KLASIFIKASI
HADITS DITINJAU DARI ASPEK KUANTITASNYA
(HADITS
MUTAWATIR DAN AHAD)
Ali
Hasan Assidiqi dan Ayu Nova Hidayati
Mahasiswa-Mahasiswi PAI-B Semester 3 UIN
Maliki Malang
Abstract
The
Hadith is a handle for the whole of mankind
after the Al-quran. In the purpose of the hadith itself said that the hadith is a
handle that must be fully believed. It is because we can't hear or see
directly from the Prophet Muhammad Saw, then from that way of
delivery of hadith should be able to give
you confidence. A number of hadith narrated definitely starts
from a friend, thabiin and ultimately up to us clearly. If you associate with the above, we
can see life now where the number of the particular branches
make the hadits with the mention of the
Prophet. Whereas if the hadits is not thorough of Prophet Muhammad
Saw, but comes from the character of the flow. It
is therefore necessary for us to see the hadith which
is rated based on the number of narrators. The purpose of the observations
that we are not easy to convey a hadith to
others. Not only that, we also know the narators of hadith about the truth and the
circumstances. In terms
of the number of hadith narrators of
hadits scholars based on agreements are generally divided into
two, namely the Hadith Mutawatir and Hadith
Ahad . In the Hadith Mutawatir is
divided into three parts namely Hadith Mutawatir Lafzhi, Maknawi, and ' Amali. While the Hadits Ahad is divided into three
parts, namely Hadith Mansyhur, Aziz
and Gharib.
Abstrak
Hadits merupakan pegangan bagi
seluruh umat manusia setelah Al-quran. Dalam tujuan hadits sendiri dikatakan
bahwa hadits merupakan pegangan yang harus benar-benar diyakini atas kebenaran dan keadaannya.[1] Hal
tersebut disebabkan karena kita tidak dapat mendengar atau melihat langsung
dari Nabi Muhammad Saw, maka dari itu jalan penyampaian hadits harus dapat
memberikan keyakinan secara benar. Sejumlah hadits pasti diriwayatkan dimulai
dari sahabat, thabiin dan pada akhirnya sampai kepada kita secara jelas. Jika kita kaitkan
dengan pernyataan diatas, maka dapat
kita lihat dengan kehidupan sekarang dimana banyaknya para
aliran-aliran tertentu membuat hadits dengan menyebutkan dari Rasulullah
Saw. Padahal jika kita teliti hadits tersebut tidak bersumber dari
Nabi Muhammad Saw,
akantetapi berasal dari para tokoh aliran. Oleh karena itu perlu bagi kita
untuk melihat hadits tersebut yang dinilai berdasarkan pada jumlah perawi.
Tujuan dari penialian tersebut agar kita tidak mudah dalam menyampaikan suatu
hadits kepada orang lain. Bukan hanya itu, kita juga mengetahui para perawi hadits
secara jelas dan kita juga dapat meyakinkan terhadap hadits tersebut tentang
kebenaran dan keadaanya. Hadits ditinjau dari segi jumlah perawi berdasarkan
kesepakatan ulama’ hadits secara umum terbagi menjadi dua, yaitu Hadits
Mutawatir dan Hadits Ahad.[2] Dalam Hadits
Mutawatir terbagi menjadi tiga bagian
yaitu Hadits Mutawatir
Lafzhi, Maknawi,
dan ‘Amali. Sedangkan Hadits
Ahad terbagi menjadi tiga bagian pula,
yaitu Hadits Mansyhur,
Aziz dan Gharib.
Keywords:
Hadits Mutawatir
and Hadits Ahad
A. Pendahuluan
Al-quran
merupakan wahyu yang bersumber dari Allah Swt, sedangkan hadits bersumber dari
rasulullah Saw baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan. Al-quran dan
haits merupakan sumber utama bagi seluruh umat Islam sebagai pedoman dan
pegangan hidup baik di dunia dan akhirat.
Jika kita tinjau hadits dari segi
riwayat penyampaian secara lisan tentang suatu keterangan dari Rasullulah Saw
menjadi hadits yang mempunyai kualitas bertingkat-tingkat, ada yang kuat dan
juga ada yang lemah. Sedangkan dalam penyampaiannya tentang suatu hadits,
rasulullah Saw terkadang menyampaikan kepada orang-orang yang berjumlah banyak,
terkadang juga beberapa orang dan bahkan hanya disampaikan kepada sedikit orang
yang berjumlah dua atau satu orang saja.[3]
Hadits ditinjau dari kedudukan
sumber hukum Islam berada nomer dua setelah Al-quran. Kedudukan tersebut
terjadi karena kedudukannya sebagai penafsir dan pedoman pelaksanaan sangatlah
otentik terhadap Al-quran secara jelas. Ia menafsirkan dari segala segi seperti
segi penafsiran secara perkataan, perbuatan dan ketetapan yang ketentuannya
masih dalam lingkup besar Al-quran serta terdapat batasan-batasan dalam
penafsiran atau penjelas terhadap al-quran.
Di
samping itu semua dapat dikatakan bahwa hadits Nabi Muhammad Saw dengan
Al-quran mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu menetapkan dan memperkuat
serta memperjelas hukum-hukum yang terdapat dalam sumber pertama umat Islam
yaitu Al-quran. Maka dari itu dapat ditegaskan bahwa kedudukan hadits disini
sangatlah penting dan sangat berbahaya apabila hadits tersebut bertentangan
ataupun tidak sesuai dengan maksud dari ayat tersebut ada ataupun turun.
Hadits
yang dapat dijadikan sumber pegangan dasar hukum suatu perbuatan terhadap
Al-quran harus diyakini benar-benar akan kebenarannya. Hal tersebut perlu
diperhatikan karena mengingat kita tidak pernah mendengar ataupun melihat dan
bertemu langsung terhadap Nabi Muhammad Saw, maka jalan penyampaian hadits
melalui para sahabat, thabiin yang sampai kepada kita secara mutawatir. Dalam
hal ini hadits yang bisa menjadi hujjah penjelas ataupun penafsir dari Al-quran
terdapat beberapa syarat. Salah satunya ialah melihat dari keberadaan hadits berdasarkan
dari jumlah perawinya (kuantitas) menurut sedikit
ulama’ ushul, banyak ulama’ kalam dan ahli hadits yang terbagi menjadi
dua macam, yaitu: hadits mutawatir dan hadits ahad.
Dalam
hadits mutawatir terbagi menjadi tiga macam yaitu hadits mutawatir lafzhi,
maknawi dan amali. Sedangkan hadits ahad terbagi menjadi tiga macam juga, yaitu
hadits mansyur, aziz dan gharib. Oleh karena dari segala pemaparan diatas maka
artikel ini membahas tentang hadits ditinjau dari kuantitas yakni jumlah perawi
yang dijelaskan secara detail dan mendalam.
B.
Hadits
Mutawatir
1.
Pengertian
Hadits Mutawatir
Menurut
bahasa mutawatir meruapakan isim fa’il dari kata musytaq dari At-tawatur yang
memiliki arti At-tatabu’ (berturut-turut). Sedangkan menurut istilah sesuai dengan kesepakatan para
ulama hadits bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang didasarkan kepadan
pancaindra yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat
mereka bersepakat untuk mengabarkan berita tersebut dengan dusta sejak awal
sanad sampai akhir sanadnya.[4]
Sedangkan menurut tokoh terkemukaka yaitu Muhammad ‘Ajjaj al-Khattab
merenangkan bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah periwayat (banyak) yang menurut adat kebiasaan mereka mustahil (tidak
mungkin) sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkan baik dari awal
sanad sampai akhir sanad dengan jumlah tidak kurang pada setiap sanad. Sebagian
ulama mengatakan bahwa jumlah minimal banyak itu ada empat. Sedangkan ulama
lainnya itu berpendapat 5,7,10,12,40,70 dan bahkan ada yang berpendapat sampai
300 orang lebih periwayatnya.
Jika
kita mengutip dari beberapa tokoh seperti imam al-suyuthi mengatakan bahwa pendapat
yang termasuk hadits mutawatir adalah sepuluh orang karena batas minimal
bilangan banyak. Bukan hanya itu jumlah sepuluh ini juga diriwayatkan oleh
Mahmud al-Thahhan dalam penentuan hadits tersebut mutawatir atau bukan.
Sedangkan menurut Ibnu Hajar al-Asqalani tidak mensyaratkan bilangan dalam
julah perawi bagi hadits mutawatir, namun masih kategori banyak.
Oleh
Karena itu dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir
adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi banyak yang menurut logika
dan adat istiadat mereka mustahil untuk berbohong atau berdusta baik di sanad
depan, tengah dan belakang berdasarkan pengamatan pancaindera. Dalam jumlah
perawi terbagi menjadi dua yakni kalngan yang menetapkan jumlah
(5,7,10,12,40,70 dan 300 lebih) dan ada pula yang tidak menetapkannya namun
masih dalam kategori banyak dan sesuai dengan syarat hadits mutawatir.
2.
Syarat-Syarat
Hadits Mutawatir
a. Pewartaan
yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
pancaindra, yaitu warta (berita) yang merika sampaikan itu harus benar-benar
hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[5]
b. Jumalh
rawinya harus banyak. Namun relatife
tidak ada batas ketentuan maksimal. Berikut beberapa
pendapat tentang batasan jumlah perawi tersebut:
1)
Menurut Abu
Ath-Thayyib jumlah perawinya 4 orang (berdasarkan qiyas saksi yang diperlukan oleh hakim).
2)
Ashhab
Asy-Syafi’I menyatakan 5 orang yang
mengqiyaskan dengan para nabi yang bergelar Ulul Azmi (Nabi Nuh As, Nabi
Ibrahim As, Nabi Musa As, Nabi Isa As, dan Nabi Muhammad Saw).
3)
ulama lainnya
kebanyakan mengatakan bahwa jumlah rawimya mencapai 20 puluh orang. Hal tersebut disesuaikan dengannjumlah orang mukmin yang tahan
uji dan dapat mengalahkan orang kafir yang berjumlah 200 orang berdasarkan
Firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 65.
4)
Ulama’ lain
juga menetapkan jumlah paling sedikit adalah 40 orang berdasarkan Qs. Al-Anfal
ayat 64.[6]
c. Secara
logika atau istiadat mereka mayatakan bahwa mustahil sepakat berdusta atau
berbohong terhadap hadits yang telah diriwayatkan.[7]
d. Seimbang jumlah para perawi hadits baik dalam thabaqat
(lapisan/tingkatan) pertama maupun berikutnya.[8]
3.
Klasifikasi
Hadits Mutawatir
a. Hadits Mutawatir
Lafzhi
Hadits Mutawatir
Lafzhi adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang susunan
redaksi dan maknanya sesuai atau benar antara riwayat yang satu dan lainnya.[9] Hal
ini menunjukkan bahwa antara satu riwayat dalam semua kitab itu tidak bertentangan,
akan tetapi memiliki persamaan baik secara lafadz, hukum, dan maknanya.
Contoh:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًافَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
Artinya:
barang siapa yang sengaja berdusta atas
namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka (H.R.
Bukhari)
Menurut Abu
bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Dan
sebagian ulama’ lainnya secara rata-ratamengatakan bahwa hadits tersebut
diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafadz dan maknanya sama. Bahkan ada
yang mengatakan lebih dari 70 orang sahabat yang meriwayatkann. Hadits tersebut
jika kita lihat maka terdapat pada sepuluh kitab hadits yang makna dan
lafadznya juga sama, yaitu: Kitab Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darini, Abu Dawud, Ibn
Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani dan Al-Hikam[10].
Hadits yang hampir sama secara lafadz, makna dan hukumnya seperti berikut:
من تقول علي مالم
اقل فليتبوأ مقعده من النار (ابن ماجه)
Artinya: Barang siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku
tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka
(H.R. Ibnu Majah dalam Kitab Ibn Majah). Dari salah satu contoh hadits tersebut
terdapat kata-kata yang sama baik di lafadz dan makna serta hukum yang
menjelaskan bahwa ketika ada orang yang berkata atas sesuatu hal yang
disandarkan pada nabi, namun nabi tidak berkata maka hukumnya tidak boleh dan
dapat dipastikan tempat duduknya di neraka.
b. Hadits Mutawatir
Ma’nawi
Hadits Mutawatir Ma’nawi adalah
hadits yang lafazh dan maknanya berlainan atau tidak sama antara satu riwayat
dengan riwayat lainnya, namun dalam hal maknanya secara umum terdapat
kesesuaian dan tidak bertentangan.[11] Atau
dengan kata lain meruapakan hadits mutawatir yang perawinya berbeda-beda dalam
penyusunan redaksi pemberitaan, tetapi terdapat penyesuaian dalam prinsipnya.
Contoh dari
hadis mutawatir ma’nawi:
كَانَ النَبِيُّ
صَلَىّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍمِنْ دُعَائِهِ
إِلَاّ فِى الْإِسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Artinya: Rasullulah Saw tidak mengangkat kedua tangan
beliau dalam doa-doanya selain dalam doa shalat istiqa’ dan beliau mengangkat
tangannya, sehingga nampak putih kedua ketiaknya (HR Bukhari Muslim)[12]. Hadits
tersebut secara maknanya terdapat banyak sekali hadits yang sama hingga
mencapai 100 hadits.[13] Salah
satunya terdapat seperti dalam kitab shahih bukhari:
عن أبي
موسي الأشعري : دعاالنبي صلي الله عليه وسلم ثم رفع يديه و رأيت بياض إبطيه
Artinya: dari Abu Musa Al-Asyari berkata: “Rasulullah
berdoa kemudian beliau mengangkat kedua tangannya dan saya melihat putih dua
ketiak beliau.”
Jika kita lihat dalam dua
hadits tersebut, maka dapat dibuktikan bahwa secara umum makna memiliki
persamaan yakni mengangkat kedua tangan ketika berdoa sehingga kelihatan dua
ketiak beliau yang berwarna putih.
c.
Hadits
Mutawatir ‘Amali
Hadits Mutawatir ‘Amali adalah hadits
yang diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawattir di
kalangan kaum Muslimin bahwa Nabi juga pernah melakukannya dan juga
memerintahkannya yang serupa dengan itu. Menurut pendapat lain, bahwa hadis
Mutawatir ‘Amali yakni segala bentuk ibadah yang dikerjakan oleh Nabi dan
diikuti oleh para Sahabat, kemudian Tabi’in hingga diikuti oleh generasi sampai
saat ini. Contoh dari hadits mutawatir ‘Amali yaitu:
صلواكمارأيتموني
أصلي (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: Shalatlah kamu seperti kalian melihat aku
shalat (HR. Bukhari Muslim dari Malik ibn Huwairits). Dalam contoh ayat
tersebut menjelaskan tentang pelaksaan shalat yang mana dimulai dari akhir
hingga saat ini, sehingga bisa dikatakan hadits initermasuk hadits mutawatir
‘Amali.
Dari berbagai sumber juga menerangkan
seperti dalam buku Ulumul Hadits
karya Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc, M.Ag menjelaskan bahwa
contoh-contoh yang terdapat dalam hadits mutawatir ‘amali mencangkup
berita-berita yang menerangkan tentang suatu hal secara jelas seperti yang
berkaitan dengan waktu, dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat ‘Ied, kadar
zakat, hijab perempuan yang bukan mahram dan segala rupa amal yang telah
menjadi kesepatan.[14]
4.
Kitab-Kitab berkenaan dengan Hadits-Hadits Mutawatir
Dari sekian banyak ulama hadits, maka
terdapat sebagian ulama secara umum mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam
sebuah kitab tersendiri. Berikut ini nama-nama kitab-kitab yang termasuk dalam
kategori hadits mutawatir:[15]
a.
Al-Azhar Al
Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah karya As-Suyuthi (disusun berdasarkan
bab).
b.
Al-La’ali’
Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatirah karya Abu Abdillah Muhammad bin
Thulun Ad-Dimasyqi.
c.
Nazhm
Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatiroah karya Muhammad bin Ja’far
Al-Kattani.
C.
Hadits
Ahad
1)
Pengertian
hadis ahad
Kata
ahad merupakan bentuk plural dari
kata wahid. Kata wahid sendiri
berarti “satu”. Jadi, kata ahad berarti satuan.Hadis ahad menurut bahasa
berarti hadis satu-satu. Menurut istilah adalah
هومالم يجمع
شروط المتواتر
Artinya: Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis Mutawatir.[16]
Menurut ulama hadits, hadits ahad
memiliki arti sebagai berikut:
الحديث الاحدهوالحديث الذي لم يبلغ رواته مبلغ الحديث المتواترسواءكان
الراوي واحدا اوثنين اوثلاثةاواربعة اوخمسةالي غيرذلك من الاعدادالتي لاتشعربان
الحديث دخل في خبرالمتواتر
Artinya: “Hadis
ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir,
baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak
memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok
hadis mutawatir.”[17]
Jadi hadis Ahad
berarti hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau
lebih akan tetapi belum termasuk syarat mencapai hadis Mutawatir. Atau dalam
arti lain hadis Ahad adalah hadits yang memiliki jumlah perawi yang tidak
sampai pada tingkatan Mutawatir.
2)
Macam-macam
Hadis Ahad
a.
Hadis
Masyhur (Hadis Mustafid)
Masyhur menurut
bahasa berasal dari kata Muntasyir
berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Masyhur berbentuk isim maf’ul dari kata “Syaharats al-Amru” yang berarti sesuatu yang telah terkenal setelah
disebarluaskan dan ditampakkan di permukaan.[18] Sedangkan
dalam segi istilah hadis Masyhur memiliki makna yaitu:
مارواه ثلاثة فاأثة فأكثر-في كل طبقة – مالم يبلغ حدالتواتر
Hadis
yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih-pada setiap thabaqah-tidak
mencapai derajat Mutawatir.[19]
Mustafid
menurut bahasa berarti yang telah
tersebar atau tersiar. Menurut
istilah hadis,hadis Mustafid dan hadis Masyhur memiliki makna yang sama yakni
yang telah tersebar. Dalam istilah ilmu hadis keduanya memilki batasan yang
sama, yaitu:
الحديث
المشهوراوالحديث المستفيض هوالحديث الذي رواه الثلاثة فأكثرولم يصل درجةالتواتر
Artinya : “ Hadis Masyhur (hadis Mustafid) adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga
rawi atau lebih, dan belum mencapai derajat Mutawatir.”[20]
Jadi pengertian
hadis Masyhur adalah hadis yang diriwayatkan olehtiga perawi atau lebih tetapi belum mencapai derajat Mutawatir. Apabila
dalam suatu hadis salah satuthobaqohnya
(jenjang)
dari thobaqoh sanad terdapat tiga
perawi maka di kategorikan dalam hadis Masyhur, sekalipun pada thobaqoh sebelum atau sesudahnya
terdapat banyak perawi.[21]
Sebuah hadis
dikatakan Masyhur jika sudah tersebar luas di kalangan masyarakat. Ada ulama
yang berpendapat bahwa suatu hadis dikatakan Masyhur adalah segala hadis yang
populer dalam masyarakat sekalipun hadis itu tidak mempunyai sanad, baik
berstatus dhaif maupun shahih. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa
hadis Masyhur menimbulkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan, dan wajib
diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.[22]
Dalam sebuah hadis Masyhur hanya dapat dilihat dari segi kepopulerannya saja
tetapi bila dilihat dari segi jumlah rawinya maka hadis itu tidak dapat
dikatakan hadis Masyhur.
Hadis Masyhur
dapat digolongkan menjadi golongan sebagai berikut:
1)
Masyhur di
kalangan ahli hadis (muhadditsun),
seperti:
قال حدثنازائدةعن اتيمي عن
أبي مجلزعن أنس قال قنت النبي صلي الله عليه وسلم شهرايدعوعلي رعل وذكوان
“Anas
ra., berkata, Rasulullah SAW, berqunut selama sebulan berdo’a untuk kehancuran
Ri’il dan Dzakwan” (HR. Bukhari).[23]
2) Masyhur
di kalangan ulama ahli hadis (muhadditsun),
ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga di kalangan orang awam
seperti:
المسلم
من سلم المسلمون من لسانه و يده
“Orang
Islam yang sempurna adalah orang Islam lainnya selamat dari gangguan lidah dan
tangannya.”(HR. Bukhari-Muslim).[24]
3) Masyhur
di kalangan ulama ahli fikih, seperti:
نهي رسول
الله صلي الله عليه وسلم عن بيع الغرر
“Rasulullah
SAW melarang jual beli yang di dalamnya terdapat tipu daya”.[25]
4)
Masyhur di kalangan
ahli ushul fikih, seperti:
إذاحكم
الحاكم ثم اجتهد فأصاب فله أجران وإذاحكم فاجتهدثمأخطأفله أجر
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan
ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala
kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala
(pahala ijtihad)”.[26]
5)
Masyhur di
kalangan ahli sufi, seperti:
كنت
كنزامخفيافأحببت أن أعراف فخلقت الخلق فبي عرفوني
“Aku
pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka
kuciptakan makhluk dan melalui Aku mereka pun mengenal-Ku”.[27]
6) Masyhur
di kalangan ulama Arab, seperti:
عن
عمرقال : نعم العبدصهيب لولم يخف الله لم يعصه
“Dari
Umar ra., dia berkata, sebaik-baik hamba Allah adalah suhaib. Bila ia tidak
takut kepada Allah, ia tidak berbuat dosa”.[28]
7) Masyhur
di kalangan masyarakat umum, seperti:
للسائل
حق وان جاءعلي فرس
8) Masyhur
di kalangan ahli pendidikan, seperti:
أدبني
ربي فأحسن تأديبي
9) Masih
banyak lagi hadis-hadis yang kemasyhurannya hanya di kalangan tertentu, sesuai
dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.
Hadis tersebut
dari setiap tingkatan, mulai dari tingkatan pertama (sahabat Nabi) sampai
dengan tingkatan imam-imam yang membukukan hadis ini (Bukhari, Muslim, Tirmizi)
yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatannya.
Sebagian ulama
membedakan antara hadis Mustafid dengan hadis Masyhur yaitu hadis Mustafid
diriwayatkan oleh empat perawi tetapi belu mencapai derajat mutawatir sedangkan
hadis Masyhur yaitu diriwayatkan oleh tiga perawi.
Jika ditinjau
dari contoh karya yang memuat hadits Masnyur dapat kita lihat berikut ini yang
dilenkapi nama kitab dan pengarangnya:
a) Kasyfu al-Khafa’
wa Muziilu al-Albaas fii ma Isytahara min al-Hadisi ‘ala Alsinati al-Naaskarya
Isma’il bin Muhammad al-‘Ajaluni
b) Al-Maqashid
al-Hasanah fii al-Ahadits al-Masyhurah karya al-Hafizh
Syams al-Din Muhammad bin ‘Abd al-Rahman
al-Sakhawi
c) Al-Asna
al-Mathalib karya Syekh Muhammad bin Sayyid al-Barwisi
d) Tamyiiz
al-thaiyyib fii ma Yaduuru ‘ala Alsinati al-Naas min al-Hadis karya
Ibnu Diba’ al-Saibaniy.[31]
b.
Hadis
Aziz
Hadis
Aziz menurut bahasa berartiAsy-Safief
(yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Al-Qawiyyu (yang kuat), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang
sukar diperoleh).
Karena memang hadis Aziz ini sukar
ditemukan. Kata “al-aziiz” adalah
sifat musabbahat dari fi’il “azza-ya ‘izzu” yang berarti sedikit atau langka, atau dari fi’il “azza-ya
izzu” yang berarti kuat atau hebat.[32]
Adapun menurut
istilah yaitu:
مارواه إثنان ولوكان في طبقة واحدة، ثم رواه بعد ذلك جماعة
“Hadis
yang riwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada
satu thabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya.[33]
Para ulama
memberikan batasan pada hadis Aziz yaitu:
الحديث العزيزهوالحديث الذي رواه إثنان ولوكان في طبقة واحدةثم رواه
بعد ذلك جماعة
Artinya: “ Hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan
oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkata saja, dan setelah
itu diriwayatkan oleh banyak rawi.”[34]
Contoh hadis Aziz:
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : نحن الاخرون في الدنياالسابقون
يوم القيامة
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, “ Kita adalah orang-orang yang paling akhir
(di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat.” (HR. Hudzaifah dan
Abu Hurairah).[35]
Pada hadis di atas diriwayatkan oleh
para sahabat Nabi, dan termasuk hadis Aziz walaupun pada tingkatan selanjutnya
hadis itu di riwayatkan lebih dari dua orang.
c.
Hadis
Gharib
Hadis Gharib
menurut bahasa berartiba’idun ‘anil
wathani (yang jauh dari tanah) atau hadis yang terpisah atau menyendiri
dari yang lain ada pula yang menyebutkan Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba’id an aqaribihi (jauh dari
kerabatnya).[36]
Maksud dari kata menyendiri itu bisa dilihat dari segi pesonalitasnya, yakni
tidak ada yang meriwayatkan selain perawi tersebut, atau bisa dilihat dari
sifat atau kedaan perawi tersebut. Sedangkan dalam segi istilah yaitu: ulumul
Hadits agus salahuddin dan agus suyadi
هوماينفردبروايته راوواحد
“Hadis Gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi.”[37]
Para ulama
memberikan batasan pada hadis Gharib yaitu:
الحديث الغريب هوالحديث الذي انفردبروايته شخص واحد في اي موضع وقع
التفردمن السند
Artinya: “Hadis gharib adalah hadis yang di riwayatkan oleh satu orang rawi
(sendirian) pada tingkatan maupun sanad.”[38]
Apabila
menyendirinya ditinjau dari segi letaknya maka hadis Gharib di bedakan menjadi
tiga bagian:
1) Gharib matnan wa
isnadan (Gharib
dari segi sanad dan matan) yang berarti bahwa suatu hadis itu tidak
diriwayatkan melainkan melalui satu sanad
2) Gharib isnadan
la matnan (Gharib
dari segi sanadnya saja dan tidak matannya) yang berarti bahwa hadis tersebut
merupakan hadis Masyhur yang kedatangannya melewati jalur dari seorang rawi
atau seorang sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada rawi lain yang
meriwayatkan melalui jalan lain yang tidak Masyhur.
3) Gharib matnan la
isnadan (Gharib
dari segi matannya saja dan tidak sanadnya) yang berarti bahwa sebenarnya hadis
tersebut memilki sanad tetapi sanadnya tunggal, akan tetapi pada tahap
selanjutnya menjadi hadis Masyhur.[39]
Contoh hadis Gharib:
عن عمرابن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلي الله عليه و
سلم يقول : انماالاعمال باالنيات و انمالكل امرئ مانوي
Artinya:“Dari Umar bin Khattab, katanya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.”
(HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain)
Hadis ini
diriwayatkan oleh banyak imam hadis, termasuk juga Bukhari dan Muslim, namun
pada tingkatan pertama hanya di riwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu
Umar bin Khattab, dan ada tingkatan kedua yaitu seorang tabi’in, yaitu
Al-Qamah. Dengan demikian hadis itu tetap di pandang di riwayatkan oleh satu
perawi maka termasuk dari hadis Gharib.
Para ulama
membagi hadis gharib menjadi dua berdasarkan letak keterasingannya, yaitu :
1) Gharib
Mutlak
Gharib
Mutlak adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis.
Penyendirian rawi hadis Gharib Mutlak itu berpangkal pada tempat ashlus sanad , yakni tabiin bukan
sahabat. Dikatakan Gharib Mutlak, jika dalam salah satu tingkatan sanadnya
terdapat hanya seorang perawi yang meriwayatkan. Misalnya hadis shahih yang
berbunyi :
كلمتان خفيفتان علي اللسان ثقيلتان في الميزان حبيبتان إلي الرحمن
سبحان الله العظيم سبحان الله وبحمده
“ Ada dua kalimat yang ringan untuk diucapkan oleh lidah
namun berat bobot timbangannya dan sangat dicintai oleh Allah, kalimat itu
adalah subhanallahil adlim subhanallah wa bi hamdih”.[40]
Hadis ini pada tingkatan sahabat diriwayatkan hanya oleh Abu Hurairah,
semikian pula pada tingkatan berikutnya yang hanya diriwayatkan oleh seorang
perawi saja.
2) Gharib
Nisbi
Gharib
Nisbi yaitu hadis yang dalam sanadnya terdapat perbedaan (baca: ciri khusus)
yang membedakan dengan kondisi mayoritas sanad. Gharib Nisbi tidak berkaitan
dengan jumlah perawi, namun lebih pada kondisi yang beda dibandingkan dengan
sanad yang lain. Gharib Nisbi juga dapat diartikan suatu sifat atau kondisi
seorang perawi dimana seorang perawi selalu menyendiri. Menyendirinya suatu
perawi dalam segi sifat maupun kondisi memiliki banyak kemungkinan di antara
lain:
a) Sifat
keadilan dan ke-dhabit-an rawi.
b) Kota
atau tempat tinggal tertentu.
c) Meriwayatkan
dari orang tertentu.[41]
Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Malik dan al-Zuhri secara menyendiri yaitu:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلي الله عليه و سلم دخل مكة
يوم الفتح و علي رأ سه المغفرفلمانزعه جاءرجل فقال ابن خطل متعلق بأستارالكعبة
فقال اقتله قال مالك ولم يكن النبي صلي الله عليه و سلم فيما نري والله أعلم يومئذ
محرما
Artinya: “Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW., memasuki Makkah saat
penaklukan, sementara pada kepalanya tedapat penutup sebagai pelindung. Tatkala
beliau melepaskannya, ada seorang laki-laki datang kepada beliau dan berkata,
wahai Rasulullah, Ibnu Khathal terikat di tirai Ka’bah, Rasulullah SAW.,
bersabda bunuhlah. Malik berkata, Rasulullah SAW., waktu itu tidak dalam
keadaan ihram. Wallahu A’lam.”[42]
Cara untuk
mengetahui apakah suatu hadis termasuk hadis Gharib maka hendaklah periksa
dahulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab Jami’ dan kitab Musnad,
apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ {hadis yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya
(yang terdekat), atau gurunya guru (yang terdekat itu)} dan atau matan lain
yang menjadi syahid (meriwayatkan
sebuah hadis lain sesuai dengan maknanya). Cara tersebut di namakan i’tibar.[43]
Adapun kitab-kitab
yang memuat hadis Gharib yaitu kitab Musnad
al Bazaar dan Al-Mu’jam al-Ausath karya
Al-Thabraniy. Dan kitab-kitab yang membahas hadis Gharib yaitu:
a) Gharaibu Malik, karya
al-Daaruquthniy
b) Al-Afraad, juga
karya al-Daaruquthniy
3)
Kedudukan
Hadis Ahad
Kedudukan hadis
Ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW tetapi bisa juga berasal dari
beliau. Karena hadis ahad bersifat tidak pasti (gairu qat’i atau gairu maqtu’)
tetapi diduga juga berasal dari Rasulullah SAW, dan kedudukan hadis Ahad berada
di bawah Mutawatir, yaitu apabila hadis Ahad bertentangan dengan hadis
Mutawatir maka hadis itu di pandang tidak berasal dari Rasulullah SAW. Bila di
perinci lebih lanjut, kedudukan hadis Ahad itu berbeda-beda, sesuai dengan
taraf dugaanya atau taraf kemungkinannya serta sesuai kualitas hadis tersebut.
Sedangkan
kedudukan hadis Ahad menurut pendapat ulama, yaitu:
1. Sebagian
ulama, seperti Al-Qasyani, Dhahiriyah dan Ibnu Dawud mengatakan bahwa hadis
ahad tidak wajib untuk di amalkan
2. Jumhur
ulama ushul menetapkan bahwa hadis Ahad memberikan faedah dhan apabila di akui keshahihannya dan wajib di amalkan
3. Sebagian
ulama menetapkan bahwa hadis Ahad dapat diamalkan di segala bidang
4. Sebagian
muhaqqin menetapkan bahwa hadis ahad
hanya wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak diperbolehkan dalam urusan aqa’id (akidah).
5. Imam
Syafi’i berpendapat bahwa hadis Ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum di
dalam Al-Quran.
6. Ahlu Zhahir (pengikut
Daud Ibnu ‘Ali Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadis Ahad.[45]
Jika
ditinju dari segi pengamalan hadis Ahad masih di perdebatkan di kalangan para
ulama. Para ulama memilki pendapat yang berbeda-beda dalam mengamalkan hadis
Ahad, yaitu:
1. Abu
hanafiah memberikan syarat-syarat dalam pengamalan hadis Ahad meliputi :
a)Para
perawinya tidak menyalahi riwayatnya
b) Riwayatnya
tidak mengenai hal-hal yang bersifat umum
c)Riwayatnya
tidak menyalahi qiyas
2. Malikiyah
memberikan syarat bahwa hadis Ahad tidak bertentangan dengan ‘uruf al-ulama (tradisi ulama) Madinah
karena amalan-amalan mereka sama dengan riwayatnya
3. Asy-Syafi’i
tidak mensyaratkan hadis Ahad harus memiliki kemasyhuran, tidak bertentangan
dengan amalan masyarakat madinah atau tidak menyalahi qiyas. Tetapi ia hanya
memberikan syarat bahwa keshahihan sanad hadis itu harus tersambung (ittishal).[46]
D.
Perbedaan
Hadis Mutawatir dengan Hadis Ahad
Dari segala penjelasan
diatas maka dapat kita simpulkan bahwa
empat point yang menjadi perbedaan antara hadits mutawatir dan juga
hadits ahad sebagai berikut:
a. Dari
segi jumlah rawi, hadis Mutawatir diriwayatkan oleh banyak perawi hadis maka
dari itu kecil kemungkinannya untuk berdusta sedangkan hadis Ahad hanya di
riwayatkan oleh beberapa perawi hadis saja maka dapat di pastikan mempunyai
kemungkinan untuk berdusta.
b. Dari
segi pengetahuan, hadis Mutawatir menghasilkan ilmu yang qat’i (pasti) dan daruri (mendesak
untuk diyakini) karena bahwa hadis ini sungguh sungguh dari Rasulullah maka
dapat dipastikan kebenarannya. Sedangkan hadis Ahad menghasilkan ilmu yang zanni (bersifat dugaan) bahwa hadis ini
berasal dari Rasulullah SAW sehingga kebenarannya pula masih berupa dugaan.
c. Dari
segi kedudukan, hadis Mutawatir memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hadis
Ahad, begitu pula sebaliknya hadis Ahad memiliki kedudukan lebih rendah dari
hadis Mutawatir.
d. Dari
segi kebenaran matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadis Mutawatir
mustahil bila bertentangan dengan keterangan ayat Al-Quran , sedangkan
keterangan matan hadis Ahad mungkin saja ada yang bertentangan dengan Al-Quran,
maka hadis-hadis itu bukan dari Rasulullah. Karena mustahil Rasulullah
mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam
Al-Quran.[47]
Untuk lebih memperjelas distingsi atau perbedaan antara hadits mutawatir
dan hadits ahad maka penulis membuat diagram beserta penjelasan sebagai
baerikut:
Pada contoh ini penulis
membatasi dan disepakati bahwa suatu perawi disebut hadits mutawatir apabila
mencapai 10 perawi dan jika kurang maka disebut hadits ahad (mansyur 3-9
perawi, aziz 2 perawi dan gharib 1 perawi).
E.
Penutup
Dari segala pemaparan penjelasan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa hadits
berdasarkan dari jumlah perawinya (kuantitas) menurut sedikit ulama’ ushul,
banyak ulama’ kalam dan ahli hadits terbagi menjadi dua macam, yaitu: hadits
mutawatir dan hadits ahad. Sedangkan secara umum hadits dilihat dari aspek
jumlah perawi juga terbagi menjadi dua (Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad).
Dalam
hadits mutawatir terbagi menjadi tiga macam yaitu hadits mutawatir lafzhi,
maknawi dan ‘amali. Sedangkan hadits ahad terbagi
menjadi tiga macam juga, yaitu hadits mansyur, aziz dan gharib.
Syarat-syarat jika
bisa dikatakan hadits mutawatir harus memenuhi 4 syarat, yaitu: berita harus
benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri, Jumlah rawinya harus
banyak seperti pendapat para tokoh ahli yang mengatakan minimal 4, 5, 20, dan
40, secara logika atau istiadat mereka mustahil sepakat berdusta atau berbohong
terhadap hadits yang telah diriwayatkan, dan jumlah para perawi hadits baik
dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun berikutnya harus seimbang.
Sedangkan syarat hadits ahad yakni ketika dalam suatu hadits tidak memenuhi
persyaratan dari keempat persyaratan dari hadits mutawatir diatas. Dan ketika
tidak memenuhinya maka dinamai hadits Ahad baik termasuk hadits mansyur, aziz
dan gharib.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri, Saifudin. 2008. “Predikat Hadits dari Segi Jumlah
Riwayat”, Jurnal Suhuf, Vol 20, No
1, Mei 2008.
Solahudin , M. Agus dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Kholis, Nur. 2008. Pengantar
Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yogyakarta:Teras.
Idris. 2010. Study Hadis. Jakarta: Kencana.
Thahhan, Mahmud. Intisari
Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang
Press.
Ahmad , Muhammad dan Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sameer, Zeid B. Ulumul
Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN-Malang Press.
Sulaiman, M. Noor.
2008. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta.
Umi Sumbulah, dkk. 2014. Studi
Al-Quran dan Hadis. Malang: UIN Maliki Press.
Mujiyo. 1994. ‘Ulum
Al-Hadits. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. 2010. Ulumul
Hadis. Yogyakarta: Teras.
According to Stanford Medical, It's indeed the one and ONLY reason this country's women get to live 10 years more and weigh on average 19 KG lighter than we do.
BalasHapus(And actually, it has NOTHING to do with genetics or some secret exercise and EVERYTHING about "how" they are eating.)
P.S, I said "HOW", not "WHAT"...
Tap on this link to uncover if this easy test can help you release your real weight loss potential
timagMitro-1984 Melissa Mitchell https://wakelet.com/wake/6KPmkpSAuuOrWKcP5849t
BalasHapuslaycontoter