BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan,
kekurangan pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Karena itu akal
adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan
manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal juga
digunakan sebagai metode dalam mencari kebenaran dan menggali ilmu pengetahuan,
agar kita dapat membuktikan kebenaran kebenaran ajaran islam jadi tidak hanya
menggunakan kebenatan ayat tuhan yang disebut wahyu serta akal juga mengemukakan
buktu – bukti yang rill ditengah kemajuan peradaban. Maka dari itu akal terus
dibimbing dan dikembangkan secara utuh dan bersamaan dengan kesadaran akan
eksplorasi potensi rohani dan lainya yakni rasa dan iman.
Jika masa
awal manusia hanya mengenal akidah atau
tauhid, pada masa berikutnya keyakinan tersebut dikembangkan menjadi
berbagai disiplin ilmu yang memiliki sistematika masing-masing, dan lebih
merespon realitas kehidupan manusi, ilmu tersebut adalah ilmu kalam atau
teologi.[1]
Teologi sebagai ilmu yang membahas
soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan
wahyu dalam memperoleh tentang kedua hal tersebut. Akal, sebagai daya pikir
manusia yang ada dalam diri manusia, berusaha keras sampai pada diri Tuhan, dan
sedangkan wahyu, wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada
manusia dengan keterangan-keterangan tentang tuhan dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap tuhan.[2]
Dalam pembahasan ini, kita akan
melihat perbedaan para mutakallimin tentang kedudukan wahyu dan akal dalam
menetapkan kebenaran yang diyakinimya melalui argumentasi yang dikemukakannya.
Adapun yang dikemukakan adalah penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan
penafsiran lain dari teks wahyu itu juga.
Pengetahuan yang di
perolehmelaluiwahyudiyakinisebagai pengetahuan yang absolut, sedangkan
pengetahuan yang di peroleh melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang
relatif, dalam artian bisa benar atau salah.Disini bukan hanya akal saja yang
menempati posisi terhormat wahyupun juga memiliki kedudukan yang sama dengan
akal.
Polemik yang terjadi dikalangan
filsuf islam sebenarnya adalah berkisar pada masalah kemampuan akal sendiri
untuk mengetahui tuhan dan kewajiban – kewajiban manusia terhadap –Nya, juga
sebagai fungsi wahyu dalam kedua persoalan tersebut, dalam persoalan akal dan
wahyu ini menimbulkan dua masalah pokok yaitu : mengetahui tuhan dan mengetahui
baik dan buruk, yang akan berlanjut pada takdir tuhan, Hal ini juga memunculkan
perbedaan pendapat tentang kehendak mutlak dan keadilan tuhan.
Makalah ini akan mencoba menguraikan
secara singkat tentang teologi dalam islam yang berkaitan dengan dengan
persoalan di atas.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbandingan pemikiran tentang akal dan wahyu menurut
beberapa aliran
?
2. Bagaimana pemikiran teologi
jabariyah ?
3. Bagaimana pemikiran teologi
qodariyyah ?
C.
Tujuan Pembahasan.
1.
Mengetahui perbandingan pemikiran tentang akal dan wahyu menurut
beberapa aliran.
2.
Mengetahui pemikiran teologi jabariyah.
3.
Mengetahui pemikiran teologi qodariyyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AKAL.
Manusia adalah makhluk berakal. Darwin
mengatakan, bahwa manusia berasal dari kera kera yang lambat laun meningkat
kecerdikannya, akhirnya otaknya terbuka. Iapun menjadi berakal sebagai manusia
yang sekarang ini. [3]
Pembahasan
tentang akal ini sampai sekarang khususnya
dikalangan para ahli terutama para filosof dan para pemikir muslim lainya masih
terus berkelanjutan.
Secara etimologis akal berasal dari
bahasa arab (‘aqal). Yang dalam arab ‘aqal dapat memiliki artian mengikat. Sedangkan dalam indonesia orang
menyalinya dengan artian pikiran atau pemikiran. Dalam hal ini orang menghubungkan bahwa akal merupakan suatu
tenaga yang menahan diri makhluk yang memilikinya dari perbuatan buruk. Dan
akal juga membedakan manusia dari makhluk lain, maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia
yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta
menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas, bahkan akal juga merupakan
petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta
perbuatannya sendiri.[4]
Al- aqil juga disebut al – habis,
maksudnya salah orang – orang yang dapat menahan diri dan mengengkang hawa
nafsunya, di samping arti dari kebijaksanaan akal juga memiliki arti lain yaitu
al – qalb, yang lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kata ‘aqala mengandung arti
memahami. Akal juga berarti memahami dan mengerti apa yang dilakukan qalb
didada.[5]
Hal
ini sesuai dengan firman Allah : QS. Al – a’raf ayat 179 yang artinya mereka
mempunyai hati tetapi mereka tidak mempergunakan itu untuk memahami( ayat-ayat Allah),
dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda
tanda kekuasaan allah), dan mereka mempunya telinga tetapi tidak digunakan
untuk mendengar (ayat-ayat allah)
Menurut pemahaman izutzu, sebagaimana dikutip oleh harun
nasution, mengatakan bahwa kata al- aql kemudian masuk kedalam filsafat islam
dan mengalami perubahan arti, hal ini dikarenakan adanya pengaruh filsafat
yunani kedalam pemikiran islam, kata tersebut mengandung arti yang sama dengan
kata yunani nous yang mengandung arti
daya berpikir yang terdalam dalam jiwa manusia, dengan demikian pemahaman
pemikiran tidak lagi melalui al – qalb di dada melainkan melalui al – aql yaitu
di kepala.
Berbeda lagi jika menurut filsuf islam yang berpendapat
bahwa akal merupakan daya dari jiwa (al –
nafs atau al – ruh) yang terdapat dalam diri manusia, kata – kata al- nafs dan al – ruh ini telah masuk kedalam bahasa indonesia dalam bentuk
nafsu, napas dan ruh.
Para ulama telah sepakat bahwa dalil akal pikiran yang betul
pendahuluan pendahuluannya(premis-premisnya) dan betul dalam hukum hukumnya
(konklusi-konklusinya), berasaskan panca indera atau kepastian, dapat
menghasilkan keyakinan serta penciptaan keimanan yang dibutuhkan. [6]
Sementara itu, di kalangan teologi muslim, mengartikan akal
sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti yang diungkapkan oleh Abu
al-huzail yang berpendapat bahwa akal adalah daya untuk memperoleh
pengetahuan,daya yang membuat seseorang dapat memebedakan dirinya dengan
benda-benda lain. Jadi, akal dalam pengertian islam bukanlah otak, tetapi
adalah daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Jika akal adalah daya yang
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya berbeda dengan
wahyu yang memperoleh pengetahuan dari luar diri manusia yaitu Tuhan.
Pandangan mu’tazilah mengenai akal ialah akal manusia
memiliki kedudukan yang sangat tinggi sepakat bahwa dasar – dasar pengetahuan
dapat diketahui oleh akal, Dengan demikian mu’tazilah menyimpulkan bahwa
perbuatan baik dan buruk serta kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi
yang buruk dapat diketahui oleh akal, meskipun pada saat itu wahyu belum
diturunka. Sehingga menurut al – Huzail akal bukan saja dapat mengetahui tuhan,
melainkan juga wajib mengetahui tuhan.[7]
Dengan demikian maka dapatlah disimpulkan bahwa jawaban
mu’tazilah tentang perbuatan baik dan buruk serta mengetahui tuhan itu hukumnya
wajib dan yang mengetahui -Nya adalah akal meski pada saat itu wahyu belum
turun.
Maturidiyyah memiliki konsep tersendiri mengenai akal, bagi
maturidiyah akal ialah alat di tangan manusia yang dengannya dapat mengetahui
sesuatu yang harus diketahui tentang Tuhan. Akal adalah alat pengetahuan,
sehingga untuk tujuan itu tidak diperlukan hukum Ilahi.
Menurut ibn Rusyd, sebagaimana dikutip oleh Abdul Salim Mukrim
membagi akal menjadi tiga macam, yaitu : pertama, Akal deminstratif yang mampu menghasilkan hal-hal yang jelas dan
penting, Dan melahirkan
filsafat. Kedua, akal logik memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga, akal
retorik menangkap hal-hal yang bersifat nasihat dan retorik. [8]
Maturidiyyah juga berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada
sebab kewajiban mengetahui Tuhan, mengandung arti bahwa bagi mereka akal tidak hanya
dapat sampai kepada penegtahuan adanya tuhan, tetapi juga kepada sifat
terpujinya.[9]
Akal juga dapat tahu bahwa berbuat
buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik, pengetahuan inilah yang
memastikan adanya perintah dan larangan. [10]
Akal dalam konsep al – asyari adalah akal tidak dapat
mewajibkan dan tidak bisa menetapkan sesuatu, dalam al – asyari akal diwajibkan
untuk mengetahui
Tuhan melalui wahyu, kewajiban syukur
kepada Tuhan
tentang pahala dan siksaan hanya bisa diketahui oleh wahyu bukan dengan akal.
Seperti yang dikatakan al – baqillani yaitu akal dapat
mengetahui tuhan tetapi tidak dapat dapat mengetahui kewajiban berterimakasih pada Tuhan sebelum turun wahyu. Al- asyari
juga berpendapat bahwa kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan
menjauhi perbuatan jahat dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.
Muhammad Abduh memberikan peranan besar kepada akal, kemempuan akal
menurut Muhammad
Abduh adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui Tuhan dan sifat – sifat-Nya.
2.
Mengetahui adanya hidup di akhirat.
3.
Menegtahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada
mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada
tidak mengenal Tuhan dan pada pebutan jahat.
4.
Mengatahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5.
Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan meninggalkan
perbuatan jahat
6.
Membuat hukum – hukum mengenai kewajiban – kewajiban itu.
Melihat kemampuan yang diberikan Muhammad Abduh kepada akal dapat
dipahami bahwa Muhammad Abduh memberikan peran yang sangat besar kepada akal.
Namun berbeda dengan rasyid ridla. Bagi Rasyid Ridla akal tidak mempunyai peran
sebesar yang diberikan muhammad anduh. Akal bagi Rasyid Ridla , mempunyai peran
untuk mengetahui ajaran ajaran tentang muamalat( hidup bermasyarakat), bukan
ibadat. Rasyid Ridla juga mengatakan tidak ada azab sebelum datangnya Rosul
yang memberikan penjelasan dan azab itu ada karena orang mendustakan rosul.[11]
B. WAHYU
Kata wahyu
berasal dari kata arab al-wahy yang berarti suara, api, dan kecepatan.
Di samping mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Kata wahyu
lenih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan tuhan kepada nabi”. Dan dengan
demikian wahyu terkandung arti penyampaian sabda Tuhan
kepada orang piliha-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan
pegangan hidup.
Ketika
Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh
sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat
kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Ketika kata wahyu
berbentuk maf’ul wahyu ALLAH terhadap Nabi-Nya ini sering di sebut kalam yang
diberikan kepada Nabi.
Dalam
konsep linguistik, wahyu memiliki dua aspek pengertian yang berbeda, tetapi
sama-sama penting. Salah satu konsep tersebut menyangkut konsep firman (kalam).[12]
Menurut
Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah
pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai
keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun
tanpa perantara, bagi Muhammad Abduh fungsi dari
wahyu adalah memberikan informasi tentang alam gahib yang penuh rahasia,
bagaimana mengatur masyarakat manusia dengan baik, menolong manusia menegetahui
akhirat, menjelaskan kepada akal cara – cara beribadah dan berterimakasih
kepada Tuhan.
Definisi lain wahyu ialah
pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat, tetapi kata itu lebih
dikenal dalam arti apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi.[13]
Menurut mu’tazilah wahyu tidak
memiliki fungsi apa – apa, akan tetapi wahyu diguankan untuk mengatahui cara
memuji dan menyembah tuhan wahyu juga digunakan untuk menyempurnakan
pengetahuan akal tentang baik dan buruk serta memberi penjelasan tentang perincian
hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat, dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa wahyu bagi mu’tazilah memiliki fungsi konfirmasi dan
informasi, memperkuat apa – apa yang telah dikatuhi akal dan menerangkan apa-
apa yang belum diteahui akal.
Asy’ariyah berpendapat bahwa
wahyulah yang menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui
tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu, maka dari itu bagi kaum
asy’ariyyah wahyu mempunyai kedudukan yang penting, karena wahyu berfingsi
mengetahui baik dan buruk, kewajiban – kewajiban baik kewajiban mengetahui
tuhan dan kewajiban berterimakasih kepada tuhan atas nikmat yang diturunkannya
kepada manusia, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa al- asy’ariyah lah yang
memberi daya terkecil pada akal.
Menurut aliran maturidiyyah cabang
samarkhan yang berpendapat bahwa wahyu perlu hanya untuk mengetahi kewajiban
tentang baik dan buruk, sedangkan menurut paham buhkara wahyu perlu untuk
mengetahui kewajiban manusia.
Dalam konsep wahyu juga terkandung
pengertian adanya komunikasi anatara Tuhan yang besifat imateri dan manusia
yang bersifat materi, salah satu ayat Al – Qur’an yang menjelaskan cara
terjadinya komunikasi anara Tuhan dan nabi – nabinya adalah : QS. As-syuara [42] : 51 yang artinya
dan tidak mungkin bagi seseorang manusiapun bahwa allah berkata kata dengan dia
kecuali dengan perantara wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus
seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang
dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Uraian dan pendapat meneganai akal
dan fungsi wahyu ini adalah mu’tazilah yang memberi peran terkecil terhadap
wahyu sedangkan golongan asy’ariyah yang
memebri peran tertinggi terhadap akal, bertambah besarnya fungsi wahyu dalam
suatu golongan bertambah kecil pula daya akal dalam suatu golongan tersebut,
sedangkan aliran maturidiyyah membawa pendapat diantara keduanya diantara
mu’tazilah dan asy’ariyyah.
Berdasarkan pendapat muhammad abduh
dan Rasyid Ridla tentang kemempuan akal yang dipahaminya adalah wahyu
memberikan informasi tentang alam ghaib yang penuh rahasia.[14]
bagaimana mengatur masyarakat manusia
dengan baik, menolong manusia mengetahui akhirat, menjelaskan kepada akal cara
beribadah dan berterimakasih kepada Tuhan.
Dari persoalan – persoalan mengenai
akal dan fungsi wahyu yang didefinisikan oleh aliran – aliran diatas inilah yang akan menjadi dan menimbulkan dua
masalah pokok yang masing – masing memiliki dua cabangan yaitu : pertama, masalah mengenai mengetahui
tuhan yang bercabang menjadi mengetahui tuhan husnuk ma’rifatullah dan wujubu
maifatulla, dan bagaimana allah itu atau yang lazim ditanyakan tentang allah.Yang
kedua adalah mengenai baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan
perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, atau juga diesbut ma’rifat al-hasan wa ijtanab al-qabih.
Dalam sistem teologi, golongan yang
memberikan daya terbesar kepada akal dan fungsi terkecil terhadap wahyu seperti
aliran mu’tazilah maka manusia dipandang memiliki kekuasaan dan kemerdekaan,
sedang dalam sistem teologi pula golongan yang memberikan daya terkecil terhadap
akal dan fungsi terbesar terhadap wahyu maka manusia dipandang lemah dan tidak
merdeka.
C.
FREE WILL
Sebagaimana yang telah diterangkan bahwa pada tahun tahun terakhir abad
pertama hijriah kaum muslimin menggeluti
problematika jabar dan ikhtiar. Tentang hal ini ada dua sikap: menerima dan
menolak, kanan dan kiri. Di damaskus, madinah, basrah, para perawi , hadist,
para da’I dan para penguasa ambil bagian dalam masalah ini. Misalnya suau
kelompok lebih condong ke untuk memegangi pendapat tentang adanya kebebasan
berkehendak. Mereka disebut aliran qadariyah karena mereka menetapkan bahwa
manusia memiliki kemampuan atas perbuatan-perbuatannya.[15]
Free
will juga dapat disebut dengan Qadariyyah
sedangkan pengertian qodariyah secara etimologi ialah qadariyah berasal dari
bahasa arab, yaitu qadar yang bermakna kemampuan dan kekuatan.
Sedangkan secara
terminologi Qadariyyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi tangan tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta dari segala perbuatannya sendiri, manusia dapat berbuat
sesuatu ataupun meninggalkan sesuatu
atas kehendaknya sendiri. Manusia bebas berbuat dan bebas memilih apa
yang ingin dikerjakannya. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan
manusia dalam mewujudkan perbuatn –perbuatannya.
Manusia diciptakan sesuai dengan sifat-sifat dasar yang khusus baginya
dan dua diantaranya, menurut Muhammad Abduh, adalah berpikir dan memilih
perbuatan yang sesuai dengan pemikirannya. Muhammad Abduh percaya bahwa alam
diatur berdasar hukum ciptaan tuhan. Sehubungan dengan kepercayaan Muhammad
Abduh pada hukum alam (sunatullah) itu berpendapat bahwa sesuatu yang terjadi
tidak dapat terlepas dari hukum sebab akibat. Misalnya oang yang ingin berbahagia,
maka ia harus berusaha untuk mncapai kebahagiaan itu. Hal ini berarti
menandakan bahwa manusi amempunyai kebebasan untuk memilih. [[16]]
Berkaitan dengan ini Rasyid ridla berpendapat bahwa sesuatu yang terjadi
itu sesuai dengan ada dan adar tuhan dan mempunyai sebab akibat. Jadi, beliau
mengakui sebab akibat, begitu pula sunatullah,disamping qada dan qadar,
sehingga manusia tidak bebas sepenuhna. Inilah yang menyebabkan Rasyid Ridla
dikatakan percaya pada qada dan qadar, tetapi tidak fatalisme karena ia
mengakui adanya hukum kausalisme. [[17]]
Harun Nasution
menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan, Sebab itulah faham seperti ini
dinisbatkan dengan istilah qadariyah.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr.
Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan
bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam
melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua
perbuatan, entah perbuatan baik atau itu perbuatan buruk.
Sejarah kemunculan Qadariyah menurut ahli teologi pertama
kali dimunculkan oleh ma’bad Al- Jauhani
dan Ghailan ad-Dimsayqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan
pernah berguru kepada Hasan
Al-bisri
sementara, Ghailan
adalah seorang orator yang berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula
Utsman bin affan.
Mengenai tentang pertama kalinya muncul faham Qadariyyah
ini menurut Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh al-uyun, yang memberi informasi
bahwa pertama kali yang memunculkan faham Qadariya ini ialah orang irak yang
semula beragama kristen kemudian memeluk agama islam lalu kemabli lagi ke agama
kristen.
Akan tetapi pendapat ini dapat ditepis dengan pendapat yang
menyatakan bahwa Ma’bad Al- jauhani dan Ghailan ad-Dimasyqi adalah penganut
paham qadariyah yang hidup sesudah Hasan Al-basri.
Terlepas dari sejarah kemunculan aliran Qadariyah, aliran
ini memiliki doktrin – doktrin yang terdapat dalam kitab Al – Milal wa An –
nihal pembahasannya disatukan dengan pembahasan tentang Doktrin – doktrin yang
dimiliki oleh Mu’tazilah, ahmad amin juga menyatakan bahwa doktrin qodar lebih
luas dan dikupas oleh kalangan Mu’tazilah.
Akibatnya seringkali orang – orang menamakan Qadariyah
dengan Mu’tazilah dikarenakan kedua aliran ini sama –sama mempercayai bahwa
manusia sendiri yang mempunyai kemempuan untuk menunjukkan tindakan tanpa
campur tangan tuhan.
Harun Nasution yang menjelaskan pendapat Ghalian tentang
ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia
sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya
sendiri, dan manusialah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat
atas kemauan dan dayanya sendiri.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk meninggalkan atau
melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan baik maupun
perbuatan jahat. Yang disebut
sebagai ganjaran kebaikan di sini
disamakan dengan ganjaran surga kelak di akherat dan balasan siksa neraka kelak
di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir
Tuhan.
Berikut
ini adalah potongan pedoman aliran penganut free will :
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada
peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya
(kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali
Imran :165)
Manusia juga ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif,
demikian juga dengan anggota tubuh yang juga dapat dilatih terampil sehingga
dapat membuat sesuatu.[18]
Dengan demikian dan darisinilah manusia terlihat semakin besar dan bebas
wilayah kebebasan manusia.
Sedang konsep takdir menurut aliran Qadariyah ialah paham
yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam
perbuatan – perbuatan manusia hanya bertindak menuerut nasib yang telah
ditentukan semenjak zaman ajali terhadap dirinya. Dalam konsep Qadariyah,
takdir allah adalah ketentuan allah yang diciptakan – Nya dan berlaku untuk
alam semesta beserta seleuruh isinya semenjak ajal, yaitu yang berupa hukum
yang dalam istilah ialah Al –Qur’an adalah sunnatullah.
Dengan pemahaman seperti ini kaum Qadariyah berpendapat
bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia
kepada tuhan. Qadariyyah juga memliki tempat pijakan untuk memperkokoh
pendapatnya dengan ayat – ayat Al- Qur’an :
Surat Al – Kahfi (18) : 29
فَمَنْ
شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاء فَلْيَكْفُرْ
Artinya:
“Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barang
siapa yang ingin kafir maka biarlah ia kafir”. ( Q.S Surat Al Kahfi: 29).
Menurut qadariyah, dalam ayat ini iman dan kafir seseorang tergantung
pada orang itu, bukan lagi kepada tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang
menentukan bukanlah Tuhan.
Lebih lanjut Al Jabbar mengemukakan tentang
manusia yang berbuat jahat atau buruk kepada manusia, maka perbuatan itu mesti
perbuatan tuhan. Jika demikian, Tuhan bersifat zalim. Padahal menurut akal
tidak mungkin tuhan bersifat zalim. Ayat yang dapat dijadikan argumentasinya
adalah surat As Sajdah ayat 7:
الّذِي أَحْسَنَ
كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ
Artinya:
“Yang membuat segala sesuatu yang
dia ciptakan sebaik baiknya” (QS As Sajdah:7)
Ayat diatas mengandung dua arti.
Pertama: ahsana yang berarti berbuat
baik dan dengan demikian semua perbuatan tuhan merupakan kebajikan kepada
manusia,dan ini tidak mungkin, karena diantara
perbuatan perbuatan tuhan ada yang merupakan perbuatan perbuatan jahat, misalnya
siksaan yang diberikan tuhan kepada manusia. Oleh karena itu arti ahsana didini
adalah artian yang kedua yaitu berbuat baik. Semua perbuatan tuhan adalah
perbuatan baik, dengan deikian perbuatn perbuatn manusia bukanlah perbuatan
tuhan karena diantara perbuatn manusia terdapat perbuatan jahat.
Kemudian pada ayat
إِنَّ
اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتىَّ يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya:
“sesungguhnya allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali jika bangsa
itu mau meubahnya sendiri”.
Dengan demikian paham qadariyah memiliki
dasar yang kuat dalam islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian
orangnmenilai paham ini sesat atau keluar dari islam.
Manusia akan mendapatkan
hukuman karena ikhtiar atau usahanya
yang tidak baik dan akan diberi karunia Tuhan atas ikhtiar dan usahanya yang
baik itu, hal ini sesuai dengan firman-Nya:
لَهَا
مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ
Artinya:
“ia mendapat
pahala (dari kebajikan yang dilaksanakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan ) yang dikerjakannya”. (QS. Al Baqarah:286)
D.
PREDESTINATION
Kata jabariyah berasal dari kata
Jabara yang berarti “memaksa”. Didalam Al – Munjid juga dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung artian memaksa dan mengharuskan melakukan
sesuatu. Istilah
jabar dapat diartikan dengan menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyadandarkan semua perbuatan manusia kepada allah.[19]
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang
menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari awal oleh
Qadha dan Qadar Allah. Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak
mempunyai kebebasan dalam berbuat.
Menurut yahya al dimasyqi jabariah
adalah perbuatan yang terjadi tanpa terasa seperti pertumbuhan tumbuh. Atau
yang berada di bawah pengaruh kebutuhan alami seperti makan, minum, atau karena
kesalahan yang tidak disengaja seperti orang yang melepaskan anak panah
diarahkan kepada binatang buruan tetapi (kebetulan) mengenai manusia. Perbuatan
perbuatan jabariyah adalah perbuatan –perbuatan Allah.[20]
Manusia melakukan sesuatu karena
terpaksa, dan tidak bebas memilih. Karena manusia tidak mempunyai kehendak dan
kemampuan, tidak bisa apa apa kecuali yang dikehendaki oleh allah, tidak
mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu, tetapi semua perbuatan diciptakan oleh
Allah, disebut dengan aliran Jabariah. Aliran ini dipimpin oleh al Jahm bin
Safwan.[21]
Ada yang
berpendapat bahwa munculnya paham Jabarriyah bermula dari persoalan takdir Tuhan
dengan kaitannya perbuatan manusia. Persoalan ini dalam sejarah perkembangan
teologis dianggap sebagai persoalan teologis yang kedua, sedangkan bibit
perdebatan tentang persoalan takdir tersebut sudah berpangkal dari zaman Rosulullah.
Tetapi karena Rosulullah sendiri membatasi dan melarang untuk membicarakan
secara serius persoalan tersebut menjadi lebih tidak berkembang.adanya larangan
dari Rosulullah tersebut karena dikhawatirkan akan terjadi kebingungan dan
kesalahpahaman di umat islam. Sehingga Rosulullah hanya menganjurkan agar
mengimani takdir dan melarang untuk memperbincangkan lebih jauh, karena
dikhawatirkan akan membingungkan dan
mendorong timbulnya perpecahan. [22]
Namun
setelah umat islam tidak lagi dalam satu kondisi teologis yang utuh dan suadah
bercampur dengan teologis lainya, persoalan ini mencuat kembali ke permukaan,
akhirnya persoalan tersebut didiskusikan melalui renungan teologi teosofi.
Paham ini muncul sejak zaman Rosulullah
dan masa Bani Umayyah. Ketika para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan
kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Menurut Abu
Zaharah dan al-Qasimi tokoh yang mendirikan aliran ini adalah Jahm bin Safwan,
aliran ini muncul bersamaan dengan aliran Qadariayah.
Paham Al – jabar pertama kali muncul
dibawa oleh Ja’d bin Dirham dan kemudian di sebarkan oleh Jahm bin Shafwan ,
dalam catatan sejarah teologi islam Jahm bin shahwan tercatat sebagai tokoh
yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah.
Diriwayatkan
‘ibn Abdullah Bin Abbas pernah berkata,
“ketika saya duduk bersama ayahku , seorang laki-laki datang seraya berkata
wahai Ibn Abbas di daerah ini ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa
mereka merasa dari pihak allah dan allah memaksa mereka untuk melakukan
perbuatan maksiat. ‘’ayahku berkata, jika saya mengetahui disini ada orang yang
seperti itu akan kucekik lehernya sampai mati. Janganlah kamu mengatakan bahwa
allah memaksamu untuk melakukan perbuatan maksiat, dan jangan pula kamu
mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang dilakukan hamba-Nya, karena
itu berarti kamu, merasa lebih tinggi dari Allah.
Dari
penjelasan diatas terbukti bahwa paham jabariyah sudah bermunculan pada masa
sahabat, bahkan dianut oleh orang orang musryik. Namun pada masa pemerintahan
bani umayyah, paham ini sudah berkembang
menjadi suatu madzhab yang memiliki banyak pendukung. Mereka menyiarkan,
mempelajari, dan menyebarkannya kepada masyarakat.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah
muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa
Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar
dalam cara hidup mereka.
1. Doktrin – doktrin pokok Jabariyah.
Setiap aliran memilki faham yang mereka anut dan mereka
jalankan sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing. Meskipun sebuah aliran
sudah tidak ada, namun faham-faham aliran tersebut tetap ada dan terus bergulir saling mempengaruhi dari
generasi ke generasi. Misalnya adalah ajaran jabariyah, meskipun secara jelas
aliran jabariyah ini sudah hampir tidak dijumpai lagi, namun faham-fahamnya
masih ada. Sejalan dengan faham jabariyah ini adalah faham Fatalism.
Disamping itu juga ada beberapa golongan yang memilki pemahaman yang serupa
dengan jabariyah, dan dalam jabariyah itu sendiri terbagi menjadi 2 kelompok
yaitu jabariyah ekstrem dan Moderat [23]
a.
Kelompok Ekstrem
Faham ekstrem ini yang menyatakan bahwa segala perbuatan
manusia bukan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang
dipaksakaan atas dirinya. Bahkan meski orang tersebut melakukan perbuatan
mencuri atau buruk yang lain itu bukan berasal dari dirinya melainkan Qadha dan
qadar Tuhan yang telah menghendaki demikian.
Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan.
Memang dalam aliran ini terdapat faham yang memandang bahwa manusia dalam
mengerjakan perbuatanya terpaksa (majbur) dalam istilah inggris faham fatalism atau predenstination. Menurut faham ekstrem ini, segala
perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya
sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Manusia,
dalam faham ini hanya merupakan wayang yang digerakkan
oleh sang dalang. Sebagaimana manusia digerakan oleh Tuhannya. Tanpa gerak dari
Tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa.
Sedangkan menurut Jahm manusia tidak memilki kekuasaan untuk berbuat
apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak memilki kehendak
sendiri dan tidak mempunyai kekuasaan serta tidak memilki pilihan.[24] Manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa
dengan dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Perbuatan-perbuatan
diciptakan tuhan dalam diri manusia, tak obahnya dengan gerak yang diciptakan
Tuhan dalam benda-benda mati. Syurga dan neraka menurut Jahm adalah tidak kekal
yang kekal hanyalah Tuhan.
Iman adalah makrifat atau membenarkan dalam hati, dalam pendapat ini Jabariyah
sependapat dengan kaum Murji’ah.
Sedangkan kalam tuhan menurut faham ini adalah makhluk, Allah
mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia, seperti berbicara,
meihat dan mendengar begitu pula tuhan tidak dapat dilihat dengan indra mata di
akhirat kelak.
Sedangkan
menurut Ja’d
Bin
Dirham,
doktrin pokok Jabariyah
secara umum sama denga Jahm yaitu :
a)
Al – Qur’an adalah makhluk, oleh karena itu dia baru dan
sesuatu yang baru tidak dapat disifatkan kepada allah.
b)
Allah tidak
memiliki sifat yang
serupa dengan makhluk, seperti dapat berbicara mendengar dan melihat.
c)
Manusia
terpaksa oleh allah dalam segala – galanya.
b. Kelompok
Moderat
Berbeda dengan Jabariyah ekstrem,
Jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik
perbuatan jahat maupun perbuatan baik, akan tetapi manusia masih memiliki
bagian di dalamnya, tenaga yang diciptakan manusia memiliki efek untuk
mewujudkan perbuatan baik, inilah yang disebut kasab, menurut paham kasab
manusia tidak majbur, tidak sperti wayang yang diterkendali secara total
ditangan dalang yang tidak memiliki daya apapun.
Faham moderat ini dipelopori beberapa tokoh
antara lain Dirar dan al-Najjar yang berpendapat bahwa:
a. Tuhan menciptakan perbuatan manusia, tetapi
manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatannya, jadi manusia
dalam faham An – Najjar bukan lagi wayang yang seluruh gerakannya tergantung
dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam manusia memiliki efek
untuk mewujudkan perbuatannya.
b. Tuhan juga tidak dapat dilihat di
akhirat. Akan tetapi An – Najjar menyatakan bahwa Tuhanlah
yang memindahkan potensi hati pada mata sehingga pada alkhornya manusia dapat
melihat Tuhan.
Tokoh
selanjutnya ialah Dhirar bin Amr, pendapatnya sama dengan An – Najjar, yaitu
bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia
memiliki perwujudan dalam perbuatannya. Ia juga mengungkapkan bahwa satu
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku.[25]
Dari keterangan
diatas menjelaskan bahwa suatu perbuatan manusia tidak hanya Tuhan
yang menentukan akan tetapi manusia juga turut berperan dalam perbuatan
tersebut. Mengenai ru’yat Tuhan
di akhirat ia juga berpendapat bahwa Tuhan akan dapat dilihat di akhirat
kelak dengan menggunakan indra keenam, ia juga berpendapat bahwa hujjah yang
diterima oleh nabi adalah ijtihad, dan hadist ahad tidak dapat dijadikan sumber
dalam menetapkan hukum.
Sebagian pengikut jabariyah
beranggapan telah bersatu dengan tuhan. Disini menimbulkan faham wihdatul
wujud, yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan. I’tikad persatuan antara klasik dan
makhluk adalah itiqad yang keliru, karena tuhan tidak serupa dengan sesuatupun
di alam ini
Paham jabarriyah ini diduga sudah
ada sejak sebelum islam datang di masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang
diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberi pengaruh besar ke dalam cara
hidup mereka dengan dihadapkan alam yang
begitu panas, dan ganas. Sehingga menyebabkan jiwa mereka merasa dekat
dengan dzat yang maha pengasih dan
penyayang. Dengan suasana alam yang demikian menyebabkan mereka tidak punya
daya dan kesanggupan apa apa, melainkan semata mata patuh, tunduk dan pasrah
kepada allah dan kehendak-Nya, dan dalam al quran sendiri banyak yang memuat
ayat ayat yang dapat membawa kepada timbulnya paham jabarriyah, antara lain:
وَاللهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya:
“dan Allah menciptakan apa yang kamu
perbuat”
Maksud dari wa ma ta’maluun di sini adalah apa yang kamu perbuat bukan apa yang
kamu buat. Dengan demikian mengandung arti Allah menciptakan kamu dan
menciptakan perbuatan kamu.
Jabarriyah atau predestination
beranggapan manusia itu lemah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung
pada kehendak dan kekuasaan tuhan. Yang menciptakan perbuatan manusia adalah
tuhan, manusia disisni tidak mempunyai kehendak untuk menciptakan perbuatannya.
Adapula pada QS Al Insan:30
وَمَا تَشآَءُوْنَ اِلَّا اَنْ يَشَآء اللهُ
Artinya:
“tetapi kamu tidak mampu (menempuh
jalan itu), kecualai apabila dikehendaki allah.
Dapat diartikan bahwa manusia tidak
bisa menghendaki sesuatu, kecuali bila allah menghendaki manusia supaya menghendaki
sesuatu itu. Jadi seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke mekkah, kecuali
jika tuhan menghendaki seseorang itu supaya berkehendak pergi ke mekkah. Ini
jelas mengandung arti kehendak manusia sebenarnya tidak lain dari kehendak Tuhan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Dari
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan :
Di
kalangan Mu’tazilah akal memiliki kedudukan yang sangat tinggi hal ini
dikarenakan dasar – dasar pengetahuan dapat diketahui oleh akal seperti
perbuatan baik dan buruk, serta akal juga wajib mengetahui tuhan sebelum wahyu
turun, dan fungsi wahyu hanyalah menyempurnakan apa yang telah diketahui oleh
akal.
Sedangkan
dalam konsep asy’ariyyah fungsi wahyulah yang memiliki kedudukan tertinggi dan
daya akal hanya membantu saja karena menurut mereka akal tidak dapat mewajibkan
dan tidak bisa menetapkan sesuatu yang dapat menetapkan adalah wahyu, dalam al
– asyari akal diwajibkan untuk mengetahui Tuhan melalui wahyu.
Dari
pendapat dua aliran diatas dapat kita lihat bahwa bertambah besarnya fungsi
yang diberikan kepada wahyu maka bertambah kecil daya akal di suatu aliran
tersebut serta kebalikannya.
Free
will atau yang disebut dengan Qadariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbuatannya dan manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusialah yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Dan konsep takdir menurut aliran ini adalah takdir Allah adalah ketentuan allah yang
diciptakan – Nya dan berlaku untuk alam semesta beserta seleuruh isinya
semenjak ajal.
Dan
predestination atau Jabariyyah yang berpendapat beda dengan Qadariyah mengenai
perbuatan manusia, yaitu perbuatan dari
manusia dan menyadandarkan semua perbuatan manusia kepada allah. Akan tetapi
karena ada perbedaan pendapat maka aliran ini terpecah menjadi dua yaitu :
Jabariyah ekstrem dan moderat.
Jabariyah ekstrem berpendapat bahwa manusia seperti
wayang dalam melakukan seluruh perbuatannya, manusia digerakkan oleh dalang
atau disetiap perbuatannya diciptakan oleh Tuhan. Menurut mereka syurga dan neraka tidak kekal
yang kekal hanyalah allah, iman adalah membenarkan dalam hati, kalam allah
adalah makhluk dan allah tidak dapat dilihat di akhirat kelak.
Sedangkan jabariyah moderat berpendapat bahwa tidak
hanya Tuhan yang
berperan dalam perbuatan manusia akan tetapi tenaga yang diberikan oleh tuhan
juga berperan dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Dan menegnai ru’yat tuhan
adalah tuhan dapat dilihat di akhirat kelak melalui indra keenam.
B.
Saran
Menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, kami mengahrap saran terhadap
penulisan ini agar kami dapat
memperbaiki dan mengembangkan penulisan pada makalah makalah selanjutnya.
Anwar,
Rosihon; Abdul Rozak. Kamus Istilah
Teologi Islam. Bandung: Pustaka
setia. 2002.
Esha, Muhammad in’am. Teologi Islam. Malang: UIN Malang PRESS.
2008.
Fadil, Aziz. Teologi Islam. Yogyakarta: BPFE. 1983.
Madkour, Ibrahim. Aliran Dan Teori Filsafat Islam.
Jakarta: Bumi Aksara. 2004.
Muchtar,Adeng.
Perkembangan Ilmu Kalam. Bandung:
Pustaka setia. 2005.
Muktafi, Achmad Amir. Teologi Islam Modern. Surabaya: Gitamedia Press. 1999.
Munir, Ahmad. Teologi Dinamis. Ponorogo: STAIN Po PRESS. 2010.
Nasir, Sahilun
A. Pemikiran Kalam Teologi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2010.
Nasution,
Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI
Press.1972.
Nasution,Harun.
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta:
UI Press. 1987.
Syukur,
Asywadie. Al Milal wa Al Nihal. Surabaya: PT Bina Ilmu.
[1]
Ahmad munir, Teologi Dinamis (ponorogo: STAIN PO
PRESS 2010), 1.
[2]
Harun Naution, Teologi Islam ( Jakarta: UI Press, 2010)
,81
[3]
A Aziz Fadil, Teologi Islam Menuju Dunia Yang Diridhoi
Tuhan (Yogyakarta : BPFE Yogyakarta 1983) , 9
[6]
Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam Teologi Islam ( Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada 2010), 24.
[9]
Harun Nasution, op.cit.
hal 94
[10]
Ibid., hal 174
[12] Adeng Muchtar, op.cit. hal
65.
[15]
Ibrahim Madkour, Aliran dan
Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara 2004), 152.
[16] Muktafi Sahal, op.cit , hal 42.
[17]
Ibid.,hal 42-43
[20]
Ibrahim Madkour, op.cit, 150.
[21] Ibid., hal 153.
[23] Abdul Rozak, op.cit. hal 84
Komentar
Posting Komentar