Essay EPANCASILA BUTUH AGAMA

PANCASILA BUTUH AGAMA,
IBARAT LEBAH DENGAN MADU
(Solusi Mengatasi Masalah Perbedaan Di Era Globalisasi)
Oleh: Ali Hasan Assidiqi
Profil penulis, lahir di Kota Bondowoso Jawa Timur, sekarang bertempat tinggal di Desa Selolembu RT 07/02, Curahdami, Bondowoso. Penulis sekarang sedang menempuh pendidikan S1, yaitu  Semester 2 Jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penulis sekarang tinggal (dalam kuliah) di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly, Mabna Al-Faraby lantai 1 kamar 14 di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jalan Gajayana. No HP 083847787573.
Akankah kita pernah berfikir mengapa saat ini banyak umat beragama saling menghancurkan atau saling bertikai hingga menyebabkan kerusakan, kerugian, dan bahkan kematian terjadi dimana-mana? Mungkin penyebab utama salah satunya adalah kurangya toleransi antar agama. Walau Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keamanan dalam agama yang baik “ucap warga Negara asing[1]”, namun hal itu tidaklah sesuai pada saat ini. Meski Negara Indonesia memiliki pancasila yang terdapat semboyan bhineka tunggal ika, tentu semua itu tidak akan terwunjud tanpa adanya kata-kata toleransi dalam agama. Hingga bisa dikatakan pancasila butuh agama, dan begitupun agama di Indonesia pasti butuh pancasila terutama dalam hal toleransi dalam beragama untuk mewujudkan Negara Indonesia yang aman, damai dan sejahtera.
Toleransi adalah bentuk toleransi atau menghormati alam, dan memungkinkan pemnbentukan, pendapat, pandangan, keyakinan, dan lain-lain yang berbeda dengan pendirian mereka sendiri (W.J.S. Purwadarminta), dan toleransi dalam sosial, politik, dan sikap memugkinkan orang untuk memiliki keyakinan yang berbeda. Selain menerima laporan dari pengakuan dari penghormatan terhadap hak asasi manusia (ekslopedia Indonesia). Jika dikaitkan dengan arti tersebut, maka makna yang terkandung dalam kata toleransi adalah suatu bentuk menghargai atau menghormati alam, lingkungan, manusia, dan semacamnya yang memiliki suatu pandangan berbeda. Sehingga jika kita kaitkan dengan zaman di era globalisasi saat ini tentu tidaklah cocok, karena hal tersebut bisa dikaitkan dengan masalah-masalah yang baru saja muncul pada tahun 2016 ini, seperti banyaknya terorisme yang memiliki faham berbeda menjatuhkan bom kepada mereka yang memiliki faham lain, pembakaran masjid-masjid agama Islam, pelecehan ibadah agama Islam di Maluku hingga menyebar di youtobe, pelecehan kepada nabi umat Islam oleh orang non Islam di media sosial, dan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok “ucap Habib Rizieq dan  beberapa orang muslim”. Jika melihat dan berfikir hal tersebut, tentu dibenak kita apa yang terjadi saat ini? Tentu semua itu menjadi problematika yang harus kita sadari, dan kita atasi, terutama yang berada di negara Indonesia dalam hal menjaga toleransi dalam agama demi perdamaian keamanan NKRI.
Toleransi juga tidak lepas dari hakikat manusia sebagai mahluk sosial yang mewajibkan mampu beinteraksi dengan individu atau manusia lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam memenuhi kebutuhannya dalam menjalani kehidupan sosial masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok  yang memiliki perbedaan baik agama, ras, suku dan lainya terutama di negara kita saat ini yang disebut negara beribu-ribu pulau “Indonesia”, sehingga tidak dapat kita pungkiri akan adanya gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan agama, ras, suku, dan lainnya. Dalam rangka menjaga persatuan, dan kesatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghargai, dan menghormati atau yang disebut toleransi sehingga menjadi momok solusi dalam mengatsi permasalahan tersebut seperti yang terdapat dalam UUD, Pancasila, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika sehigga memungkinkan tidak terjadinya gesekan-gesekan antar kelompok yang memiliki perpedaan dalam agama dan semacamnya.
Namun akankah kita berfikir, walau UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang telah menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk  untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri, untuk beribadat menurut agamanya, dan kepercayaannya” dan pancasila dalam sila pertama juga menyebutkan bahwa bertaqwa kepada tuhan yang maha esa menurut  agama, dan kepercayaan masing-masing merupakan hal yang mutlak sehingga kebebasan dalam beragama itu tidak menjadi problematika, serta dalam semboyan bhineka tunggal ika yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu, tentu semua itu terasa kurang cocok di era globalisasi saat ini yang penuh dengan masalah terutama dalam kurangnya rasa toleransi antar kelompok tanpa adanya sebuah agama terutama di negara Indonesia.
Walau negara Indonesia kaya akan sebutan beribu-ribu pulau di laut yang memiliki pulau kurang lebih 17.508 pulau, dan baru diberi nama hanya 5.707 pulau di Indonesia, kaya akan budaya hingga pada tanggal 26 Desember 2016 di On The Sport yang menyatakan Indonesia kaya akan penduduk, alam, dan budaya, hingga Indonesia kaya akan bermacam-macam suku, budaya, dan agama. Tentu semua itu dalam hal menjaga keutuhan perdamaian NKRI sangatlah sulit, hingga selain dibutukannya akan UUD 1945, Pancasila, tentu juga sangat dibutuhkannya agama yang ada di  Indonesia untuk menciptakan toleransi yang baik.
Jika kita melihat lebih dalam lagi, bahwa sebenarnya semua agama itu berjalan mengarah pada satu tuhan, walau kadang akhlaq, dan pemahaman ajarannya berbeda. Apalagi tentang toleransi sejarah dalam perjuangan Indonesia untuk mempertahankan, dan memerdekakannya tidak lepas dari toleransi agama yang ada di Indonesia. Hal tersebut bisa kita buktikan melalui sejarah dari segala bentuk perjuangan, dan makna yang terkandug di dalamnya.
Sejarah mengatakan, ketika perumusan pengesahan pancasila yang pada awalnya dalam sila pertama lebih mengarahkan kepada agama Islam, namun atas pertimbangan oleh para tokoh-tokoh perumus pancasila sebagai dasar negara yang dimana Indonesia bukan hanya beragama Islam namun beberapa agama lain juga menempati NKRI maka diubahlah menjadi “Ketuhanan yang maha esa” sehingga hal tersebut mendorong akan hal toleransi dalam agama sehingga tidak adanya goresen-goresan pertikaian antar agama atau kelompok, dan perpecahan di NKRI ini.
Bukan hanya hal itu, toleransi juga dapat kita telusuri dari para tokoh-tokoh pejuang dalam mempertahankan negara kesatuan republik Indonesia ini, mulai ketika sebelum Islam ataupun ketika Islam datang. Hal tersebut dapat kita buktikan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia seperti:  Kerajaan Sriwijaya dibawah kekuasaan Syailendra  yang beragama Budha di Sumatera yang melawan tentara-tentara asing dalam mempertahankan wilayahnya yang berada di NKRI. Kerajaan Majapahit yang muncul di Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang pada masa keemasanya dibawah raja Hayam Wuruk  dengan Mahapatih Gajah Mada yang mampu membangun Candi Borobudhur (Budha), Candi Prambanan (Hindu) dan mampu memukul mundur para penjajah yang ingin menguasai NKRI hingga ke Irian Jaya pada abad ke X yang menunjukkan adanya toleransi, dimana dalam waktu itu antar agama tidaklah saling bertikai, namun saling menghormati dalam mengamalkan Pancasila sila pertama tersebut. Selain kerajaan agama Hindu-Budha, pada zaman kerajan Islam yaitu: Kerajaan Demak dapat mempertahankan tanah Jawa pada waktu itu dari para penjajah yang ingin menguasai tanah Jawa sehingga bisa dikatakan bahwa NKRI ini tidak pernah lepas dari agama-agama yang ada di Indonesia.
Bukan hanya hal itu, mumgkim di benak kita para pejuang hanya agama Islam? Tentu semua itu tidak. Karena pada sebenarnya para tokoh inspirasi dalam perjuangan NKRI yang melawan penjajah seperti Inggris, Belanda, Jepang, Portugis dll yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional  dalam perjuangan menciptakan perdamaian, mewujudkan harmoni dalam keberagaman, mendukung terciptanya hidup keberwarganegaraan yang baik tidak hanya mereka yang beraga Islam ataupun hanya satu agama. Hal terseut dapat kita buktikan dari beberapa tokoh pahlawan nasioal yang berbeda agama yang mencintai NKRI, dan cinta kedamaian seperti: Laksamana Muda Udara Agustinus Adisutjipto yang merupakan pahlawan, dan komodor Indonesia yang beragama nasrani ikut berjuang melawan tentara Belanda di Yogyakarta bersama para tokoh muslim, dan agama lainya hingga dapat mendirikan sekolah penerbangan untuk pemuda bangsa belajar. Hal tersebut membuktikan bahwa toleransi dalam pancasila, dan perwujudan semboyan bhineka tunggal ika sangatlah kuat. Bukan hanya itu, pahlawan dari Maluku yaitu Thomas Matulesy yang dikenal sebagai Kapiten Pattimura yang merupakan seorang non muslim yaitu beragama Kristen juga ikut berjuang, dan mempertahankan kesatuan, dan perdamaian NKRI yang dimana dalam kepemimpinanya berhasil merebut benteng duurstede hingga menewaskan seluruh tentara Belanda termasuk kapten Residen Van, dan Berg. Dari hal tersebutlah maka dapat kita tinjau, dan menjadi contoh bahwa negara ini tidak akan damai dalam mewujudkan NKRI yang aman jika hanya mengandalkan pancasila, sehingga bisa dikatakan baha pancasila butuh agama, dan agama butuh pancasila dalam meujudkan toleransi dalam perdamaian di negara Indonesia terutama saat ini. Jika kita ibaratkan antara pancasila dan agama, maka ibarat “Lebah dengan Madu”, yang dimana artinya bahwa tanpa ada lebah madupun tak ada, tanpa madupun apa arti mamfaatnya lebah sehingga jika keduanya ada maka mamfaatnya akan lebih terasa. Begitupun dengan pancasila dan agama, jika Indonesia yang penuh dengan bermacam suku, ras, pulau hanya ada aturan pancasila tentang toleransi untuk mewujudkan perdamaian NKRI rasanya ibarat nasi yang belum matang, namun jika ada agama yang menjadi salah satu pondasi mewujudkan toleransi maka hal tersebut ibarat nasi yang matang, dan sangat enak jika di makan dengan penuh mamfaat. Hingga bisa dikatakan pancasila, dan agama ibarat lebah, dan madu yang menjadi obat para generasi muda dalam mengatasi masalah kurangnya toleransi antar agama atau kelompok di era globalisasi ini.
Selain kita melihat dari sejarah dan perjuangan para pahlawan, tentu dibenak kita berfikir, apakah agama mengajarkan toleransi? Jika ada orang bilang tidak, maka dia tidak pernah mempelajari agamanya, karena pada hakikatnya agama menagajarkan perdamaian, begutupun dalam masalah toleransi. Hal tersebut kita fahami dari beberapa peryataan berikut ini sebagai fakta bahwa agama mngajarkannya:
Dalam agama Islam, toleransi antar agama disebutkan dalam Surat al-Baqarah ayat 256. Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya is Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Adapun yang dimaksud Thaghut dalam ayat di atas ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT.
Menurut riwayat Ibnu Abbas, asbabun nuzul ayat di atas berkenaan dengan Hushain dari golongan Anshar, suku Bani Salim yang mempunyai dua orang anak yang beragama Nasrani, sedang dia sendiri beragama Islam. Ia bertanya kepada Nabi saw : Bolehkah saya paksa kedua anak itu, karena mereka tidak taat padaku dan tetap ingin beragama Nasrani. Allah menjelaskan jawabannya dengan ayat di atas, bahwa tidak ada paksaan dalam Islam?"
Islam sangat menghargai eksistensi agama lain dan begitu pula dengan penganutnya. Dalam sejarah Islam tidak pernah memaksakan keyakinannya ke-pada orang lain.
Pemaksaan dalam bentuk apapun agar orang lain beriman sesuai dengan agama yang memaksa adalah tindakan tidak etis dan bertentangan dengan kemauan atau kehendak Allah. Bukan hanya itu, dalam agama Islam juga ada beberapa ayat yang dapat menuntun umat Islam untuk mengembangkan konsep kerukunan antara sesama umat manusia. Misalnya Qur'an Surat Ali Imran ayat 103 :
Artinya :“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Selain penjelasan dari al-Qur’an masalah toleransi juga ditemui dalam hadits. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku nabi sehari-hari dalam bergaul dengan pe¬meluk agama lain.
Di antara contoh perbuatan nabi yang berkaitan dengan toleransi, misalnya pada suatu ketika datang menghadap beliau di Madinah beberapa orang delegasi Kristen dari Najran yang diketuai seorang pendeta besar. Delegasi itu beliau sambut dengan cara yang sangat hormat. Beliau buka Jubahnya dan dibentang¬kan di lantai untuk tempat duduk para tamunya itu, sehingga mereka kagum terhadap penerimaan yang luar biasa sopannya. Kemudian ketika datang waktu sem¬bahyang mereka, sedang gereja tidak ada di Madinah, maka Nabi mempersilahkan mereka sembahyang di Masjid Madinah menurut cara sembahyang mereka.
Dengan demikian semakin jelaslah ajaran keru¬kunan dalam Islam, dan ajaran tersebut pada dasarnya bersumber dari al-Quran dan sunnah Rasul. Begitu komprehensifnya ajaran Islam sehingga bagaimana membina hubungan yang harmonis antara sesama manusia sehingga terjadi ketertiban dalam kancah kehidupan ini.
Dalam ajaran agama Katholik juga ditemui konsep tentang kerukunan, hal ini sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang sikap, Gereja terhadap, agama-agama lain didasarkan pada asal kisah rasul-rasul 17 : 26 sebagai berikut: “Adapun segala bangsa itu merupakan satu masyarakat, dan asalnya pun satu juga, karena Tuhan menjadikan seluruh bangsa ma¬nusia untuk menghuni seluruh bumi." Deklarasi konsili Vatikan II di atas berpegang teguh pada hukum yang paling utama, yakni "Kasihanilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap, hal budimu dan dengan segenap kekuatanmu dan kasihanilah sesama manusia seperti dirimu sendiri. Isi deklarasi di atas menggambarkan bagaimana bahwa pada dasamya manusia itu memiliki hak yang sama, tidak boleh membeda-bedakannya mesti mereka berlainan agama. Sikap saling hormat-menghormati agar kehidupan menjadi rukun sangat dianjurkan. 
Begitu pula halnya agama Kristen Katholik, dalam agama Protestan juga menganjurkan agar antar sesama umat manusia selalu hidup rukun dan harmonis. Agama Protestan beranggapan bahwa aspek ke¬rukunan hidup beragama dapat diwujudkan melalui Hukum Kasih yang merupakan norma, dan pedoman hidup yang terdapat dalam Al Kitab. Hukum Kasih ter¬sebut ialah mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia.
Menurut agama Protestan, Kasih adalah hukum utama dan yang terutama dalam kehidupan. orang Kristen. Dasar kerukunan menurut agama Kristen Protestan didasarkan pada Injil Matins 22:37. 
Dalam agama Hindu diajarkan pula tentang ma¬salah kerukunan. Pandangan agama Hindu untuk mencapai kerukunan hidup antarumat beragama, manusia harus mempunyai dasar hidup yang dalam agama Hindu disebut dengan Catur Purusa Artha, yang mencakup Dharma, Artha, Kama, dan Moksha. Dharma berarti susila atau berbudi luhur. Dengan Dharma seseorang dapat mencapai kesempurnaan hidup, baik untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Artha, berarti kekayaan dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup. Mencari harta didasarkan pada Dharma. Kama berarti kenikmatan dan kepuasan. Kama pun harus diperoleh berdasarkan Dharma. Moskha ber¬arti kebahagiaan abadi, yakni terlepasnya atman dari lingkaran samsara. Moskha merupakan tujuan akhir dari agama Hindu yang setiap saat selalu dicari sampai berhasil. Upaya mencari Moskha juga mesti berdasarkan Dharma. Keempat dasar inilah yang merupakan titik tolak terbinanya kerukunan antarumat beragama. Ke¬empat dasar tersebut dapat memberikan sikap hormat-menghormati dan harga menghargai keberadaan umat beragama lain. Begitu pula Agama Khonghucu, ajaran-ajaran yang terdapat  didalamnya juga mengantarkan pemeluknya untuk hidup rukun dengan pemeluk agama lainnya. Di antara ajaran atau lima sifat yang mulia (Wu Chang) yang dipandang sebagai konsep ajaran yang dapat men¬ciptakan kehidupan harmonis antara sesama (Ren/Jin, cinta kasih, tabu diri, halus budi pekerti, rasa tenggang rasa serta dapat menyelami perasaan orang lain. I/Gi, yaitu rasa solidaritas, senasib sepenanggungan dan rasa membela kebenaran. Li atau Lee, yaitu sikap sopan santun, tata krama, dan budi pekerti. Ce atau Ti, yaitu sikap bijaksana, rasa pengertian, dan kearifan. Sin, yaitu kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya oleh orang lain serta dapat memegang janji dan menepatinya. 
Jadi pada dasarnya semua agama telah memberikan ajaran yang jelas dan tegas bagaimana semestinya bergaul, berhubungan dengan pemeluk agama lain. Secara umum semuanya menjunjung tinggi hidup rukun, saling tolong-menolong antara pemeluk masing-masing agama, namun terkadang pemeluknya lupa atau tidak mampu mengaplikasikan ajaran, tuntunan dari agama¬nya. Oleh karena itu pondasi keamanan, dan kedamaian NKRI ini berada pada generasi muda yang harus memiliki sikap toleransi dengan pilar UUD, Pancasila, Semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan Agama. Sehingga jika salah satu hal tersebut kurang maka seperti ucapan di atas yakni ibarat  “Nasi tidak matang”.



[1] Wawancara ke beberapa warga negara asing.

Komentar

  1. Strange "water hack" burns 2 lbs overnight

    More than 160k women and men are using a easy and secret "liquids hack" to lose 2 lbs each night while they sleep.

    It is easy and it works on anybody.

    Here's how to do it yourself:

    1) Grab a clear glass and fill it half full

    2) And then learn this proven HACK

    so you'll become 2 lbs thinner in the morning!

    BalasHapus

Posting Komentar