Artikel_SISTEM PERGANTIAN KEPALA NEGARA MASA KHULAFURRASYIDIN: KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA

SISTEM PERGANTIAN KEPALA NEGARA MASA KHULAFURRASYIDIN: KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA

Ali Hasan Assidiqi (16110048) dan Mochamad Ilham Akbar (16110093)
Mahasiswa PAI-B UIN Maualana Malik Ibrahim Malang
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

Abstract
This article talks about the changing of the system the head of state about the time Khulafurrasyidin is seen in terms of the concept and its implementation towards life today. We certainly know that in history since his death Prophet Muhammad saw many among the companions of the Islamic community and confused against who will be the leader of Islam. From the confusion, then after her personalities of the leaders who has the knowledge and insight that high is known as Khulafurrasyidin. Them there are four figures which include Abu Bakar Ash Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, and Ali bin Abi Talib. Of the four leader the caliph, that described in any caliph has the history and concept of the turn with different kondition different communities. Of the differences that appeared, then many problems that exist, so at the time of the caliph Ali bin Abi Talib came a group of streams of different religions. They are Siah, khawarij, and mu'awiyah. Of all the differences that then should we currently muslims learn implies in everyday life. The goal of the thing, so that makes us as caliph in earth science will be full of goodness that accompanied the worship to Allah Swt.
Keywords: The System Succession to the Caliphate and Khulafurrasyidin.

Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai tentang sistem pergantian kepala negara masa Khulafurrasyidin yang dilihat dari segi konsep dan implementasinya terhadap kebijakan serta kehidupan saat ini. Kita pasti tahu bahwa dalam sejarah semenjak wafatnya Nabi Muhammad Saw banyak kalangan sahabat dan masyarakat Islam bingung terhadap siapa yang akan menjadi pemimpin Islam. Dari kebingungan tersebut, maka setelah rasulallah diangkatlah para pemimpin yang mempunyai ilmu dan wawasan yang tinggi yang dikenal sebagai Khulafurrasyidin. Mereka terdapat empat tokoh yang meliputi Abu Bakar Ash-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib. Dari empat pemimpim khalifah tersebut, bahwa dijelaskan dalam setiap khalifah memiliki sejarah dan konsep pergantian yang berbeda dengan kondisi masyarakat yang berbeda pula. Dari perbedaan itulah, maka banyak mucul problematika yang ada, sehingga pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib muncullah sekelompok aliran agama yang berbeda. Mereka adalah syiah, khawarij dan muawiyah. Dari segala perbedaan itulah maka seharusnya kita saat ini umat muslim belajar mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya dari hal tersebut, agar menjadikan kita sebagai khalifah di bumi yang penuh akan ilmu kebaikan yang disertai ibadah kepada Allah.
Kata Kunci: Sistem Pergantian Khalifah dan Khulafurrasyidin.


A.    Pendahuluan
Dalam tinjauan sejarah, tercatat bahwa setelah wafatnya rasulallah Saw, banyak dari kalangan sahabat dan muslim turut berduka cita atas wafatnya rasulallah. Bahkan dalam kejadian tersebut, banyak para muslim dan sahabat bingung dalam memikirkan siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. Dalam hal ini, rasulallah bukan hanya pemimpin negara, akan tetapi juga pemimpin agama.[1]
Ketika semuanya dalam keadaan sedih, maka Abu Bakar memberikan sebuah pencerahan dengan ucapan yang pernah rasullah ucapkan. Dari ucapan tersebut, akhinya kaum muslim dan sahabat tenang dan memikirkan untuk pemakaman rasulallah. Dikala itu juga, masyarakat muslim mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah dalam menjalankan visi dan misi Agama Islam. Dari situlah maka secara bergantian terjadinya pergantian khalifah dengan berbagai konsep tersendiri hingga sampai pada khalifah terakhir dalam Khulafurrasyidin yaitu Ali Bin Abi Thalib.
Dalam sistem Khulafurrasyidin terbagi menjadi empat khalifah hebat yang menggantikan Nabi sebagai pemimpin di bidang agama dan politik pemerintahan. Keempat khalifah tersebut adalah Abu  Bakar As-Siddiq  (632-634 M), Umar bin Khattab (364-644 M), Usman bin Affan (644-656 M), dan Ali bin Abi  Talib  (656-661 M).[2] Dalam pandangan  Akbar S. Ahmed, mereka  dianggap sebagai representasi dari pemimpin yang ideal, sehingga dikenal bijaksana dalam  menjalankan roda pemerintahannya setiap waktu dan mendapatkan gelar Khulafurrasyidin.[3] Sejarah kepemimpinan Khulafurrasyidin tersebut tidak  mungkin dapat diingkari, sebab memang seperti itulah yang tertulis dalam berbagai buku sejarah di dunia. Namun dibalik kepemimpinan tersebut banyak yang terjadi problematika dari segala penjuru kalangan yang  menyebabkan peperangan diantara kaum muslim. Dari peperangan tersebut, maka pada khalifah terakhir ditegaskan bahwa terdapat beberapa aliran yang mucul seperti: Syiah, Khawarij dan Muawiyah.
Oleh karena itu, dalam artikel ini akan dijelaskan secara terperinci tentang bagaimana konsep sistem pergantian dari masing-masing khalifah dengan berbagai macam kondisi hingga munculnya beberapa perbedaan pendapat serta perang antar sesama umat muslim. Hal tersebut penulis tulis agar selain kita mengetahui, juga agar kita impelementasikan serta mengambil hikmahnya untuk pondasi dalam kehidupan era modern saat ini.

B.     Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
1.      Konsep Pengangkatan Khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq
      Rasulallah Saw wafat tanpa meninggalkan wasiat kepada sekelompok orang untuk kepemimpinannya (kekhalifahan). Sekelompok orang berpendapat bahwa Abu Bakar lebih berhak atas kekhalifahan karena rasulallah meridhoinya dalam soal-soal agama, salah satunya dengan memintanya menjadi imam shalat berjamaah selama beliau sakit. Oleh karena itu mereka menghendaki agar Abu Bakar lah yang memimpin dalam menjadi khalifah.[4]

      Masalah yang cukup menegangkan pada waktu itu adalah ketidak jelasan Nabi dalam memberikan petunjuk bahwa siapa yang akan meneruskan beliau dalam masalah kepemimpinan, kecuali melalui tradisi musyawarah dan mewariskan kitabullah. Namun ada 4 kelompok yang membicarakan tentang pengganti nabi tersebut, yaitu: (1) Kaum Anshar yang di pelopori Saad bin Ubadah, yang mengambil tempat di Saqifah Bani Saidah, (2) Kaum Muhajirin yang diwakili oleh Usaid, Abu Bakar dan Umar bin Khattab, (3) Keluarga dekat Nabi Saw, yaitu Ali, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah, (4) Kelompok Aristokrat Mekkah, yaitu kelompok yang belakangan masuk Islam setelah Mekkah ditaklukan.
      Pada saat musyawarah di Saqifah, awalnya pembicaraan terjadi secara intern antara kaum Anshar, namun akhirnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab menggabungkan diri mengingat takut terjadinya pengambilan secara sepihak oleh kaum Anshar. Pada awal pembicaraan masih diwarnai dengan berbagai golongan, Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin masih menganggap kelompoknya paling baik sehingga berhak menduduki kursi kekhalifahan.
      Dilihat dari alur pengambilan keputusan tersebut, maka tahap pembicaraan dapat di deskripsikan sebagai berikut:
a.       Kaum Anshar, dengan juru bicara Saad bin Ubadah mengemukakan: Anshar lah yang berhak menduduki kursi Amir (Pemimpin), untuk itu dia menawarkan Muhajirin pada kursi Wazir.
b.      Abu bakar, juru bicara Muhajirin menganggap bahwa kaum Muhajirin lah yang berhak yang paling berhak menduduki kursi Amir, namun beliau juga tetap memuji Kaum Anshar sebagai saudara Muhajirin. Untuk itu dia menawarkan kursi Wazir untuk kaum Anshar.
c.       Pembicaraan tahap ketiga usul Abu Bakar ditolak oleh Anshar yang diwakili oleh Hubab bin Mundir dan mengajuan usul baru supaya masing-masing mengangkat Amir sendiri- sendiri.
d.      Usul tersebut di tolak oleh Abu Bakar dan mengusulkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidillah bin Jarrah. Namun akibat putusan tersebut, timbullah situasi yang menegangkan dan keributan dan Anshar mealakukan lobi guna ketenangan dan akhirnya menyerahkan kepemimpinan kepada Kaum Muhajirin.
e.       Usul terakhir yang netral berasal dari Umar bin Khattab yang mengajukan Abu Bakar sebagai Khalifah dengan alasan karena kelebihannya yang dimiliki, yaitu: dialah satu-satunya orang yang mengikuti Nabi sewaktu berada di Gua Hira (pada saat yang paling menegangkan selama Nabi hijrah), dialah sahabat yang diperintah oleh Nabi guna menggantikan Nabi Muhammad sebagai imam shalat berjamaah, dan dialah yang paling dekat dengan Nabi Muhammad Saw. [5]
Pada saat di Saqifah di rumah Sa’ad bin Ubadah, para sahabat berkumpul untuk membai’at Abu Bakar sebagai Khalifah. Setelah itu Abu Bakar naik keatas mimbar, kemudian mencari Zubair dan mengatakan “Wahai pengawal dan sepupu Rasulullah, apakah kamu ingin memecah belah kaum muslim” maka Zubair menjawab “Jangan lah engkau menghukumku wahai khalifah rasul!”, maka Zubai berdiri dan membai’at Abu Bakar, begitu juga Ali, Abu Bakar berkata “Wahai sepupu dan Menantu Rasulullah, apakah kau ingin memecah belah kaum muslim?” Ali menjawab “Tidak, janganlah engkau menghukumku wahai khalifah Rasulullah” Maka Ali segera membai’atnya.[6]
Abu Bakar bergelar “Khafilah Rasulillah” atau khalifah. Meskipun dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa kedudukan nabi sesungguhnya tidak akan pernah tergantikan, karena tidak ada seorang pun yang menerima ajaran tuhan sesudah Muhammad. Sebagai penyampai wahyu yang diturunkan dan sebagai utusan tuhan yang tidak dapat diambil alih seseorang, maka menggantikan Rasul (Khalifah) hanyalah melanjutkan perjuangan nabi. [7]
2.      Implementasi dari ke Khalifahan Abu Bakar Ash Siddiq
Dari semua kebijakan khalifah abubakar terdapat Implementasi kekhalifahan sangatlah jelas yang wajib kita tiru sebagai pemimpin dan masyarakat. Dimana Abu Bakar sebelum menjadi khalifah beliau adalah orang yang taat pada agama dan pemimpin dalam hal kebaikan. Dalam hal ini, jika kaitkan dengan sekarang tentu banyak para rakyat yang malah tidak senang karena alasan tidak baik seperti dendam, karena bukan keluarga dll. Padahal jika mengambil dari abu bakar seharusnya kita menjadi rakyat yang mampu mendukung kebijakan pemerintah (baik) bukan menolak dan memberontak yang berakibat pada kerusakan dan kemunduran.
 Sedangkan ketika beliau menjabat menjadi khalifah, beliau melakukan beberapa cara dalam menumpas segala bentuk kesalahan agar bisa kembali ke jalan Islam. Implementasi yang dapat kita conroh dari hal tersebut terletak bagaimana beliau yang sangat yaqin terhadap nabi dan tidak pernah sedikitpun ragu dalam memperjuangkan agama Allah sehingga disebut Ash-Siddiq yang memiliki arti terpecaya atau benar. Bukan hanya itu, ketika beliau memimpin ataupun dipuji rasul, Abu Bakar tidak pernah pamer namun beliau tetap merendahkan diri dan mengingikan teguran ketika salah. Oleh karena itu sebagai pemimpin harus memiliki sifat yang dimiliki oleh Abu Bakar tersebut, agar menjadi pondasi bagi masyarakatnya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Jika kita simpulkan secara terperinci maka ada 3 hal yang harus kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang meliputi[8]:









C.    Khalifah Umar bin Khattab
1.      Konsep Pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab
Pemilihan Khalifah Umar bin Khattab sebagai khalifah berbeda dengan cara pemilihan khalifah sebelumnya (Abu Bakar). Sebagaimana uraian terdahulu, Abu Bakar terpilih melalui musyawarah mufakat dalam forum terbuka yang berada di Saqifah dan kondisi keislaman yang sedang ada dalam kefakuman. Sedangkan Umar bin Khattab dipilih sebagai khalifah dan ditunjuk untuk menduduki jabaatan tersebut oleh Abu Bakar yang masih sedang menjabat (masih hidup). Menurut MacDonald bahwa tindakan Abu Bakar itu merupakan hak khusus (sebagai khalifah). Sungguh demikian hak khusus itu di batasi dengan syarat tertentu, yaitu : (1) yang ditunjuk bukan anaknya sendiri dan (2) yang ditunjuk ialah orang yang jelas-jelas dapat membangun negara dengan baik dengan syarat : kejeniusannya, dedikasinya yang tinggi dan rupanya sahabat Umar memenuhi kriteria tersebut.[9]
Pada awalnya terdapat berbagai keberatan mengenai pengangkatan Umar bin Khattab dari masing-masing sahabat misalnya sahabat Thalhah. Namun, karena Umar memang lebih pantas menduduki kursi kekhalifahan, maka, pembai’at an Umar mendapat persetujuan dari seluruh masyarakat Islam. Umar bin Khattab menyebut dirinya “Khalifah Khilafati” dan yang artinya (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga mendapat gelar “Amirul Mukminin” atau (komandan orang-orang yang beriman).
      Abu Bakar memilih khalifah Umar bin Khattab karena berbagai argumentasi yang kuat dan rasional, yaitu: (1) situasi politik didalam negeri masih dianggap, karena banyak petinggi negeri yang menginginkan kursi kepemimpinan (2) trauma psikologis yang dialami Abu Bakar pada di Saqifah (3) negara dalam kondisi perang yang memiliki 2 kubu militer yaitu yang perang di Persia dan Iraq.
2.      Implementasi dari ke Khalifahan Umar bin Khattab
      Dari segala kebijakan umar, dalam hal implementasi yang bias kita contoh juga tidak jauh berbedadengan khalifah Abu Bakar. Semua itu terdapat dalam dua hal yang meliputi sebelum menjadi khalifah dan setelah menjadi khalifah.
      Ketika sebelum menjadi khalifah, implementasi yang patut kita contoh adalah keberaniaanya dalam mengusulkan pendapat dan mendukung penuh agama Islam. Jika kita kaitkan dengan zaman ini tentu banyak perbedaan dimana kalau sekarang tidak berani berusul dan juga tidak mau berjuang bersama-sama. Padahal Khalifah Umar sudah memberikan contoh.
      Sedangakan implementasi dari kebijakan ketika menjadi Khalifah Umar banyak sekali seperti: membuat dasar-dasar pemerintahan untuk melayani tuntutan-tuntutan masyarakat, untuk itu Umar mendirikan baitul mal, mencetak mata uang, membentuk kesatuan tentara, mengatur gaji, mengangkat hakim, inovasi bidang pendidikan, militer, pemerintah dan lainnya. Jika kita implementasikan dari diatas maka dapat kita tuangkan bagaimana cara sebagai pemimpin bisa lebih mementingkan masyarakat demi kemajuan dan kedaimaan dengan berbagai cara baru (lebih baik). Dimulai dari pembangunan yang sifatnya lebih utama hingga yang sifatnya adalah tambahan.

Khalifah Umar Bin Khattab

 
      Bukan hanya itu, dalam buku “Karakteristik Penghidup Khalifah Rasulallah” yang dikarang oleh Khalid Muhammad Khalid dijelaskan bahwa tokoh pemimpin jarang istirahat dan tidak pula memiliki harta lebih namun kesederhanaannya, sehingga rakyat sangat menyayanginya[10]. Oleh karena itu 3 hal yang perlu kita terapkan saat ini meliputi:



 
 




D.    Khalifah Usman bin Affan
1.      Konsep Pengangkatan Khalifah Usman bin Affan
Sebelum meninggal Umar telah memanggil tiga calon penggantinya, yaitu Usman, Ali, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dalam pertemuan dengan mereka secara bergantian, Umar berpesan agar penggantinya tidak mengangkat kerabat sebagai pejabat.[11] Di samping itu Umar telah membentuk dewan formatur yang dibentuk berjumlah 6 orang. Mereka adalah Ali, Usman, Thalhah bin Ubaidillah, Abd Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Disamping itu, Abdullah bin Umar dijadikan anggota, tetapi tidak memiliki hak suara.
Mekanisme pemilihan khalifah ke tiga ditentukan sebagai berikut:[12]
1)      Mereka yang berhak menjadi Khalifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak
2)      Apabila suara terbagi secara berimbang (3:3), Abdullah bin Umar yang berhak menentukannya.
3)      Apabila campur tangan Abdullah bin Umar tidak diterima, maka yang menjadi khalifah tetaplah mereka yang dipilih jika seandainya hasilnya sama. Kalau masih terdapat yang menentangnya maka dibunuh. (Hasan Ibrahim Hasan, 1954: 245).
Anggota yang khawatir dengan tata tertib pemilihannya tersebut adalah Ali. Ia khawatir Abd. Ar-Rahman (yang mempunyai kedudukan strategis ketika pemilihan (deadlock) tidak bisa berlaku adil karena antara Usman dan Abd. Ar-Rahman terdapat hubungan kekerabatan. Akhirnya, Ali meminta Abd Ar-Rahman berjanji untuk berlaku adil, tidak memihak, tidak mengikuti kemauannya sendiri, tidak mengistimewakan keluarganya, dan tidak menyulitkan umat. Setelah Abd Ar-Rahman berjanji, Ali menyetujuimya (Ath-Thabari, Jilid 1, hal 36).
Langkah yang ditempuh oleh Abd Ar-Rahman setelah wafat adalah meminta pendapat kepada anggota formatur secara terpisah untuk membicarakan calon yang tepat untuk diangkat menjadi khalifah. Hasilnya adalah munculnya dua kadidat khalifah yaitu Usman dan Ali. Ketika diadakan penjajagan suara di liuar siding formatur yang dilakukan oleh Abd Ar-Rahman, terjadi pemilihan yaitu Ali memilih Usman, dan Usman memilih Ali. Di samping itu, Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqqash mendukung Usman. Sementara thalhah dan Zubair tidak ditanyai pendapat dan dukungannya karena keduanya ketika itu sedang berada di luar Madinah sehingga tidak sempat dihubungi karena mengingat waktu yang harus segera mungkin khalifah untuk dipilih. Selanjutnya Abd. Ar-Rahman bermusyawarah dengan masyarakat dan sejumlah pembesardi luar anggota formatur. Ternyata suara di masyarakat terpecah menjadi dua, yaitu kubu Bani Hasyim yang mendukung Ali dan kubu Bani Umayyah yang mendukung Usman.
Kemudian Abd Ar Rahman memanggil Ali dan menanyakan kepadanya: “seandainya kamu dipilih menjadi khalifah, sanggupkah kamu melaksanakan tugasnya berdasarkan alquran, sunah rasul, dan kebijakan dua khalifah sebelumnya?”.Ali menjawab bahwa dirinya berharap dapat berbuat sejauh pengetahuan dan kemampuannya. Sedangakn ketika Usman yang di panggil dan ditanyakan dengan pertanyaan yang sama maka usman menjawab saya siap. Berdasarkan jawaban tersebut, Abd Ar Rahman menyatakan bahwa Usman sebagai khalifah ketiga dan segeralah dilaksanakan bai’atnya. Pada waktu itu Usman masih berumur 70 tahun.
Jika kita tinjau dari masa pemerintahan Usman bin Affan, maka didapatkan bahwa khalifah yang paling lama memimpin adalah Usman bin Affan selama 12 tahun (644-656 M/24-36 H). Sedangkan kepemimpinan yang lainnya adalah Abu Bakar 2 tahun (632-634 M/11-13 H), Umar bin Khattab 10 tahun (634-644 M/13-23 H), dan khalifah terakhir setelah Usman bin Affan yaitu Ali bin Abi Thallib 5 tahun (656-661 M/36-41 H).
Pada awal 6 tahun pemerintahan Usman bin Affan, kemajuan dalam pemerintahan penuh dengan prestasi seperti: pemerintahan mencapai Asia dan Afrika serta berhasil menumpas pemberontakan yan dilakukan oleh orang Persia. Namun pada akhir setelah prestasi tersebut, banyak terjadi pemberontakan secara terang terangan yang dilakukan di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri pemberontakan lebih terpusat pada kebijakan-kebijakan khalifah yang nepotis harta kekayaan umum yang hanya bersifat kepada keluarga dan sifatnya yang tidak tegas kepada sahabat-sahabat utama. Adapun pemberontakan di luar negeri lebih bersifat atau berasal dari negeri-negeri yang ditakhlukan seperti: Romawi dan Persia yang menambah dendam dan sakit hati karena sebagian wilayahnya telah diambil oleh kaum muslimim. Dan selain itu juga tedapat fitnah dari orang yahudi dari suku Qaninuqa dan Nadhir serta Abdullah bin Saba yang menyebabkan tewasnya khalifah pada tahun 35 H.
2.      Implementasi dari ke khalifahan Usman bin Affan
Dalam pemerintahannya khalifah usman terdapat beberapa kebijakan yang perlu untuk kita lakukan jika seandainya menjadi pemimpin atau tokoh. Hal yang perlu kita ambil hikmahnya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari seperti:
a.       Membagi jabatan-jabatan kepada orang lain yang berkompeten di dalamnya untuk mempermudah dalam mewujudkan visi dan misi dari suatu kebijakan. Dalah hal ini pemimpin memberikan jabatan bukan karena keluarga dekat ataupun sifat yang lain. Akan tetapi lebih mengarah pada kompeten dan juga amanahnya dalam memipin untuk kemaslahatan ummat. Hal tersebut perlu dilkukan agar tidak adanya pendapat yang mengklaim tidak adil.
b.      Dalam struktur pembangunan haruslah lebih mengutakan masyarakat luas yang lebih berfokus kepada keperluan pokok dasar baik secara sosial, agama, kesehatan dan lainnya. Yang mana dalam hal ini, kepentingan individu tidak dicampurkan dengan tanggung jawab yang didapatkan.
c.       Kepercayaan dalam memimpin tanpa mementingkan kepentingan kekayaan diri sendiri (Keluarga).

E.     Khalifah Ali bin Abi Thalib
1.      Konsep Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak selancar pengukuhan tiga khalifah sebelumnya. Hal tersebut dimulai dari pembai’tan Ali menjadi khalifah di tengah-tengah kekacauan, serta kebingungan umat Islam madinah karena kaum pemberontak yang membunuh Usman menginginkan Ali menjadi khalifah.
Awal mula ketika usman terbunuh, kaum pemberontak terlebih dahulu pergi kepada sahabat senior seperti: Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqash, dan Abdullah bin Umar agar bersedia menjadi khalifah berikutnya. Akan tetapi usaha mereka tidak berhasil, semunya menolak. Namun dibalik semua itu, mereka bersama kaum muhajirin dan ashar lebih menginginkan Ali dibai’at menjadi khalifah.
Pada awalnya ali selalu menolak dengan anggapan bahwa ada yang lebih baik dari dirinya dan lebih mengutamakan musyawarah secara seluruhan itu lebih baik. Akan tetapi melihat kondisi masyarakat muslim pada waktu itu kacau dan mengingikan Ali segera di bai’at, akhirnya ali bersedia dalam menjadi khalifah selanjutnya.
Ali di bai’at oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat seperti: thalhah dan Zubair. Akan tetapi dibalik itu semua terdapat beberapa
sahabat senior seperti: Abdullah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin salam yang tidak ikut serta dalam pembai’atan tersebut. Namun untuk Abdullah bin Umar dan Saad bin Abi Waqqash bersedia membai’at kalau rakyat sudah membai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan mereka membai’at Ali secara terpaksa. Riwayat lain menjelaskan bahwa mereka bersedia membai’at seandainya mereka diberi jabatan gubennur di Kufah dan Basrah. Dan riwayat terakhir menjelaskan bahwa mereka membai’at Ali karena tidak punya pilihan lain yang lebih pantas menjadi khalifah[13].
Dengan demikian, Ali tidak di bai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi (pernyataan persetujuan tanpa pemungutan suara) karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berda di kota Madinah, mereka banyak tersebar di wilayah tahlukan baru dan wilyah Islam yang meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak hanya berda di daerah Hijaz (Makah, Madinah dan Thaif). Akan tetapi para uamt Islam dan kalangan sahabat tersebar di daerah Jazirah arab dan luarnya.
Sedangakn salah satu tokoh yang menolak dan menunjukkan sikap konfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sofyan, Keluarga Usman, dan Gubennur Syam dengan Alasan Ali tidak mau bertanggungjawab atas terbunuhnya Usman bin Affan.
2.      Implementasi Kebijakan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib
Dari pemaparan diatas implementasi yang harus kita contoh dalam kepemimpinan adalah pola lebih mengutamakan keadilan dengan mementingkan bawahan daripada keluaarga semata. Selain itu, harus memiliki semangat yang hebat untuk memotivasi yang alinnya walaupun jika dalam kondisi apapun.
Sedangkan implementasi ketika sebelum menjadi khalifah, dapat kit lihat dari keberaniannya dalam membela Rasuallah dan Islam dengan sepenuh hati seperti berani bertarung selana one by one dengan para tokoh orang yang menentang rasul. Oleh karena itu dapat disimpulkan terdapat 4 hal yang perlu kita contoh dan menerapkan dalam kehiduapan. 


F.     Implementasi dari sistem pergantian 4 khalifah khulafur rasyidin
Seperti yang tedapat dalam sejarah bahwa pengangkatan khalifah memeliki perbedaan perbedaan yang harus kita bahas dan mengambil hikmahnya. Dalam khalifah Abu bakar kita dapat mencontoh bagaimana keutamaan Abu Bakar yang memiliki sifat yaqin akan kebenarannya dan tidak ragu terhadap apapun yang dikatakan nabi. Sedangakan pada khalifah Umar kita dapat mencontoh bagaimana Umar memimpin hingga menciptakan beberpa sistem pembaharuan seperti bidang pendidikan, hukum, pemerintahan dan lainnya demi mencapai kemakmuran dan dapat meluaskan penyebaran agama Islam dengan baik.
Pada khalifah usman, bebrapa implementasi yang dapat kita ambil dari kepemimpinanya seperti Membagi jabatan-jabatan kepada orang lain yang berkompeten di dalamnya untuk mempermudah dalam mewujudkan visi dan misi dari suatu kebijakan. Dalam pembangunan haruslah lebih mengutakan masyarakat luas yang lebih berfokus kepada keperluan pokok dasar baik secara sosial, agama, kesehatan dan lainnya. Begitupula pada khalifah Ali yang dimana walaupun Islam pada waktu itu rusak, namun berkat sebuah tekad dan kecerdasan Ali yang disertai tanggung jawabnya sebagai menantu rasul tetap semangat berjuang untuk menciptakan kedaimanan dan kemakmuran dengan melalukan pergantian gubernur yang tidak disukai masyarakat, pencabutan hak milik keluarga inti dan ditujukan kepada khalayak umum serta memimpin dalam setiap peperangan.
Selain mencontoh pola kepemimpinan diatas, implementasi yang dapat kita ambil hikmahnya terletak pada ketika akhir-akhir jabatan masing-masing kekhalifahan yang dimana, dari perbedaan tersebut maka sistem yang paling baik dalam memilih kepemimpinan yaitu menunjuk atau sudah membuat anggota pembentukan khalifah atau pemimpin berikutnya dengan mengunakan musywarah kepada pihak tertentu dan masyarakat luas.


G.    Perbedaan antara 4 Khalifah Rasulallah dengan Dinasti setelahnya
Tentu kadang kita bertanya, mengapa khalifah hanya ada empat saja? Dalam hal ini terdapat beberapa ketentuan mengapa hanya 4 saja yang disebut khalifah dan setelahnya adalah pemimpin seperti biasanya. Berikut table perbedaan tentang hal diatas:

Khulaftur Rasyidin
Dinasti-Dinasti
Harus pernah hidup sezaman dengan nabi atau pernah bertemu langsung
Tidak pernah hidup sezaman dengan nabi atau bertemu secara langsung
Punya integrasi tinngi dalam membangun pemerintahan dan masyakat yang aman dan tentram
Tidak semua pemimpin dinasti unya integrasi tinngi dalam membangun pemerintahan dan masyakat yang aman dan tentram
Memiliki akhlaq yang mulia
Tidak semuanya memiliki akhlaq yang mulia
Dipilih oleh rakyat secara serentak atau keseluruhan.
Tidak dipilih rakyat tetapi berdasarkan melalui keturunan atau keluarganya saja
Dijamin masuk surga (secara hadits)
Belum tentu dijamin masuk surga
Kekuasaan berfokus kepada semuanya atau secara merata (keseluruhan/universal)
Kekuasaan lebih berfokus pada keluarganya atau baninya
Tabel 1. Perbedaan Khalifatur Rasyidin dengan Dinasti setelahnya
H.    Penutup
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Khulafurrasyidin terbagi menjadi empat khalifah hebat yang menggantikan Nabi sebagai pemimpin di bidang agama dan politik pemerintahan. Keempat khalifah tersebut adalah Abu  Bakar As-Siddiq  (632-634 M), Umar bin Khattab (364-644 M), Usman bin Affan (644-656 M), dan Ali bin Abi Talib (656-661 M)[14]. Dari keempat khalifah diatas dalam pengangkatannya berbeda-beda, ada yang melalui musyawarah sepesrti Abu Bakar dengan alasan bahwa abu bakar orang yang pertama percaya pada rasul ketika isra’ mi’raj, bersama rasul ke Yasrib, orang yang gigih melindungi rasul, dan pengganti imam ketika rasul sakit. Khalifah Umar bin Khattab melalui penunjukan dari Khalifah Abu Bakar yang disepakati oleh persetujuan rakyat. Sedangkan khalifah Usman melalui  kesepakatan dewan majelis dan pemungutan suara terhadap dua calon serta khalifah terakhir yaitu Ali bin Abi Thalib yang sama dengan Usman hanya saja tidak melalui pemungutan suara akan tetapi langsung dipilih oleh rakyat atau umat muslim dengan persetujuan beberapa tokoh. Dari masing-masing pengangkatan tentu terdapat kondisi berbeda. Namun yang pelu kita teladini dari semua permasahalan dan juga kepepimpinan tersebut yaitu dimana khalifah pasti mempunyai tujuan untuk membentuk kedamaian dan kemakmuran untuk ummat dengan berbagai cara baik secara memperbaiki dan juga menambah kegiatan hingga peperangan. Selain itu yang perlu juga kita ambil hikmah dimana dalam menjadi pemimpin tidak egois untuk kepentingan sendiri namun memiliki 4 contoh pemimpin yang telah rasullah contohkan bagi kita semua yaitu sifat Siddiq, Amanah, Tablig, dan Fatonah. Dimana 4 sifat itu merupakan dasar dari sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin seperti yang rasulallah dan khulafurrasyidin implementasikan dalam kepemimpinannya.
DAFTAR PUSTAKA

Khalid, Khalid Muh. 2006. Karakteristik Perihidup Khalifah Rasullullah. Bandung:
Diponegoro
Amin, Ahmad. 1987. Islam Dari Masa Ke Masa. Bandung: Rosda
Muhaimin. 2012. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi Dan Pendekatan. Jakarta:
Kencana Prenada  Media Group.
Amin, Samsul Munir. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Katsir, Ibnu. 2004. Al-Bidayah Wan Nihayah. Jakarta: Darul Haq.
Yatim, Badri. 2014. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Grafindo
Sejahtera.
Supriyadi, Dedi. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Aminah, Nina. Pola Pendidikan IslamPerode Khulafaur Rasyidin. Jurnal Tarbiyah Vol.
1, No. 1, Januari 2015.
Afwadzi, Benny. Wasiat Khilafah pada Ali bin Abi Thalib, Hermenia: Jurnal Kajian
Islam Interdisipliner, Vol. 14, No. 1, Januari-Juni 2014.
Al’immu, Dar. 2013. Atlas Sejarah Islam. Jakarta: Karsya Media.































Lampiran

Gambar 6. Tempat Perang Yarmuk pada Khalifah Abu Bakar[15]

Gambar 7. Tempat Perang Qadisiyah (daerah) pada Khalifah Umar[16]

Gambar 8. Bentuk Peperangan Al-Qadisiyah pada Khalifah Umar[17]




[1] Ahmad Amin, Islam Dari Masa Ke Masa, (Bandung: Rosda, 1987), 80
[2] Nina Aminah, Pola Pendidikan IslamPerode Khulafaur Rasyidin, Jurnal Tarbiyah Vol. 1, No. 1,
  Januari 2015, 31.
[3] Benny Afwadzi, Wasiat Khilafah pada Ali bin Abi Thalib, Hermenia: Jurnal Kajian Islam
  Interdisipliner, Vol. 14, No. 1, Januari-Juni 2014, 28
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 91
[5]Muhaimin, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi Dan Pendekatan, (Jakarta: Kencana Prenada  Media
  Group, 2012), 233-235
[6] Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah, (Jakarta: Darul Haq, 2004), 53-54
[7]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 92
[8] Khalid Muh Khalid, Karakteristik Perihidup Khalifah Rasullullah, (Bandung: Diponegoro, 2006), 35.
[9]Muhaimin, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media
   Group, 2012), 237
[10] Khalid Muh Khalid, Karakteristik Perihidup Khalifah Rasullullah, 125.
[11] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 87
[12] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,  87
[13] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2016),  94
[14] Nina Aminah, Pola Pendidikan IslamPerode Khulafaur Rasyidin, Jurnal Tarbiyah Vol. 1, No. 1,
  Januari 2015, 31.
[15] Dar Al’immu, Atlas Sejarah Islam, (Jakarta: Karsya Media, 20013), 34
[16] Dar Al’immu, Atlas Sejarah Islam, (Jakarta: Karsya Media, 20013), 38
[17] Dar Al’immu, Atlas Sejarah Islam, 39

Komentar

  1. In this manner my buddy Wesley Virgin's biography begins with this shocking and controversial VIDEO.

    As a matter of fact, Wesley was in the army-and soon after leaving-he revealed hidden, "mind control" secrets that the government and others used to get everything they want.

    As it turns out, these are the exact same secrets many celebrities (especially those who "became famous out of nowhere") and top business people used to become rich and famous.

    You probably know how you utilize only 10% of your brain.

    Really, that's because most of your brainpower is UNCONSCIOUS.

    Maybe that expression has even occurred INSIDE OF YOUR very own head... as it did in my good friend Wesley Virgin's head 7 years back, while riding an unregistered, beat-up trash bucket of a car with a suspended license and with $3 on his banking card.

    "I'm so frustrated with going through life check to check! Why can't I become successful?"

    You've been a part of those those types of questions, am I right?

    Your very own success story is waiting to be written. You just need to take a leap of faith in YOURSELF.

    CLICK HERE TO LEARN WESLEY'S SECRETS

    BalasHapus

Posting Komentar