KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT. Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, kami haturkan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
"SEJARAH PERKEMBANGAN TEOLOGI ISLAM"
Makalah
ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir
kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang "SEJARAH PERKEMBANGAN
TEOLOGI ISLAM" dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Malang,
5 September 2016
penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... ..i
DAFTAR
ISI....................................................................................................... . ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................. ..1
A. Latar
Belakang............................................................................................. ..1
B. RumusanMasalah......................................................................................... ..1
C. TujuanPenulisan........................................................................................... ..2
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................................... ..3
A. Sejarah Timbulnya Teolgi Islam PadaZamanNabi
Muhammad SAW......... ..3
B. Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Khulafaurrasyidin........ ..4
C. Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman PascaKhulafaurrasyidin..8
BAB
III PENUTUP............................................................................................ 19
A. Kesimpulan................................................................................................... 19
B. Saran............................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepercayaan suatu agama merupakan pokok
dasarnya. Islam sebagai agama yang mengingkari agama Yahudi dan Nasrani serta
agama-agama berhala, merasa perlu menjelaskan pokok-pokok dasar ajaran agamanya
dan segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya. Al- Qur’an dan hadis-hadis Nabi
Muhmmad saw. Banyak membicarakan tentang wujud Tuhan, keagungan, dan
keesaanNya. Al- Qur’an terutama, menyebutkan untuk Tuhan sifat-sifat yang
banyak sekali, dimana sebagiannya bertalian dengan zat Tuhan sendiri, dan
sebagian lagi menyatakan dengan macamnya hubungan dengan makhluknya. Seperti
mendengar, melihat, maha adil, menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan,
mematikan, dan seterusnya.
Akan tetapi gaya (uslub) bahasa ayat-ayat al- Qur’an dan
hadis-hadis tersebut lebih mendekati pada gaya percakapan, memberi nasehat dan
petunjuk, daripada gaya penguraian secara ilmiah. Kita tidak dapat mengatakan
al- Qur’an dan hadis Nabi berisi uraian yang teratur dan sistematis tentang
kepercayaan dan meletakkan metode yang lengkap serta mencakup untuk Ilmu Tauhid
(teologi islam). Memang hal ini bukan menjadi tugas para Rasul dan Nabi, tetapi
mereka bekerja dalam bidang perbaikan ummat, dimana perhatian ditujukan kepada
penyiaran dakwah. Penyusunan ilmu yang semacam itu menjadi tugas para pengikut
dan orang-orang yang datang sesudahnya.
Teologi sebagaimana yang diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar
dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara
mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya.
Mempelajari teologi akan memberi keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada
landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
teologi dalam islam juga disebut ilmu al- kalam, karena soal kalam atau firman Tuhan atau al- Qur’an
pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras dikalangan umat islam di
abad kesembilan dan kesepuluh masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan
terhadap sesama muslim waktu itu.
Oleh karena itu, dipandang perlu untuk diketahui bagaimana sejarah
perkembangan teologi islam atau ilmu al- kalam. Karena teologi
akan memberi pandangan yang lebih lapang dan sikap yang lebih toleran, baik
dalam hal hukum terutama dalam hal berpikir aliran-aliran kalam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah Timbulnya Teolgi Islam Nabi Muhammad SAW?
2.
Bagaimana
Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Khulafaurrasyidin?
3.
Bagaimana
Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Pasca Khulafaurrasyidin?
C.
Tujuan
1.
Memahami
Sejarah Timbulnya Teolgi Islam Nabi Muhammad SAW
2.
Memahami
Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Khulafaurrasyidin
3.
Memahami
Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Pasca Khulafaurrasyidin
BAB II
PEMBAHASAAN
2.
Zaman Islam
a.
Sejarah Timbulnya Teolgi Islam
Benih
ilmu teologi islam berdasarkan realitas historis sebenarnya telah muncul sejak
Nabi Muhammad masih hidup fakta adanya sahabat yang bertanya kepada Nabi
Muhammad tentang “Al-qadar”, sebuah tema yang pada masa selanjutnya
menjadi topik pembicaraan teologi islam, setidaknya adalah argumen yang
memperkuat pernyataan diatas. Hal ini kalau kita sepakat dengan apa yang
dijelskan oleh Louis Gardet dan Anawati bahwa teologi islam dimulai dengan
adanya kajian terhadap teks Al-Qur’an yang nantinya menjadi topik pembicaraan
teologi. Namun demkian, teologi islam mulai mempunyai bentuk yang definitif
sejak periode kebangunan semangat kritis masuknya filsafat yunani dengan
tuntutan rasionalnya sangat berpengaruh besar di kalangan masyarakat muslim dan
menimbulkan kehausan akan pengetahuan filosofis kegelisahan untuk menjelaskan
hal-hal yang di imani, dan keinginan untuk mengkoordinasikan keseluruhan
pengetahuan manusia. Walaupun suatu pernyataan yang tidak dapat kita nafikan
bahwa konflik politik dikalangan umat
islam merupakan “ragi” yang mewarnai tumbuhnya teologi islam di masa awal.[1]
Ketika
Nabi Muhammad wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatars
pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh Semenanjung
Aarabia. Negara islam diwaktu itu, seperti digambarkan oleh W.M. Watt, telah
merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan
Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga
masyarakat Mekkah sebagai intinya.
Islam
sendiri, sebagai kata R. Strothmann, disamping merupakan sistem agama telah
pula merupakan sistem politik dan Nabi Muhammad disamping Rosul telah pula
menjadi seorang ahli negara.
Jadi
tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad
sibuk memikirkan pengganti belian untuk mengepalai negara yang baru lahir itu,
sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka timbullah soal khalifah,soal
pengganti Nab Muhammad sebagai kepala negara.
b.
Sejarah Perkembangan Teolgi Islam Pada Zaman Khulafaurrasyidin
Sejarah
meriwayatkan bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat islam di waktu
itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka.
Kemudian Abu Bakr digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab dan ‘Umar oleh ‘Usman
Ibn ‘Affan.
‘Usman
termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri
dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalaman dagang merekamempunyai
pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam
memimpin administrsi daerah-daerah diluar Semenanjung Arabia yang berambah
banyak masuk kebawah kekuasaan islam. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai
orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya
dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang
tunduk kepada kekuasaan islam. gubernur-gubernur yang diangkat oleh ‘Umar Ibn
al-Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang yang kuat dan tak memikirkan
kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh ‘Usman.[2]
Khalifah
‘Usman bin Affan tentu dengan tanpa mengingkari jasa dan keistimewaannya
sebagai seorang sahabat tercatat sebagai khalifah yang kurang ideal, khususnya
sejak dekade enam tahun terakhir dari masa kekhalifahannya. Pandangan semacam
itu setidaknya didasarkan pada langkah dan kebijakan polotik khalifah Usman bin
Affan, yang oleh banyak kalangan dianomalikan sebagai “nepotisme”,
meskipun tidak bisa dipungkiri sebenarnya hal itu lebih merupakan dampak dari
begitu kuatnya desakan kaerabat dekat Usman dari klan Bani Umayyah. Terlepas
dari klaim-klaim politis yang telah ada, bahwa kebijakan politik tersebut oleh
banyak tokoh dan pembesar ummat islam pada masa itu dipandangnya sebagi suatu
tindakan yang kurang adil dan bijaksana.[3]
Tindakan politik yang dijalankan 'Usman ini bukan reaksi yang tidak
menguntungkan bagi dirinya. Sahabat Nabi yang kurang tepat itu, mulai
meninggalkan khalifah yang ketiga ini, perasaan tidak senang muncul dari daerah-daerah.
Mulailah timbul kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Anfal - 46, yang
artinya:
وَأَطِيْعُواْ اللَهَ وَرَسُولَهُ, وَلَا
تَنَزَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْ هَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إنَّ اللَهَ مَعَ
الصَّبِرِيْنَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar”.[4]
Dari Mesir,
sebagai reaksi terhadap dijatuhkannya 'Umar Ibn Khattab al-'As kemudian
digantikan oleh Abdullah Ibn-Sa'd Ibn Abi Sarh, Lima Ratus pemberontak
berkumpul kemudian bergerak ke Madinah yang mana mereka akan membunuh khalifah
'Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Messir.
Setelah 'Usman
wafat 'Ali sebagai khalifat yang ke
empat. Tetapi ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah' terutama Thalhah dan Zubeir dari Makkah yang mendapat sokongan dari
'Aisyah. Tantangan dari 'Aisyah-Thalhah-Zubeir ini dipatahkan 'Ali dalam
pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656. Thalhah dan Zubeir mati terbunuh
dan 'Aisyah dikirim kembali ke Makkah.
Tantangan kedua
datang dari Mu'awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat bagi 'Usman. Sebagaimana
Thalhah dan Zubair tidak meu mengakui 'Ali sebagai khalifah. Ia menurut kepada
'Ali supaya menghukum pembunuh 'Usman, bahkan ia menuduh 'Ali turut campur
dalam soal pembunuhan, salah seorang pemuka pemberontak Mesir yang datang ke
Madinah dan kemudian membunuh 'Usman adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat
dari 'Ali Ibn Abi Talib. Dan pula 'Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak bahkan
Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi gubernur Mesir.
Dalam pertempuran
yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, tentara 'Ali dapat mendesak
tentara Mu'awiyah sehingga yang tersebut akhir ini bersiap untuk lari. Tetapi
tangan kanan Mu'awiyah 'Amr Ibn al-'As yang terkenal sebagai orang licik, minta
berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Qurraa' yang ada dipihak 'Ali
mendesak 'Ali supaya 'Ali menerima tawaran itu dengan mengadakan arbitase.
Sebagai pengantara di angkat dua orang: 'Amr Ibn al-As dari pihak Mu'awiyah dan
Abu Musa al-Asy'ari dari pihak 'Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan 'Amr
mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Keduanya terdapat kemufakatan untuk
menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, 'Ali dan Mu'awiyah. Tradisi
menyebut bahwa Abu Musa al-Asy'ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu
berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang
bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr Ibn al-'As,
mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan 'Ali yang telah diumumkan al-Asy'ari
tetapi menolak penjatuhan Mu'awiyah.
Peristiwa yang
merugikan bagi 'Ali dan menguntungkan bagi Mu'awiyah. Sedangkan Mu'awiyah
kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada 'Ali
sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi
khalifah yang tidak resmi.Tidak diherankan kalau putusan ini ditolak 'Ali dan
tak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh ditahun 661M.[5]
Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang
tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah
muncul ketika berlangsungnnya peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal
dengan Perang Siffin. Sebagai respon atas penamaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawar Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung
sikap Ali-kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali kelak
disebut Khawarij.[6]
Karena memandang ‘Ali bersalah dan berbuat dosa besar, mereka
melawan ‘Ali. ‘Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Mu’awiyah dari satu
pihak dan khawarij dari pihak lainnya. Karena selalu mendapat serangan dari
pihak kedua ini, ‘Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan
kaum khawarij, tetapi setelah mereka ini kalah, tentara ‘Ali telah terlalu
capai untuk meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa
di Damaskus dan setelah ‘Ali bin Abi Thalib wafat ia dengan mudah dapat
memperoleh pengakuan sebagai khalifah ummat islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai
digambarkan diatas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya
persoalan-persoalan teologi. Timbulah siapa yang kafir dan siapa yang bukan
kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari islam dan siapa yang masih tetap
dalam islam.
Khawarij memandang bahwa ‘Ali, Mu;awiyah, Amr ibn al-‘As, Abu Musa
al-Asy’ary dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena al-Quran
mengatakan:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاؤُلَئِكَ
هُمُ الْكَا فِرُوْنَ
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Dari
ayat inilah merek mengambil semboyan La hukma illa lillah karena keempat
pemuka islam diatas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar
dari islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum
khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut
sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali bin Abi Thalib yang berhasil
dalam tugasnya.[7]
c.
Perkembangan Teologi Islam Pasca Khulafaurrasyidin
1.
Khawarij
Khawarij
secara bahasa diambil dari bahasa Arab Khowaarij, secara harfiah berarti mereka
yang keluar. Istilah Khawarij adalah istilah umum yang mencangkup sejumlah
Aliran dalam Islam yang pada awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu
menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, berpusat didaerah
yang kini terletak dibagian negara Irak Selatan dan merupakan bentuk yang
berbeda dari Kaum Sunni.
Kebanyakan
dari kaum Khawarij adalah Arab Dusun yang tinggal dikawasan pegunungan dan
karena itu hidup dengan sangat sederhana. Mereka sangat keras hati tetapi amat
taat menjalankan agama. Karena pemikirannya yang sederhana, Khawarij
mengartikan Al-Qur’an benar-benar secara tekstual, tetapi betapapun beratnya
mereka toh melaksanakannya.
Aliran
Khawarij dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang
keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib R.A. karena kekecewaan mereka terhadap
sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Muawaiyah
yang dikomandani oleh Amr Ibn Ash dalam perang Siffin.[8]
Mereka
mengangkat seorang kepala diantara mereka, yaitu Abdullah bin Wahab Ar-Rasyidi.
Mereka menamakan dirinya dengan Kaum Khawarij, yang berarti orang-orang yang
keluar pergi untuk berperang dalam rangka menegakkan kebenaran, sebagai mana
disebutkan dalam Q.S. An-Nisa’ 100
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ
مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى
اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Paham
Khawarij ini bertambah maju setelah melihat kegagalan Ali dalam perundingan
“Tahkim”. Paham Khawarij ini dianggap benar oleh umum. Mereka terkenal keras
dan berani berjuang mati-matian untuk menegakkan pahamnya.
Kaum
Khawarij kadang-kadang menamakan kelompok mereka dengan nama “Kaum Syurah”,
artinya kaum yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan dan keridlaan Allah,
dengan berpijak pada Q.S. Al-Baqarah 207
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang
yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha
Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.
Pada
tahap berikutnya, Kaum Khawarij tidak hanya mempersoalkan kekhalifahan dan tahkim
semata tetapi merembet pada masalah i’tikad dan keyakinan sehingga dalam dunia
islam terbentuk suatu paham yang disebut “paham Khawarij”.[9]
Golongan
Khawarij berdasar pada QS. Al An’am 57
قُلْ إِنِّي عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ ۚ مَا
عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ ۚ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ
الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata
(Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab)
yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah
hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang
paling baik".[10]
2.
Murji’ah
Kata
Murjiah berasal dari kata bahasa Arab arja’a yurji’u, yang berarti menunda atau
menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama
Hijriayah. Pendirinya tidak diketahui secara pasti, tetapi syahristani
menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (buku tentang perbandingan agama
serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa
paham Murji’ah adalah Galian ad-Dimasyqi.
Aliran
ini disebut Murjiah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian
persoallan konflik politik anatra Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan
dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak
ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap
kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikaitersebut. Menurut pendapat
lain, mereka disebut Murjiah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa
besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Adapun
dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak
di akhirat baru ditentukan hukuman baginya
Persoalan yang
memicu murjiah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan dengan
penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murji’ah
manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk menghakimiseorang mukmin yang
melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah
ini mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka
menunda penilaian itu sampai hari pembalasan tiba.
Paham
kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah keimanan seseorang.
Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang melakukan dosa besar tetap dapat
disebut orang mukmin, dan perbuatan dosa besar tidak mempengaruhi kadar
keimanan. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak
berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan. Selama seseoarang masih memiliki
keimanan didalam hatinya, apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap
dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah mengacu kepada golongan
Sahabat Nabi Muhammad SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas
dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik
antara Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.[11]
Menurut
Kaum Murjiah Murni (Ash-Shaliyiah), Iman tumbuh dari pemberitaan Rasul dan menurut
ukuran Akal mungkin wajib beriman kepada Allah dan mungkin tidak beriman kepada
Rasul,
Namun
Rasulullah bersabda:
مَنْلاَيُومِنُبِىفَليْسَبِمُؤمِنٍبِاللّهتعالى
“Barangsiapa yang tidak beriman kepadaku maka
ia tidak beriman kepada Allah”
Menurutnya shalat bukan Ibadah,
kecuali dari orang yang beriman kepada-Nya, karena ia telah mengenal-Nya. Dan
iman menurutnya hanya terdiri dari suatu unsur yang tidak bertambah dan tidak
berkurang, demikian juga kafir tidak bertambah dan tidak berkurang.[12]
3.
Mu’tazilah
Mereka adalah pengikut dari Abul Husail bin ‘Atha’ yang memisahkan
diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri. Yang menebabkan mereka berpisah
dari Hasan ialah masalah “murtakibil kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan
orang yang melakukan dosa besar. Orang yang melakukan dosa besar adalah fasik,
yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya, orang itu bukan
mukmin juga tidak kafir. Menurut kaum mu’tazilah sumber pengetahuan yang paling
utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Atas
dasar inilah orang berpendapat bahwa timbulnya aliran mu’tazilah merupakan
lahirnya aliran rasionalisme di dalam islam. Namun, rasionalitas Mu’tazilah
dianggap kurang mematikan dalam melawan gerakan lainnya[13].
Penganut aliran mu’tazilah dijuluki “ahlul-tauhid wal-adli” sebab
aliran ini lebih menonjolkan mengenai keesaan Tuhan dan keadilan Tuhan.
Masalah-masalah yang menjadi pembahasan kaum Mu’tazilah terdiri dari lima pokok
dan kelima prinsip tersebut yakni : Tauhid (Ke-Esaan Tuhan), al-‘adl (keadilan
Tuhan), al wa’dul wal wa’id (janji dan ancaman), manzilat dua manzilat, dan
amar ma’ruf nahi munkar dengan berpegang pada QS. Ali Imron 104:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أمَّةٌ يَدْعُوْنَ إلَى الْخَيْرِوَيَأْ مُرُوْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ ويَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.
Merekalah orang-orang yang beruntung”.[14]
4.
Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah
Hasan Basri adalah seorang ahli sunnah wal jama’ah. Namun ini tidak
pernah menonjol sebelumnya sebagai satu golongan. Dapat diketahui bahwa islam
adalah ajaran-ajaran yang diterima dari tangan manusia pertama Rasulullah yang
oleh beliau dilanjutkan ke tangan para sahabat dan turun temurun disambut oleh
manusia dari masa ke masa secara terus menerus tanpa terputus. Dalam
perkembangannya, ahli sunnah wal jama'ah memiliki dua aliran: asyariyah dan
al-maturidiyah.
a.
Aliran
Asyariyah
Adalah suatu
aliran yang muncul sebagai reaksi terhadap paham theologi islam yang telah
mendahuluinya. Pada mulanya asyariyah adalah seorang pengikut aliran
Mu'tazilah, tetapi kemudian mereka kembali meniti jalan salaf ash shalih.
Dalam menentukan berbagai persoalan khilafiyah. Bahkan dengan terang-terangan
mereka mengumandangkan bahwa mereka adalah pengikut Ahmad bin Hambal[15].
Banyak yang bertentangan dengan i'tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad SAW. Pandangan
teologis asyari meliputi masalah Iman, Akal,
Wujud Tuhan, Zat dan Sifat Tuhan, Kalamulloh (Al-Qur'an), Arah dan Ru'yah,
Kekuatan dan Keadilan, Serta Qadla dan Qadar Tuhan.
Al-Asyari berpendapat bahwa
Al-Qur’an bersifat qadim, tidak diciptakan. Dasar dari pendapat ini dalam Surah
An-Nahl : 40
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا
أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)",
maka jadilah ia.[16]
Dalil al-Quran yang dibawa kaum Asy’ariah antara lain adalah
yang berikut:
وُجُوْهُ يَوْمَئِذِ نَا ضِرَةٌ
إِلَى رَبِّهَا نَا ظِرَةٌ
“Wajah-wajah yang pada
ketika itu berseri-seri memandang kepada Tuhan-Nya.”
Menurut al-Asy’ariah kata nazirah dalam ayat
ini tak bisa berarti memikirkan, karena akhirat bukanlah tempat berpikir. Juga
tak bisa berarti menunggu, karena wujuh yaitu muka atau wajah tidak
dapat menunggu, yang menunggu itu itu manusia. Oleh karena itu kata nazirah
mesti berarti melihat dengan mata.
Bagi kaum Mu’tazilah nazara disini berarti
memandang atau menanti-nanti. Kaum Asy’ariyah juga mengemukakan ayat berikut :
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ
رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى
الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ
رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ
قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:
"Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama-tama beriman".
b.
Al-Maturidiyah
Dalam aliran maturidiyah peranan akal atau
rasio memiliki tempat yang penting didalam menyusun konsep teologinya. Akal
atau rasio dapat membantu manusia untuk memahami adanya Allah, sifat dan zat
Allah. dan juga dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an.perbuatan
manusia, kedudukan dosa besar, fungsi akal bagi Al-Qur'an, mengenai hari kebangkitan
dihari kiama, sifat Allah.Bagaimanapun, yang dimaksud dengan ahli sunnnah dan
jamaah didalam lapangan teologi islam adalah kaum Asy'ariyah dal maturidi[17].
Al-Maturidiyah
mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberikan dalam QS.
Al-Qiyamah 22 dan 23
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
Dan
wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri.
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
5.
Jabariyah
Adapun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan
Al-qasimi adalah jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya Aliran
Qadariyah. Aliran ini menganggap bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia
tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh tuhan.
Dasar pemahaman aliran Jabariyah ini dijelaskan dalam Al-Qur’an QS.
Al Shaffat 96
وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu[19]
6.
Qodariyah
Qodariyah adalah suatu aliran yang terpercaya bahwa segala tindakan
manusa tidak diintervensi oleh Allah SWT. Aliran ini diprakasai oleh Ma’bad
Al-Juhani dan Ghilan Ad-Dimasyqi.
Banyak ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham Qodariyah diantaranya
QS. Al-Rad 11 :
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ
خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا
بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ
بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Bagi manusia ada malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Q.S As-saffat 96
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا
تَعْمَلُونَ
“padahal Allah-lah yang menciptakan
apa yang kamu perbuat itu”
7.
Syiah
Golongan syi'ah pada mulanya adalah
pengikut sayyidina Ali kemudian berpindah secara otomatis kepada keluarga Ali.
Golongan syiah berpendapat bahwa yang berhak menggantikan Nabi Muhammad SAW
adalah keluarganya (ahlul bait) sedangkan ahlul bait yang mula-mula berhak
adalah Ali bin Abi Thalib (saudara sepupunya). Beliau juga sebagai menantu
Rasulullah SAW. Setelah Ali meninggal yang berhak atas imamah adalah anak-anak
keturunannya. Imamah menurut kaum Syiah merupakan bagian dari akidah. menurut
kaum syiah, imam adalah ma'shum (terjaga dari kesalahan). seorang imam memliki
kedudukan tersendiri baik dipandang dari segi keagamaaan maupun kemasyarakatan.
Aliran syiah ini, baru lahir pada masa-masa akhir Ali bin Abii Thalib, sebagai
akibat permusuhan yang dilakukan oleh golongan Amawiyin (Bani Umayyyah) dan
kaum khawarij terhadap Ali bin Abi Thalib. Bagi kaum syiah imamah merupakan
salah satu rukun iman. Oleh karenanya, bagi kaum syiah masalah imamah merupakan
salah satu masalah agama yang cukup mendasar. Adapun yang berhak menduduki
jabatan imamah sebagai penganti Nabi adalah Ali bin bi Thalib.
Menurut
Golongan Syi’ah, Rasulullah pernah berkata tentang ‘Ali:
أَفْضاَكُمْ عَلىٌ
Syiah
berpendirian bahwa seseorang imam yang diangkat harus maksum atau terpelihara
dari dosa besar kecil[21].
Dan Jika pernah terjadi imam bukan dari keturunan ‘Ali, hal itu hanya merupakan
kezaliman dari orang lain dan taqiyyah dari pihak keturunan ‘Ali.[22]
Doktrin ajaran
Syiah:
1.
Tauhid
2.
Al- Adl
3.
An-Nubuwah
4.
Al-Imamah
5.
Al-
Maad
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teologi
merupakan disiplin ilmu yang menerangkan tentang pribadi ketuhanan. Baik
sifat-sifatnya maupun tindak lakunya didalam islam sering dinamakan ilmu kalam,
yang merupakan cabang dari ilmu tauhid dimana ilmu kalam memberikan porsi naqli
terhadap adanya Allah SWT.
Umumnya
ilmu ini digunakan untuk menguatkan dalil naqli (syar’i) yang terdapat pada
nash (al-Quran dan Hadits) akan tetapi terdapat sekte-sekte yang memberikan
porsi lebih pada akal oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan Syi’ah. Sementara yang
tidak menyetujui hal itu adalah Asy’ariyah, Maturidiah.
Teologi
bukan muncul karena bukan hanya gejala politik pada masa Khulafaurrasyidin,
akan tetapi muncul karena perbedaan pemikiran antar imam, antar guru dan murid.
Maka dari itu memang perbedaan adalah rahmatan lil’alamin.
Salah
satu kasih sayang dari Allah SWT kepada umatnya, agar mereka beragam menjalani
kehidupan di dunia fana dan demi mendapatkan keridha-Nya.
B.
Saran
Mudah-mudahan dengan kelahiran makalah ini, dapat menambah
pengetahuan kita khusunya mengenai sejarah perkembangan teologi dalam islam.
Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah masih terdapat kesalahan
dan kekeliruan. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya kritik dan saran yang
membangaun atau lain-lainnya demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
Harun.1986. Teologi
Islam : Aliran-aliran, Sejarah Analisa, Perbandingan.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Mustofa, A. 1997.
Filsafat Islam. Bandung : Pustaka Setia.
Anshoru, M. Subkhan. 2011.Filsafat
Islam antara Ilmu dan Kepentingan. Kediri :
Pustaka Azhar.
HadlariMoechtar,A. 2014.PedomanIlmuKalam Program
Studi Islam Jilid I. Bondowoso: MAN Bondowoso Press.
Rahman, Taufik.
2013. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Rosihon, Anwar dan Rozak, Abdul. 2007. Ilmu Kalam. Bandung:
Pustaka Setia.
Muniron. 2015. Sejarah, Metode, Ajaran, dan Analisis
Perbandingan. Jember. STAIN Jember Press.
In’am Esha, Muhammad. 2008. Teologi Islam: Isu-isu Kontemporer.
Malang: UIN-Malang Press (Anggota IKAPI).
Syukur, Aswadi. 2006. Al Milal wa Al-Nihal : Aliran-Aliran
Teologi dalam Sejarah Umat Islam (Buku I). Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Amin Nurdin, M.
dan Fauzi Abbas,Afifi. 2015.Sejarah Pemikiran Islam : Teologi – Ilmu Kalam.Jakarta:
Sinar Grafika Offset.
Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad. 1994. Islam Tidak Bermadzab. Jakarta:
Gema Insani Press.
[1]Muhammad In’am
Esha, Teologi islam: Isu-isu Kontemporer, (Malang:UIN-Malang Press,
2008), hlm. 1-2.
[2]Harun Nasution,
Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm. 5-6
[3]Muniron, Sejarah,
Metode, Ajaran, dan Analisis Perbandingan (Jember: STAIN Jember Press, 2015),
hlm.11.
[4]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam Program Studi
Islam Jilid I (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014), hlm. 102.
[5] Harun
Nasution, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm.
6-8
[6] Rosihon Anwar
dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.28
[7]Harun Nasution,
Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm.
9
[8]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam Program Studi
Islam Jilid I (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014),hlm. 109
[9]Taufik Rahman, Tauhid
Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 197-198
[10]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam Program Studi
Islam Jilid I(Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014),hlm. 112
[11]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam Program Studi
Islam JilidI (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014),hlm.
[12]Asyawadi
Syukur, Al Milal wa Al Nihal : Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat
Manusia(Buku I) (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006), hlm. 179
[13]M. Subkhan Anshoru, Filsafat Islam antara Ilmu dan
Kepentingan (Kediri:PustakaAzhar, 2011), hlm. 9
[14]A. HadlariMoechtar, PedomanIlmuKalam Program Studi
Islam JilidI (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014),hlm. 150
[15]Mustofa
Muhammad Asy Syak’ah, Islam tidak bermadzab (Jakarta: Gema Insani Press,
1994), hlm. 385.
[16]M. Amin Nurdin
dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam : Teologi – Ilmu Kalam
(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2015), hlm. 105
[17]Harun Nasution,Teologi
islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press), 1986),hlm. 65
[18]A. HadlariMoechtar,PedomanIlmuKalam Program Studi
Islam JilidI (Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014), hlm.164
[19]A. HadlariMoechtar,PedomanIlmuKalam Program Studi
Islam Jilid I(Bondowoso: MAN Bondowoso Press, 2014, hlm. 141
[20] Asyawadi
Syukur, Al Milal wa Al Nihal : Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat
Manusia(Buku I) (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006), hlm. 141
[22] Asyawadi
Syukur, Al Milal wa Al Nihal : Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat
Manusia(Buku I)(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006), hlm. 124
Do you realize there is a 12 word phrase you can speak to your partner... that will induce intense emotions of love and impulsive attraction to you buried inside his chest?
BalasHapusBecause deep inside these 12 words is a "secret signal" that triggers a man's impulse to love, please and look after you with his entire heart...
===> 12 Words That Trigger A Man's Love Instinct
This impulse is so built-in to a man's mind that it will drive him to try better than ever before to make your relationship as strong as it can be.
Matter of fact, triggering this dominant impulse is so mandatory to getting the best ever relationship with your man that once you send your man one of the "Secret Signals"...
...You will soon notice him expose his mind and heart to you in such a way he haven't experienced before and he will identify you as the only woman in the world who has ever truly tempted him.