar paradigma tauhid menjadikan
kehidupan dunia ini memiliki arti yang mendalam dan luas yakni adanya ajaran
yang menekankan pada “keesaan manusia” atau kesatuan seluruh umat manusia.
Di era
kontemporer seperti ini tantangan teologi Islam adalah isu-isu kemanusiaan
universal seperti pluralisme, demokrasi, HAM, kemiskinan dan lain sebagainya.
Apabila teologi Islam klasik dengan segala rumusannya lahir sebagai jawaban
atas problematika yang berkembang pada saat itu, maka pastinya ia harus mampu
merespon tantangan zaman kekinian yang sedang berkembang agar tidak kehilangan
peran vitalnya sebagai piranti sistem kepercayaan dalam beragama.
Oleh
karena itu, perlu kiranya memahami dan menjelaskan kembali konsep-konsep atau
rumusan-rumusan teologi Islam klasik itu. Upaya untuk memahami perkembangan
pemikiran manusia kontemporer yang ditimbulkan oleh perubahan sosial, menjadi
tuntutan yang tidak bisa ditawar bagi teologi Islam klasik agar rumusanya
tidak out of date.[16]
Formulasi
ilmu kalam atau sistem teologi klasik hanya menyentuh konsep ketuhanan yang
kering dengan wacana kemanusiaan dan tidak mempunyai sense terhadap problematika sosial yang muncul.
Wahyu yang dalam sejarah penyelamatan umat manusia menjadi suatu cara yang
diajarkan kepada nabi-Nya untuk memahami dan mengubah realitas direduksi
sedemikian rupa, sehingga wacana yang diproduksi menjadi ekslusif dan
apologetis. Ilmu kalam atau sistem teologi sebagai salah satu mode of thought dalam khazanah intlektual Islam
mestinya membicarakan tema-tema kebebasan itu yang menyangkut praksis kehidupan
sehari-hari.
Untuk
itu perlu membangun teologi Islam sebagai solusi bagi kehidupan manusia, agar
tercipta perdamaiaan, kesejahteraan dan anti kekerasan. Banyak pemikir yang
memberikan solusi teologis yang relevan bagi kehidupan masyarakat dewasa
ini. Rekontruksi merupakan pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula,
penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan- bahan yang ada dan disususn
kembali sebagaimana adanya. Beberapa hal
yang harus di pertimbangankan sebagai salah satu syarat perlunya merekrontruksi
teologi islam dalam kemajmukan agama-agama dalam masyarakat modern yang
berkaitan dengan sosiologis dan teologis dapat dilihat dari aspek-aspek
pemikiran atau nalar modern sekarang ini antara lain[17]:
Pertama, Perlunya,
introspeksi kedalam agama-agama atas pandangan teologinya yakni pemikiran yang
sesuai dengan agama mereka masing-masing, karena dengan kesdaran teologis dari
agama itu sendiri akan sampai dalam kesimpulan.
Kedua, Dari sudut
pandangan esoterisme islam, maka agama-agama lain tetap dalam substansi yang
lama, tetapi berbeda dalam perwujudannya sehingga mengalami pluralisme.
pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-
kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan saling toleransi satu
sama lain mereka hidup bersama serta memberikan hasil tanpa konflik asimilasi. Fenomena pluralitas dan multikulturalitas yang
kian pesat, menuntut umat Islam untuk mereformulasi pandangan-pandangan
kalam
klasik yang cenderung apalogistik, menjadi pandangan
yang
bersifat dialogis
dan inklusif. Karena dalam bingkai globalisasi, umat Islam telah menjadi warganegara global
(global citizenship).
Dikatakan oleh Baljon bahwa universalisme islam memandang manusia
itu padasarnya muslim, yang didalamnya ada keyakinan mengenai keesaan tuhan,
agama Allah adalah satu tanpa kontinuitas dan tanpa diskriminasi Nabi-nabi.
Selanjutnya, Baljon mengatakan bahwa agama itu sendiri bertujuan untuk
menciptakan kebahagian dan kesejahtraan manusia. Meskipun demikian, kondisi
serta pola masyarakat manusia mengalami pluralisme dalam setiap tempat dan
masa, bagaimanapun keadaanya, tidaklah fundamental. Substansi dari isi Al
qur’an kesatuan agama, umat, keluarga, dan penyembahan.
Ketiga, berbagai
kenyataan sosiologis-historis menunjukan bahwa masyarakat modern merupakan
masyarakat yang sangat terbuka dalam hubungan antar bangsa, yang dibarengi
dengan meningkatnya kesadaran kemanusiaan yang bersifat universal, sehingga dapat
menembus dinding pemisah antar kebudayaan suatu bangsa dengan umat beragama
lainnya. Hal ini akan memberikan dampak pergaulan baru bagi umat baru antar
agama lainnya, seorang filosof keagamaan inggris, Edward Caird, menyatakan
bahwa dengan meletakkan kepercayaan atau keyakinan dunia sebagai sebuah sistem
yang dapat dipahami dan rasional, maka segala sesuatu, yang berhubungan dengan
proses fisik dari alam menuju aktivitas spiritual diri manusia merupakan bagian
kemampuan prinsip penjelasan yang bersifat rasional. Sebagai konsekuensinya,
akal dan agama akan menuju pada tujuan yang sama dan karena itu, agama tidak
lagi membutuhkan, baik wahyu yang khusus maupun hal- hal yang mistis.
Menurut Al-faruqi, tauhid sebagai inti pengalaman agama memberi
pengakuan yang amat kuat terhadap pemahaman tuhan sebagai inti kenormatifan. Tuhan beararti
kekuatan yang memerintah manusia dalam seluruh gerak kesadarannya meliputi
pemikiran manusia, perbuatan, dan reolitasnya. Kesadaran yang seperti itu
merupakan akar yang paling dasar atau fundamental bagi kaum muslim dalam
mewujudkan kesatuan islam, sekaligus merupakan kesatuan kebenaran, yang juga
dimiliki oleh agama-agama besar lainnya. Dengan kata lain, kesatuan asasi dari
agama-agama kesatuan dari agama-agama merupakan salah satu kesatuan ajaran
islam. Oleh karena itu, konsep kesatuan adikodrati (Trans cendent unity)
sebagai suatu kesadaran dapat dipergunakan untuk mencapai bentuk-bentuk
kesatuan agama melalui proses batinia dan rohaniah tanpa sangka terhadapa
bentuk-bentuk khusus manapun.
Menurut
Arkoun, mandegnya teologi Islam dalam merespon persoalan dan tantangan zaman
kekinian adalah karena ilmu ini diposisikan seolah-olah berada di luar sejarah
dan di luar kemestian sosial. Rumusan teologi Islam klasik dibakukan dan dianggap
sebagai parameter yang harus dipelajari dan diikuti. Tidak ada ruang untuk
mendikusikannya: menjadi diskursus yang baku dan kaku, dijelmakan menjadi
ukuran-ukuran yang ideal dan hukum transenden yang suci.[18]
Hasan
Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam, dengan berpandangan bahwa
teologi Islam klasik tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’. Tujuannya untuk
menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan
menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi
secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu,
gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk
mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifatteosentrismenujuantroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari
tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju
kehendak bebas.[19]
Perlunya
rekonstruksi pemikiran teologi Islam dari teosentrisme ke
antroposentrisme, sesungguhnya dilatari oleh tiga hal, yaitu: Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi
yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai
ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru
ini bukan semata pada sisi teoritiknya, melainkan juga terletak pada
kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan
dalam sejarah. Ketiga, kepentingan teologi
yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah) yaitu secara
nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Hal ini
sesuai pandangan Farid Essack bahwa berteologi bukan berarti mengurusi
urusan Tuhan semata, neraka, surga dan lain-lain. Tuhan adalah zat yang tidak
perlu diurus, banyak mengurusi Tuhan itu adalah pekerjaaan sia-sia (mubazir).
Teologi harus dipraksiskan, bukan digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan
pribadi. Akan tetapi dengan mendekati dan mengasihi makhluknya, kita juga telah
mengabdikan diri kepada Tuhan.[20]
Untuk
pengembangan Teologi Islam, menurut M. Amin Syukur (dalam Af’idah Salmah) perlu
memanfaatkan pendekatan multidisiplin dengan tujuan untuk menyusun
konfigurasi iman yang diperkirakan akan mampu berbuat banyak bagi tercapainya
tujuan Risalah Islam, yaitu rahmatan lil’alamin.[21]
Kuntowijoyo,
juga menyebutkan dua pandangan yang berbeda mengenai gagasan pembaharuan
teologi. Pertama, pandangan dari kalangan yang lebih
menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normative dalam berbagai
karya kalam klasik (refleksi normatif). Kedua, pandangan dari kalangan yang cenderung
menekankan perlunya reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang
empiris (refleksi actual-empiris).[22]
Menurut
Engineer, teologi itu haruslah membebaskan. Ada tiga ciri teologi pembebasan:Pertama: Tidak menginginkan status quo atau anti
kemapanan, baik kemapaan religius maupun politik Kedua: Teologi
pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut
hak miliknya. Ketiga: Teologi pembebasan mendorong pengembangan
praksis Islam sebagai kompromi antara kebebasan manusia dan takdir.[23]
Kesadaran tauhid sebagai kesadaran transdental umat manusia telah
tergambarkan dalam diri Nabi Adam yang dalam agama-agama islam diyakini sebagai
manusia pertama dan rosul pertama. Namun demikian, kepercayaan itu dari waktu
ke waktu selalu didiacuhkan oleh manusia, sehingga tuhan mengutus nabi-nabi
lainnya untuk mengembalikan kebenaran ini bahwa nabi Adam adalah manusia
pertama. Dengan mendasarkan pada paradigma tauhid, semua agama tetap dalam
kesatuan islam, meskipun terdapat perbedaan dalam tatacara peribadatan maupun
hukum-hukumnya. Hal ini semata mata disebabkan adanya perbedaan lingkungan,
ruang dan waktu. Dengan demikian tauhid sebagai sumber ajaran islam yang paling
prinsip pada dasarnya juga dipegang secara bersamaan menjadi bagian yang
mendasar bagi umat agama lainnya disinilah esensi tauhid menjadi penggerak
semangat persamaan, drajat, kesetiakawanan dan kebebasan sesama manusia.
Secara teologi, Hasan hanafi dengan pemikirannya merumuskan bahwa
sistem kepercayaan tradisional dalam diskripsi sejarah selalu merupakan sebuah
rantangan dari kesatuan menuju keanekaragaman, dari ketunggalan menjadi
kebinikaan, dari satu pebuatan kearah banyak perbuatan. Hal ini dikaitkan
dengan munculnya sejarah pemikran teologis pertama tentang keberadaan Adam yang
diciptakan dari tanah, sedangkan setan dari api.
Pluralisme semasa jahiliyah (pra-islam) dengan kesadaran
transsedental manusia digambarkan dengan sebagai prinsip persaudaraan dan
keterikatan serta keutamaan dalam masyarakat yang bercorak “Tribalisme”. Dari
sudut keagamaan saat itu, kelompok nestorian dan monophisit berpengaruh kuat
pada zaman nabi, lebih jauh lagi nabi berjumpa dengan yahudi, kaum mazdean,
sabian. Coward dengan mengutip pendapat Jacquues Waardenbu, berpendapat bahwa
islam mengalami pluralisme dalam enam tahap perjumpaan agama lain sepanjang
sejarah lain.
Kenyataan-kenyataan pluralistik-historis diatas pada hakikatnya
merupakan yang sesuai dari Al qur’an dalam realitas kehidupan manusia yang
tetap bertumpuh pada kesatuan islami dimana tauhid meletakkan kestuan manusia
dan moral atau dengan redaksi lain, menurut Asghor ali, bahwa tauhid menyatakan
juga kesatuan manusia dalam semua hal.
2.3 Corak
Teologi Islam Berdasarkan Periode Sejarah
Lahirnya
teologi Islam adalah tergolong unik. Pasalnya teologi Islam bukan lahir dari
urusan agama, melainkan justru dari persoalan politik. Persoalan politik ini
yang kemudian meningkat menjadi persoalan teologi. Dengan demikian persoalan
teologi Islam sangat erat dengan persoalan politik.Semenjak Rasulullah wafat,
umat Islam menaruh penting persoalan kepemimpinan umat Islam. Umat Islam sering
terjebak dalam pertentangan mengenai sosok pemimpin yang pantas menggantikan Rasulullah
SAW. Ketika Rasulullah SAW wafat, daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas
pada kota itu saja, melainkan seluruh daerah semenanjung Arabia.Selanjutnya,
bagaimana bentuk teologi Islam dari masing-masing periode yang pernah muncul
dalam sejarah Islam? Menurut Harun Nasution, teologi Islam terbagi dalam
periode atau zaman, yaitu periode klasik, periode pertengahan, dan periode
modern.[24]
Periode
klasik (650-1250 M).
Teologi
yang berkembang pada periode ini adalah teologi sunnatullah atau teologi
yang berdasarkan hukum alam (natural law). Teologi natural pada prinsipnya
keberimanan yang berdasarkan hanya pada rasio, teologi ini kajiannya murni
filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis. Sehingga
produk teologi yang dihasilkan adalah teologi yang dibangun berdasarkan
argumen-argumen logis-rasional.
Ciri-ciri
teologi natural (sunnatullah) ini adalah :
·
Kedudukan
akal yang tinggi.
·
Kebebasan
manusia dalam kemauan dan perbuatan.
·
Kebebasan
berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran Islam yang terdapat pada Al-Qur’an dan
Hadits yang sedikit sekali jumlahnya.
·
Percaya
akan adanya sunnatullah dan kausalitas.
·
Dinamika
dalam bersikap dan berpikir.
Lahirnya
teologi sunnatullah ini didukung oleh lahirnya iklim dialog antara dunia Islam
dengan alam pemikiran Yunani. Ketika dunia Islam mulai bersentuhan dengan
peradaban Yunani, maka rasionalisme mulai bergeliat dalam dunia Islam. Semangat
rasionalisme yang ada dalam filsafat inilah yang dijadikan oleh para pemikir
Islam untuk membangun teologi. Di anatara para filsof Yunani, Aristoteles
adalah yang paling menarik bagi orang-orang Islam. Dari dia para pemikir muslim
mengambil terutama metode berpikir sistematis dan rasional, yaitu al-Manthiq
(logika formal), di samping biologi, ilmu bumi matematis dan lain-lain. Dengan
logika formal yang demikian itu, bangunan teologi Islam pada masa ini penuh
vitalitas rasionalisme.Sehingga pembuktian Tuhan dan proses penciptaan alam
semesta mempunyai dasar argumen yang rasionalistik.
Periode
klasik ini secara umum terbagi menjadi dua.
Pertama
yaitu periode klasik (650-1000) yaitu periode zaman dimana daerah kekuasaan
Islam mulai meluas dari kawasan Afrika utara sampai ke Spanyol di barat dan
Persia sampai ke India di timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada Khalifah yang
mulanya berkedudukan di Madinah.Di masa ini mulai berkembang dan maju pesat
mengenai Ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. dan pada masa ini juga
melahirkan ulama-ulama yang ahli dalam bidang teologi, seperti Imam Al-Asy’ari,
Imam Al-Maturidi, Washil Bin Atho’ Abu Huzail, Al-Nizam dan Al-Jubai.
Kedua
adalah fase disintegrasi (1000-1250). Dimasa ini persatuan dan kesatuan umat
Islam mengalami kemunduran. Konflik politik sering kali terjadi sehingga
mempengaruhi hancurnya imperium umat Islam yang mempengaruhi Baghdad dikuasai
oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.Karena semangat pemikirannya yang cenderung
antrosentris itulah, teologi klasik ini disebut teologi Qadariyah. Paham ini
dikenal dengan nama free will,dan free act. Artinya manusia
memiliki kebebasan atau kemerdekaan dalam menentukan hidupnya atau manusia
mempunyai kebebasan dan kekuatan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Periode
pertengahan (1250-1800 M).
Periode
ini telah terjadi pembalikan antara Islam dan Barat. Islam di era klasik bisa
mencapai kejayaan ilmu pengetahuan dan teologi berkat berdialog dengan dunia
Barat, maka di era pertengahan ini Islam justru mengalami kemunduran.
Pada
periode pertengahan ini juga dibagi menjadi dua, yaitu:
Periode
pertengahan I (1250-1500 M) adalah fase kemunduran. Pada fase ini bibit-bibit
perpecahan antar umat Islam mulai bermunculan. Konflik antara Sunni dan Syi’ah
semakin menajam. Di sisi lain secara geofrafis dunia Islam hancur
berkeping-keping mnejadi pecahan-pecahan kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara
umum teritori Islam terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari Arabia,
Suria, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya.
Fase
kedua adalah fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M) yang dimulai dengan zaman
kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Tiga kerajaan besar
itu adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki,
kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughal di India.Bila dibandingkan
dengan kemajuan di era klasik dengan era pertengahan ini sangatlah jauh, karena
di era pertengahan ini umat Islam masih sangat rendah dalam menanggapi ilmu
pengetahuan. Karena perhatian dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan atau
filsafat yang rendah, maka teologi yang berkembang pada periode pertengahan ini
adalah teologi Jabariyyah. Ciri-ciri teologi ini adalah:
·
Kedudukan
akal rendah.
·
Ketidak
bebasan dalam kemauan dan perbuatan.
·
Kebebasan
berpikir yang diikat oleh banyak dogma.
·
Ketidakpercayaan
kepada Sunnatullah dan Kausalitas.
·
Terikat
pada arti literal Al-Qur’an dan Hadits.
·
Statis
dalam sikap dan berpikir.
Pada
periode ini semangat dan aktifitas intelektual kaum Muslim menjadi berhenti
total, karena pada masa ini kaum Muslim tidak lagi berfastabiqul khairat untuk
berijtihad. Karena tidak adanya pemikiran logis yang mampu merenungkan keadaan
alam semesta seperti yang dilakukan oleh para pemikir dan ahli filosof Muslim
di era klasik, maka kreatifitas berpikir untuk merumuskan teologi-teologi baru
tidaklah nampak. Umat Islam hanya percaya bahwa seluruh alam semesta ini adalah
dikendalikan oleh Allah SWT.
Dalam
teologi Jabariyah tentang statis dan fasilitis ini, mempunyai sebuah keyakinan
bahwa manusia tidak mempunyai kehendak, tidak mempunyai kekuasaan, dan tidak
mempunyai pilihan. Jadi manusia dalam segala perbuatannya adalah dipaksa dengan
tidak ada kekuasaan dan pilihan bagi manusia itu sendiri.Dengan teologi yang
demikian itu, maka produktifitas ulama-ulama pada periode ini sangatlah
menurun.Di era klasik hasil karya-karya ulama bisa berkembang pesat sebagai fan
keilmuan.Sedangkan di era pertengahan ini mengalami mati suri, begitu juga di
bidang lain seperti ekonomi, dan industri dan pertanianyang menurun drastis.
Hanya dalam bidang politik pada masa pertengahan ini yang menonjol karena pada
masa ini masih dijumpai oleh tiga empirum besar, yaitu Turki Utsmani, Safawi,
dan Mughal.
Periode
modern (1800 dan seterusnya).
Abad
modern ini merupakan semangat zaman baru yang ada di abad 19. Sebagai bentuk
peradaban dan semangat zaman, modernitas ini dicirikan atas 3 hal yaitu
indifidualistik, rasionalisme dan kemajuan.Memasuki abad 19 umat Islam
dikejutkan oleh dunia Barat, yang mana pada era klasik kaum Barat masih dalam
kegelapan dan kemunduran, kini mereka telah berkembang pesat dan justru
berbalik dari umat Islam bahkan menjadi pusat peradaban dunia. Era kemajuan di
Barat inilah yang akhirnya disebut sebagai era atau periode modern. Abad modern
adalah peralihan dari kebudayaan teosentris menuju antroposentris.
peralihan dari peradaban langit ke peradaban bumi, dari metafisika ke fisika,
dari immateri ke materi.
Peradaban
ini pada hakekatnya adalah hasil renaissance dan pencerahan (enleighment)
yang terjadi di eropa. Era renaissance adalah era dimana lahirnya kebebasan dan
keterlepasan kehidupan dari norma-norma agama. Era renaissance ini ditandai
oleh munculnya pengetahuan yang didapatkan melalui intensitas observasi dan
pengamatan alam semesta. Pada masa ini dunia atau alam semesta menjadi daya
tarik utama untuk menghasilkan ilmu pengetahuan.Indikasi selanjutnya adalah
bahwa modernitas ini juga ditandai oleh peneletian dan pengkajian terhadap
teks-teks klasik yang berasal dari Yunani kuno, Islam, dan Cina. Yang menarik
di sini adalah, ternyata Islam juga merupakan salah satu faktor penentu
lahirnya modernistas di Barat. Memang periode klasik Islam telah melahirkan
peradaban Islam, yang berpengaruh terhadap peradaban Barat. Pengaruh ini diakui
oleh pengarang-pengarang Barat seperti Gustave Le Bon, Jacques Risler, Rom
Landau dan Alfred Guillaume.Semangat zaman antroposentris ini akhirnya
menumbuhkan berbagai sikap hidup yang salah satu diantaranya adalah sikap
kritis. Sikap kritis ditujukan terhadap dogma-dogma agama yang sudah sekian
tahun membatu. Sikap yang lain adalah humanisme. Sikap ini ditunjukkan dengan
adanya berbagai hasil karya seni seperti musik, lukis, patung atau drama yang
lebih mengangkat manusia daripada eksistensi Tuhan. Seperti lukisan Leonardo
Davinci tentang Monalisa. Lukisan ini merupakan pertanda terjadinya peralihan
peradaban dari yang sebelumnya berbasis pada nilai teosentrisme menuju ke
wilayah humanisme.
Sebelum
periode modern benar-benar masuk, di Barat telah muncul beberapa ahli
Abad pertengahan adalah abad yang lebih mengunggulkan Tuhan, yang lebih membela
wahyu daripada akal. Era ini ditandai atas kuatnya otoritas gereja atas segala
peradaban dan kebudayaan. Dalam hal itu maka para tokoh-tokoh pemikir diambang
modernitas untuk mendobrak tatanan atau sistem rezim gereja yang menindas itu.
Dengan
serangan gugatan dan kritis dari para tokoh pemikir itulah akhirnya modernitas
muncul. Lahirnya modernitas ini secara epistemologis ditandai oleh bangkitnya
kembali rasionalitas yang sebelumnya, pada era pertengahan, telah dipasung
dengan ketat.Ketika modernitas ini muncul maka umat Islam harus menyadari bahwa
umat Islam telah mengalami dekadensi dan kemunduran yang sangat pesat. Akibat
kemunduran itu akhirnya umat Islam menjadi objek jajahan Barat. Salah satu
bukti konkretnya adalah hancurnya tiga kerajaan besar yang pada masa
pertengahan masih stabil oleh ekspansi dan imperialisme bangsa Barat. Turki
Utsmani yang pernah berjaya pada abad pertengahan mengalami kekalahan dalam
perangnya di Eropa, kerajaan Safawi di Mesir dalam waktu tiga minggu berhasil
ditaklukkan oleh Napoleon Bonaparte, dan kerajaan Mughal di India telah
dihancurkan oleh Inggris.Melihat dahsyatnya imbas dari era modern ini terhadap
dunia Islam, para pemikir Islam mulai terlucut untuk segera berpikir keras
meluncurkan teologi yang bisa membangkitkan semangat kaum Muslim untuk mencapai
kejayaan umat Islam yang telah sirna. Kemudian muncullah para mujadid baru
dalam dunia Islam dengan memberikan berbagai ide yang bertujuan memajukan dunia
Islam dan mengejar ketertinggalannya dari bangsa Barat. Atas semangat ini dunia
Islampun mulai ikut memasuki zaman modernitas.
Diantara
tokoh mujadid atau para pemikir Islam untuk mengusung isu-isu modernitas adalah
Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo, HAMKA dan sebagainya. Para pemikir dan filsof ini
adalah tokoh-tokoh pembaharu yang berusaha membangkitkan umat Islam untuk
kembali kepada teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan
ilmiah zaman klasik di kalangan ulama dan umat Islam zaman modern. Pada abad
ke-19 mulailah mendirikan sekolah-sekolah modern gaya Barat di Mesir, Turki,
dan India dengan tujuan untuk merealisasikan teologi tersebut. Di sekolah ini
di tanamkankah semangat ilmiah. Pola berpikir yang rasional, filosofis dan
ilmiah mulai dibudayakan. Namun, program dan tawaran yang ditawarkan para
mujadid tidak mendapat apresiasi oleh seluruh umat muslim di dunia. Mereka
justru tertutup dan tidak bersedia menyerap nilai-nilai modernitas. Namun usaha
dari mujadid awal seperti Muhammad Abduh dan kawan-kawan untuk kembali kepada
teologi sunnatullah tetap ada hasilnya. Dengan digaungkannya teologi
sunnatullah untuk mengimbangi peradaban modern Barat itu, produktifitas dan
kreatifitas umat Islam mulai meningkat kembali meskipun itu masih jauh dari
Barat.Selain semangat rasionalitas yang ada pada teologi sunnatullah, unsur
lain yang dibawa oleh para pemikir atau mujadid pada masa awal adalah perlunya
untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Sebagian dari mujadid berpendapat
bahwa selain faktor politik yang sudah rapuh, salah satu mundurnya umat Islam
adalah dipicu oleh kuatnya takhayul, bid’ah, dan lain sebagainya yang
berkembang di umat Islam. Selama ini umat Islam terperangkap di dalam jurang
mistik yang dalam sehingga umat Islam tidak bisa berpikir secara jernih dan
rasional.Oleh karena itu yang dimaksud kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits
adalah agar takhayul dan mitos-mitos agama.
Dari
sini dapat diketahui bahwa gerakan pembaruan umat Islam untuk kembali kepada
teologi sunnatullah adalah mirip dengan gerakan modernisme di Barat yang mana
otoritas gereja lebih mengedepankan mistik dan dogma-dogma agama. Namun karena
pola berpikir mistik dan takhayul ini sudah melekat pada diri umat Islam
agaknya sulit untuk ditanggulangi. Entah karena ketakutannya atau karena sudah
terlalu nyaman akan pola berpikir seperti itu, maka banyak kalangan umat Islam
yang masih ragu-ragu terhadap teologi sunnatullah. Mereka yang fatalistik ini
masih menganggap bahwa segala–galanya telah ditentukan secara mutlak oleh
Tuhan.
2.4 Teologi Ke- indonesiaan
Dalam teologi ada beberapa hal yang saling berkaitan diantaranya
yakni : kekuasaan, kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan Tuhan dan
takdir serta sunnatullah, pemahaman teologi umat islam Indonesia harus
mengalami perubahan karena konsep teologi yang umumnya difahami oleh masyarakat
Indonesia telah menyebabkan masyarakat Indonesia lemah dan malas untuk berkarya
atau produktifitas, hal ini dikarenakan pemahaman tentang konsep kekuasaan
Tuhan yang absoluth yang merupakan teologi Asya’ariyah. Inilah alasan bahwa pemahaman
teologi Indonesia harus dirubah yakni melalui pendekatan teologi yang
dikembangkan oleh golongan Mu’tazillah, dimana menurut golongan Mu’tazillah
bahwa manusia mempunyai kekuasaan dan kemajuan untuk memanfaatkan segala
potensi yang dimiliknya dengan menggunakan kemampuan fikir, dan olah budi
dengan alasan ini, diharapkan manusia Indonesia tidak berpangku tangan menerima
nasib namun mencoba merubah nasib itu dengan usaha sungguh-sungguh, sebab
manusia bisa berhasil dengan kemampuannya yaitu kemampuan untuk berfikir dan
berkarya.[25]
Ada dua hal yang menjadi dasar pemikiran Harun Nasution mengenai pembaharuan teologi
islam , pertama bagaimana membawa umat islam Indonesia ke arah
rasionalitas, kedua terkait dengan yang pertama bagaimana agar
dikalangan umat islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapatisas manusia
Qadariah.
Mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menjadi dua corak
dalam teologi yang pertama adalah mereka yang menganggap bahwa akal
mempunyai daya yang amat besar dan manusia bebas serta berkuasa atas kehendak
dan perbuatannya, sehingga kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mutlak, kedua
adalah mereka yang beranggapan bahwa aku manusia memiliki keterbatasan maka
tuhan memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak atas diri manusia.[26]
Kelompok yang mengatakan bahwa
manusia mempunyai kekuasaan atas dirinya, ini dilatar belakangi oleh pandangan
golongan Mu’tazillah, golongan ini beranggapan bahwa setelah Tuhan memberikan
kekuasaan pada manusia dalam menentukan kemamuan dan kebebasannya maka Tuhan membatasi
dirinnya. Selain itu menurut kaum Mu’tazillah bahwasanya Tuhan tidak bisa lagi
berbuat semena- mena ia terikat dengan norma keadilan, yang apabila ia
melanggar maka Tuhan dianggap tidak adil terhadap manusia, kekuasaan dan
kehendak Tuhan juga dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia
yang bersifat sunnatullah karena setiap sesuatu memiliki hukum alamnya.
Selanjutnya kelompok kaum Asya’ariyah yang mengatakan bahwa Tuhan
memiliki sifat yang absoluth yang tidak bisa diganggu gugat atas segala
kehendakNya dan tidak ada yang dapat menentukan apa yang boleh dan apa yang
tidak dilakukan Tuhan, meskipun perbuatan itu dipandnag tidak adil dan dholim
bagi manusia, aliran ini menjelaskan tentang hubungan perbuatan manusia dengan
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, Asy’ariyah memakai teori katsab dimana
manusia berusaha namun hasilnya tetap ditentukan Tuhan. Dari teori ini manusia
tidak mempunyai pengaruh yang efektif dalam perbuatannya.
Harun mengatakan bahwa salah satu
sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah Asy’arisme yang sangat bersifat
Jabariyah (terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, Harun selalu menghubungkan
akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan
alquran yang demikian penting dan bebas. Harun mengatakan bahwa kebangkitan
umat islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap- luap, tapi
harus berdasarkan pemikiran yang mendalam terhadap agama islam itu sendiri.
Semua itu diwujudkan dengan dibuktikan tiga langkah, yang kerap disebut sebagai
“ Gebrakan Harun”. Gebrakan pertama, dia meletakkan pemahaman yang mendasar dan
menyeluruh terhadap islam. Menurutnya dalam islam terdapat dua kelompok ajaran.
Ajaran pertama bersifat absoluth dan mutlak (benar ), universal, kekal, tidak
berubah dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat dalam alquran dan hadits
mutawattir berada dalam kelompok ini. Ajaran Kedua, bersifat absoluth namun
retalif, tidak universal, tidak kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah.
Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini,
dalam ajaram islam lanjutnya seperti ditulis dalam islam rasional Nizan,
yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena
itu kebenaran hasil ijtihad para ulama’ bersifat relatif dan bisa direformasi.
Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya
kelompok pertama itu.
Pengaruh syi’ah terhadap islam di Indonesia (atau asia tenggara
pada umumnya) khususnya pada masa-masa awal penyebaran islam di kawasan ini
merupakan masalah yang rumit dan bahkan mungkin kontroversional . sejumlah ahli
dan pengamat sejarah, seperti M.Yunus Jamil(1983), Hamka (1974), Baroroh Baried
(1976, dan Hasmyi (1983) pernah membahas masalah ini, tetapi pembahsan
merekabukan hanya masih belum memadai, tetapi juga dalam segi-segi tertentu
sulit diterima. Ada beberapa pembahasan yang tercakup dalam bidang ini.
Pertama, pengaruh syi’ah dalam bidang politik. Kedua, pengaruh syi’ah dalam
bidang sastra islam. Ketiga, pengaruh syi’ah dalam bidang keagamaan, khususnya
sufisme.
M. Yunus Jamil (1968: 6-19, 37-40) dan Hasmyi (1983: 45-56)
berargumen bahwa syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di
nusantara. Bahkan tanpa menyodorkan referensi yang terpercaya, keduanya
menyatakan bahwa kekuatan politik Sunni dan Syi’ah terlibat dalam pergumulan
dan pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak masa-masa awal
penyebaran islam di kawasan ini.
Menurut Yunus jamil dan Hasmyi, Kerajaan Islam yang pertama berdiri
di Nusantara adalah Kerajaan peureulak (perlak) yang, Konon didirikan pada
225H./845 M. Yang didirikan oleh para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab
dan Gujarat yang datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Sayyid Mawlana
Abd al-Aziz Syah, Keturunan Arab quraisy, yang menganut paham politik syi’ah.
Namun kedua penulis, Yunus Jamil dan Hasmyi, tidak mengemukakan
secara jelas historiografi atau sumber yang jelas , karena mereka hanya
menggunakan sumber lokal. Yang masih harus diverifikasi, diuji kesahihannya,
dibandingkan dengan sumber-sumber yang ada pada masa itu, baik sumber lokal
maupun sumber asing.Dapat disimpulkan bahwa Syi’ah sebagai suatu ideology
politik-Keagamaan tidak pernah berkembang apalagi berkuasa ditempat manapun di
Nusantara ini.
Asumsi Jamil dan Hasmyi tentang “pergumulan” dan “Kekuasaan” syi’ah
di “kesultanan perlak” dan Samudra Pasai, kelihatannya lebih bertitik tolak
dari susunan tentang konflik Sunni-Syi’ah di masa-masa lebih akhir, yang
kemudian diproyeksikan ke masa lebih awal. Kerangka kesadaran ideologis itu
kemudian seolah mendapat “pembenaran” dari historiografi lokal, yang diterima
begitu saja tanpa verifikasi dan pengujian kritis.
Salah satu argumen pokok lainnya yang sering pula dikemukakan orang
tentang kemungkinan pengaruh Syi’ah terhadap Islam yang berkembang di masa awal
di Nusantara adalah terdapatnya sejumlah kosakata Persia di kawasan ini.
Menurut Beg (1982) yang melakukan penelitian atas sejumlah kamu bahasa Melayu
yang ditulis penyusun setempat dan asing, menyimpulkan bahwa terdapat 77
kata-kata asal Persia yang beredar dan digunakan di Nusantara.
Beberapa contoh yang palimg dikenal, misalnya kanduri (kenduri, semula
berarti makan-makan untuk menghormati Fathimah), astana (istana),
Bandar (pelabuhan) bedebab, biadap, bius, diwan (dewan),
gandum, jadab, lasykar, nakboda, tamasya, saudagar, pasar, syahbandar,
pahlawan, pesona, piala, kawin, nisan, kismis, anggur, dan sebagainya.
Tetapi, sebagian kata-kata Persia itu memasuki bahasa melayu melalui bahasa
Arab, misalnya “diwan” (Dewan), “medan”
(Ar.maydan), firdawus (Surga firdaus). Demikianlah, Beg mencatat, tak kurang
dari 230 kata-kata Persia dipinjam bahasa arab,yang sebagiannya memasuki bahasa
melayu, Beg menyimpulkan bahwa bahasa Melayu tidak pernah mengalami
“persianisasi”.
Kesimpulan yang hampir sama juga dikemukakan Baried (1978). Setelah
mendaftar 17 hikayat yang bercerita tentang tokoh-tokoh syi’ah, seperti Ali
atau Muhammad Hanifah, atau karakter
tertentu yang bias historis atau fiktif, Barried mengakui bahwa memang terdapat
unsur-unsur yang berbau syi’ah di dalam berbagai bentuk sastra Melayu-Islam
Nusantara. Tetapi tidak terdapat data yang mengidentifikasikan adanya
unsur-unsur paham Syi’ah yang sebenarnya. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa
paham syi’ah hampir tidak tersebar di Nusantara, apalagi berpengaruh kuat.
Pengaruh kuatnya Syi’ah di Nusantara adalah “perayaan Tabut” di
Pariaman (Sumatra Barat) dan Bengkulu. Tetapi dalam hal ini. Van Ronkel (1914)
dengan meyakinkan telah membuktikan bahwa tradisi mengusung Tabut di Pariaman
dan juga di Bengkulu bukan warisan dari pengaruh syi’ah di Nusantara Tradisi
tabut tidak lebih dari sekedar Volkfeesten (keramaian rakyat). Yang
tidak mempunyai muatan paham keagamaan apalagi ideologi politik syi’ah.
Sufisme tentu saja sudah dikenal sejak penyebaran awal Islam di
Nusantara. Keberhasilan Guru-guru sufi pengembara dalam penyebaran Islam di
Nusantara antara lain adalah para Guru-guru sufi ini termasuk Walisongo seperti juga kaum sufi pada umumnya, bersifat
unklusif; toleran dan bahkan menerima paham dan praktek-praktek di luar apa
yang mereka pegangi. Karena itu, jangankan beberapa paham atau ibadah syi’ah
yang mereka terima, kepercayaan dan keagamaan lokal juga cenderung mereka
tolelir, sehingga pada gilirannya menimbulkan semacam “sinkretisme” keagamaan.
Adalah jelas, bahwa praktek-praktek keislaman tertentu di Nusantara
yang sering diasosiasikan sementara orang dengan syi’ah, pada esensinya tinggal
kemiripan belaka, yang hampa dari kerangka teologi dan ideology politik Syi’ah.
Hanyalah dalam beberapa tahun terakhir ini terutama berkat penerjemahan
buku-buku karya pemikir syi’ah, terutama Ali Syari’ati, Murtadha Murthahhari,
Ayatullah Khomeini, Syiah sebagai paham keagamaan dan politik mulai menemukan
sejumlah pendukung di Indonesia. Tetapi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan
dengan perkembangan itu, Konflik antara Sunni an Syi’ah tidaklah sebesar apa
yang selama ini dianggap sementara orang.
Gerakan “pembaharuan” (tajdid) di dalam islam secara sederhana
dapat diartikan sebagai upaya, baik secara Individual maupun kelompok pada
kurun dan situasi tertentu, untuk
mengadakan perubahan di dalam persepsi dan praktek keislaman yang telah mapan
kepada pemahaman dan pengamalan “baru”. Pembaharuan pada lazim nya bertitik
tolak pada asumsi atau pandangan yang jelas dipengaruhi situasi dan lingkungan
sosial bahwa islam sebagai realitas social pada lingkungan tertentu tersebut
tidak sesuai atau bahkan menyimpang dari apa yang dipandang sebagai islam yang
sederhana, Islam yang lebih sesuai dengan cita ideal terlepas dari bagaimanapun
berbedanya persepsi tentang “islam ideal” tersebut, sesuai dengan cara pandang,
pendekatan, latar belakang sisial kultural dan keagamaan individu dan kelompok
pembaharu yang bersangkutan.
Tahapan gerakan-gerakan pembaharuan Islam di ndonesia dilihat dari
lingkungan situasi perkembangannya yang selanjutnya mempengaruhi bentuk dan
tema gerakan pembaharuan itu sendiri, sebagaimana disinggung terdahulu, dapat
dibagi ke dalam dua periode besar: periode sejak perempatan kedua abad ke
-11/17 sampai akhir abad 12/18; dan periode abad ke-13/19 sampai sekarang.
Pada periode pertama, Islam telah mendapatkan landasan yang cukup
kuat di sebagian besar wilayah Nusantara. Namun, harus diakui bahwa pemikiran
dan praktek islam khususnya di kalangan awam belum lagi islam seperti yang
diidealkan oleh muhammadiyah pada abad ke -14 H./20 M., bahwa islam yang telah
sampai ke Indonesia adalah islam yang telah diselimuti pandangan sufistik dan
filosofis yang dalam banyak hal mengikuti tradisi ibn Arabi atau al-ajali, yang
berpusat pada doktin wujudiyyah dan emanasi. Islam
semacam ini kemudian dengan cepat mengakomodasi sistem, tradisi dan praktek
keagamaan lokal, yang sebagiannya merupakan sisa-sisa dari Hinduisme/Buddhisme.
Dalam catatan sejarah, membuktikan
bahwa bangsa Indonesia mulai dari kerajan Majapahit, Mataram, Sriwijaya,
kerajaan Islam Demak dan sampai lahirnya nama Indonesia, merupakan bangsa yang
kaya akan budaya, suku, bahasa, keyakinan dan kaya akan agama. Masyarakat telah
menyakini banyak kepercayaan dan dianggap sebagai sesuatu yang berpengaruh
dalam hidupnya yaitu kepercayaan animisme, dinamisme, dan agama Hindu dan
Budha. Islam masuk dengan ajaran-ajaran pembebasan, pencerahan tidak ada
perbedaan kasta, sehingga Islam mudah diterima dan tersebar di seluruh
Nusantara (Indonesia).
Dari sini pertemuan antara
kebudayaan yang sudah berkembang di masyarakat dengan kebudayaan yang baru
datang kemudian di antaranya tidak dapat dihindari dalam artian penyatuan
kebudayaan atau dengan bahasa lain keduanya saling mengisi. Manusia tidak dapat
beragama tanpa budaya, karena kebudayaan merupakan kreatifitas manusia yang
bisa menjadi salah satu bentuk ekspresi keragaman[27].
Hubungan Islam dan
budaya Lokal masih menyisakan prbolem serius di kalangan umat. Di antara
persoalan tersebut adalah masih ditemukannya klaim negatif terhadap budaya
lokal yang dianggap sebagai bagian dari bentuk kemusyrikan yang diwariskan dari
agama orang tua terdahulu, sehingga menurutnya ajaran-ajaran yang
terkontaminasi dengan budaya lokal harus dihilangkan. Dari upaya tersebut
muncul masalah baru; apakah Islam tidak menghargai budaya lokal? jika budaya
tersebut dihapus apakah manusia tidak tercerabut dari akar budayanya? Ke mana
harus berkiblat? Apakah negara yang menjadi kiblat sesuai dengan budaya lokal
(Indonesia)?, mampukah umat Islam menjadikannya sebagai kiblat?, dan masih
banyak pertanyaan yang muncul terkait hal tersebut.
Persoalan yang
terkait hubungan agama dan budaya lokal pada titik tertentu akan berbahaya,
sebab akan muncul klaim kebenaran di satu sisi dan klaim kafir di sisi lainnya.
Term kafir akan mengulang sejarah kajian teologi Islam Klasik ketika Khawarij
mengkafirkan seluruh umat Islam yang tidak sepaham dengannya. Dampak yang
ditimbulkan adalah munculnya fenomena pembunuhan massal atas nama penyelamatan
akidah sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah kelam Khawarij.
Pada dasarnya, manusia menciptakan
budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik
dan biologisnya. Kebiasaan-kebiasaan, praktek, dan tradisi diwariskan dari
generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak
menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya
terkondisikan menerima “kebenaran” itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan
standar perilaku. Individu-individu cenderung menerima dan percaya apa yang dikatakan
budaya mereka.
Di saat itulah muncul apa yang
disebut sebagai budaya lokal yang sering diistilahkan dengan “kearifan lokal”
yang kemudian menjadi pegangan hidup bagi suatu komunitas tertentu. Kearifan
lokal merupakan bagiandari konstruksi budaya. Dalam pandangan John Haba dalam
Irwan Abdullah, kearifan lokal “mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang
tumbuh dan berkembang dalam sebuahmasyarakat dikenal, dipercayai, dan diakui
sebagai elemen- elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara
warga masyarakat”.[28]Dengan
demikian, keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya.
Seringkali praktek-praktek keagamaan
pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian
disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan
realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktek ritual agama. Dalam Islam,
misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman
(bersilaturahmi kepada yang lebih tua) adalah sebuah bukti dari keterpautan
antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas
budayadimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang
vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya
berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan
manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Perdebatan dan
perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah
interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama
yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai
persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan
persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian
manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol
agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama
akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Dalam teologi
klasik lebih menekanka pada pembahasan tentang Tuhan, sifat- sifat Tuhan, namun
dalam Telologi Modern ini kami pemakalah membahas mengenai bagaiamana tentang
qadla dan qadar. Arti qadla dan qadar di dalam Al- Qur’an memiliki banyak nama,
kami hanya menyebutkan beberapa sesuai dengan kemampuan yang kami miliki.[29]
1.
Qadla memiliki arti Hukum
فَلَا اَوَرَبِّكَ لَايُؤْمِنُوْنَ حَتَّي يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا
شَجَرَبَيْنَهُمَ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِئ اَنْفُسِهِمْ مِمَّا قَضَيْت
وَتُسَلِّمَوْا_النساء_65
“ Demi Allah bahwasanya mereka tidak dianggap beriman sehingga
ridla atas hukum- hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi bila terjadi
perselisihan faham di antara mereka, kemudian tidak ada keberatanb sedikitpun
terhadap apa engkau tetapkan ( Nabi
Hukumkah) dan mereka menyerahkan perkara itu dengn sepenuh- penuhnya.”
Dari ayat ini kita dapat juga mengambil kesimpulan bahwa mereka
yang mengaku beriman :
a.
Harus
mengembalikan semua perkara kepada hukum- hukum yang telah ditetapkan oleh
Nabi.
b.
Harus
benar- benar ridla terhadap semua hukum- hukum atau kedputusan- keputusan yang
telah ditetapkan oleh Nabi.
c.
Harus
taat mengerjakan keputusan.
2.
Qadla dalam arti Perintah
Firman Allah :
وَقَضَى رَبُّكَ اِلَّا تَعْبُدُؤا اِلا اِيَّاه. الاءسراء_23
“Allah memerintahkan, janganlah kamu sekalian mengabdikan diri
selain- Nya (Allah)”.
3.
Qadla dalam arti : mengabarkan
وَقَضَيْنَا اِلَي بَنِي اِسٍرَئِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ
فِي اْلاَرْضَ مَرَّتَيْنِ_. الاءسراء_4
“ kami telah memberitahukan kepada Bani Israil dalam kitab mereka (
Taurat) : demi Allah kamu tentu akan membuat kerusakan di bumi sehingga dua
kali”.
4.
Qadla dalam arti Iradah
اِذَا قَضَي اَمْرًا فَاِنَّمَا يَقُوْلُ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ .
العمران_47
“ apabila Allah berkehendak mewujudkan sesuatu yang telah
dihubungkan dengan qudratnya, maka Allah hanya mengatakan :” adalah kamu”
sehingga terciptalah”.
5.
Qadla dalam arti Mewujudkan sesuatu
فَقَضَهُنَّ سَبْعَ سَمَؤَاتٍ فِي يَوْمَيْن
“ Maka Allah mewujudkan langit ,zonder contoh yang mendahului dalam
keadaan serapi- rapinya dalam dua masa (fase)”.
Dalam pemakaian bahasa arab, qadar itu mempunyai 3 ma’na :
1.
Ilmu
yang amat luas meliputi segala apa yang akan terjadi dan semua yang berhubungan
dengan itu, yang sekiranya terjadi kelak pasti sesuai dengan apa yang telah
diketahui dan ditentukan sejak semula.
2.
Sesuatu
yang dipastikan yang lahir dari penciptanya, dimana perwujudan itu sesuai
dengan apa yang telah diketahuinya.
3.
Menertibkan
= mengatur dan menentukan sesuatu menurut batas- batasannya dimana akan sampai
sesuatu kapadanya, firman Allah :
وَقَد رَفِيْهَا اَقْؤَا تَهَا
“ Dan telah diatur dan ditentukan didalamnya (bumi) rizki- rizki
bagi penghuni bumi”
2.5
Teologi Islam Modern
Pemikiran yang membentuk sikap dan perilaku kaum muslim berasal
dari hasil pemikiran ahli tafsir Al Quran. Awalnya, pemikiran itu diterima masyarakat
islam karena sesuai dengan kondisi zaman. Situasi dunia kemudian berubah
sehingga muncul pembaharuan islam modern.
2.5.1 Pemikiran islam sebelum modern
Pada periode pertengahan, telah muncul pemikiran dan pembaharuan
islam di kerajaan Usmani di Turki. Akan tetapi usaha itu gagal karena di
tentang golongan militer dan ulama. Usaha pembaharuan itu mendapat tantangan.
Tantangan pertama datang dari tentara tetap yang di sebut Janissari. Janissari
mempunyai hubugan yang erat dengan tarekat bektasyi yang berpengaruh besar
dalam masyarakat. Tantangan kedua, datang dari pihak ulama yang didatangkan
dari pihak ulama. Ide ide baruyang di datangkan dari Eropa, itu di anggap
bertentangan dengan paham tradisional yang dianut masyarakat islam setelah itu.
Karena itu, usaha pembaharuan pertama dikerajaan Usmani tidak berhasil sesuai
yang diharapkan.
Di India, sebelum periode modernisasi muncul juga ide dan usaha
pembaharuan. Pada awal abad ke- 18 kesultanan Mogul mengalami kemunduran.
Setelah pecah beberapa pertempuran akhirnya daerah kekuasaan Mogul semakin
kecil. Suasana itu menyadarkan para pemimpin Islam India akan kelemahan umat
Islam. Salah seorang yang menyadari hal itu ialah Syah Waliyullah dari Dalhi.
Dia juga satu dari dua pemikir muslim yang muncul pada tahun tahun pertama
kemunduran Islam. Salah satu penyebab kelemahan umat Islam menurut Syah
Waliyullah ialah perubahan sistem permerintahan dari sistem khilafah ke sistem
kerajaan. Sistem pertama bersifat demokratis, sedangkan sistem kedua bersifat
otokratis. karena itu sistem kekhalifahan seperti pada masa Al Khulafaur
Rasyidin perlu di hidupkan kembali. Penyebab lain adalah perpecahan di
kalangan umat islam. Perpecahan yag dimaksud ialah perpecahan yang ditimbulkan
oleh aliran atau mazhab yang terdapat dalam islam, seperti perpecahan antara
Syiah dan Sunni, antara Arsyi dan Mutazilah.[30]
Di India, menurut Syah Waliyullah adat istiadat dan ajaran Hindu
banyak masuk kedalam Islam. Jalan keluarnya mengajak umat Islam kembali ke
sumber ajaran asli Islam yaitu Alquran dan Hadist. Taklid kepada pendapat ulama
masa lampau juga menjadi kelemahan umat islam masyarakat bersifat dinamis
karena nya ia menganjurkan ijtihad.
Di Arab Saudi juga ada usaha pembaharuan sebelum periode modern.
Penyebab kelemahan umat islam saat itu ialah tauhid umat islam yang tidak lagi
murni. Kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh tarekat. Umat islam
menunaikan haji dan memina pertolongan kepada syekh dan wali. Ia juga
menganjurkan ijtihad inti pemikirannya adalah al-qurn dan hadis langsung
berajaran islam, taklid kepada ulama tidak dibenarkan dan pintu ijtihad tidak
tertutup.
2.5.2 Pemikiran Modern Islam di Mesir
Muhammad
Ali Pasya
Pendudukan
mesir oleh napoleon dengan kemenangan perang yang amat cepat telah membuka mata
Muhammad Ali Pasya tentang kelemahan umat islam. Untuk melawan tentara
napoleon, Sultan salim III mengumpulkan tentara salah satunya yaitu Muhammad
Ali Pasya. Dalam pentempuran dengan tentara prancis, ali menunjukkan keberanian
yang luar biasa. Karena itu dia diangkkat mejadi kolonel kemudian Muhammad Ali
menjadi penguasa penuh mesir ia memberi gelar Pasya kepadadirinya sendiri.
Muhamad Ali
mengetahui bahwa kekuasaannya hanya dapat dipertahankan dengan kekuatan
militer. Dibelakang militer ia harus ada kekuatan ekonomi. Inilah dua pemikiran
pokok Muhammad Ali Pasya. Untuk memperkuat perekoomian ia memperbaiki irigasi,
penanaman kapas, mendatangkan ahli pertanian dari eropa, dan membuka sekolah
pertanian untuk memperkuat militer, iaa tak segan-segan mendatangan tenaga-tenaga
dari prancis. Tak lama kemudian terbentuklah Nizam-i Jedid yang merupakan model
baru angkatan bersenjata Muhamad Ali. Sekolah-sekolah yang dibuka Muhammad Ali
semuanya berhubungan erat dengn militer dan pertanian. Dari buku-buu yang
diterjemahkan oleh sekolh penerjemah itulah orang-orang mesir mengenal barat.
Melalui buku-buku itupula orang mesir mengenal filsafat yunani dan ajaran
tentang kebebasan berpikir.
At-
Tahtawi
Rifa’ah
Badawi Rafi’ at- Tahwi adalah lulusan Universitas al- Azhar di Cairo. Ia merupakan
murid kesayangan Syekh Hasan al- Attar yang mempunyai hubungan baik dengan
ahli- ahli sains Perancis yang datang bersama Napoleon ke Mesir. At- Tahtawi
memainkan peranan penting dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya.
At- Tahtawi
memang berpendapat bahwa penerjemahan buku- buku Barat ke dalam bahasa Arab
penting agar umat Islam dapat mengetahuiilmu- ilmu yang membawa barat ke
kemajuan. Selain, itu ia juga aktif dalam bidang penulisan. Ia menulis untuk
berbagai majalah dan mengarang buku. Menurutnya, salah satu jalan menuju
kesejahteraan ialah dengan berpegang teguh kepada agama dan budi pekerti yang
baik. Untuk itu diperlukan pendidikan. Ia menganjurkan pendidikan universal,
itu berarti untuk semua termasuk untuk kaum wanita.
Tujuan
pendidikan menurut pendapatnya harus mencakup kecintaan kepada bangsa dan
negaranya atau patriotisme. At- Tahwi adalah orang pesir pertama yang
menganjurkan memiliki rasa patriotisme. Ia mengubah paham bahwa seluruh dunia
Islam adalah tanah air setiap muslim. Ia berpendapat bahwa ulama’ harus
mengetahui ilmu- ilmu modern agar mereka dapat menyesuaikan syariat dengan
kebutuhan Zaman modern. Mengenai paham fatalisme at- Tahwi mencela orang yang
tidak mempercayai qada’ dan qadar. Menurutnya orang harus percaya pada kedua
hal itu kepada Tuhan, sembari tetap berusaha. Disini tersirat ide dinamisme
sebagai lawan statis yang umum terdapat di dalam dunia Islam.
Jamaluddin
al- Afgani
Adalah pemimpin pembaruan Iskam yang tempat tinggal dan
aktivitasnya berpindah dari satu negara ke negara lain. Di mesir, ia giat
memberikan kuliah dan mengadakan diskusi- diskusi. Diantara murid- murid al-
Afgani itu yang kelak menjadi tokoh ternama di Mesir yakni Muhammad Abduh dan
Sa’ad Zaghlul. Selama delapan tahun
bermukim di Mesir, al- Afgani telah memberikan pengaruh yang besar disana. Al-
afgani telah membangkitkan gerakan berpikir sehingga negara ini dapat mencapai
kemajuan. Pemikiran pembaharuan al- Afgani di dasarkan atas keyakinannya bahwa
Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua
keadaan. Kalau kelihatan ada pertentangan antara ajaran Islam dengan kondisi
yang dibawa perubahan zaman dan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh dengan
mengadakan intreprestasi itu diperkuan ijtihad. Karenanya pintu ijtihad harus
terbuka. Menurutnya Islam mundur karena telah meninggalkan ajaran Islam yang
sejati. Ia mengambil contoh paham qada’ dan qadar. Di masa silam paham
inimemupuk keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam. Kini, telah dirusak
dan diubah menjadi paham Fatalis.
Jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam, menurut pendapatnya
ialah melenyapkan pengertian yang dianut umat Islam dengan cara kembali ke
ajaran yang sebenarnya. Corak kepemimpinan otokrasi dirubah menjadi demokrasi.
Menurutnya Islam menghendaki pemerintahan yang didalamnya terdapat kebebasan
berpendapat dan kewajiban untuk tunduk dalam Undang- Undang Negara tersebut.
Muhammad Abduh
Dalam waktu dua tahun ia mampu untuk mengahfal Al- Qur’an. Menurut
Abduh, sebab kemunduran umat Islam adalah kejumudan yang terdapat di kalangan
umat Islam. Dalam kata Jumud terkandung pengertian membeku, statis, tidak ada
perubahan. Sikap ini, menurut Abduh,
dimasukkan ke dalam Islam oleh orang- orang non- Arab yang ingin merampas
puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Abduh juga berpendapat bahwa masuknya
berbagai macam bidah ke dalam Islam merupakan penyebab umat Islam melupakan
ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk menghilangkan bidah itu, umat Islam harus
kembali ke ajaran yang sejati sebagaimana pada zaman salaf yaitu zaman sahabat
dan ulama besar.
Menurutnya, al- qur’an bukan berbicara kepada hati manusia,
melainkan kepada ‘Aql (akal) manusia. Abduh berpendapat bahwa iman seseorang
tidak akan lengkap jika tidak berdasarkan akal. Hanya dalam islam, agama dan
akal menjadi pengikat tali persaudaraan. Akal adalah pembantu paling utama dan
naql menjadi sendi paling kokoh. Kepercayaannya kepada kemampuan akal membawa
Abduh kepada paham kebebasan berkehendak dan bertindak.
Rasyid Rida
Rasyid Rida melihat perlunya tafsir Al- Qur’an yang modern yaitu
tafsir sebagaimana yang dicetuskan oleh gurunya, Muhammad Abduh pemikiran Rida
tentng pembaharuan Pendidikan menghendaki agar kurikulum pendidikan selain
mencakup fikih, tafsir, hadis dan ilmu- ilmu tradisional juga beriisi teologi,
pendidikan moral, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu
kesehatan, ilmu mengatur rumah tangga dan bahasa- bahasa asing. Rida menyerukan
kaum muslimin untuk membangun sekolah. Membangun sekolah menurutnya jauh lebih
baik daripada membangun masjid apabila yang mengisi masjid itu orang bodoh.
Menurut
Rida, sebenarnya Islam mengajarkan pada paham dinamis, karena itu umat Islam
seharusnya dinamis dan aktif. Dinamis itu terkandung dalam istilah jihad dan
ijtihad. Rida juga menghargai kemampuan akal, Rasyid Rida masih memegang mazhab
dan masih terikat kepada pendapat Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Karena satu
maxhab dengannya, Rasyid Rida juga menyokong kuat gerakan Muhammad Abdul Wahab.
2.5.3
Pemikiran Modern Islam Di Turki
Sultan
mahmud II (1785 – 1839 )
Sebagaimana di
Mesir. Pembaruan pemikiran di kerajaan Usmani dipelopori oleh raja. Jika di
mesir oleh Muhammad Ali Pasya, maka di Turki oleh Sultan Mahmudi II. Sultan
Mahmud II merasa telah tiba saatnya untuk memulai usaha pembaruan yang memang
telah lama ada di dalam pikirannya. Hal pertama yang menarik perhatiannya ialah
pembaruan di bidang militer. Sultan Mahmud II melihat Janissary tidak lagi
diandalkan. Bahkan Janissari dianggap menghambat pembaruan di bidang militer.
Karena itu pada musim semi tahun 1826. Mahmud II membentuk korp tentara baru
yang diberi nama muallem ekhkinji ( pengawal Terlatih ). Korp itu dilatih oleh
pelatih yang dikirim Muhammad Ali Pasya dari Mesir. Ia juga mengadakan
pembaruan dalam pemerintahan Kerajaan Usmani. Menurut tradisi, kerajaan Usmani
dikepelai oleh raja yang memiliki kekuasaan duniawi dengan gelar khalifah.
Sultan Mahmud II juga membuat perubahan dalam bidang pendidikan. Di madrasah
biasanya hanya diberikan pengetahuan agama. Untuk memberikan pengetahuan umum
di madrasah masih dirasakan belum mungkin, karena itu, disamping madrasah ia
mendirikan sekolah umum yang disebut sekolah pengetahuan umum. Di seklah itu
diajarkan bahasa prancis di samping bahasa Arab serta pengetahuan umum lainnya.
Ia juga mendirikan sekolah militer, sekolah teknik, sekolah kedokteran, dan sekolah pembedahan.
Ia juga mengirimkan siswa – siswa untuk belajar ke Eropa. Untuk menyebarkan ide
pembaruannya, Sultan Mahmud II menerbitkan surat kabar Takvim-i vekayiyang
terbit pertama kali pada tahun 1831. Pemabaharuan yang dilkukan oleh Sultan
Mahmud II menjadi dasar bagi usaha pembaruan di kerajaan Usmani sesudahnya.
Tokoh
– tokoh Tanzimat
Pelanjut
usaha pembaruan yang dilakukan Sultan Mahmud II dikenal dengan nama Tazimat.
Menurut P.M.Holt ( ahli Turki modern ), kita tidak mungkin dapat memahami ide –
ide pembaruan di Usmani tanpa memahami gerakan Tanzimat. Pemuka utama Tanzimat
ialah Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami, dan Mahmed Sadik Rifat Pasya.
Mustafa
Rasyid Pasya ( 1.800 ) sependapat dengan
Mustafa Sami bahwa kemajuan Eropa disebabkan oleh keunggulan mereka
dalam ilmu dan teknologi, toleransi beragama, kemampuan melepaskan diri dari
ikatan agama dan karena adanya pendidikan universal bagi pria dan wanita.
Pembaruan
di bidang pemerintahan diadakan dengan cara mengajak rakyat urun pendapat
tentang soal – soal negara dan administrasi. Pembaruan di bidang keuangan
berupa pendirian Bank Usmani ( 1840 ). Pendidikan umum dilepaskan dari kekusaan
kaum ulama dan diserahkan kepada kementerian pendidikan yang dibentuk pada
1847.
Pembaruan
yang dilakukan Tanzimat tidak seluruhnya dihargai. Kritik yang diajukan ialah
pembaruan itu mengandung paham sekularisme dan pemuka – pemukanya bersikap
prro-Barat. Sikap otoriter sultan dan para menteri dlam melaksanakan pembaruan
juga mendapat kritik keras. Akan tetapi akhirnya oposisi hilang, pemerintahan
bertambah absolut, sehingga hilanglah kebebasan berpikir dan bergerak.
Pembaruan di kerajaan Usamani pada zaman Tanzimat dapat dikatakan kurang
berhasil.
Tokoh
– tokoh pemikir Usmani Muda
Zaman
Tanzimat berakhir dengan wafatnya Ali Pasya pada 1871, sebagai perdana menteri,
Ali Pasya tidak menentang kekuasaan absolut Sultan Abdul Aziz, malah turut
menindas pemikiran bebas. Golongan intelektual kerajaan Usmani yng banyak
menentang kekuasaan absolut sultan dikenal dengan nama Usmani Muda.
Salah
satu pemuka Usmani Muda ialah Ziya Pasya ( 1825 – 1880 ). Menurut pemikirannya,
agar dapat digolongkan sebagai negara maju, Kerajaan Usmani harus menganut
pemerintahan yang konstitusional. Negara – negara Eropa maju karena di sana
tidak ada lagi pemerintahan absolut, kecuali Rusia. Selanjutnya, ia menyebutkan
bahwa dalam pemerintahan konstitusional itu harus ada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pihak istana justru takut akan dewan – dewan serupa ini. Mereka khawatir dewan
tesebut akan menghancurkan kekuasaan sultan.
Para
pemikir Turki Muda
Para
pemimpin pemikir Turki Muda ialah Ahmad Riza ( 1859 – 1931 ), pangeran
Sabahuddin ( 1877 – 1948 ), dan Mehmed Murad ( 1853 – 1912).Sekembalinya dari Perancis,
Ahmad Riza bekerja di kementerian pertanian. Karean sensor begitu ketat, ia
tidak dapat menyiarkan pemikirannya dalaam surat kabar atau buku. Karena itu ia
pergi ke perancis. Disana, ia bekerja sama dengan para pemimpin pemikiran yang
sudah lebih dahulu lari ke Perancis. Di paris ia
menerbitkan surat kabar mesveret.
Ditanah
air, gerakan golongan militer dan komite – komite rahasia mulai meningkat. Yang
terkenal di antara semua komite itu ialah perkumpulan persatuan dan kemajuan.
Pada 1908, Batalion II dan III mulai memberontak. Tentara di Salonika,
Monastri, dan Anatolia turut memberontak. Dalam kondisi demikian, perkumpulan
persatuuan dan kemajuan muncul ke permukaan secara terang – terangan. Kedudukan
Turki Muda dalam pemerintahan memang tidak kuat. Kesempatan ini digunakan
Sultan Abdul Hamid untuk mengembalikan kekuasaannya. Tetapi Enver Pasya dengan
Batalion III masuk Instanbul dan merampas kekuasaan. Sultan Abdul Hamid jatuh
pada 1909 dan digantikan oleh saudaranya Sultan Mehmed V.
Pemerintahan
tiga serangkai merupakan pemerintahan militer yang ketat dan tidak mau menerima
krtik. Partai – partai oposisi mereka bubarkan. Dalam perang dunia I mereka
membawa kerajaan Usmani menjadi sekutu Jerman. Kekusaan mereka hancur bersamaan
dengan kekalahan Jerman dalam perang itu. Perkumpulan persatuan dan kemajuan
membubarkan diri, tokoh – tokohnya lari keluar negeri.
2.5.4
Pemikiran Modern Islam di India- Pakistan
Gerakan Mujahidin
Menurut Ahmad Syahid, umat islam India mundur karena mereka tidak
lagi menganut ajaran Islam yang murni, melainkan Islam yang telah bercampur
dengan paham dan praktek yang berasal dari persia dan India. Umat Islam India
harus di bawa ke Islam yang murni . untuk mengetahui ajaran Islam yang murni
itu orang harus kembali ke Al- Qur’an dan hadits. Ide Ahmad Syahid yang
berpengaruh besar ialah dalam bidang politik. Wilayah India telah banyak
dikuasi oleh orang non-muslim, menurut Ahmad Syahid menghadapi orang tersebut
hanya ada dua pilihan yaitu melawan atau hijrah, Sayid Ahmad Syahid memilih
melawan.
Sayid Ahmad Khan
Setelah hancurnya
gerakan Mujahidin dan kesultanan Mogul, muncullah Sayid Ahmad Khan. Menurut
pendapatnya, peningkatan kedudukan umat Islam India hanya dapat diwujudkan
melalui kerja sama dengan Inggris. Sayid Ahmad Khan mementingkan ilmu dan
teknologi, ia juga menghargai kebebasan akal. Dalam bidang teologi, ia
menganjurkan untuk menganut paham qadariah. Menurut Sayid Khan pendidikan
adalah salah satu jalan bagi umat Islam India Untuk mencapai kemajuan. Karena
itu perhatiannya pada bidang pendidikan amat basar.
Muhammad Iqbal
Berbeda dengan
pembaharuan yang lain, iqbal adalah penyair dan filsuf. Pemikirannya mengenai
kemunduran umat Islam berpengaruh pada gerakan pembaruan dalam Islam. Menurutb
pendapatnya, kemunduran Islam selama 500 tahun terakhir ialah karena kebekuan
dalam pemikirannya. Hukum Islam dikatakannya sudah statis. Menurut Iqbal, Islam
tidak bersifat statis, melainkan dapat berubah perkembangan zaman. Karena itu
ia berpendapat bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. Tokoh pertama yang
menyuarakan ini adalah Ibnu Tamimiyah.
Penyebab lain adalah
runtuhnya Baghdad sebagai pusat kemajuan pemikiran umat Islam pada pertengahan
abad ke- 13. Untuk mengelakkan perpecahan yang lebih parah, kaum konservatif
merasa perlu mempertahankan keseragaman hidup sosial umat Islam. Karena itu, mereka
menolak menganjurkan untuk berpegang teguh pada hukum- hukum yang telah
ditentukan ulama terdahulu. Dengan kata lain, mereka menganggap pintu ijtihad
telah tertutup.
2.5.5 Periode Pemikiran Islam Menurut Fazlur Rahman
Uraian terdahalu menjelaskan dua periode pemikiran Islam yaitu
periode pra-modern dan periode modern. Fazlur Rahman membagi periode pemikiran
Islam itu menjadi empat periode, yaitu (1) revivalisme pra-modernis, (2)
modernisme Klasik, (3) neo-revivalisme, dan (4) neo-modernisme. Berikut ini
diuraikan ciri – ciri keempat periode itu:
Periode pertama,
revivalisme pra-modernis, muncul pada abad ke-18 dan ke-19 di Turki Usmani,
Arab Saudi, India, dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena pengaruh Barat ini
memiliki ciri – ciri berikut: (1) adanya keprihatinan yang mendalam terhadap
kemunduran sosio-moral umat silam, (2) adanya ajakan untuk kembali ke Islam
sejati dengan cara ijtihad serta membuang takhayul – takhayul yang ditanamkan
sufisme populer, (3) adanya ajakan untuk meninggalkan paham ajaran Jabariah,
dan (4) adanya ajakan untuk melaksanakan pembaharuan lewat kekuatan senjata
(jihad) jika perlu.
Pemikiran pada
periode kedua, periode modernisme klasik, mengambil alih dasar – dasar gerakan
periode pertama. Ciri utama periode kedua ini ialah pemikirannya yang
terpengaruh oleh ide-ide Barat. Periode ini berlangsung pada abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Ciri yang lain, tetapi tidak mendasar, ialah adanya usaha
untuk memperluas isi ijtihad seperti mengenai hubungan antara wahyu dan akal,
pembaruan dalam bidang sosial, khususnya
dalam bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan dalam bidang politik, dan
bentuk – bentuk pemerintahan berperwakilan dan berkonstitusi. Semua ini
disebabkan adanya kontak tokoh – tokoh pemikir periode ini dengan pemikiran
masyarakat Barat.
Periode ketiga ialah periode neo-revivalisme. Pemikiran pada
periode ini dipengaruhi oleh pemikiran periode kedua. Pada periode ini telah
muncul dukungan terhadap gagasan demokrasi dan bentuk pendidikan Islam yang
relatif modern. Mereka juga mendasari diri pada pemikiran modernisasi klasik
yangmengatakan bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik
individu maupun kolektif. Ciri utama pemikiran periode ini ialah usaha mereka
untuk membedakan diri dari Barat. Mereka tidak menerima metode atau semangat
modernisme klasik (yang terpengaruhi Barat), sekalipun mereka sebenarnya belum
mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya itu.
Periode keempat
ialah periode neo-modernisme. Gerakan ini muncul karena hendak menyelesaikan
bengkalai pada periode ketiga. Menurut Fazlur Rahman, ada dua kelemahan gerakan
modernisme klasik (periode kedua). Pertama, modernisme klasik tidak menguraikan
secara tuntas metode yang digunakannya. Karena itu ia tidak mampu melakukan interpretasi
secara sistematik dan menyeluruh terhadap Islam, ia hanya menginterpretasikan
Islam secara ad hoc (parsial) seperti masalah demokrasi dan status
wanita. Tema yanrg mereka pilih itu adalah tema yang mereka lihat di Barat,
maka timbul kesan bahwa pemikiran modernisme klasik itu telah terbaratkan serta
merupakan agen pembaratan. Kelemahan inilah yang menyebabkan munculnya
neo-revivalisme.
Neo-revivalisme
(periode ketiga) telah menunjukkan bahwa mereka tidak menerima semangat dan
metode Barat, mereka membedakan diri dari Barat. Ini berarti salah satu
kelemahan modernisme klasik dapat diatasi. Tetapi mereka tak berhasil
menanggulangi kelemahan pertama. Neo-revivalisme belum berhasil menemukan
metode menafsirkan Al Quran agar menghasilkan pemikiran yang sistematik dan
menyeluruh. Inilah tugas utama neo-modernisme.
Neo-modernisme
mengembangkan sikap kritis terhadap Barat, serta terhadap warisan
kesejarahannya. Kaum muslim harus mengkaji dunia Barat serta gagasannya secara
objektif, demikian pula terhadap ajaran dan gagasan dalam agamanya sendiri.
Kajian haruslah dilakukan secara menyeluruh dan sistematik. Untuk itu tugas
utama kaum neo-modernisme ialah mengembangkan metode yang tepat dalam
mempelajari Al Quran agar menghasilkan pemikiran yang sistematik dan menyeluruh
sebagai petunjuk bagi masa depan. [31]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberap
hal. Pertama, modernisasi, pluralisme dan multikulturalisme adalah
anomali bagi diskursus kalam klasik. Paradigma dogmatis-ekslusif kalam klasik
mengalami kebuntuan ketika dihadapakan pada isu-isu seperti demokrasi,
sekularisme, pluralisme, konsep negara dan kewarganegaraan. Sehingga dalam
konteks ini, kalam klasik niscaya harus di rethinking agar tetap
memiliki kontribusi bagi kehidupan. kalam klasik tidak peka terhadap persoalan
sosial umat dan persoalan kemanusiaan universal. Maka dari itu di era pluralisme
dan multicultarlisme,merupakan sebuah keharusan bagi umat Islam
untuk menggeser pandangan kalam klasik yang bersifat abstrak-dogmatis dan
sektarian-eksklusif,menuju teologi sosial yang dialogis dan inkslusif.Mengingat
umat Islam saat ini,telah tersebar dalam bingkai negara-negara bangsa dan hidup
secara besama-sama dengan komunitas agama lain. Yang harus dilakukan adalah
menggembangkan teologi sosial untuk menciptakan harmoni dalam common good dalam
sistem sosial masyarakat modern.
Perlu
membangun teologi Islam sebagai solusi bagi kehidupan manusia, agar tercipta
perdamaiaan, kesejahteraan dan anti kekerasan. Banyak pemikir yang memberikan
solusi teologis yang relevan bagi kehidupan masyarakat saat ini.Perlunya
rekonstruksi pemikiran teologi Islam dari teosentrisme ke
antroposentrisme, sesungguhnya dilatari oleh sekurang-kurangnya tiga hal,
yaitu:
Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi
yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai
ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru
ini bukan semata pada sisi teoritiknya, melainkan juga terletak pada
kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan
dalam sejarah.Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis
(‘amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam
realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Harun Nasution memiliki dua pemikiran mengenai pembaharuan teologi
islam , pertama bagaimana membawa umat islam Indonesia ke arah
rasionalitas, keduaterkait dengan yang pertama bagaimana agar dikalangan
umat islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapatisas manusia Qadariah. Menurut
Harun Nasution salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah
Asy’arisme yang sangat bersifat Jabariyah (terlalu menyerah pada takdir).
Pemikiran yang membentuk sikap dan perilaku kaum muslim berasal
dari hasil pemikiran ahli tafsir Al Quran. Awalnya, pemikiran itu diterima
masyarakat islam karena sesuai dengan kondisi zaman. Situasi dunia kemudian
berubah sehingga muncul pembaharuan islam modern.
3.2 Saran
Penulis berharap para pembaca mampu bersikap bijak dalam
menanggapai tulisan yang disampaikan penulis, agar makalah ini bermanfaat maka
penulis berharap untuk tidak mudah menafsirkan kalimat- kalimat yang dianggap
menyinggung pihak lain melainkan pembaca dengan cermat menelaah serta
memikirkan bagaimana semestinya menyikapi perkembangan teologi di era- modern
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 2009. “Falsafah Kalam Modern”. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Abdullah, M. Amin. 1997. “Falsafah Kalam di Era Postmodern”.
Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Abdullah, Irwan, dkk. 2008. “Agama dan Kearifan Lokal dalam
Tantangan
Global”. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Belajar.
Azra, Azyumaridi. 1999. Islam Reformasi Dinamika Intelektual dan
Gerakan.
Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Dahlan, H. Abdul Aziz. 2005. “ ENSIKLOPEDIA TEMATIS DUNIA ISLAM
:
Pemikiran dan
Peradaban”. Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Esha, Muhammad In’am. 2008. Teologi Islam Isu- Isu Kontemporer.
Jalan
Gajayana 50
Malang. UIN- Malang Press (Anggota IKAPI).
Hanafi, Ahmad. 1947. “Pengantar Teologi Islam”. Jakarta:
Jayamurni.
Kotimin. 2006. “Isu – isu Islam Kontemporer”. Bandung:
Citapustaka Media.
Kuntowijoyo. 2006. “Islam Sebagai Ilmu”. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Kuntowijoyo. 2008. “Paradigma Islam”. Bandung: Mizan.
Masdar, Umaruddin. 1998. “ Membaca Pemilaran GUS DUR dan Amin Rais
Tentang
Demokrasi”. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Nasution, Harun. 1972. “TEOLOGI ISLAM: Sejarah Analisa
Perbandingan”.
Jakarta: UI Press.
Ridwan. AH. 1998. “Reformasi Intelektual Islam”. Yogyakarta:
Ittaqa Press.
Syarif Hidayatullah. 2010. “Teologi Feminisme Islam”.
Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
[1] Kuntowijoyo, Paradigma
Islam (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 478.
[2]Amin Abdullah, Falsafah
Kalam Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), hlm. v.
[3] A. Hanafi, Pengantar
Theology Islam (Jakarta: Jayamurni,1947),hlm. 14.
[4] Amin Abdullah,
op. Cit, hlm. 4.
[5] Argumentum ed
Homimem adalah seni berdebat yang bertujuan untuk mencari menang, bukan mencari
kebenaran.
[6] Kuntowijoyo, Islam
Sebagai Ilmu (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), hlm. 12.
[7] Lihat
al-Ghazali, al-Munqidz min al-dalal, hlm. 16-17, dalam Muhammad Said,
Jurnal Mengagas Teologi dalam Konteks Pluralisme dan Multikulturalisme. UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[8] Al-Ghazali, iljam
al-awwam ‘an ‘ilmi al-Kalam (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1985), hlm. 81.
Dalam Loc. Cit.
[9] Ibnu Rusyd, Fasl
al-Maqa I Fi ma bain al-Hikmah wa Asya Syaari’ah min al-Ittisa (Mesir: Dar
al-Ma’arif).
[10] AH. Ridwan, Reformasi
Intelektual Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 44-45.
[11] Amin Abdullah,
Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan integrative-interkonektif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006), hlm. 319.
[12]Ibid.
[13]
Lihat, Basya, “Konsep Teologis Feminisme Islam,” dalam Syarif
Hidayatullah, Teologi Feminisme Islam, (Yogyakarta : Pustaka Belajar,
2010 ), hlm. 25.
[14] Lihat, Basya, op.
Cit., hlm. 27
[16]M.
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 42-43
[17] Chumaidi
Syarif Roma, Wacana Teologi Islam Kontemporer, ( Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana. 2000), hlm. 47.
[18]Muhammad
Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hasyim Shalih
(Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumiy, 1990), hlm. 172-173
[20]Lihat, Ahmad Dayan
Lubis, “Teologi Pembebasan,” dalam Katimin, et. al. (ed.), Isu-Isu Islam Kontemporer,
(Bandung: Citapustaka Media, 2006), hlm. 125.
[21]Af’idah Salmah
(Ed.), (2003), Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif
terhadap Hedonisme Kehidupan Modern (Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 19.
[22]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung:
Mizan, 1991), hlm. 286-287
[23] Asghar Ali
Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1-2.
[24] Harun
Nasution, Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI
Press.1972), Hal. 32-37.
[25] Muhammad
Arifin, Teologi rasional ( studi analisis terhadap pemikiran harun
nasution),(Banda Aceh, Arraniry press,2008),hal.40.
[26]Ibid.
[27]Umarudin Masdar, Membaca
Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 139.
[28]Irwan Abdullah,
dkk., Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global(Yogyakarta :
Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar, 2008). Hlm. 7
[29]Taib Thahir
Abd. Muin, Ilmu Kalam, (Yogyakarta : PT. Bumirestu, 1996),. Hlm. 223-
225.
[30] H. Abdul Aziz
Dahlan, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, (
Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 396.
[31][31]H. Abdul Aziz
Dahlan, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, (
Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 412.
As claimed by Stanford Medical, It is indeed the ONLY reason this country's women live 10 years more and weigh 42 lbs lighter than us.
BalasHapus(And by the way, it is not related to genetics or some secret exercise and absolutely EVERYTHING related to "how" they eat.)
P.S, What I said is "HOW", and not "what"...
Tap this link to discover if this brief quiz can help you discover your true weight loss possibility