HUBUNGAN AGAMA DENGAN POLITIK DAN BUDAYA


HUBUNGAN AGAMA
DENGAN POLITIK DAN BUDAYA
(study library research era pra kemerdekaan sampai era reformasi)

Ali Hasan Assidiqi, Layli Nur Azizah
(Mahasiswa PAI-B Semester 4 UIN Maliki Malang)

Abstract
The reviewing history of Indonesia independence several decades ago, certainly not separated from religion. One of wich is its association with existing politics and culture. We already know that in the begininning journey of Islam is always related to the existing culture in Indonesia society. And from that also then sice the colonial era, Islam provides assistance to fiht with varios efforts including with politics. After succesfully harboring the colonization of existing religion and the national community in proclamastion independence  of Indonesia. In this regime sytem emerges various arguments about politics and culture related to the growing parties that effect the world of goverment and culture the exists. Of the many that evidently in everybgoverment or era there are some differences and developments significantly so that the authours diccused in the material of this journal.

Abstrak
Meninjau histori kemerdekaan Indonesia beberapa puluh tahun silam, tentu tidak lepas dari agama. Salah satunya adalah keterkaitannya dengan politik dan budaya yang ada. Kita sudah mengetahui bahwa dalam perjalanan awal yaitu Islam selalu berkaitan dengan budaya yang ada pada masyarakat Indonesia. Dan dari itu pula maka sejak zaman penjajahan, Islam memberikan bantuan untuk melawan dengan berbagai upaya termasuk dengan politik. Setelah berhasil memendam penjajah bersama agama yang ada serta masyarakat nasional maka di proklamasikanlah kemerdekaan Indonesia. Dalam sistem pemerintahan inilah munculah berbagai argument tentang politik dan budaya yang berkaitan dengan agama hingga pada era reformasi. Bukan hanya hal tersebut tentang agama dalam politik ini juga berkaitan dengan partai-partai yang semakin berkembang sehingga memperngaruhi dunia pemerintahan dan budaya yang ada. Dari sekian yang berkembang ternyata dalam setiap pemerintahan atau era terdapat beberapa perbedaan dan perkembangan secara signifikan sehingga hal tersebutlah penulis bahas dalam materi jurnal ini.

Kata Kunci: Hubungan Agama, Politik, dan Budaya

Pendahuluan
     Membicangkan relasi agama dan politik di Indonesia tidak dapat lepas dari proses resiprokal antara satu dengan lainnya. Kedua entitas diatas memiliki proses tarik menarik dalam hal kepentingan. Agama memiliki peran strategis mengkonstruksi dalam memberikan kerangka nilai dan norma untuk membangun struktur negara dan kedisplinan masyarakat. Sedangkan, negara menggunakan agama sebagai legitimasi untuk mengikat warga negara secara keseluruhan untuk mematuhi negara. Adanya hubungan timbal balik itulah yang kemudian menimbulkan hubungan dominasi atau keterkaitan antar kedua entitas tersebut. Selain hal tersebut juga yang tak kalah penting adalah budaya dimana kita ketahui setiap politik dan agama pasti tidak lepas dari budaya yang ada walaupun tidak terlalu terpengaruh secara keseluruhan.
     Di Indonesia sendiri antara kontkes hubungan agama dan juga politik tidak dapat dipisahkan oleh perjalanan waktu yang dimulai dengan masuknya Islam (Rusli 1999: 19). Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Sejak dulu konversi agama kepada Islam telah ditandai oleh motif komersial dan politik. Kemudian pada abad ke 13 orang-orang Gujarat membawa Islam yang bercorak “sufisme” dengan menyesuaikan budaya dan lingkungannya sehingga mudah diterima.(Howell 1982: 157-8).
     Menurut Mintz, Islam di Indonesia tidak dapat disamakan dengan Islam di negara manapun. Sebagai sebuah unsur tambahan dari agama-agama yang telah ada, disamping mempersatukan umat Islam di Indonesia merupakan sebuah kekuatan fleksibel dan dinamis, tidak kaku dalam adaptasinya terhadap kehidupan modern. Faktor inilah yang menyebabkan Islam memainkan peran penting sebagai kendaraan bagi nasionalisme dan pembangunan sosial dan politik di Indonesia (Mintz 1965: 173).
     Di samping itu kedatangan bangsa-bangsa penjajah  yang mempunyai kepentingan sendiri juga turut mewarnai corak perwujudan Islam di Indonesia. Penjajah telah mengunakan kekuasaannya untuk menghancurkan peran politik Islam. Islam hanya berfungsi sebagai agama ritual yang serba pasif. Namun dengan demikian menurut Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers, Islam telah memainkan peranan penting sekaligus sebagai simbol untuk menentang penjajah dan sebagai alternatif dari pandangan dunia. Bahkan menurutnya pula, Indonesia merupakan bangsa beragama tetapi tidak menjadikan kepercayaan manapun sebagai agama resmi dan wajib negara (Rusli 1999: 20).
     Fenomena keagamaan di Indonesia jauh lebih rumit daripada keberadaan lima agama resmi yang diakui oleh negara, karena suku-suku kecilpun mempunyai  kebiasaan dan kepercayaan agama yang berbeda-beda, sedangkan Islam telah mengakomodasi berbagai tradisi lokal. Disamping itu ciri-ciri pencampuran tersebut baik hindu dan budha lebih bercorak sekular. Nilai-nilai sosial budaya Jawa yang “partenalistik” juga mempersubur hubungan “patron-klien” dalam perilaku politik para pemegang kekuasaan. Persoalan ini makin memperumit hubungan agama dan politik. Oleh karenanya agar memudahkan maka dalam hal ini terbagi menjadi 4 tahapan masa yaitu tahap pertama (tahun 1912 sampai proklamasi kemerdekaan), tahap kedua (tahun era orde lama), tahap ketiga (tahun era orde baru) dan tahap keempat (Tahap Era Reformasi hingga saat ini) (Rusli 1999: 21). Dengan adanya pemaparan diatas pula maka dalam jurnal ini penulis akan membahas apa yang dimaksud dengan agama, politik dan budaya, faktor yang mempengaruhinya dan hubungannya antra agama dan politik serta budaya di masing-masing eranya.

Pengertian Agama
Agama secara etimologi berasal dari bahasa sanserkerta yang mana terdiri dari dua kata A dan Gama. Dimana A mempunyai arti tidak dan Gama mempunyai arti kacau, jadi jika digabung kedua kata tersebut maka menjadi tidak kacau (Bashori 2002:22). Hal ini menegaskan bahwasannya agama merupakan suatu peraturan yang mengatur hidup manusia agar tidak berantakan. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa pengertian agama disamakan dengan kata dari bahasa Inggris yaitu religion dan dalam bahasa Belanda religie  yang mana kedua kata tersebut asalnya dari bahasa latin religio religio yang mempunyai arti mengikat (Dadang Kahmad 2002:13). Sedangkan dalam islam agama merupakan terjemahan dari Ad-din, yang mana agama disini tidak hanya ditujukan untuk suatu agama saja melainkan yang dimaksud Ad-din adalah agama seluruhnya yang ada didunia atau agama bersifat umum.
Dalam pandangan sosiologi agama merupakan masyarakat di dunia yang memiliki gejala sosial yang umum. Agama merupakan bagian dari kehidupan sosial dan juga bagian dari sistem sosial yang ada pada suatu masyarakat (Dadang Kahmad 2002:14). Unsur kebudayaan masyarakat merupakan cara melihat agama, akan tetapi ada juga unsur lain seperti kesenian, bahasa, mata pencaharian, dan sistem organisasi sosial.

Pengertian Politik
Politik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “polis” yang mana dalam bahasa Inggris disebut “politics”, keduanya merujuk pada arti yang sama yaitu kebijaksanaan.  Selain itu dapat juga diartikan sebagai usaha agar dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dimana hal ini disebutkan oleh Plato dan Aristoteles sebagai “en dam onia” atau biasa disebut “good life”yang mana dalam bahasa Indonesia disebut kehidupan yang baik (Komarudin Said 2011:4). Dalam perkembangannya analisis politik tidak hanya mengulas tentang makna literal saja karena analisis ini memiliki cakupan yang luas. Selain itu batasan tentang politik juga beragam, yang mana keberagaman itu tergantung pada siapa yang membuat batasan melalui sudut pandang sebelah mana.
Politik merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, akan tetapi terkadang juga disebut sebagai seni karena banyak politikus mahir berpolitik tapi tidak melewati pendidikan politik tetapi hal itu merupakan bawaan lahir. Disisi lain politik memiliki objek, subjek, terminologi, ciri, teori, filosofis, dan metodologis yang khas dan spesifik yang mana dapat diterima seluruh golongan, hal ini merupakan sebab politik dikatakan sebagai ilmu. Ilmu politik memiliki kesamaan objek bahasan dengan ilmu pemerintahan, administrasi publik, hukum tata negara dan ilmu negara yang mana ilmu ini sama-sama membahas tentang negara. Akan tettapi ilmu-ilmu ini dapat dibedakan melalui sudut pandang berbeda yang berada disetiap ilmu (Inu Kencana Syafiie dan Azhari 2009:7).
Di bawah ini merupakan pengertian politik dan ilmu politik yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya yaitu:
a.    Menurut Roger H. Soltau, ilmu politik untuk kedepannya akan dianggap ilmu yang mempelajari tentang negara, maksud dan tujuan negaranya, hubungan anatar negara, serta apa yang dipikirkan oleh warganya, dari penyebutan dan pengumpulan kepentingan.
b.    Menurut Aristoteles, politik merupakan cara mendapatkan sesuatu yang di inginkan.
c.    Menurut Johan Kaspar Bluntschli, ilmu politik adalah ilmu yang memperhatikan masalah kenegaraan, dimana berusaha keras untuk mengerti kondisi dan situasi sebuah negara, memiliki sifat yang penting dalam berbagai bentuk manifestasi pembangunan.
d.   Menurut Joice Mitchel, politik ialah pemungutan suatu keputusan secara bersama-sama atau pemungutan kebijakan umum seluruh masyarakat.
e.     Menurut Raymond G. Gettel, ilmu politik merupakan ilmu yang berasal dari suatu negara, hal ini berlaku antar seseorang  dengan orang lain yang telah tersentuh hukum , hubungan kelompok ataupun perorangan dengan negara, serta hubungan negara dengan negara.

Pengertian Budaya
Kebudayaan dari pendapat Koentjaraningrat yaitu  dari kata budhayah yang asalnya dari bahasa sanserkerta yang mana merupakan bentuk jamak dari budhi yang artinya “budi” atau “akal”. Dalam hal ini kebudayaan diartikan sebagai hal yang berhubungan dengan akal (Munandar Soelaeman 2002:22). Kebudayaan seringkali disebut dengan istilah culture yang mana istilah ini berasal dari bahasa latin colore yang memiliki arti mengolah atau mengerjakan. Sedangkan menurut E B Tylor kebudayaan merupakan kelompok yang mencakup kepercayaan, pengetahuan, kesenian, moral, hukum, adat, kemampuan dan juga kebiasaan yang di peroleh manusia dalam suatu masyarakat. Pada dasarnya budaya memiliki kaitan erat dengan pengetahuan dan juga apa yang di percaya serta dianut di dalam suatu masyarakat. Sehingga hal itu menimbulkan ciri khas pada tindakan yang tercermin dari nilai-nilai sosial yang ada. Jadi dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah hasil yang diperoleh sekelompok masyarakat yang berasal dari kebiasaan di lingkungannya.
Manusia memiliki dua sisi kehidupan yaitu berupa sisi materiil dan sisi spiritual. Dimana pada sisi materil ini manusia dapat menghasilkan karya  yang berupa benda-benda ataupun hal lain yang berwujud. Sedangkan pada sisi spiritual manusia mampu menghasilkan ilmu pengetahuan, kehendak yang membuahkan hasil berupa kepercayaan , kesopanan, hukum, kesusilaan, dan juga rasa yang menghasilkan keindahan. Karena intinya manusia berupay untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan melalui etika serta mendapatkan keindahan dari estetika.

Faktor  Menjadikan Agama Erat engan Politik di Indonesia
a.    Faktor garis keturunan, dimana kedudukan orangtua dapat membawa anaknya pada kedudukan yang hampir sama. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa tidak jarang ketika ayahnya memerintahkan pada entah ketika ayah baru pensiun atau berhenti yang menggantikannya adalah anak atau sanak keluarganya sendiri.
b.    Faktor banyaknya kenalan yang berpengaruh. Dalam hal ini dapat dilihat dari para anggota yang dimana kadang dalam sebuah pemerintahan atau lembaga apapun tidak jarang dari mereka adalah teman kenalan sendiri yang dapat memudahkan kerjasama antara pihak atasan dan bawahan.
c.    Faktor kecakapan dalam berkomunikasi dengan sesama. Hal ini lebih kepada sifat memajukannya atau menjadi berbagai pihak yang bisa mewujudkan sesuatu.

Hubungan Agama dengan Politik dan Budaya di Indonesia
a.    Tahap Pertama ( 1912 sampai proklamasi kemerdekaan)
     Pada mulanya tahap ini dalam dunia politik Islam dimulai pada tahun 1912 yang bermula lahirnya Sarekat Islam yang merupakan organisasi yang bermotif untuk memperbaiki ekonomi dari semua kalangan yang telah dijajah oleh beberapa kelompok portugis atau non pribumi dan lainnya (Rusli 1999: 21). Bukan hanya itu berdirinya organisasi ini juga ditujukan untuk memperbaiki posisi umat Islam di Indonesia dalam berperan membantu dan membangkitkan masyarakat atau penduduk pribumi. Kemudian pada tahun ini pula disusul juga dengan berdirinya Muhammadiyah yang dengan semangat pembaharuannya terhadap prinsip kehidupan. Sedangkan dalam dunia umum partai pertama yang muncul adalah Indische Bond sebagai kaum organisasi kaum indonesia dan eropa yang berada di Indonesia. Organisasi ini muncul dan diresmikan pada 25 Desember 1912 oleh E. Douwes Dekker. Namun partai ini hancur karena bersifat mengancam publick akhirnya partai ini terlarang dan dibubarkan. Kemudian seiring berjalannya waktu beberapa tahun kemudian Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) sebagai partai Islam pertama. Sedangkan Muhammaddiyah terus berkembang menjadi organiasi kemasyarakatan yang memberikan prinsip masyarakat modern, pendidikan dan amal sosial.
     Bukan hanya itu saja pada tahun ini pula juga mulai munculnya kembali partai baru yaitu Indische Sosial Democratische Vereeneging (ISDV) oleh JA. Brandsteder, W. Dekker, dan Begsma pada 9 Mei 1914. Karena organisasi ini kurang diterima oleh masyarakat akhirnya bekerjasama dengan beberapa orang yang berpengaruh di Insulinde akhirnya mereka menyusup ke PSII dan berhasil menghasut beberapa orang seperti Semaun dan Darsono.
     Dalam perkembangan selanjutnya sejak tahun 1920an umat Islam semakin melibatkan diri dalam kegiatan politik untuk menentang penjajah yang semakin ada. Bahkan ISDV yang semakin menurun akhirnya menganti namanya dengan menjadi partai Komunis Indonesia yang diketuai oleh Semaun. Namun PKI pada 13 November 1926 berani keluar untuk memberontak walaupun terdapat tokoh belum siap di Jakarta, Jatim, Jabar dan lainnya akhirnya partai ini dibubarkan. Dan tokoh-tokohnya pun ada yang ditahan, kembali pada semula dan ada yang kabur ke beberapa luar jawa. Setelah jatuhnya PKI maka Ir. Soekarno dengan mengumpulkan beberapa tokoh membuat Partai Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927 yang bertujuan bekerja untuk kemerdekaan Indonesia dengan asas percaya diri (artinya memperbaikikeadaan politik, ekonomi, sosial dan lainnya). Pada tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan rapat besar yang dihadiri PNI, PSII, Kaum Betawi, Budi Utomo dan tokoh lainnya membentuk suatu federasi yaitu Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) serta gerakan pemuda Indonesia (setelahnya) yang penutupannya tanggal 28 Oktober 1928 diucapkan sebagai sumpah pemuda.
     Pada tahun 1930an partai Islam masih tetap bebas dan tidak dilarang oleh Belanda walau beberapa partai umum telah dibubarkan. Dan pada tahun ini pula menurut Vander Kroef, kontribusi gerakan Islam sangat besar dalam memberikan sebuah landasan sosial baru bagi negara Indonesia karena berdiri di tengah-tengah perjuangan sosial yang beragam yang semboyangnya unruk menentang adat istiadat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan juga ajaran liberalis yang ingin selalu memberontak kepada perdaimaian melalui unsur bertahap dan termasukpula kaum abangan (Islam jawa) (Rusli 1999: 22).
     Aktivitas perjuangan Islam ini semakin membaik dan tampak ketika menjelang proklamasi lebih-lebih ketika zaman penjajahan jepang. Dimana hal ini dapat dilihat dari ketika pemimpin Islam masuk dalam tokoh BPUPKI tahun 1945 sebagai bentuk melakukan perjuangan lebih baik lagi seperti menjadikan Islam sebagai dasar negara. Namun tuntutan itu menimbulkan rekasi keras dari kelompok nasionalis, abangan dan kristen yang kebetulan mayoritas di BPUPKI. Oleh karena itu Jepang membentuk Panitia Sembilan sebagai penengah dan pada akhirnya yang menjadi dasar pancasila adalah pancasila dengan makna tertentu. Dalam peristiwa ini umat Islam mengalah demi kedudukan dan perdaimaan karen adalam hal ini lebih dikuasi kelompok non Islam sehingga menurut Emmerson inilah pertama kali umat Islam kecewa karena mereka minoritas walau mereka mayoritas (Rusli 1999: 23).
     Pada era ini (1945-1955) sarana pejuang politik umat Islam adalah Masyumi. Namun akhirnya partai ini yang semula kuat menjadi menurun karena pecah menjadi dua partai yaitu NU yang mebentuk partai sendiri tahun 1952. Pada pemilu 1955 masyumi meraih suara 20,9 %, NU 16,4% dengan total 44%. Dan lebih dari 35% memilih PNI dan PKI sebagai pemenangnya. Hal ini tentu membuat semua pihak terkejut tentang hasil pemilu tersebut.
b.   Tahap kedua Orde Lama (1957-1965)
Melanjutkan pembahasan dari masa proklmasi maka ketika masuknya masa Orde Lama ini lebih banyak mengingat tentang pemberontakan PKI yang dimulai ketika selesai pemilu yang dimana ternyata masyarakat lebih percaya kepada PKI. Pemilu tahun 1955 ini melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung kurang lebih selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
1. Gerakan separatis (tahun 1957).
2. Konflik ideologi antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena itu konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, sehingga terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru yang menjadikan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada perang revolusi yang berlangsung antara tahun 1960-1965 yang juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965 telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau terdapat kerugian yang sangat tinggi. Pada puncak kejayaan orde lama ini pula terdapat beberapa hal menarik lainnya yang sampai saat ini masih digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai suatu bukti sejarah seperti: Nasakom (Nasional Agama dan Komunis), Jas Merah (Jangan Lupakan Sejarah), Tavip (Tahun Vievere Veri Coloso) dll (Inu Kencana Syafiie dan Azhari  2009: 43).
c.    Tahap Ketiga Masa Orde Baru (1966-1998)
     Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partain Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden.  Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau luar jawa.
Hal menariknya pada masa orde baru selain dikenal dengan sebutan Orde Pembangunan juga terdapat beberapa pandangan tersendiri terhadap orde baru ini. Salah satunya menurut Nasution didasarkan pada tuntunan nyata yang dialami bangsa Indonesia ketika itu yaitu keadaan ekonomi yang sangat memperihatinkan dan perbaikan menyeluruh pelaksanaan UUD 1945 yang telah diselewengkan oleh Orde Lama (Rusli 1999: 42).[1] Dengan kata lain orientasi pembangunan Orde Baru mestilah diarahkan unruk membangun ekonomi dan menciptakan kestabilan politik. Strategi pembangunan mengalamai perubahan menyeluruh.
Orde baru bukan saja baru dalam orientasi dan peperancangan pembangunannya tetapi orang-orang yang terlibat pun juga baru. Seperti telah dikemukakan, satu kekuatan baru memainkan peran penting adalah dari kalangan tentara, ABRI. Menurut Danoon, Soeharto sendiri ketika itu menempati peringkat ke 10 dalam hierarki ABRI. Tetapi, dengan kecerdasannya ia muncul menjadi orang yang paling berpengaruh. Dari sinilah ia mempunyai kekuasaan mengangkat ABRI sesuai dengan tujuan yang telah digariskannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, banyak tentara yang dilibatkan ke dalam politik dengan alasan untuk menjaga stabilitas politik ini bisa dilihat dalam jumlah ABRI yang dilantik dalam tiga kabinet pertama Orde Baru: Kabinet Ampera sebanyak 48 persen, Kabinet Pembangunan 1,29 persen, dan kabinet pembangunan II 21 persen (Rusli 1999: 42).
Soeharto berhasil memilih kebijakan yang tepat untuk memperkuat kedudukannya, yaitu menciptakan kerangka kelembagaan untuk membuat satu permufakatan baru dan bukan dengan membangun “koalisi” dengan partai-partai yang sudah ada (Mas’oed 1983: 167-168). Dasar ini jelas mengurangi “medan” politik kalngan sipil karena terjadi proses “javanisasi” yaitu dominasi elit oleh kelompok jawa (Mulder 1996).
Masih konteks dominasi elite politik, dimana dalam hal ini menarik sekali berkitan dengan politik dan budaya serta agama yaitu pengangkatan dua pembantu dekatnya yang apling pengaruh pada fase awal Orde Baru yaitu Sultan Hamengkubuwono IX (Raja Yogyakarta) untuk urusan ekonomi dan Adam Malik bekas tokoh partai Murba untuk urusan luar negeri. Bahkan menurut Neher dalam bukunya dengan tegas menyatakan bahwa Adam Malik adalah orang “marxis-kiri Sultan Hamengkubuwono IX yang nasionalis abangan sekular dan Sumitro Djojohadikusumo yang sosialis (Rusli 1999: 43)[2].
Soeharto sendiri pada awalnya juga penganut setia aliran kepercayaan. Menurut Husnie Thamrin dalam wawancara dengan penulis, para menteri yang setia kepada Soeharto mestilah menyesuaikan diri dengannya tersebut. Dari sinilah hampir semua pengamat politik Indonesia berkesimpulan bahwa tentara elit Orde Baru yang direkrut oleh Soeharto pada umumnya adalah kelompok abangan dan bahkan menurut Hamka Islam lebih bahaya dari pada PKI (Rusli 1999: 43).
Dominannya perpaduan unsur Jawa-Abangan ini bisa dilihat dalam tokoh yang paling dominan di sekeliling Seharto yang Jenkins disebut “inner circle” : Ali Moertopo, Yoga Sugama, Sudomo, dan Benny Murdani yang ditambah dengan Amirmachmud sebagai kelompok pragmatik. Sedangkan jenderal-jenderal yang berada di outhor circle adalah: Panggawebean, Widodo, M. Jusuf, Sutopo Juwono dan Darjatmo. Konon diantara banyak tentara yang ikut dalam politik hanya alamsyakh saja yang berkepedulian dengan umat Islam secara keseluruhan sehingga dikenal jenderal dakwah (Rusli 1999: 44). Oleh karena itu segera disingkirkandari kabinet menjadi kedutaan besar untuk negara Belanda.
Untuk merealisasikan cita-cita pembangunan tersebut Soeharto telah mengangkat banyak “tekbokrat”  yaitu pakar ekonomi yang semuanya dalah orang sosialis. Dan dari sinilah pembangunan ekonomi dan pelestrian politik dalam kelilingan Soeharto lebih dominan kepada tentara abangan, nasionalis, dan teknokrat dan katholik. Sedangkan tokoh Islam yang berperan aktif seperti santri dan mahasiswa walau tidak bisa menenmpati posisi terpenting dalam kabinet. Alasan tersebut berdasrkan karena pemimpin bukan dari kalngan santri dan keterbatasan jumlah penduduk santri dan mahasiswa yang siap dan mampu terjun secara langsung.
Sedangkan tentang pasca pemilu tahun 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas. Dengan adanya pernyataan gagasan tersebut maka timbullah sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya. Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) yang telah dipaparkan diatas sudah dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan disahkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan. Sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu dalam pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997). Partai yang disahkan dan diakui yang merupakan penyerdehanaan partai terdapat 3 partai yaitu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katholik, Partai Murba, IPKI dan Pakindo dan Partai Golongan Karya (GOLKAR). Semua penyederhanaan tersebut bertujuan agar pada masa orde baru ini dapat menciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Sedangkan hasil dari pemilu pada masa orde baru ini dapat dilihat pada rincian berikut ini:
1.    Pemilu 1971
a)    Pejabat negara harus bersikap netral dan hal ini sangat berbeda dengan pemilu 1955 dimana pejabat negara termasuk perdana menteri dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
b)   Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
c)    Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 pemilih dengan tujuan untuk memilih 460 orang anggota DPR (360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat).
d)   Pemilu ini diikuti oleh 10 partai yaitu Partai Golongan Karya menghasilkan 236 kursi, Partai Nahdlatul Ulama menghasilkan 58 kursi, Partai Muslimin Indonesia menghasilkan 24 kusi, Partai Nasional Indonesia menghasilkan 20 kursi, Partai Kristen Indonesia menghasilkan 7 kursi, Partai Katolik menghasilkan 3 kursi, Partai Islam Perti menghasilkan 2 kursi, Partai Murba dan Partai IPKI menghasilkan tidak ada satupun kursi.
2.    Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3.    Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat karena sekalipun Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar memperoleh 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.
4.    Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987 dengan hasil:
a)    PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 yang disebabkan  adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
b)   Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi dan menjadi 299 kursi.
c)    PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5.    Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 dilaksanakan pada 9 Juni 1992 dengan hasil Golkar menurun (299 kursi menjadi 282 kursi), PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6.    Pemilu 1997
Pemilu keenam ini dilakukan pada 29 Mei 1997 dengan hasil:
a)    Golkar memperoleh suara 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi.
b)   PPP mengalami peningkatan sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
c)    PDI mengalami kemerosotan yang mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru diatas terkesan menimbulkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok memenangkan sejak pemilu 1971 sampai 1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi untu menang dalam pemilu tersebut ternyata sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi keseimbangan suara di MPR dan DPR. Keseimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan walau sekecil apapun.
d.   Tahap Keempat (Masa reformasi sampai sekarang)
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan kehidupan lama dengan tatanan kehidupan baru yang secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang ada di Indonesia. Situasi politik dan kondisi ekonomi di Indonesia pada akhir Orde Baru semakin tidak terkendali yang membuat rakyat menjadi semakin kritis dengan menyatakan pemerintah Orde Baru tidak berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera. Oleh karena itu, munculnya gerakan reformasi bertujuan untuk memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bukan Era reformasi, yang mendukung demokrasi secara substantif, memberikan kebebasan warga untuk berekspresi dan berasosiasi sebagai bagian dari partisipasi politik, termasuk kritik dan oposisi terhadap pemerintah. Jika pada masa Orde Baru, oposisi itu dianggap sebagai bertentangan dengan ideologi negara, maka pada era reformasi opisisi ini justru dianggap sebagai suatu keniscayaan dalam sebuah demokrasi, karena pemerintah harus selalu dikontrol agar tidak melakukan kesalahan-kesalahan dan penyalahguna an kekuasaan. Tentu saja, oposisi yang dimaksud bukan lah oposisionalisme melainkan opisisi loyal. Oposisionalisme, yang lazimnya bersifat destruktif, meng gunakan prinsip bahwa setiap persoalan yang ber asal dari pemerintah pasti dianggap salah dan oleh karena nya harus ditolak. Sebaliknya, oposisi loyal dan konstruktif menggunakan prinsip bahwa jika kebijakan pemerintah yang diputuskan itu sejalan dengan aspirasi politiknya untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, ia harus dianggap benar.
Dalam sejarah sendiri Odre Reformasi ini dimulai pada 1 Mei  1998 yang dimana pak Harto (presiden kedua) mengundurkan diri sebagai presiden RI yang disambut oleh masyarakat karena pada waktu itu kestabilan di masyarakat tidak membaik. Namun pergantian resmi ini terjadi pada tanggal 21 Mei 1998 jam 10.00 WIB yang bertempat di Istana Negara. Presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah Agung dan menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya menjadi presiden. Pelantikannya sendiri dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke-3 di negara Indonesia.
     Dalam sejarah sendiri presiden BJ Habibie memerintah selama 1 tahun mulai dari 21 Mei 1998 sampai 20 Oktober 1999. Ketika awal penyerahan kekuasaan ini dalam kubu masyarakat terutama mahasiswa terdapat tiga bagian yaitu ada yang tidak menerima karena merupakan produk orde baru, bersikap netral karena kekosongan pemimpin dan juga ada yang berpendapat sah dan setuju.
     Dalam melakukan reformasi di bidang politik, BJ Habibie memberi kebebasan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk membentuk partai dengan tujuan untuk memajukan negara. Namun semua itu tetap sesuai peraturan dan tidak melanggarnya. Bukan hanya itu dalam hal ini pula BJ Habibie membebaskan dua tokoh narapidana politik yaitu Sri Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan yang ditahan ketika zaman presiden kedua.
Sedangkan dalam politik Islam pada masa ini banyak dilakukan, seperti keikut aktifan para tokoh Islam melalui mendukung partai (NU mendukung partai PKB) tahun 1999. Bergitupula dengan Muhammadiyah  dan generasi Masyumi yang turut berperan andil dalam kampanye pemilu yang mendukung PAN dan PKB.  Dalam pemilu sendiri terdapat 48 partai dan pada hasil pemilu 1999 ini maka menghasilkan beberapa keputusan yaitu akhir jabatan Bj Habibie dan di alihkan kepemimpinan kepada KH. Andurrahmah Wahid dengan wakil Megawati Soekarno Putri. Untuk mengetahui perbedaan antara hubungan agama dalam dunia politik dalam setiap pemilu dapat kita telurusi dari perbandingan antara partai agama termasuk Islam dengan partai nasionalis atau nasional.
Pemilu tahun 1999 partai-partai Islam memperoleh dukungan yang cukup besar dari umat, yaitu: PKB mendapatkan 12,61% suara, PPP mendapatkan 10,71%, PAN mendapatkan 7,12%, PBB 1,94%, dan PK mendapatkan 1,36%. Sedangkan partai nasionalis mendapatkan suara sedikit lebih besar dari pada partai Islam, yakni PDIP memperoleh 33,74% dan Golkar memperoleh 22,44%. Namun dalam Pemilu tahun 2004 dukungan itu semakin berkurang, yakni PKB mendapatkan 10,67% suara, PPP mendapatkan 8,15%, PKS 7,34%, PAN mendapatkan 6,44%, PBB mendapatkan 2,62%, sedangkan partai nasionalis: Golkar memperoleh 21,58% suara, PDIP memperoleh  18,53%, dan PD memperoleh 7,45%.
Dalam hal agama dan budaya serta politik pada masa gusdur memang terbilang tetap bergejolak. Hal ini dikarenakan karena masih adanya beberapa kelompok yang tidak menerima terhadap keputusan presiden yang tidak menginginkan Islam menjadi dasar negara Indonesia sehingga menimbulkan beberapa kericuhan antar etnis dan agama seperti: kerusuhan antar agama di poso dan lombok, kerusuhan etnis madura dan etnis dayak di kalimantan tengah dan juga beberapa bom.
Berlanjut pada pemilu tahun 2004 (presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden)  ini sedikit berbeda dimana dalam hal ini antara calon presiden dan wakil presiden sudah menjadi satu kesatuan sehingga memudahkan masyarakat dalam memilihnya tanpa melihat status kaya atau miskin. Pada pemilu ini terdapat 24 partai saja. Dan pada pemilu tahun 2009 (presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi pemenangnya) dukungan umat Islam terhadap partai Islam semakin mengecil. Hasil pada pemilu ini meliputi: PKS mendapatkan 7,88% suara, PAN mendapatkan 6,01%, PPP mendapatkan 5,3%, dan PKB mendapatkan 4,94%, sedangkan partai nasionalis: PD memperoleh 20,35% suara, Golkar memperoleh 14,45%, PDI-P memperoleh 14,03%, Gerindra memperoleh 4,46%, dan Hanura memperoleh 3,77%.  
Begitupula dengan hasil pemilu tahun 2014 yang menhasilkan PKS mendapat 6,79%, PAN mendapat 7,59%, PPP mendapat 6,53%, PKB mendapat 9,04% dan NASDEM mendapat 6,72%. Sedangkan partai nasionalis: PDI mendapat 18,95%, P.Golkar mendapat 14,75%, Gerindra mendapat 11,81%, Demokrat mendapat 10,19% dan Hanura mendapat 5,26%. Dari hasil pemilihan umum serta pemilihan kepala daerah yang telah berlangsung diatas menunjukkan bahwa partai-partai Islam pada saat ini kurang mendapatkan dukungan yang besar dari umat. Berkurangnya dukungan terhadap partai-partai Islam itu disebabkan oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal yang meliputi: Pertama, mayoritas umat tidak lagi memahami Islam sebagai ideologi politik sebagai hasil dari kebijakan deidelogisasi politik pada masa Orde Baru. Kedua, ada perubahan karakteristik pemilih menjadi lebih rasional dari pada emosional, dan lebih pragmatis dari pada idealis termasuk adanya geajala politik uang (money politics). Ketiga, keuangan dan kepemimpinan partai-partai nasionalis relatif lebih kuat dibandingkan dengan partai-partai Islam. Keempat, munculnya konflik internal partai Islam yang berakhir pada pemecatan atau pemisahan diri pihak-pihak yang berbeda pendapat, meski konflik semacam ini juga terjadi pada partai-partai nasionalis. Kelima, partai-partai nasionalis mengakomodasi aspirasi dan kepentingan umat Islam. Keenam, partai-partai nasionalis juga mengakomodasi sejumlah pemimpin Islam masuk ke dalam partai-partai nasionalis.

Penutup
Berdasarkan analisis study library research pada permaparan diatas dapat disimpulkan bahwa bahwa ketika Islam masuk di Indonesia sudah dimulai dengan adanya keselarasan untuk menyesesuiakan dengan budaya. Penyebaran tersebut pula juga memalui sistem politik. Namun semua itu tidak ditujukan pada kepentingan pribadi karena Islampun juga membantu dalam memecahkan keruntuhan atau permusuhan seperti mengusir para penjajah bersama para pejuang nasionalis dan agama lainnya.
Begitupula dengan hubungan agama dengan politik dan budaya dari era pra kemerdekaan sampai era reformasi. Walaupun terbilang berbeda dalam setiap era tetapi semua itu tidak lepas dari sistem politik dan budaya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya partai-partai dan juga adanya kesepihakan untuk membela dan mengrekrut agama atau etnis sejenisnya. Oleh karena itu dari pemaparan penjelasan pada penulisan jurnal ini menyimpulkan bahwa dalam setiap era di Indonesia dalam hubungan agama dengan politik dan budaya sangatlah dominan dan saling berkitan.

Daftar Pustaka
Karim, M Rusli. 1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik “suatu kajian mengenai
keberadaan Islam politik di Indonesia”. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Howell, J D. 1978. Modernizing religion reform and the far eastern religion in twentieth
century Indonesia (Edisi Penerjemah M. Yusuf). Jakarta: Dian Rakyat
Mintz, J S. 1989. Marxism in Indonesia (Edisi Penerjemah Ali Taha). Stanford: Stanford
University Press.
Abdillah, Masykuri. Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Modernisasi Politik di
Era Reformasi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Sahid,Komarudin. 2011. Memahami sosiologi politik.. Bogor. Ghalia Indonesia.
Kencana, inu syafiie dan azhari. 2009.Sistem politik indonesia.Bandung. PT Refika Aditama.
Bashori.2002.Ilmu Perbandingan Agama (suatu pengantar).Malang.Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Malang.
Kahmad,Dadang.2002. Sosiologi Agama. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.



[1] Keterangan lebih lengkap bisa dilihat di (Nasution 1989: 193 dan 1993: 17, Denoon 1971, Ramli 1922: 43-46)
[2] Keterangan bisa dilihat lebih jelas di (Neher 1981, Cady 1974: 288-297)

Komentar